27 Agustus 2015

Ikut Aturan Main, Bung!

Oleh Frans Anggal

"Anda terbukti mengarang bebas …. Selama ini Anda membantai saya dalam tulisan Anda di Flores Pos. Mudah-mudahan yang Anda tulis itu benar adanya. Kalau tidak maka Anda lihat nanti!!”

Itu bunyi SMS, yang untuk keperluan tulisan ini tidak dikutip seluruhnya. Datangnya dari seseorang yang menyebut diri “Mikhael Hayon, mantan kades Kalike Aimatan, anggota DPRD Flotim”. Ditujukan kepada  Frans Kolong Muda, wartawan Flores Pos di Kabupaten Flotim. SMS terkirim pada Kamis, 18 Juni 2015,  sekitar pukul 11.00 Wita, dari nomor 081338133898.

SMS ini diduga sebagai reaksi atas pemberitaan Flores Pos selama ini soal dugaan penyalahgunaan dana Program Usaha Agrobisnis Perdesaan (PUAP) di Desa Kalike Aimatan, Kecamatan Solor Timur, tahun 2008/2009.  Nilainya Rp100 juta.  Mikhael Hayon, kalau benar dia pengirim SMS itu, diduga merasa terganggu oleh pemberitaan. Sebab, kasus tersebut terjadi saat dia menjabat kades. Sebagai kades, dialah penanggung jawab pengelolaan dana PUAP.

Dana PUAP itu telah digunakan. Sayangnya, digunakan tidak seturut petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kementerian Pertanian. Dana tidak mereka pakai untuk adakan bibit tanaman dan anak hewan ternak, tapi untuk beli truk. Tidak main-main, truknya truk bekas. Dan lebih tidak main-main lagi, truk itu truk bekas pangkat lima, karena sudah di bawah lima tangan. Dana sisa dari beli truk itu mereka pakai untuk bangun balai desa. Sialnya, truk kena strok tidak lama setelah dioperasikan. Truk itu rusak sampai saat ini.

Menurut hasil audit Inspektorat Flotim, kerugian keuangan negara dalam kasus ini Rp72 juta. Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polres Flotim telah melakukan penyelidikan sejak September 2014. Sudah hampir berulang tahun, penyelidikannya baru sebatas  memeriksa sejumlah saksi. Sedangkan Mikhael Hayon, si penanggung jawab pengelolaan dana PUAP, belum disentuh.

Nah, ini titik penting: polisi belum sentuh dia. Yang malah rajin sentuh dia adalah Frans Kolong Muda, si wartawan Flores Pos. Pemberitaannya gencar dalam tiga bulan terakhir.  Maka kepada si penulis beritalah SMS disasarkan.  Nadanya mengancam. Rupanya tujuannya agar nyali Frans Kolong Muda ciut. Kalau nyalinya ciut, mana berani lagi dia menulis? Maka pemberitaan terhenti. Dengan demikian, kasusnya mudah dihentikan. Kan tak ada lagi yang mengontrol.   

Kalau hitung-hitungan si pengancam seperti itu, ia keliru besar. Disangkanya tujuan tercapai, alih-laih hal lainlah  yang terjadi. Pertama, SMS bernada ancaman itu dijadikan berita oleh Frans Kolong Muda. Salain pertanda wartawan ini tidak kecut, pemberitaannya itu membuat sesuatu yang sedang terjadi di ruang gelap diangkat ke ruang terang, ke ruang publik, sehingga diketahui publik. Ini self cencorship wartawan agar ia tidak terperangkap dalam transaksi gelap yang menistakan profesinya.

Selain itu, memberitakan SMS bernada ancaman berarti juga mempertontonkan kepada publik mutu si pengirim SMS. Kalau benar Mikhael Hayon yang mengirim SMS, betapa ini menyedihkan. Dia itu kan anggota DPRD. Legislator. Asal katanya leges (bahasa Latin), yang berarti aturan. Dia pembuat aturan. Bagaimana bisa cara bereaksinya tidak pakai aturan? Padahal aturannya sudah ada, dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Selama ini Anda membantai saya dalam tulisan Anda di Flores Pos,”  bunyi SMS-nya. Kalau betul begitu, kenapa dia tidak kirim tanggapan ke Flores Pos? UU Pers menjamin haknya. Namanya, hak jawab. Yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pers berkewajiban memuat hak jawab.

"Anda terbukti mengarang bebas.” Kalau benar demikian, kenapa pula ia tidak kirim tanggapan ke Flores Pos? Di sini pun UU Pers menjamin haknya. Hak koreksi. Yaitu,  hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Pers wajib hukumnya memperbaiki informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakannya.

Sayangnya, mekanisme di atas tidak ditempuh oleh si pengirim SMS. Maka jadi teranglah di mata publik, dia tidak tahu aturan main. Percuma saja jadi legislator, pembuat aturan. Ganti pakai aturan, dia malah pakai cara preman, mengirim SMS bernada ancaman. “Mudah-mudahan yang Anda tulis itu benar adanya. Kalau tidak maka Anda lihat nanti!!”

Apa reaksi Frans Kolong Muda? Setelah ia jadikan berita, SMS bernada ancaman itu ia jadikan dasar pembuatan laporan polisi. Pelaporan tindak pidana ini pun ia beritakan. Ia tahu aturan main. Tidak bereaski ala preman. Ini hal kedua yang mungkin di luar dugaan si pengirim SMS.  

Dengan adanya laporan polisi  tersebut, kini dua kasus menimpa Mikhael Hayon. Yang pertama, kasus PUAP. Yang kedua, kasus SMS. Yang pertama itu kasus korupsi, yang dikenal sebagai extraordinary crime atau tindak pidana luar biasa. Yang kedua kasus tindak pidana biasa.

Yang menarik, kedua kasus ini terjadi karena hal yang sama. Karena orang tidak ikut aturan main. Dalam kasus pertama, aturan mainnya berupa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kementerian Pertanian.  Ini tidak dihiraukan. Dalam kasus kedua, aturan mainnya ada dalam UU Pers. Ini tidak diindahkan. Apakah karena tidak mau atau karena tidak tahu, walahuallam.

Yang pasti, pesan dari kedua kasus ini sangat jelas. Sebuah pesan tua dari peribahasa Latin kuno, dengan kebenaran yang tak akan pernah kuno. Serva ordinem, et ordo sevabit te! Peliharalah aturan, maka aturan akan memelihara engkau! Jadi? Ikut aturan main, Bung! ***

Dimuat pada kolom “Kutak-Kutik” Harian Umum Flores Pos edisi Kamis, 27 Agustus 2015.

14 Agustus 2015

Larantuka Kota Gelap



Oleh Frans Anggal

Kalau Anda bukan warga Larantuka, dan harus ke ibu kota Kabupaten Flotim itu sekarang, sebaiknya dengarkan ini. Jangan suka keluar malam! Kalaupun terpaksa ke luar juga, pastikan lampu kendaraan cukup terang. Jika harus berkaki, jangan lupa bawa senter. Banyak lampu jalan di Larantuka tidak berfungsi. Kota itu sudah jadi kota gelap!

Harian Umum Flores Pos berkali-kali memberitakan ini. Wartawannya Wentho Eliando tidak bosan-bosan menulis hal yang sama, bulan demi bulan. Sementara warga Larantuka sendiri sudah lelah untuk omong.

"Itu sudah biasa,” kata Silvester, warga yang diwawancarai Flores Pos. “Kami selalu merasakan itu. Dan itu bukan masalah lagi bagi kami. Biarkan saja sampai yang berkewajiban sadar bahwa lampu jalan itu penting bagi Kota Larantuka. Cape juga kita bicarakan itu. Tagihan pajak penerangan jalan yang kami bayar biar jadi sumbangan untuk dihabiskan. Kalau masih kurang, kami siap sumbang tambah!" (Flores Pos, Senin, 10 Agustus 2015).

Ucapan warga ini boleh jadi menyingkap banyak hal di balik benaknya, yang karena satu dan lain alasan tidak ia gamblangkan. 

Pertama, "Itu sudah biasa. Itu bukan masalah lagi bagi kami.” Perasaan bahwa gelapnya Larantuka itu sudah biasa, sehingga bukan masalah lagi, merupakan perasaan umum warga. Dengan menyebut warga maka otomatis termasuk di dalamnya pak bupati, pak wabup, pak sekda, serta tak lupa pak kadis PU dan tamben selaku pengelola penerangan jalan umum. Mereka warga Larantuka juga, pelanggan listrik juga, yang berkewajiban membayar pajak penerangan jalan tiap bulan. Sungguh mengerikan kalau bapak-bapak ini merasa Larantuka gelap itu biasa. Kalau benar begitu, mereka tidak punya sense of crisis. Betapa mengerikan pula kalau bapak-bapak ini merasa Larantuka gelap itu bukan masalah, sehingga tak perlu dan tak mendesak ada penanggulangan. Kalau benar demikian, mereka tidak punya sense of urgency. 

Kedua, “Biarkan saja sampai yang berkewajiban sadar bahwa lampu jalan itu penting bagi Kota Larantuka. Cape juga kita bicarakan itu.” Selain mengesankan keputusasaan, ucapan ini menuding pejabat terkait tidak punya kesadaran. Ini ada hubungannya dengan pengalaman dan praktik hidup harian. Mana ada pejabat teras Flotim berjalan kaki malam-malam sepanjang jalan di Larantuka? Mereka selalu di atas mobil yang sorot lampunya tajam. Bagi mereka, lampu mobil  itulah lampu jalan. Lampu jalan mereka istimewa: bisa dibawa ke mana-mana saat jalan-jalan di jalan yang tidak ada lampu jalan. Dengan pengalaman dan praktik hidup seperti ini, masuk akal kalau mereka tidak sadar bahwa lampu jalan di pinggir jalan itu penting untuk Larantuka. Mereka cuma sadar akan apa yang penting untuk diri sendiri. 

Ketiga, “Tagihan pajak penerangan jalan yang kami bayar biar jadi sumbangan untuk dihabiskan. Kalau masih kurang, kami siap sumbang tambah!" Warga mempersoalkan hubungan yang semestinya ada antara pajak penerangan jalan dan penerangan jalan umum. Dari namanya sudah jelas: pajak penerangan jalan. Pajak  ini ada “supaya” ada penerangan jalan, dan pajak ini ada “karena” ada penerangan jalan. Di Larantuka dan banyak kota lain, kata “supaya” dan “karena“  sudah diganti dengan kata lain.  Pajak ini ada “tanpa” ada penerangan jalan.

Menurut akal lurus, hak menikmati penerangan jalan umum itu ada karena ada kewajiban membayar pajak penerangan jalan.  Kami sudah bayar pajaknya, mana lampu jalannya? Yang menyedihkan, UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah justru menggunakan akal miring. Pasal 56, ayat 3 mengamanatkan, “Hasil penerimaan pajak penerangan jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.”  Nah, hanya sebagian dari hasil penerimaan pajak penerangan jalan yang dimanfaatkan untuk penerangan jalan. Sebagian lainnya, mungkin dalam porsi terbesar, dibawa ke mana? Bisa ke mana-mana! Bisa untuk belanja lain. Di sini, pajak penerangan jalan dijadikan alat budgeter, pengumpul uang, untuk belanja lain.

Itulah pajak. Beda dengan retribusi yang memakai akal lurus. Pada retribusi, imbalannya kepada pembayar bersifat langsung dan seimbang. Pada retribusi parkir, misalnya, pembayar langsung mendapat jasa tempat parkir kendaraannya. Pada pajak tidak begitu. Imbalannya kepada pembayar tidak harus langsung dan tidak harus seimbang.

Besaran pajak penerangan jalan didasarkan pada dua komponen, yaitu biaya tarif  beban (dilihat dari jumlah pelanggan) dan biaya pemakaian listrik (dilihat dari besar pemakaian/kwh). Dengan dua komponen itu, penerimaan pajak penerangan jalan per bulan bisa naik turun. Agar praktis, pemerintah menyusun perkiraan penerimaan berdasarkan target, bukan berdasarkan angka riil akumulasi pungutan. Nah, selisihnya ke mana dan untuk apa, itu bisa jadi soal. Ditambah lagi dengan sifat imbalannya kepada pembayar yang tidak harus langsung dan tidak harus seimbang, pajak penerangan jalan merupakan salah satu jenis pajak yang paling mudah diselewengkan.

Pertanyaan kita, apakah pajak penerangan jalan di Flotim diselewengkan? Sehingga penerangan jalan umum terlantar dan  Larantuka jadi kota gelap? Wallahualam. Yang cukup jelas, pemimpin di sana tidak peduli. Mereka merasa pintar, tapi tidak pintar merasa. Yang penting buat, tapi tidak buat yang penting. Tidak punya sense of crisis. Tidak punya sense of urgency.

Pesan kita hanya dua. Pertama, betapapun UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menggunakan akal miring, akal lurus janganlah diinjak-injak. Kami sudah bayar pajaknya, mana lampu jalannya? Pembayar pajak berhak atas pelayanan publik yang bermutu. Kedua, kesabaran warga ada batasnya. Dari kecewa, mereka bisa frustrasi. Dari frustrasi, mereka bisa destruktif. Itu yang tidak boleh terjadi. ***

Dimuat pada kolom "Kutak-Kutik" Harian Umum Flores Pos edisi Senin, 10 Agustus 2015.