30 Maret 2009

Ketika Alex Longginus Ditahan

Kasus Dana Purnabakti DPRD Sikka

Oleh Frans Anggal

Puluhan orang mendatangi Kejaksaan Negeri Maumere. Mereka meminta penangguhan penahanan bagi mantan Bupati Sikka Alexander Longginus, tersangka kasus korupsi dana purnabakti DPRD Sikka periode 1999-2004. Dalam permohonan penangguhan penahanan, yang dijadikan jaminan adalah istri tersangka, penasihat hukum, DPC PDIP Kabupaten Sikka, dan anggota DPRD dari Fraksi PDIP. Alex Longginus adalah Ketua DPC PDIP Kabupaten Sikka.

Menurut Kajari Sudarman, khusus untuk kasus korupsi, narkoba, illegal logging, dan illegal fishing, penangguhan penahanan merupakan kewenangan kejaksaan tinggi. Oleh karena itu, surat permohonan itu akan ia teruskan ke Kejati NTT di Kupang.

Kasus korupsi dana purnabakti DPRD Sikka merugikan negara Rp 276,5 juta. Kasus ini melibatkan semua mantan anggota DPRD periode 1999-2004. Kasus displit dalam empat berkas perkara. Berkas pertama dengan tersangka tiga mantan pimpinan DPRD. Berkas kedua dengan 27 tersangka mantan anggota DPRD. Berkas ketiga dengan tersangka Bupati Sikka Alexander Longginus. Berkas keempat dengan tersangka mantan Sekab Sikka.

Sebelum Alex Longginus, tiga mantan pimpinan DPRD, AM Keupung, OLM Gudipung, dan Stefanus Wula, sudah diproses hukum hingga tingkat kasasi. Oleh Mahkamah Agung, ketiga terdakwa divonis bersalah. Putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Maumere dibatalkan. Selama proses hukum, ketiga orang ini tidak ditahan. Menjadi pertanyaan, mengapa perlakuan yang sama tidak dinikmati Alex Longginus?

Kajari Sudarman beralasan, “Memang waktu itu kebijakan pimpinan lama.Tapi mereka kan umurnya sudah 70 tahun. Sementara Pa Alex kan masih muda.”

Sangat jelas, alasan yang digunakan sangat subjektif dan merujuk pada “kebijakan pimpinan”. Ini bukan alasan yuridis formal. Alasan seperti ini tidak memberikan kepastian hukum dan tidak menjamin persamaan perlakuan di depan hukum. Ganti pimpinan, ganti kebijakan. Perlakuan hukumnya akan mudah tebang pilih, ikut ‘mau’-nya pimpinan yang disebut sebagai ‘kebijakan’ itu.

Kita memiliki KUHAP. Tentang perlu tidaknya seseorang ditahan telah diatur di sana. KUHAP-lah yang semestinya digunakan, bukan “kebijakan pimpinan”.

Pada masa Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, pernah keluar surat yang bertentangan dengan KUHAP. Kejari dan kejati dilarang memberikan penangguhan penahanan. Alasannya, penangguhan penahan sering dimanfaatkan koruptor untuk melarikan diri ke luar negeri. Aneh, “kebijakan pimpinan” dijadikan hukum.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 13 Maret 2009

Tidak ada komentar: