17 Juni 2009

Geram yang Bikin Geram

Kontroversi Pertambangan di Manggarai Barat

Oleh Frans Anggal

Para aktivis Gerakan Masyarakat Anti Tambang (Geram) di Mabar sering diteror melalui HP oleh orang tak dikenal. Ini diutarakan Pater Marsel Agot SVD saat dialog Geram dengan DPRD di Labuan Bajo, Sabtu 13 Juni 2009.

Pater Marsel menduga peneror itu preman. Geram tidak gentar, karena perjuangkan kebenaran dan keadilan. Juga karena selalu minta perlindungan polisi. Polisi sudah lacak dan tahu beberapa pelaku. Ketua DPRD Mateus Hamsi beri peneguhan. “Yang namanya preman saya tahu, dia juga takut mati. Kerenanya, tidak perlu takut, kan ada keamanan, ada polisi.”

Benar. Takut bikin apa. Para pelaku telepon atau SMS gelap itu pengecut. Masa takut sama pengecut. Selain kecut, mereka juga tidak bertanggung jawab atau lebih tepat takut untuk bertanggung jawab. Justru karena takutnya itulah, mereka memilih anonimitas, dengan menyembunyikan identitas.

Ini gejala sosial umum. Anonimitas menghilangkan tanggung jawab. Dalam anonimitas, orang mudah lempar batu sembunyi tangan. Mereka merasa tak terbebani tanggung-jawab moral apa pun. Sebab, mereka cuma siluman, bukan pribadi nyata. Tak mengherankan, telepon atau SMS anonim lazim berisi kata-kata tak patut, jorok, kotor, melecehkan, menghina, dan mengancam.

Menjadi pertanyaan: kenapa teror gelap justru ke Geram? Jawabannya ada pada namanya: anti tambang. Juga pada perjuangannya. Geram mendesak pemkab mencabut izin tambang, khususnya tambang emas Batu Gosok. Proses pemberian izinnya melanggar UU Petambangan, mengangkangi Perda No. 30/2005, dan melecehkan masyarakat adat.

Dalam dua kali aksi damai, kekuatan forum ini semakin nyata. Kini Geram merangkul 43 elemen masyarakat. Jumlahnya terus bertambah seiring dengan semakin pahamnya masyarakat akan dampak buruk pertambangan. Semakin banyak yang sadar, pariwisata tidak bisa sepelaminan dengan pertambangan.

Peserta aksi 13 Juni 2009 lima kali lebih besar daripada aksi pertama 29 Mei 2009. Mereka tidak terprovokasi oleh ulah preman. Malah semakin kompak. Pelamar dari kecamatan yang ingin bergabung semakin banyak. Muncul banyak orator yang rasional dan berkarakter serta berwawasan luas.

Geram semakin kuat sebagai kelompok civil society yang mengontrol kekuasaan. Karena perannya ini, ia dibutuhkan sebagai advocatus diaboli yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan penguasa justru dengan mengganggunya terus-menerus. Ia mengkritik dan menolak kebijakan bila kebijakan itu akan mendatangkan malapetaka bagi kepentingan umum. Dengan demikian, semestinya ia lebih dipandang sebagai advocatus (pembela), bukan sekadar diabolus (setan).

Tapi, di mata orang bodok, tidak begitu. Geram hanya bikin geram saja. Cara bodok khas pengecut pun mereka tempuh: teror gelap.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 17 Juni 2009

Tidak ada komentar: