29 Desember 2010

Jasmerah dari Flores

Pemugaran Situs Bung Karno di Ende

Oleh Frans Anggal

Wapres Boediono tiba di Ende, Selasa 28 Desember 2010. Didampingi delapan menteri. Ke Ende, wapres penuhi janjinya saat kampanye pilpres 2009. Yakni, memugar empat situs Bung Karno di Ende, tempat bersejarah selama 4 tahun sang proklamator jalani pengasingan oleh Belanda, 1934-1938.

Keempat situs itu: kediaman Bung Karno, Taman Pancasila tempat ia bersemadi merenungkan dasar negara, Gedung Immaculata tempat tonil-tonilnya dipentaskan, dan makam ibu mertuanya Ibu Amsih, ibunda Ny Inggit Garnasih.

Bung Karno diasingkan ke Ende sejak 14 Januari 1934 bersama istrinya Inggit Garnasih, mertuanya Ibu Amsih, anak angkatnya Ratna Juami, dan guru anak angkatnya Asmara Hadi. Dalam buku Bung Karno, Ilham dari Flores untuk Nusantara (Nusa Indah), dikisahkan tentang permenungan Bung Karno di bawah pohon sukun bercabang lima yang melahirkan gagasan Pancasila.

Fakta sejarah ini sesungguhnya menegaskan, Flores khususnya Ende telah memberikan sumbangsih sederhana tapi penting bagi keindonesiaan negeri ini. Metafora yang tepat bagi sumbangan itu adalah tikar. Ya, selembar tikar. Flores telah menjadi selembar tikar tempat Bung Karno bersemadi, merenungkan dan merumuskan hakikat berindonesia.

Tikar Flores itu bukanlah sajadah mewah hasil pabrikan. Bukan pula permadani kemilau hasil imporan. Ia hanyalah selembar tikar sederhana. Sangat sederhana, tapi bernilai. Sebab, ia terbuat dari lembar-lembar daun pandan pluralitas dan multikulturalitas Flores. Dianyam tangan-tangan toleransi, cinta damai, dan persaudaraan sejati.

Sejarah kemudian sepertinya beralur menyakitkan. Dalam derap pembangunan melewati gerbang kemerdekaaan, Flores seakan menjadi pulau terlupakan. Ia tertinggal karena ditinggalkan. Ia miskin karena dimiskinkan. Dan, situs-situs itu pun sepertinya ikut dilupakan, ditinggalkan, dianaktirikan. Pejabat-pejabat dari Jakarta datang, mengunjunginya, sekadar untuk tahu, lalu pulang untuk melupakannya kembali.

Juru Bicara Wapres yang juga Staf Khusus Bidang Media Massa Yopie Hidayat benar ketika mengatakan, situs Bung Karno di Ende kurang diperhatikan. Padahal, mengandung peninggalan bernilai sejarah tinggi. Antara lain, tulisan tangan naskah drama, buku-buku, dan naskah-naskah lain. "Di tempat itulah segala inspirasi tentang keindonesian dan dasar-dasar bernegara dirumuskan Bung Karno. Dengan kesejarahan yang tinggi, sayang sekali jika situs itu tidak dioptimumkan, tidak dipelihara dan dilestarikan."

Kediaman Bung Karno di Jalan Perwira, Kota Ende, misalnya. Yang menunjukkan rumah ini bernilai sejarah tinggi hanyalah sebuah papan nama sederhana: “Situs Bekas Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende”. Tanpa papan nama ini, tak ada “aha!” yang ditampilkan rumah 12 x 9 meter itu. Ia tenggalam di antara perumahan penduduk. Kondisinya semakin layak untuk dilupakan, bahkan untuk dianggap tak pernah ada.

Demikian pula Taman Pancasila. Eh, tiba-tiba berdiri patung Bung Karno dengan sentuhan artistik kelas rendah. Wajah dan sosoknya pun jauh dari citra Bung Karno. Patung siluman ini menghina sejarah dan keindahan. Sudah seharusnya segera diganti dengan yang pantas dan layak.

Mudah-mudahan, dengan dana renovasi Rp30 miliar yang sudah dianggarkan, situs Bung Karno di Ende menjadi lebih “aha!”. Ia harus menyedot perhatian, agar masyarakat tidak mudah melupakan sejarah. Justru inilah pesan pidato kenegaraan terakhir Bung Karno, 17 Agustus 1966. Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Yah, jasmerah dari Flores.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 Desember 2010

28 Desember 2010

Serise, Pakai Cara Lain?

Masalah Tambang Mangan di Manggarai Timur

Oleh Frans Anggal

Polres Manggarai memending proses hukum saling lapor warga Serise dan PT Arumbai Mangabekti berkenaan dengan penambangan mangan di Lingko Rengge Komba, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Flores Pos Senin 27 Desember 2010).

Polres meminta kedua belah pihak dahulukan penyelesaian yang tidak saling merugikan. Sementara itu, perlu tetap siapkan data dan dokumen jika nanti kasus ini benar-benar diproses hukum.

Serise laporkan Arumbai karena menyerobot tanah ulayat mereka, lingko Rengge Komba. Arumbai laporkan Serise karena halangi penambangan. Arumbai nyatakan punya dokumen. Termasuk, izin/penyerahan Rengge Komba.

Menurut Serise? Sebagai pemilik, mereka tidak pernah izinkan Rengge Komba ditambang. Kalau ada yang izinkan, tentu itu bukan pemilik. Menurut Arumbai, pemberi izinnya Gendang Satarteu, pihak yang berhak, induk dari Satarteu.

Itu yang salah. Gendang Serise bukan anak dari Gendang Satarteu. Sudah sejak awal Rengge Komba miliknya Serise. Nenek moyang Serise berasal dari Rote dan Weleng. Orang Rotelah yang pertama kali buka kampung di Serise 1930-an. Lalu bergabunglah orang dari Weleng. Kampung Serise-lah yang pertama kali dibuka, barulah Satarteu. Rengge Komba adalah hasil buka kebun pertama Sirise 1955. Sejak itulah Rengge Komba milik Serise.

Bahwa kemudian ada pihak dari Satarteu yang izinkan Rengge Komba ditambang Arumbai---dengan dalih lingko itu milik Satarteu sebagai gendang induk---itu tidak diketahui Serise. Itu transaksi gelap. Yang faktual diketahui Serise hanya ini: Arumbai menambang di Rengge Komba, tanpa izin mereka. Itu jelas penyerobotan. Maka, melaporkannya ke polisi, langkah tepat.

Sekarang polisi pending proses hukumnya seraya minta kedua belah pihak tempuh cara yang tidak saling merugikan. Adakah itu? Entahlah. Namun, apa pun caranya, standing position Serise jelas-tegas sejak awal. Rengge Komba lingko mereka. Diserobot Arumbai. Penambangan Arumbai hancurkan lingkungan mereka, sengsarakan hidup mereka. Tuntutan mereka: Arumbai harus angkat kaki. Harus kembalkan dan pulihkan Rengge Komba.

Bagaimana dengan Satarteu? Itu bukan urusan Serise. Itu urusan Arumbai, mitranya bertransaksi. Secara faktual, pihak yang dihadapi Serise adalah Arumbai, bukan Satarteu. Antara Serise dan Satarteu tidak ada masalah. Maka, janggal ketika pemkab nyatakan, masalah Serise itu masalah tanah antar-kedua gendang. Justru inilah tesis Arumbai. Anehnya, ada yang dukung.

Simaklah pernyataan Rofino Kant, aktivis demokrasi dan lingkungan. Jika yang terjadi di Serise adalah persoalan hak adat atas tanah antara tua teno Serise dan tua teno Satar Teu, dan masalahnya kemudian dibawa ke pengadilan, maka mediasi yang dilakukan pelbagai elemen dan organisasi Gereja lokal seperti JPIC gagal, sebab persoalannya tidak diselesaikan secara adat. “Dalam proses hukum, warga adat Serise dan Satarteu berhadap-hadapan. Akan ada yang kalah dan menang. Dengan demikian, terpecahlah dua bersaudara.”

Pernyataan itu bersifat kondisional: “Jika… maka….” Dengan kata lain, tidak faktual dan tidak kontekstual. Secara faktual dan kontekstual, masalah Rengge Komba adalah masalah Serise vs Arumbai, bukan Serise vs Satarteu. Secara faktual dan kontekstual pula, peran JPIC dll bukan mediasi tapi advokasi. Membela korban ketidakadilan. Korban itu orang kecil, pihak yang kemanusiaannya paling terancam. Jadi, secara faktual dan kontekstual, JPIC tidak gagal. Maka, maju terus!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 Desember 2010

27 Desember 2010

Flores & “Vote Komodo”

Menyambut Kunjungan Wapres Boediono

Oleh Frans Anggal

Wapres Boediono akan lakukan “Vote Komodo” di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Mabar, 29 Desember 2010. Vote dilakukan setelah wapres selesaikan kunjungan ke Ende 28 Desember (Flores Pos Jumat 24 Desember 2010).

“Vote Komodo” merupakan aksi beri dukungan bagi Taman Nasional Komodo (TNK) dalam memperebutkan posisi sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Baru Dunia atau New Seven Wonders of Nature (N7WN) yang diselenggarakan Yayasan Internasional N7WN di Swiss.

Pada 21 Juli 2009 N7WN mengumumkan, TNK masuk salah satu dari 28 finalis yang berhak ke babak final setelah sisihkan 440 nominasi dari 220 negara. Kini posisi TNK semakin kuat. “Bahkan pekan lalu sempat berada pada posisi pertama,” kata Kabid Promosi Pariwisata Disparbud Provinsi NTT Ulbadus Gogi.

Kini pemerintah gencarkan sosialisasi. “Vote Komodo” oleh wapres merupakan salah satu bentuk proklamasi dukungan, promosi, dan persuasi. Mudah-mudahan mengalirlah dukungan dari seluruh Nusantara, terutama dari NTT, khususnya dari Flores, tempat Varanus komodoensis berhabitat asli.

Itu harapan. Bisa jadi kenyataan, bisa juga sekadar mimpi. Sebab, di NTT sendiri, khususnya di Flores, “Vote Komodo” nyaris tidak berbunyi. Paling-paling di Labuan Bajo. Pemkab dan masyarakat di Flores belum melihat TNK sebagai aset bersama. Otonomi daerah memperkuat kecenderungan pengaplingan Flores. Impian Flores sebagai satu entitas terasa makin jauh.

Contoh, pariwisata. Adakah “pariwisata Flores”? Dalam program, pidato, ada. Dalam kenyataan, tidak. Yang ada hanyalah “pariwisata Mabar di Flores” bukan “pariwisata Flores di Mabar”, hanyalah “pariwisata Ende di Flores” bukan “pariwisata Flores di Ende”. Pariwisata Flores belum menjadi sebuah entitas.

Karena itu, jangan kaget, di Flores, tempat komodo berhabitat asli, “Vote Komodo” belum menjadi gerakan bersama. Tiap pemkab sibuk urus daerahnya. Flores dibangun pakai kacamata kuda. Inilah yang antara lain menyebabkan Kapet Mbay, misalnya, perlahan pudar, untuk tidak mengatakannya lenyap.

Nasib TNK dan komodo khususnya kurang lebih seperti itu. Komodo belum dianggap dan diperlakukan sebagai milik Flores. Padahal, ini salah satu keunggulan Flores. Di dunia, habitat asli komodo hanya ada di TNK dan pesisir barat Flores. Ia reptil paling tua di dunia. Hidup sejak 50 juta tahun lalu. Ia satu dari sedikit ‘fosil hidup’ peninggalan zaman ketika manusia belum ada di bumi. Kemampuannya beradaptasi mengagumkan. Dulu nenek komodo berburu stegodon (gajah purba). Ketika stegodon punah, ia berganti mangsa. Kini, siput dan ikan pun ia makan. Adaptasi yang mencengangkan.

Flores sepertinya tidak sadari ini. Flores berkanjang dalam lelap. Dan baru tersentak kaget ketika tahun 2009 sebanyak 10 ekor Wae Wuul mau dipindahkan ke luar Flores. Kuatnya penolakan Flores menyebabkan rencana itu dibatalkan. Namun, Flores telah lama kecolongan. Era 1998-1999 sudah 26 komodo yang dibawa ke Jawa. Sebelum dan sesudahnya, entahlah.

Inilah anehnya Flores. Terlantarkan komodo. Saat komodo mau dibawa ke luar untuk diselamatkan, Flores menolak. Saat komodo mau dipromoskan jadi salah satu dari Tujuh Keajaiban Baru Dunia, Flores tenang-tenang saja. Ah Flores, yang benar saja. Mudah-mudahan kedatangan Wapres Boediono menyadarkannya. Bangkitlah duhai Flores, promosdikan dirimu ke hadapan dunia!

“Bentara” FLORES POS, Senin 27 Desember 2010

24 Desember 2010

Sebuah Natal di Serise

Warga Tolak Parsel Perusahaan Tambang

Oleh Frans Anggal

Warga Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, menolak 36 parsel Natal dan Tahun Baru yang disiapkan PT Arumbai Mangabekti. Jumlah parsel sesuai dengan jumlah warga Serise karyawan PT Arumbai yang undurkan diri. Parsel diletakkan di kantor Arumbai, di tempat prosesing mangan, di tengah kampung (Flores Pos Kamis 23 Desember 2010).

Menurut Koordinator JPIC OFM Flores Pater Matheus Batubara OFM, biasanya parsel berisi gula pasir 2 kg, roti, biskuit 1 kaleng, permen 2 bungkus, dan sirup 1 botol. Warga kompak tidak datang mengambilnya. Petugas Arumbai pun mengantar dari pintu ke pintu. Mereka tetap menolak. “Lebih baik makan pisang daripada makan parsel,” kata tua teno Serise, Sipri Amon.

Ini untuk kedua kalinya warga Serise menunjukkan sikap luar biasa. Sebelumnya, 36 warga karyawan PT Arumbai undurkan diri. Ini buntut dari demo yang mereka lakukan bersama masyarakat adat. Karyawan yang ikut aksi itu 13 orang. Mereka dipanggil menghadap. Mereka menolak, lalu mengambil sikap berhenti sebagai karyawan. Solider dengan sesama saudaranya, 23 karyawan lain undurkan diri (Flores Pos Senin 15 Oktober 2010).

Mengapa mereka menolak parsel? Alasannya tidak terungkap dalam berita. Bisa dimaklumi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang tak pandai berkata-kata. Namun, kalau ditelusuri, alasan mereka sama seperti alasan Pater Franz von Magnis SJ dan Goenawan Mohhamad ketika menolak “parsel” Bakrie Award.

Tahun 2007, Franz Magnis menolak Bakrie Award. Alasannya: penghargaan itu berasal dari keluarga Bakrie. Keluarga Bakrie merupakan pemilik mayoritas PT Lapindo Brantas yang sedang bermasalah dengan semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut Franz Magnis, penolakannya merupakan bentuk pembelaan terhadap nilai kemanusiaan, karena banyak korban lumpur Lapindo yang masih menderita di Sidoarjo.

Tahun 2010, Goenawan Mohammad mengembalikan penghargaan Bakrie Award yang diterimanya pada 2004. Pendiri majalah TEMPO itu kecewa dengan Aburizal Bakrie, penanggung dana penghargaan itu, yang merasa tidak bersalah atas kasus lumpur Lapindo. Goenawan juga mempersoalkan hengkangnya Sri Mulyani dari Menteri Keuangan karena terkait persoalan Aburizal Bakrie.

Bakrie Award telah menjadi agenda rutin sejak 2003. Diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah memiliki karya terbaik di berbagai bidang: pendidikan, budaya, sosial, dan bidang lainnya. Masing-masing peraih penghargaan mendapat hadiah Rp100 juta.

Orang-orang Serise adalah korban tambang mangan PT Arumbai, semacam Lumpur Lapindo-nya Flores. Mereka orang sederhana, orang kampung. Namun, dalam bersikap, duhai, mereka sekaliber filosof Franz Magnis Suseno dan budayawan Goenawan Mohammad.

Seperti Franz Magnis, dengan menolak parsel Arumbai mereka membela nilai kemanusiaan mereka yang terinjak. Mereka ingin tetap mempertahankan ruang hidupnya yang dirampas tambang, dikeruk, dihancurkan. Seperti Goenawan Mohammad, mereka mengecam sikap Arumbai yang merasa tidak bersalah.

Betapa mereka telah tercerahkan. “Terang yang sesungguhnya sedang datang ke dalam dunia” (Yoh 1:9). Ia telah datang ke Serise, dan tinggal di antara mereka. Sebuah Natal!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 Desember 2010

23 Desember 2010

Selamat Datang, Terang!

Natal 2010 dan Lingkungan Hidup

Oleh Frans Anggal

Pesan Natal Bersama PGI-KWI Tahun 2010 menyinggung empat keprihatian dalam hidup bernegara dan bermasyarakat akhir-akhir ini. Keempatnya merupakan sisi gelap dalam peradaban. Kita semakin membutuhkan terang.

Keempat sisi gelap itu, pertama, menguatnya gejala kekerasan atas nama agama. Kedua, hadirnya penanggung jawab publik yang tidak sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat kebanyakan. Ketiga, menjauhnya masyarakat dari keadaan sejahtera. Keempat, semakin seringnya musibah dan bencana, baik karena faktor alami maupun karena kesalahan manusiawi.

Dalam kondisi seperti inilah kita merayakan Natal 2010. “Terang sejati itu sedang datang dan sungguh-sungguh ada di dalam kehidupan kita. Terang itu, Yesus Kristus, berkarya dan membuka wawasan baru bagi kesejahteraan umat manusia serta keutuhan ciptaan. Inilah semangat yang selayaknya menjiwai kita serta suasana di mana kita sedang menjalani pergumulan hidup.”

Terang itu datang untuk berkarya dan membuka wawasan baru bagi kesejahteraan umat manusia dan keutuhan ciptaan! Dalam konteks Flores dengan pergumulannya akhir-akhir ini, wawasan baru itu adalah cara seharusnya kita memandang dan memperlakukan lingkungan hidup.

Lingkungan bukan hanya instrumentum, sarana penyejahteraan masyarakat, tapi juga sacramentum, tanda kehadiran Allah. Alam ciptaan adalah bekas tangan-Nya, jejak kaki-Nya. Melukai alam, apalagi menghancurkannya, merupakan tindakan melukai, menghilangkan bekas dan jejak itu.

Tidak ada yang daya rusaknya begitu dahsyat dan massif terhadap alam selain tambang. Karena itulah, tambang dinamakan monster lingkungan. Tambang mengeruk dengan merusakkan dan menghancurkan lingkungan, tanpa bisa memulihkannya kembali. Tambang lebih banyak mudaratnya (cost) ketimbang berkatnya (benefit).

Sekadar contoh. Berapa sih harga 1 gram emas? Kurang lebih lima ratus ribu rupiah. Berapa yang harus dikorbakan demi mendapatkan 1 gram emas? Mengerikan! Satu gram emas didapatkan dengan membuang 2.100 kg limbah batuan dan tailing, yang mengandung 5,8 kg emisi beracun logam berat, timbal, Arsen, Merkuri, dan Sianida, yang menghancurkan lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat.

Dalam konteks ini, “harga” 1 gram emas sesungguhnya tidak hanya lima ratus ribu rupiah. Itu hanyalah harga yang tertera di toko perhiasan. Yang tidak tertera di sana adalah harga (baca: korban) penggusuran warga, pembabatan hutan lindung, perusakan kawasan produktif, pembuangan limbah berjumlah besar ke alam, yang menyertai pengerukan emas, nikel, tembaga, dan batubara.

Seperti apa dampaknya, kasus Buyat di Minahasa, Sulawesi Utara, telah bercerita banyak. Tiga bulan sejak Newmont membuang 2.000 ton limbah tailing setiap hari ke teluk Buyat, penghasilan nelayan menurun drastis. Beberapa tahun berikutnya makin banyak keluarga nelayan yang tak bisa bekerja karena sakit. Mulai tumor, sakit kepala akut, lumpuh, hingga gangguan reproduksi perempuan. Beberapa dari mereka meninggal setelah sakit berkepanjangan.

Itu kisah tambang emas. Di Flores, kisahnya kisah tambang mangan, di Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Bupati dan uskup sudah menyaksikannya. Maka, keduanya mengambil sikap yang sama: tolak tambang. Inilah Natal itu. Terbukanya wawasan baru. Selamat datang, Terang!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 Desember 2010

22 Desember 2010

YOGA Jangan Goyah!

Kebijakan Tolak Tambang Manggarai Timur

Oleh Frans Anggal

Forum Masyarakat Manggarai Timur Jakarta (Formata) telah membentuk tim pengkajian tambang yang akan mulai bekerja paling lambat Januari 2011. Pemilihan personel dilakukan di Restoran Ondihon, Jakarta Timur, 17 Desember 2010 (Flores Pos Selasa 21 Desember 2010).
.
Tim betugas meneliti berbagai dokumen di bidang hukum yang dimiliki perusahaan tambang di Manggarai Timur. “Juga mengkaji aspek lain dan dampaknya, yaitu aspek ekonomi, aspek teknik, dan aspek sosial dari perusahaan tambang bersangkutan,” kata Ketua Umum Formata Ino Samsu.

Keanggota tim bersifat terbuka. Formata akan menyertakan pesonel lain sesuai dengan kebutuhan lapangan. Juga akan bekerja sama dengan pihak lain, namun tetap independen. Pendanaan, misalnya, akan ditanggung sendiri oleh tim.

Dirunut ke belakang, ada dua peristiwa penting yang merupakan starting point pembentukan tim ini. Pertama, pertemuan warga Manggarai Raya Jakarta dengan Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng di Jakarta, 13 November 2010. Kedua, pertemuan warga Manggarai Raya Jakarta, Formata khususnya, dengan Bupati Matim Yoseph Tote di Hotel Ibis, Jakarta Barat, 10 Desember 2010.

Pada pertemuan pertama, Uskup Hubert berkata: “Saya telah lihat dengan mata kepala sendiri dampak buruk bagi masyarakat di lokasi tambang dan juga terhadap lingkungan sekitar. Karena itu, saya tolak tambang.” Pada pertemuan kedua, Bupati Yoseph Tote berkata: “Secara pribadi saya tadinya melihat pertambangan berpotensi meningkatkan kesejahteraan penduduk, tetapi setelah ada penolakan dari masyarakat, apalagi air sungai jadi hitam dan beberapa dampak buruk terhadap lingkungan sekitarnya, maka saya tolak tambang” (Flores Pos Selasa 14 Desember 2010).

Uskup tolak tambang. Bupati tolak tambang. Ini kabar gembira bagi Manggarai Timur, sebelumnya hanya bagi Manggarai Barat. Sama-sama tolak tambang, namun uskup dan bupati berbeda tupoksi.

Uskup sebagai pucuk gereja institusi merupakan ‘ahli bidang kemanusiaan’ (an expert in humanity). Tugasnya: mengajak politik (kebijakan pertambangan) menuju dimensi kemanusiaan, yang memberikan penghargaan pada harkat dan martabat manusia serta keutuhan ciptaan. Kekuatan spiritualnya mengoreksi politik yang diselewengkan, agar beralih dari kepentingan diri dan kelompok menuju kebaikan bersama dan kesejahteraan umum.

Uskup sudah, sedang, dan akan terus lakukan itu. Kini giliran bupati-wabup Yoseph Tote dan Andreas Agas (YOGA). Tantangannya tidak gampang. Sangat boleh jadi, DPRD secara perseorangan atau lembaga bersikap lain. Gejala ini sudah tampak di Manggarai Barat. DPRD tercerai-berai karena duit. Kalau itu terjadi di Manggarai Timur, YOGA jangan goyah!

Kalau memang terdesak, jatuhkan pilihan hanya pada rakyat. Sebab, dalam politik, kedudukan ontologis rakyat lebih tinggi. Politik bisa tetap berlangsung tanpa DPRD, tapi tidak mungkin tanpa rakyat. Dari sistem demokrasi kita saat ini, de facto DPRD bukanlah representasi mandat mutlak kehendak rakyat. Sebab, legitimasinya melalui pemilu tidak sepenuhnya dari rakyat, tetapi juga dari KPU (pembagian sisa suara, dll) dan dari partai (recall, dll).

Sebaliknya, pada bupati-wabup yang dipilih langsung. Legitimasinya sepenuhnya dari rakyat. Rakyat memberikan mandat mutlak. Maka, sesungguhnya, bupati-wabup-lah pengemban peran representasi. Sedangkan DPRD, pengemban peran delegasi. Karena itu, maju terus YOGA! Anda tidak sendirian. Ada rakyat. Ada uskup. Ada berbagai elemen civil society. Kini ada tim pengkajian tambang bentukan Formata yang siap membantu. Takut bikin apa! Maju!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 22 Desember 2010

21 Desember 2010

SP2HP Itu Melegakan!

Terbakarnya Kantor Dinas PPO Ende

Oleh Frans Anggal

Polres Ende telah menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP) kasus kebakaran kantor dinas PPO. Isinya: tidak ada tindak pidana dalam kasus ini (Flores Pos Sabtu 18 Desember 2010).

Kata Kapolres Darmawan Sunarko, kebakaran kantor terjadi karena terbakarnya sampah di belakang kantor. Di belakang kantor, banyak tumpukan sampah, dari kantor itu dan dari masyarakat sekitar. Dindng kantornya papan dan tripleks, mudah terbakar. Ruangannya pun berisi banyak kertas.

SP2HP telah dikirim ke bupati, ketua DPRD, dinas PU, dan dinas PPO. Karena itu, katanya, pembangunan kantor baru di lokasi itu, yang sempat dipersoalkan DPRD dan beberapa elemen masyarakat, dapat dilanjutkan. Jika ada bukti baru yang mengarah ke tindak pidana, kasusnya dapat diselidiki lagi.

Kantor ini terbakar pada Sabtu 14 Februari 2009. Bangunan di Jalan Soekarno ini terakhir kali digunakan sebagai kantor dinas PPO. Sebelumnya, berturut-turut sebagai kantor bupati Ende dan kampus Universitas Flores. Jauh sebelum itu, ketika Flores disatukan sebagai Daerah Flores tahun 1946, bangunan inilah pusatnya: kantor bupati Flores.

Ketika bangunan ini terbakar, apa yang hilang? "Bentara" Flores Pos Selasa 17 Februari 2009 melihatnya sebagai hilangnya jejak Flores. Jejak Daerah Flores terpatri kuat pada arsitekturnya, bentuknya, bahannya yang serba-kayu, dan aneka ornamennya. Flores, Ende khususnya, kehilangan sebuah bangunan bersejarah. “City without old buildings is like a man without memory,” kata Konrad Smiglisky. Kota tanpa bangunan tua ibarat manusia tanpa kenangan.

Sepanjang 1 tahun 9 bulan sejak kebakaran, semuanya biasa-biasa saja. Persoalan mulai menajam ketika lokasi bekas bangunan mulai digusur untuk pembangunan kantor baru dinas PPO senilai Rp10 miliar. Penggusurannya 6 November 2010. Surat pemberitahuannya yang bertanggal 5 November baru diterima DPRD pada 8 November. Kalangan DPRD menilai, ini disengajakan.

Sejak itu, para wakil rakyat rajin buat pernyataan pers. Diperkuat demo organisasi mahasiswa ekstra kampus. Pihak yang paling disoroti adalah polres dan bupati. Polres, karena penanganan hukumnya, dinilai lamban, tak tuntas, tak transparan. Bupati, karena kebijakannya, dinilai gegabah membangun kembali kantor di lokasi yang masih berstatus TKP. Bahkan tindakan bupati dituding sebagai cara menghilangkan jejak.

Jejak apa? Jawaban atas pertanyaan inilah sesungguhnya motif semua pemersoalan tadi. Motif yang tidak pernah diungkapan secara lugas, namun asyik dikonsumsi sebagai gosip oleh para politisi, seakan-akan itu benar, padahal tidak terverifikasi. Yakni bahwa: kantor dinas PPO sengaja dibakar untuk meluputkan Don Bosco M Wangge, mantan kadis PPO yang sekarang jadi bupati, dari kasus dugaan korupsi seturut hasil pemeriksaan BPKP.

Ini gosip! Semestinya masuk tong sampah. Ketika ia dijadikan dasar manuver politik berdalih kepentingan rakyat, sesungguhnya bencana sedang dimulai. Kita tidak inginkan itu. Karenanya, “Bentara” Flores Pos Kamis 9 Desember 2010 menilai kasus ini tidak layak dipansuskan. Ada yang jauh lebih penting, mendesak, dan berguna secara langsung bagi masyarakat. Yakni, pemansusan gelapnya kota Ende selama satu tahun lebih. Lampu-lampu jalannya tidak berfungsi, tapi pajak penerangan jalannya lancar.

Kita lega, polres sudah keluarkan SP2HP. Tidak ada tindak pidana dalam kasus kebakaran kantor dinas PPO. Maka, pembangunan kantor baru dapat dilanjutkan. Yang lebih penting, dengan ini, masyarakat dilepaskan dari ranjau politik gosip yang membodohkan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 Desember 2010

“Lex” Gantikan “Iustitia”

Kasus Pakaian Linmas Kabuparen Sikka

Oleh Frans Anggal

Mantan Kasat Pol PP Kabupaten Sikka Emanuel Hurint divonis 1 tahun 8 bulan penjara oleh majelis hakim PN Maumere, Jumat 17 Desember 2010. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa 2 tahun penjara. Terdakwa bersama 5 anggota panitia swakelola dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan pakaian linmas Rp309 juta yang menyebabkan negara dirugikan (Flores Pos Sabtu 18 Desember 2010).

Selain divonis penjara, terdakwa diwajibkan membayar denda Rp51 juta secara tanggung renteng dengan 5 anggota panitia swakelola atau (subsidier) 6 bulan penjara jika denda tidak terbayar. Putusan ini menyebabkan sidang nyaris ricuh. Usai pembacaan vonis, Istri terdakwa, Maria T. Daba, dan anggota keluarga mendatangi meja jaksa---pihak yang dinilai lakukan mafia hukum.

“Kami ini tidak punya uang untuk suap. Kami ini hanya berjuang sesuai prinsip kebenaran dan keadilan. Kami hanya takut Tuhan. Kami minta agar penegak hukum segera tahan 5 anggota pantia swakelola. Uccu, Adi Junata, dan bupati serta sekda yang berkuasa saat proyek berjalan harus diproses,” kata Maria T. Daba. “Uccu yang bertanggung jawab …. Ia harus diproses dan ditahan,” kata terdakwa Emanuel Hurint.

Kelima anggota panitia swakelola adalah Dominikus Dion, Petrus Pau, Yeremias Dewa, Kanisius Togo, dan Agustinus Akar. Sedangkan Uccu alias Stefanus Tanto dan Adi Junata adalah rekanan. Bupati yang menjabat saat itu Alexander Longginus (kini wakil ketua DPRD Sikka), sedangkan sekda Sabinus Nabu (kini ketua Yayasan Nusanipa).

Sejak diproses Juli 2010, penanganan kasus ini janggal. Dalam berbagai kesempatan, Maria T. Daba menyatakan suaminya ditumbalkan untuk meluputkan orang besar. Demi setingan itu, salah satu matai rantai kasus diputus. Hingga kini, rekanan Uccu dan Adi Junata masih hanya berstatus saksi. Seolah-olah pakaian linmas jatuh dari langit. Pengadaannya tidak melalui hubungan transaksional dengan kedua rekanan.

Logika tumbal tadi menguatkan keyakinan kita. Kedua rekanan tidak di-tersangka-kan---untuk selanjutnya di-terdakwa-kan dan di-tersidang-kan---agar keduanya tidak “bernyanyi”. Kalau keduanya “bernyanyi” maka terbongkarlah apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah itu?

”Suami saya sebagai kasat pol PP waktu itu bekerja di bawah tekanan ... selalu diintervensi oknum-oknum pejabat,” kata Maria T Daba. Menurutnya, yang bertanggung jawab adalah bupati dan sekda, saat itu Alexander Longginus dan Sabinus Nabu (Flores Pos Sabtu 24 Juli 2010). Namun, kata Longginus, ia hanya bertanggung jawab dalam hal kebijakan (Flores Pos Sabtu 24 Juli 2010). Dengan kata lain, pembuat kebijakan tidak salah. Yang salah, pelaksana teknis.

Banyak kasus seperti itu. Bupatinya luput, kepala SKPD-nya semaput. Ini karena penegakan hukum direduksi menjadi sekadar persoalan teknis. Anda licik, Anda luput. Anda jujur, Anda hancur. Kebertautan dengan keadilan---untuk apa hukum itu ada---mengabur. Hukum sekadar mengabdi kepentingan hukum itu sendiri (law for law’s sake). Jadilah ia semacam agama-nya polisi, jaksa, dan hakim. Agama tanpa religiositas. Huruf hukum tanpa jiwa hukum.

Semboyannya pun mengerikan. Dari Fiat iustitia, ruat caelum (keadilan harus dimenangkan meski langit akan runtuh) menjadi sekadar Fiat lex, ruat caelum (hukum harus ditegakkan meski langit runtuh). Lex (hukum) tidak lagi mengabdi tapi menggantikan iustitia (keadilan). Polisi, jaksa, dan hakim pun sekadar menjadi budak hukum, bukan lagi hamba-hamba keadilan. Ah!

“Bentara” FLORES POS, Senin 20 Desember 2010

18 Desember 2010

Diutus untuk Mencegah

Aksi Solidaritas Keuskupan Maumere

Oleh Frans Anggal

Umat Katolik Keuskupan Maumere berhasil mengumpulkan dana Rp90.671.000 bagi korban bencana alam banjir di Wasior, tsunami di Mentawai, letusan Merapi di Jawa, dan tenggelamnya KM Karya Pinang di Sikka. Sebanyak Rp82.921.000 diperuntukkan bagi Wasior-Mentawai-Merapi, sedangkan Rp7.750.000 diserahkan kepada keluarga korban Karya Pinang (Flores Pos Jumat 17 Desember 2010).

Sebelumnya, Uskup Maumere Mgr G Kherubim Pareira SVD mengimbau para imam, calon imam, rohaniwan-rohaniwati, dan seluruh umat keuskupan mengumpulkan sumbangan melalui kolekte dll bagi para korban. Kolekte solidaritas dilakukan serempak pada Minggu 14 November 2010 (Flores Pos Sabtu 6 November 2010).

Uskup memberi apreasiasi atas kepedulian dan spontanitas umat Katolik yang telah membantu para korban. “Antusiasme umat dalam galang solidaritas ini memberi harapan untuk aksi solidaritas keuskupan yang akan diadalan di Keuskupan Maumere mulai bulan Januari 2011,” kata uskup.

Aksi dimaksud, antara lain, Gerakan Seribu Rupiah (Geser), kata Sekretaris Keuskupan Romo Richrad Muga Buku Pr. Tiap umat mengumpulkan dana solidaritas seribu rupiah per bulan. “Aksi ini merupakan satu terobosan pastoral membangun keuskupan dalam semangat solidaritas,” katanya.

Betapa bernilai, penting, dan bergunanya dana dan aksi solidaritas tidak perlu diuraikan lagi. Soldaritas bukan hal baru. Adat istiadat yang telah berjalan jauh sebelum gereja institusi hadir, telah mengenalnya. “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”,sekadar contoh, adalah ungkapan klasik, endapan penghayatan dan pengamalan solidaritas dalam masyarakat.

Dengan sumber daya kultural seperti ini, diperkuat dengan penyadaran umat melalui katekese selama masa Adventus, aksi solidaritas Keuskupan Maumere tidak bakal temukan banyak kesulitan. Umat akan welcome. Kalaupun umat bertanya-tanya, pangkal tolaknya bukan soal nilai dan kegunaannya, tapi soal menajemennya.

Harapan umat tidak tinggi-tinggi. Sederhana saja, seperti amanat Kitab Hukum Kanonik. Pengelola hendaknya memenuhi tugasnya dengan kesungguhan seorang bapa keluarga yang baik. Harta benda yang dipercayakan hendaknya diawasi betul agar tidak hilang atau diselewengkan.

Di sisi lain, aksi solidaritas karitatif saja tidaklah cukup. Gereja dipanggil untuk bertolak lebih ke dalam, ke akar, untuk meruntuhkan sistem yang lahirkan ketidakadilan. Dalam istilah sosiolog George Junus Aditjondro, pelayanan gereja tidak boleh berhenti pada “diakonia palang merah”, tapi harus masuk ke “diakonia palang pintu”. Kalau “diakonia palang merah” hanya mengobati luka-luka pembangunan, maka “diakonia palang pintu” mencegah jatuhnya korban akibat sistem yang menindas.

Istilah itu digunakan Aditjondro ketika menjadi pembicara pada Pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng, April 2009. Konteks sorotannya adalah dampak industri pertambangan yang menghancurkan lingkungan dan merugikan rakyat kecil. Pertemuan ini membuahkan hasil nyata, kemudian. Bukan duit! Tapi, sikap jelas-tegas Gereja Keuskupan Ruteng: tolak tambang.

Gereja institusi tidak punya kecerdasan teknis ataupun teknologi untuk mengatasi dampak pertambangan. Gereja “hanya” punya kecerdasan sebagai ‘ahli bidang kemanusiaan’ (an expert in humanity). Justru karena itu, gereja dipanggil dan diutus untuk mencegah. Ya, diakonia palang pintu!

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 18 Desember 2010

17 Desember 2010

Polres Sikka Ngawur!

Penanganan Kasus Pengadaan Pakaian Linmas

Oleh Frans Anggal

Massa dari berbagai elemen civil society Kabupaten Sikka mendatangi polres dan kejari di Maumere, Rabu 15 Desember 2010. Mereka mendesak tujuh orang yang terlibat kasus dugaan korupsi pengadaan pakaian linmas segera ditahan. Yakni. 5 anggota panitia swakelola dan 2 rekanan. Hingga kini, baru mantan kasat Pol PP Emanuel Hurint yang ditahan. Sudah 6 bulan ia mendekam dalam tahanan (Flores Pos Kamis 16 Desember 2010).

Kelima anggota panitia itu adalah Dominikus Dion, Petrus Pau, Yeremias Dewa, Kanisius Togo, dan Agustinus Akar. Sedangkan kedua rekanan adalah Stefanus Tanto alias Uccu dan Adi Junata.

“Kenapa lima anggota panitia swakelola yang sudah ditetapkan jadi tersangka belum ditahan? Kenapa Stefanus Tanto alias Uccu dan Adi Junata yang nyata-nyata menerima uang dan memegang uang tidak diproses? Kenapa Pak Emanuel Hurint yang tidak menerima dan tidak makan uang sedikit pun ditahan? Penanganan kasus ini sangat tidak adil, tebang pilih,” kata Maria T Daba, istri Emanuel Hurint.

Jawaban polres sudah bisa ditebak: jawaban standar dari Sabang sampai Marauke. Dalam menangani setiap kasus, penyidik bekerja secara profesional dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Begitu kata Wakapolres Eko Wagiyanto. Mari kita cek, konkretnya seperti apa. Tidak usah jauh-jauh. Simaklah jawabannya terhadap tiga pertanyaan istri Emenuel Hurint itu.

Kenapa Emanuel Hurint ditahan? Karena BAP-nya sudah lengkap. Kenapa lima anggota panitia swakelola belum ditahan? Karena BAP-nya belum lengkap. Kenapa dua rekanan tidak ditahan? Karena masih berstatus saksi.

Dengan jawaban “memprihatinkan” ini, kita tercengang-cengang. Inikah “bekerja secara profesional dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku” itu? Koq bisa ya, rujukan yang mendasari ditahan atau tidaknya tersangka adalah lengkap atau tidaknya BAP. Ini hukum acara pidana dari planet mana?

Kapan tersangka atau terdakwa dapat ditahan, KUHAP Pasa 21 Ayat 1 sudah mengaturnya. Yakni, jika adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau akan menghilangkan barang bukti, dan/atau akan mengulangi tindak pidana. Dalam seluruh pasal KUHAP tentang penahanan (pasal 20- 31) tidak satu pun ayat yang menyebutkan tersangka patut ditahan jika BAP-nya sudah lengkap. Ini hanya ada dalam “KUHAP”-nya Polres Sikka. Betul-betul ngawur!

Dengan kengawuran ini, kita jadi paham: pantas BAP kasus ini displit jadi dua, agar hanya BAP Emanuel Hurint-lah yang cepat lengkap sehingga ia cepat ditahan, sedangkan BAP 5 anggota panitia swakelola dibikin lamban, sehingga bisa melanggengkan status saksi 2 rekanan. Ujung-ujungnya nanti, 2 rekanan itu diluputkan, sehingga meluputkan orang besar di balik kasus ini. Siapa?

Istri Emanuel Hurint pernah bilang, yang bertanggung jawab adalah bupati dan sekda, saat itu dijabat Alexander Longginus dan Sabinus Nabu. ”Suami saya sebagai kasat pol PP waktu itu bekerja di bawah tekanan ... selalu diintervensi oknum-oknum pejabat” (Flores Pos Sabtu 24 Juli 2010). Tanggapan Longginus? ”Kepada polisi saya katakan, tanggung jawab saya dalam hal kebijakan saja. Apa ada kebijakan yang dikorup?” (Flores Pos Sabtu 24 Juli 2010).

Itu pertanyaan konyol. Kebijakan apa pun berpeluang korup dan dikorup! (“Bentara” Flores Pos Rabu 28 Juli 2010). Jangan-jangan polres ikut-ikutan konyol karena ini, sehingga terpaksa ngawur mendasarkan penahanan tersangka pada sesuatu yang tidak diatur KUHAP. Gawat ini polres.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 16 Desember 2010

16 Desember 2010

Bupati Matim Tolak Tambang

Dari Pertemuan Hotel Ibis Jakarta

Oleh Frans Anggal

Bupati Matim Joseph Tote menegaskan menolak tambang di wilayahnya. Penegasan itu disampaikannya pada pertemuan dengan warga Manggarai Raya di Jakarta umumnya dan Forum Manggarai Timur Jakarta, yang berlangsung di Hotel Ibis, Jakarta Barat, Jumat 10 Desember 2010 (Flores Pos Selasa 14 Desember 2010).

“Secara pribadi saya tadinya melihat pertambangan berpotensi meningkatkan kesejahteraan penduduk, tetapi setelah ada penolakan dari masyarakat, apalagi air sungai jadi hitam dan beberapa dampak buruk terhadap lingkungan sekitarnya, maka saya tolak tambang. Jadi, saya tidak akan pernah mengeluarkan izin tambang,” katanya, disambut tepuk tangan meriah.

Melalui grup facebook “Mari Bersama Tolak Tambang di Manggarai Raya” dan “Sejuta Facebookers Tolak Tambang di NTT”, Rm Karolus Jande Pr meneruskan hasil pertemuan itu. Antara lain, (1) Bupati Yoseph Tote tolak tambang. (2) Tinjau kembali seluruh proses izin tambang dan tak keluarkan izin baru. (3) Bentuk tim khusus mengkaji seluruh proses izin tambang. (4) Berdayakan masyarakat melalui pertanian organik, perikanan, pariwisata.

Bagi Manggarai Raya yang sudah mengalami buruknya pertambangan dan bagi Gereja Keuskupan Ruteng yang sudah jelas-tegas menolak tambang, pertemuan Ibis ini kabar gembira. Dua hal yang mencuat di sini: sikap dan tindakan bupati Matim. Sikap, berupa pernyataan: tolak tambang. Tindakan, berupa rencana: bagaimana tambang ditolak.

Sikap sang bupati lahir dari kesadaran yang teranyam oleh dua kenyataan. Pertama, kuatnya penolakan masyarakat. Kedua, janji tambang dan kenyataan tambang ternyata jauh panggang dari api. Tambang lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Lebih sebagai kutukan ketimbang berkat. Dengan tambang, Matim pasti hancur. Tanpa tambang, Matim bisa makmur.

Dengan sikap itu, bupati sudah bisa lakukan satu hal: tidak terbitkan izin tambang baru. Izin tambang lama? Ini akan masuk tindakan yang masih berupa rencana. Johnny Plate, pengusaha yang salah satu core bisiness-nya bidang pertambangan, menyarankan moratorium (pembekuan) izin tambang yang masih berlaku. Yang penting pijakannya kuat.

“Caranya,” kata Johnny, “segera buat legal due diligence, technical due diligence, dan commercial due diligence. Termasuk kontribusi perusahaan tambang terhadap penerimaan daerah seperti pajak dan royalty atau bahkan deviden bagi BUMD dan khususnya multiplier effect terhadap ekonomi lokal. Juga apakah ada kegiatan CSR (corporate social responsibility) yang memadai. Bila dari kajian tiga aspek di atas hasilnya minus, artinya ada pelanggaran, maka segera bekukan izin tambang yang ada” (Flores Pos Rabu 15 Desember 2010).

Johnny Plate tawarkan salah satu jalan. Banyak jalan menuju Roma, kata pepatah. Yang penting, mau atau tidak ke Roma. Banyak jalan menuju Matim makmur tanpa tambang. Yang penting, mau atau tidak tanpa tambang. Bupati sudah ambil sikap. Tolak tambang. Matim bisa makmur tanpa tambang. Bali bisa, kenapa Matim tidak. Pertemuan Ibis menyebutkan pemberdayaan masyarakat, melalui pertanian organik, perikanan, dan pariwisata.

Dengan sikap tolak tambang, Bupati Yoseph Tote patut kita dukung. Tidak pertama-tama dengan memuji, tapi dengan mengingatkan dan mengawasinya. Sebab, kekuasaan cenderung jadi bobrok (power tends to corrupt). Psikolgi kekuasaan ini mengharuskan kita menjadi advocatus diaboli atau devil’s advocate. Menjadi setan, yang menyelamatkan penguasa, justru dengan cara mengganggunya terus-menerus.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 16 Desember 2010

15 Desember 2010

Unipa Perlu Dinegerikan

Mengapresiasi Usul Ketua Badan Anggaran DPR RI

Oleh Frans Anggal

Ketua Badan Anggaran DPR RI Melchias Mekeng berjanji memperjuangkan Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere menjadi universitas negeri terbesar di Flores dalam satu dua tahun ke depan. Ia juga berjanji memperjuangkan dana Rp200 miliar untuk pembangunan kampusnya menjadi kampus termegah di Flores (Flores Pos Senin 13 Desember 2010).

Mengapa dan untuk apa Unipa dinegerikan? Melchias kemukakan tiga petimbangan. Pertama, meningkatkan mutu pendidikan tinggi (PT) melalui pengadaan sarana, prasarana, ketenagaan, dan fasilitas lebih lengkap. Kedua, mempermudah dan mempermurah biaya PT. Masuk perguruan tinggi negeri (PTN) di Flores akan lebih mudah dan lebih murah ketimbang masuk PTN di luar Flores. Ketiga, dengan dinegerikan, Unipa keluar dari persoalan yang menganggap universitas ini milik satu dua orang.

Jadikan Unipa universitas negeri tidak sulit, kata Melchias. Unipa milik Pemkab Sikka. Penggelontoran dana bakal mudah. Posisi Melchias sebagai Ketua Badan Anggaran DPR RI akan menentukan. “Tahun ini anggaran untuk dialokasikan ke universitas negeri sekitar Rp3 triliun. Kita harus manfaatkan kesempatan ini, selagi saya dipercayai jadi Ketua Badan Anggaran DPR RI.”

Tidak terbantahkan, minat masuk PTN sangat tinggi. Persepsi yang melekat di masyarakat:, selain bermutu PTN lebih murah ketimbang perguruan tinggi swasta (PTS). Kalaupun mahal pada beberapa PTN yang telah berubah statusnya menjadi BHMN, kesempatan beasiswa dan berbagai pengurangan biayanya tetap terbuka lebar. Ini yang kurang pada kebanyakan PTS.

Di sisi lain, jumlah PTN sangat terbatas. Di NTT hanya ada tiga, khusus PTN di bawah pengelolaan Depdiknas, tidak mencakup PT yang dikelola Kementerian Agama dan PT kedinasan yang dikelola departemen/kementerian atau lembaga pemerintah non-departemen. Yaitu, Universitas Nusa Cendana, Politeknik Negeri Kupang, dan Politeknik Pertanin Negeri Kupang. Semuanya berkedudukan di Kupang. Di Flores? Tidak ada satu pun.

Sementara itu, jumlah terbesar mahasiswa yang kuliah di Kupang berasal dari Flores. Mereka berlomba-lomba masuk PTN di ibu kota provinsi ini dengan tidak mudah dan tidak murah. Betapa gembiranya masyarakat Flores kalau memiliki universitas negeri sendiri. Membangun dari nol saat ini, tampaknya sulit untuk tidak mengatakannya mustahil. Yang paling mungkin, mengalihkan apa yang sudah ada. Universitas swasta dinegerikan.

Ada dua yang mungkin untuk itu. Universitas Flores di Ende. Universitas ini didirikan atas kesepakatan para bupati di Flores. Dalam perkembangan pengelolaannya, para bupati lepas tangan. De facto, dengan jumlah mahasiswa terbesar di kawasan Indonesia Tmur saat ini, Universitas Flores bukanlah milik pemkab se-Flores. Menjadikannya negeri tidak segampang mengalihkan status Unipa yang masih belia.

Dengan demikian, Unipa-lah yang paling mungkin untuk dinegerikan. Jalan ke arah itu terbuka lebar. Sudah ada tanda-tanda positif. Ketika Melchias Mekeng melontarkan wacana ini dalam acara tatap muka kunjungan kerjanya di Sikka, Jumat 10 Desember 2010, Bupati Sosimus Mitang dan Ketua DPRD Rafael Raga memberikan aplaus.

Kita berharap, perjuangan segera dilancarkan. Kita berpacu dengan waktu. Momentum, jika tidak segera ditangkap, akan lewat dan tidak berulang. Melchias Mekeng sudah berjanji, “Saya siap berjuang di Dikti untuk mempercepat status negeri ini.” Nah, tunggu apa lagi. Bergegaslah, jangan berlambat.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 15 Desember 2010

14 Desember 2010

Tataplah Wajah Serise

Dari Gelar Konsultasi Publik

Oleh Frans Anggal

JPIC Keuskupan Ruteng dan OFM Indonesia menggelar konsultasi publik di Serise, Kabupaten Manggarai Timur, Sabtu 11 Desember 2010. Dimoderatori Marianus Kisman (staf JPIC OFM), acara ini tampilkan 4 pembicara. Pius Hamid, anggota DPRD Matim. Sri Palupi, Direktur Institute for Ecosoc Rights Jakarta. Rm Charles Suwendi Pr, Ketua JPIC Keuskupan Ruteng. Emil Sarwandi staf JPIC OFM (Flores Pos Senin 13 Desember 2010).

Menurut Koordinator JPIC OFM Flores Pater Matheus Batubara OFM, hadir dalam acara ini, seluruh warga Serise, Suster Winandi SMSJ, dan mahasiswa Stipas Ruteng. Dari unsur pemerintah tak ada yang hadir.

Ada dua hal pokok yang ditekankan. Yaitu, apa yang sesungguhnya terjadi (das Sein) dan apa yang seharusnya dilakukan (das Sollen). Yang terjad: penambangan mangan di Serise oleh PT Arumbai Mangbekti hancurkan tanah adat “lingko”. Penumpukan dan pengolahan mangan di tengah kampung merusak kesehatan warga. Sudah tiga warga buruh tambang meninggal dengan gejala yang sama: demam, rasa panas di dada, perut, dan hati. Pencemaran laut oleh aliran air bercampur mangan membuat ikan dan aneka biota laut musnah. Ledakan bom saat eksploitasi membuat warga tidak aman.

Yang harus dilakukan: ruang hidup yang telah dihancurkan tambang harus dikembalikan dan dipulihkan. Bebaskan Serise dari perbudakan tambang. Jangan ada lagi Serise baru di Manggarai Raya. Derita dan kematian cukup di Serise, jangan lagi di tempat lain.

Dengan mencuatkan apa yang terjadi di Serise, konsultasi publik hendak mengajak para pihak, terutama pengambil kebijakan, menatap wajah Serise. Demi itulah “Bentara” Flores Pos Selasa 30 November 2010 mendesak bupati datang ke Serise. Uskup sudah ke sana, menatap wajah mereka.

Apa pentingnya? Filosof Emmanuel Levinas mengatakan, derita baru melepaskan selubungnya bila tertera pada wajah sesama. Pada saat itulah terbuka alam transenden. Sebuah dimensi baru akan mulai tampak ketika wajah sesama manantang kita, berseru kepada kita.

Wajah Serise tidak tampak di mata pemerintah. Bagimana bisa tampak, wajah mereka tidak ditatap. Bagaimana bisa ditatap, mereka tidak dikunjungi. Bahkan pada konsultasi publik yang strategis itu, pemerintah tidak datang. Orang sering menilai ini pertanda superioritas kekuasaan. Dalam kasus lain, boleh jadi begitu. Dalam kasus Serise, tampaknya tidak demikian.

Tidak hadirnya pemerintah dalam konsultasi publik bukan pertanda superioritas. Itu pertanda inferioritas. Sebab, argumentasi apa yang dimiliki pemerintah untuk bisa membantah wajah Serise? Tidak ada! Serise sudah kehilangan ruang hidup dan hancur. Pemerintah tidak bisa membantah itu, maka melakukan penghindaran (avoidance). Psikologi Gestalt mengenal penghindaran sebagai salah satu bentuk pertahanan (defense) menghadapi situasi sulit.

Ini sandiwara. Secara moral, sangat buruk. Sebab, dipentaskan di atas derita masyarakat. Ruang hidup Serise telah dirampas tambang. Dikeruk. Dirusakkan. Ketika warga pertahankan dengan menduduki dan memagarinya, pemkab diam, DPRD bungkam. Ketika polisi membongkar paksa dan menangkap pemimpinnya, pemkab diam, DPRD bungkam. Quo vadis Manggarai Timur?

Wajah Serise adalah wajah-wajah derita. Datanglah dan tataplah! Maka wajah-wajah itu akan berseru: bebaskan kami dari perbudakan tambang! Kembalikan, pulihkan ruang hidup kami! Jangan lagi derita kami berulang pada yang lain!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 14 Desember 2010

13 Desember 2010

Perlu Desak Terus Polres

Penyelesaian Kasus Tambang di Manggarai

Oleh Frans Anggal

Ribuan massa dari STKIP St Paulus Ruteng, Stipas Ruteng, PMKRI, GMNI, JPIC, SSpS Flores Barat, dan Metodius melakukan demo memperingati Hari HAM Sedunia di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Jumat 10 Desember 2010. Mereka datangi Polres, Kejaksaan, dan DPRD, menuntut penuntasan penanganan kasus kerusakan lingkungan hidup akibat pertambnaagn yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak-hak hidup (Flores Pos Sabtu 11 Desember 2010).

Di mapolres, mereka meminta klarifikasi kapolres tentang penanganan kasus tindak pidana perusakan hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103 di Soga, Kecamatan Reok, yang dilakukan PT Sumber Jaya Asia (SJA) yang menambang mangan. Jawaban Kapolres Hambali cukup melegakan.

“Kasus SJA, saya sudah jelaskan kepada Pater Simon,” kata kapolres---maksudnya Pater Simon Suban SVD, Koordinator JPIC SVD Ruteng. “Kami masih terus selidiki kasus ini. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Berkas perkara mereka sudah diberikan kepada kejaksaan untuk diteliti. Berkas itu telah dikembalikan kepada kami untuk dilengkapi. Prosesnya sedang jalan.” Kapolres pastikan pemrosesan kasus ini tidak mungkin dihentikan di tengah jalan.

Terkesan menyenangkan, tapi sebetulnya jawaban itu jawaban ‘standar.’ Hampir semua kapolres omongnya begitu. Yakni: tidak ada yang ditutup-tutupi, kasus terus diselidiki, berita acara masih harus dilengkapi, tidak mungkin dihentikan, dst.

Coba cek kecepatan penangangannya. Untuk kasus orang besar, pasti lamban. Contoh kasat mata dipertontonkan Polres Mabar. Kasus eksplorasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok dilaporkan Geram pada 4 September 2009. Sudah satu tahun empat bulan. Eh, tersangkanya belum ada.

Padahal, bentuk pelanggaran dalam kasus ini sangat jelas: pelanggaran perda tata ruang (Batu Gosok) dan perambahan hutan lindung (Tebedo). Pelanggarnya sangat jelas: bupati pemberi izin kala itu (Wilfridus Fidelis Pranda) dan kuasa pertambangan. Bukti, saksi, semuanya sangat jelas. Yang tidak jelas hanya satu: kapolres! Klarifikasinya pun tidak masuk akal.

Ketika medio September 2010 Geram mendesak polres segera tetapkan tersangka, jawaban Kapolres Samsuri sangat menghina akal sehat. “Calon tersangkanya ada,” kata dia. “Hanya, untuk sementara, namanya masih kita rahasiakan. Nantilah.” Katanya lagi, BAP kasus Tebedo sudah dilimpahkan ke kejaksaan, namun dikembalikan untuk dilengkapi. Sudah P-19. Selangkah lagi lengkap (P21). Sedangkan BAP kasus Batu Gosok belum.

Bayangkan, tersangkanya belum ditetapkan (masih sebagai calon), tapi BAP-nya sudah dilimpahkan. Ini hukum acara dari planet mana? Pelimpahan BAP mengharuskan tersangka sudah ditetapkan (bukan calon tersangka!). Pemeriksaan tersangka inilah yang di-berita-acara-kan. Dan berita acara inilah yang dilimpahkan ke jaksa.

Tidak mungkin kapolres tidak pahami ini. Ia paham. Lalu, kenapa ia berlagak bodoh? Patut dapat diduga, ia sedang ‘melindungi’ orang besar: si mantan bupati dan investor. Kenapa pihak yang bentuk pelanggarannya jelas ini harus ia ‘lindungi’? Tidak perlu dijawab.

Ini sekadar catatan bagi perjuangan elemen civil society di Manggarai yang sedang mendesakkan penyelesiaan segera kasus SJA. Polres Manggarai perlu terus dikontrol dan didesak. Militansi gerakan perlu diperkuat. Berani tetap bertekad di bawah bayangan kegagalan. Berani tetap bertindak di bawah ancaman kekecewaan. Militansi selalu berarti komitmen. Selamat berjuang!

“Bentara” FLORES POS, Senin 13 Desember 2010

11 Desember 2010

Pidanakan Polisi Itu!

Penganiayaan Warga di Nagekeo

Oleh Frans Anggal

Pegawai pada Kantor KPU Nagekeo Karolus Boromeus Seda dianiaya anggota Polres Ngada Piter Tefa di Mapolsek Aesesa, Rabu 8 Desember 2010. Paginya, korban ditilang aparat polsek karena tidak mengenakan helm. Sepeda motornya ditahan. Siangnya ia ke mapolsek untuk selesaikan kasus penilangan. Saat itulah ia dianiaya pelaku (Flores Pos Jumat 10 Desember 2010).

“Dia tanya saya, ‘Kau buat apa di sini dan kau orang mana?’ Saya jawab bahwa saya orang Aeramo dan datang karena tadi kena tilang,” tutur korban. Saat ia menyebut asal Aeramo, pelaku meninju pelipis dan bibirnya hingga berdarah. Pelaku lalu menanyakan SIM korban. Korban perlihatkan. Eh, pelaku meninju lagi bagian belakang korban.

Kita tidak tahu motif penganiayaan ini. Tampaknya tidak ada kaitan dengan penilangan. Boleh jadi, ada sesuatu di atau dengan Aeramo, wilayah asal korban. Sebab, saat korban menyebut Aeramo, pelaku melepaskan tinju. Ada apa di atau dengan Aeramo sehingga seorang anggota polisi bernama Piter Tefa begitu sensitif mendahulukan otot ketimbang otak? Kita tidak tahu. Mudah-mudahan proses selanjutnya bisa menjawab pertanyaan ini.

Satu hal yang sudah jelas, Piter Tefa bukan aparat Polsek Aesesa. Ia anggota Polsek Riung, bertugas di wilayah perbatasan Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur. Ia ke wilayah Polsek Aesesa untuk mengambil gajinya di BRI Aesesa. Kedatangannya ke sini tanpa sepengatahuan atau seizin atasannya di Riung. Dia polisi bolos. Sudah bolos dari Polsek Riung, berlagak bertugas pula di Polsek Aesesa, menginterogasi pelanggar tiblantas.

Tidak hanya itu. Sudah bolos dan berlagak bertugas, menganiaya orang pula. Jadi, tidak hanya lakukan tindak indisiplin, dia juga lakukan tindak pidana. Dua tindakan ini berbeda ranahnya. Maka, seharusnya pula berbeda pemrosesan dan sanksinya. Yang pertama itu harus berujung pada sanksi indispliner. Yang kedua itu harus berujung pada sanksi pidana.

Ini perlu kita tekankan. Sebab, pada banyak kasus, kesalahan selalu direduksi menjadi kesalahan indisipliner saja. Maka, yang dilakukan cuma sidang kode etik internal. Paling lama hukumannya dua minggu. Kualitas kejahatan dari kesalahan itu tidak dilihat. Ini salah satu faktor mengapa budaya kekerasan tetap terpelihara dalam tubuh kepolisian.

Kita berharap Polres Ngada lebih maju. Tampaknya ada harapan, dari pernyataan Kapolres Muhamad Slamet. Ia menyatakan kecewa dengan tingkah laku anak buahnya. “Saya akan sikapi dan nanti saya minta Kapolsek Aesesa tahan dia. Kita akan proses.” Janji ini diperkuat pernyataan Wakapolres Ardian Mustakim. Dia meminta agar segera dibuat laporan polisi dan visum.

Selanjutnya? Hukuman disiplin saja tidak cukup. Seharusnya kapolres merekomendasikan proses lebih lanjut secara pidana. Hukuman administrasi tidak lengkap tanpa pertanggungjawaban pidana. Sanksi pidananya pun harus lebih berat daripada sanksi bagi pelaku pidana biasa. Sebab, polisi itu penegak hukum, yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat.

Dengan begitu, selain keadilan akan benar-benar ditegakkan dan tidak pandang bulu, langkah ini akan membawa efek jera kepada pelaku dan efek cegah kepada segenap anggota polres. Dengan itu pula, citra polres akan terangkat. Legitimasi polres di mata publik semakin kuat.

Di sisi lain, korban Karolus Boromeus Seda perlu proaktif memperjuangkan haknya atas keadilan. Rekannya di KPU Nagekeo kiranya memberi dukungan. Keadilan harus ditegakkan. Polisi harus diluruskan. Demi itu, berjuanglah!

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 11 Desember 2010

10 Desember 2010

Serise, Jangan Takut!

Kasus Tambang Mangan di Manggarai Timur

Oleh Frans Anggal

Inilah kondisi hari-hari terakhir di Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Warga kembali mengerjakan kebun sambil tetap memantau lingko Rengge Komba milik mereka yang sebelumnya ditambang oleh PT Arumbai Mangabekti untuk eksploitasi dan prosesing mangan (Flores Pos Kamis 9 Desember 2010).

Langkah ini diambil warga setelah ada jaminan dari kepolisian bahwa pihak Arumbai tidak masuk lagi ke areal hak ulayat masyarakat. Demikian pula prosesing mangan tidak dilakukan lagi di tengah permukiman. Sebelumnya, karena ruang hidup mereka dicaplok Arumbai, warga menduduki dan memagari lokasi selama dua minggu. Penambangan dan pengapalan material mangan terhenti. Jumat 3 Desember 2010, polisi membongkar paksa pagar di lokasi.

Dengan adanya tindakan itu dan jaminan lokasi sengketa bebas dari aktivitas tambang, warga kembali berkebun. Pengangkutan dan pengapalan material tambang kembali normal. Sedangkan proses hukum jalan terus. Senin 6 November 2010, tua teno Serise Sipri Amon, tua panga Kasmir Brodus, Romo Charles Suwendi Pr dari JPIC Keuskupan Ruteng, serta Pater Matheus Batubara OFM dan Emil Sarwandi dari JPIC OFM Flores melaporkan dugaan tindak pidana Arumbai ke Polres Manggarai. Diterima langsung oleh Kapolres Hambali.

Ini langkah awal yang adil. Lokasi sengketa di-status-quo-kan, sambil menunggu penyelesaian secara hukum. Ada semacam moderasi di areal sengketa dari kedua belah pihak. Serise mengakhiri pendudukan dan pemagaran. Arumbai mengakhiri penambangan dan prosesing mangan. Meski hanya sementara, ini lebih adil dan karena itu lebih kondusif bagi penyelesaian masalah ketimbang skenario ala Pemkab Manggarai Timur.

Pemkab menginginkan gendang Serise dan gendang Satarteu selesaikan secara adat sengketa kepemilikan lingko Rengge Komba. Ini bertolak dari tesis pemkab bahwa masalah itu masalah tanah, bukan masalah tambang. Dengan kata lain: masalah Serise vs Satarteu, bukan Serise vs Arumbai. Kalau tesis ini diterima, kondisi seperti di atas tidak bakal tercipta. Kenapa?

Pertama, yang akan terjadi adalah irasionalitas. Sebab, kalau ini masalah Serise vs Satarteu, maka kedua gendang harus selesaikan, entah ke dalam (adat) atau ke luar (hukum). Fakta: antara Serise dan Satarteu tidak ada masalah. Lingko Rengge Komba itu milik Serise. Bagaimana mungkin dua pihak yang tidak bersengketa diminta menyelesaikan sesuatu yang tidak sedang mereka persengketakan. Ini menghina akal sehat.

Kedua, yang akan terjadi adalah ketidakadilan. Sebab, kalau ini bukan masalah Serise vs Arumbai, maka Arumbai menambang terus. Menambang di Lingko Rengge Komba milik Serise. Lingko yang tidak pernah Serise izinkan atau serahkan kepada Arumbai untuk ditambang. Penambangan itu merusakkan dan menghilangkan ruang hidup mereka. Kalau menambang terus, jelas Arumbai untung terus, sebaliknya Serise buntung terus.

Inikah yang diinginkan pemkab? Entahlah. Namun, yang jelas, inilah implikasinya kalau tesis pemkab diterima. Untung, masyarakat Serise menolaknya. Selain karena jujur, mereka cerdas. Kita bangga. Tapi juga kita sedih. Serise diterlantarkan. Oleh pemkab, dengan tesisnya itu. Juga oleh DPRD, yang terkesan satu tesis dengan pemkab.

Diterlantarkan, namun Serise tidak sebatang kara. JPIC dampingi mereka. Uskup kunjungi mereka. Di zaman emas teknologi komunikasi, derita mereka cepat menyapa wajah banyak orang, menyentuh hati banyak orang, menggerakkan kepedulian banyak orang. Mereka tidak sendirian. Jangan takut!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 10 Desember 2010

09 Desember 2010

Hentikan PPJ di Ende

Satu Tahun Lebih Ende Kota Gelap

Oleh Frans Anggal

Kalangan DPRD Ende meminta pemkab hentikan pungutan pajak penerangan jalan (PPJ) hingga semua lampu jalan kota berfungsi kembali. "Untuk apa masyarakat membayar PPJ setiap bulan kalau mereka tidak menikmati penerangan jalan pada malam hari," kata Sudrasman Arifin Nuh dari Partai Bulan Bintang, Minggu 5 Desember 2010 (Flores Pos Senin 6 Desember 2010).

Menurut Achmad Alhabsyi dari Partai Bintang Reformasi, PPJ yang dipungut melalui rekening listrik para pelanggan per bulan mencapai Rp80 juta. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memperbaiki lampu jalan yang rusak. "Sudah sepatutnya masyarakat menuntut haknya menikmati penerangan jalan. Karena kewajiban mereka sudah dilaksanakan."

Kita berusaha untuk mengerti. Ini pajak, bukan retribusi. Kalau retribusi, imbalannya langsung dan seimbang dinikmati pembayar. Pajak, tidak. Mungkin pemkab ‘bermain’ di sini. Karena dalam pajak itu imbalan kepada pembayar tidak harus langsung dan tidak harus seimbang maka ketidaklangsungan dan ketidaksembangan itu dibikin berlama-lama.

Masyarakat mengeluh. DPRD menggonggong. Kafilah pemkab tetap berlalu. Pada batas tertentu, kita paham. Tapi kalau kelamaan, itu keterlaluan. Di Ende, kondisinya sudah berlangsung satu tahun lebih. Kota yang katanya “sare pawe” ini menjadi kota gelap di malam hari.

Asisten Tata Praja Setda Abdul Syukur, dalam tanggapannya, tidak menjelaskan apa masalahnya. Dia cuma bilang pihaknya sedang mengkaji kemungkinan kerja sama dengan swasta mengelola lampu jalan dalam kota. Pihaknya akan mendata semua kerusakan dan melakukan perbaikan sebelum diserahkan kepada perusahan swasta. Kerja sama dengan pihak swasta sebelumnya pernah dilakukan, namun dihentikan.

Mengapa? Tak ada penjelasan. Pada titik ini, selaku pembayar pajak, kita berhak menduga ada yang tidak beres. Bukan tanpa dasar. PPJ adalah salah satu jenis pajak yang paling rawan penyelewengan. Besarannya didasarkan pada dua komponen, yakni biaya tarif beban dilihat dari jumlah pelanggan dan biaya pemakaian listrik dilihat dari besar pemakaian (kwh).

Dengan dua komponen itu, penerimaan PPJ per bulan bisa fluktuatif. Namun, dalam praktinya, pemkab menyusun perkiraan penerimaan berdasarkan target. Jadi, PPJ Rp80 per bulan itu hanyalah angka target, bukan angka riil akumulasi pungutan. Nah, selisihnya ke mana dan untuk apa?

Soal selisih yang jauh dari pentauan publik ini saja sudah bisa jadi masalah. Apalagi soal kasat mata gelap gulitanya kota Ende selama setahun lebih. Pertanyaan kita: PPJ Rp80 juta per bulan selama setahun lebih itu ke mana saja? Patut dapat diduga, dana ini dialihkan untuk pengeluaran pemkab yang tak ada kaitan dengan penerangan jalan. PPJ digunakan hanya sebagai alat budgeter, pengumpul uang, untuk belanja lain.

Kalau benar begitu, ini tidak benar. Anehnya, masyarakat mengeluh lalu sepi. DPRD mengangkat di sidang paripurna dan membuat pernyataan pers lalu senyap. Padahal, ketimbang menggagas pansus kasus kebakaran kantor dinas PPO yang sarat muatan politik itu, lebih penting, mendesak, dan berguna secara langsung bagi masyarakat kalau gelapnya kota Ende itulah yang dipansuskan.

Masyarakat dan elemen civil society perlu beri dukungan. Usulan kalangan DPRD tepat dan adil. Hentikan dulu pembayaran PPJ, sampai semua lampu jalan kota menyala. Pada titik pemkab tetap tidak peduli, kita lakukan boikot. Ke PLN, kita cukup bayar rekeningnya. Bayar PPJ-nya kita tolak.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 9 Desember 2010

06 Desember 2010

Serise dan Legalitas Itu

Kasus Tambang Mangan PT Arumbai

Oleh Frans Anggal

Polres Manggarai menurunkan satu peleton pasukan ke Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Tujuannya, melakukan pendekatan sekaligus amankan lokasi tambang mangan PT Arumbai. Sudah dua minggu warga Serise menduduki lokasi. Karyawan tambang tidak bisa bekerja karena lokasi dipagari warga. Demikian pula dengan pengapalan material, macet (Flores Pos Sabtu 4 Desember 2010).

Menurut Kapolres Hambali, sejauh ini polisi masih gunakan pendekatan persuasif. Namun ini tidak bisa tanpa batas waktu. Batas waktu itu pun tiba. Jumat 3 Desember 2010, polisi membongkar paksa pagar di lokasi. Tua teno Serise Siprianus Amon dibawa ke Ruteng untuk dimintai keterangan, didampingi dua staf JPIC OFM Flores Emil Sarwandi dan Marianus Kisman. Hari itu juga, mereka diantar pulang ke Serise oleh dua polisi.

Dengan aksi polisional ini maka, pertama, pemagaran dan pendudukan lokasi telah berakhir. Kedua, pengangkutan dan pengapalan material tambang kembali normal. Namun, berakhirnya pemagaran dan pendudkan lokasi serta kembali normalnya pangangkutan dan pengapalan material tambang bukanlah pertanda selesainya persoalan.

Pertanyaannya: persoalan ini persoalan apa? Versi pemkab, ini persoalan tanah dan statusnya serta kaitannya dengan hak-hak adat. Bukan persoalan tambang. Tanah lokasi tambang ini sesungguhnya milik siapa: gendang Serise ataukah gendang Satarteu? Ini akarnya. ''Akar masalah (ini) harus diselesaikan. Setelah itu, baru langkah berikut, tidak bisa lompat,'' kata Bupati Yospeh Tote.

Versi Serise, ini bukan hanya persoalan tanah. Ini persoalan tambang juga. Fakta kasat mata bahwa penambangan itu dilakukan di atas tanah (bukan di atas langit) dan tanah itu ditambang (bukan dikebuni) sudah terlalu jelas untuk menunjukkan bahwa ini bukan hanya masalah tanah, tapi masalah tambang juga.

Sebagai masalah (tanah yang ditambang dan/atau penambangan di atas tanah), yang dihadapi Serise bukan Satarteu. Bukti paling konkret dan aktual, pembongkaran paksa pagar oleh polisi. Atas permintaan siapa dan demi kepentingan siapakah polisi lakukan tindakan itu? PT Arumbai! Bukan Satarteu! Ini bukti, pihak yang dihadapi Serise bukan Satarteu tapi Arumbai.

Serise sudah katakan, antara Serise dan Satarteu tidak ada masalah. Orang Satarteu tahu dan akui lingko Rengge Komba itu milik Serise. Dan Serise tidak pernah menyerahkan tanah itu kepada Arumbai untuk ditambang. Bahwa ada sekelompok orang Satarteu yang mengklaim tanah itu milik Satarteu dan lalu menyerahkannya kepada Arumbai untuk ditambang, itu tidak diketahui Serise. Itu transaksi gelap.

Bahwa transaksi itu berdokumen lengkap, apa sih sulitnya. Lengkap tidak berarti benar. Dokumen yang “fit” (layak) belum tentu dokumen yang “proper” (patut). Fit mengarah pada yang teknis. Proper mengarah pada yang etis. Fit menunjuk muatan formal. Proper menunjuk muatan moral. Fit lebih bernuansa legal (legalitas). Proper lebih bernunsa legitimate (legitimasi).

Polres Manggarai, dalam tindakannya, berdasarkan laporan dan dokumen yang disodorkan Arumbai, hanya melihat yang fit itu. Kapolres katakan, penambangan di lokasi itu legal. Arumbai miliki legalitas dari negara. Tanpa legalitas, perusahaan itu tidak bisa menambang di lokasi itu.

Itu cara pandang polisi. Apakah begini juga cara pandang pemkab? Legalitas saja cukup, tanpa legitimasi?

“Bentara” FLORES POS, Senin 6 Desember 2010

04 Desember 2010

Selamatkan Lembata!

Rekayasa Konflik Horizontal Pro-Kontra Tambang

Oleh Frans Anggal

Massa dari Kedang yang hendak lakukan demo dukung ranperda RTRW Lembata, diadang dan diusir di Lewolein oleh warga tiga desa pesisir Kecamatan Lebatukan, Rabu 1 November 2010. Ribuan warga dari Desa Tapobaran, Tapolangu, dan Dikesare memaksa 60-an orang yang mengendarai 4 mobil dan 20 sepeda motor itu kembali ke Kedang (Flores Pos Kamis 2 Desember 2010).

Massa dari Kedang itu gagal bergabung dengan 20-an anggota Forum Lembata Bersatu untuk Pembaruan (FLBP) pimpinan Samsudin Botung Raba yang hari itu berdemo di Lewoleba. FLBP mendesak DPRD teruskan pembahasan ranperda RTRW serta tidak gugurkan pasal 50 yang memuat frasa “mineral, logam, dan radioaktif”. Desakan FLBP berlawanan dengan desakan demo 2.000-an massa tolak tambang pada Rabu 24 November.

Pengadangan dan pengusiran itu terjadi siang hari. Sore harinya, sekelompok pemuda di Desa Dikesare memukul berdarah Rusdi Wakong, Kades Balauring, Kecamatan Omesuri, yang sedang menuju Lewoleba (Flores Pos Jumat 3 Desember 2010). “Saya tidak ada urusan dengan tambang,” kata Rusdi Wakong. “Saya ke Lewoleba untuk urusan di kantor pengadilan agama dan bagian hukum setda untuk urusan APBD desa.”

Meski dibantahnya, pemukulan itu ada kaitan dengan tambang. Ada kaitan dengan pengadangan dan pengusiran massa dari Kedang. Dalam kaitan dengan ini, Rusdi Wakong membuat pernyataan yang melecehkan. Dia bilang, “Jangan bicara dengan masyarakat Lewolein yang bodoh. Orang mau demo, mereka hadang.” Kata-kata ini membuat warga marah dan memukulnya.

Apa yang terjadi ini tampak sebagai konflik horizontal antar-masyarakat. Sesungguhnya tidak. Ini konflik antara elite politik dan masyarakat. Konflik antara pemkab ngotot tambang dan masyarakat adat tolak tambang. Konflik ini dilemparkan ke masyarakat agar seolah-olah konflik horizontal.

Berkat pendampingan dan penyadaran oleh elemen civil society, masyarakat adat tolak tambang kini miliki tiga kekuatan: solidaritas, soliditas, dan militansi. Kekuatan ini tidak bisa ditembus oleh bupati dan sebagian DPRD pendukung tambang. Sosialisasi tambang selalu gagal. Ini bikin pemkab frustrasi. Betapa tidak, uang jaminan kesungguhan dari investor bernilai miliaran rupiah sudah mereka terima, sementara jaminan keberterimaan tambang di masyaakat kosong melompong.

Gagal di sosialisasi, jalan lain bagi tambang pun ditempuh. Jalan regulasi. Melalui ranperda RTRW. Jalan ini pun mendapat perlawanan keras dari masyarakat tolak tambang. Demo Rabu 24 November 2010 memperlihatkan itu. Sekitar 2.000-an massa, sebagian besar ibu-ibu, menolak pasal krusial ranperda. Ini demo terbesar. Tamparan bagi bupati dan sebagian anggota DPRD.

Apa reaksi pemkab? Mudah ditebak. Kedok ini disingkap oleh Pater Marselinus Vande Raring SVD. Demo ya dibalas demo juga. Ia menyebut demo FLBP pada Rabu 1 November 2010 itu sebagai demo tandingan. Demo itu dibiayai oleh pemkab Lembata dan oknum anggota dewan pendukung tambang.

Melihat fenomena ini, Pater Vande mengajak masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh hasutan memecah belah. Ajakan yang tepat. Kita khawatir dengan fenomena terakhir ini. Setelah sosialisasi tambang ke masyarakat itu gagal, dan ranperda RTRW jalan masuk tambang itu kandas, pertarungan kini dilemparkan ke masyarakat, seolah-olah konflik horizontal.

Yang kita khawatirkan, yang seolah-olah ini akan menjadi yang sungguh-sungguh. Apalagi kalau sudah mulai dengan aroma sentimen agama. Ini sudah kejahatan. Lembata perlu segera diselamatkan.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 4 Desember 2010

03 Desember 2010

Kabar Baik bagi Lemelera

DPRD Janjikan Perda Lindungi "Ola Noe"

Oleh Frans Anggal

Ratusan warga Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, datangi DPRD di Lewoleba, Senin 29 November 2010. Mereka minta pemerintah buat perda yang bisa lindungi budaya penangkapan ikan paus di Lamalera (Flores Pos Selasa 30 November 2010).

Dari Lamalera, Minggu pagi (28/11), mereka seberangi laut menuju Lewoleba, gunakan pledang (perahu penangkapan ikan paus). Tiba di Lewoleba sore hari. Mereka bermalam di pantai. Senin pagi (29/11) mereka berkaki 1,5 km ke DPRD.

Kelelahan mereka tak sia-sia. Jawaban DPRD melegakan. Ketua dewan Yohanes de Rosari meminta mereka tidak resah. UU Nomor 27 Tahun 2007 mengakui budaya masyarakat setempat. Nanti akan diatur lebih konkret dalam perda tentang zona pesisir dan kepulauan. Anggota dewan Bediona Philipus janjikan perda itu tidak akan menjadi batu sandungan bagi Lamalera.

Mendengar ini, masyarakat menangis. Mereka serahkan cenderamata miniatur pledang kepada ketua DPRD. Ini tangisan lega kedua. Sebelumnya, mereka ‘menangis’ lega karena keputusan Manado mencabut Laut Sawu Zona II sebagai satu-satunya kawasan konservasi nasional melindungi ikan paus. Sebab, bila rencana pemerintah pusat ini tidak dicabut, “ola noe” tradisi penangkapan ikan paus yang merupakan mata pencaharian satu-satunya dan turun-temurun masyarakat Lefo Lamalera akan hilang.

Hilangnya “ola noe” sama dengan hilangnya sumber ekonomi. Hilangnya “ola noe” juga berarti hilangnya budaya dengan nilai-nilai adiluhungnya. “Ola nue” sudah ada di Lamalera sejak tahun 1600-an. Nilai-nilai yang disangganya berjalin dengan nilai-nilai kristiani sejak masuknya Katolik di Lembata melalui Lamalera tahun 1886.

Paduan ini melahirkan budaya arif, yang tahu diri dan tahu batas. Masyarakat Lamalera sadar, ikan paus itu sumber nafkah. Ketersediaannya mesti dijaga. Maka, tangkapannya ukur-ukur, tidak serakah. Tidak di sembarang waktu. Tidak pula secara sembrono cari gampang dan cari untung ala orang ‘modern’ yang katanya ‘cerdas’. Penangkapan paus di Lamalera ditandai ritus adat dan agama.

Penangkapan berlangsung dari Mei (bulan Maria) hingga Oktober (bulan Maria). Selama enam bulan itu, Lamalera berdoa rosario. Sebelum melaut, 27-29 April dibuat upacara adat: persiapan lahir-batin dan rekonsiliasi. Pada 30 April, sore hari, misa mohon keselamatan arwah semua orang yang meninggal di laut. Pada 1 Mei, misa mohon keselamatan mereka yang akan melaut. Baru keesokan harinya, 2 Mei, mulai melaut. Lima hari seminggu. Sabtu dan Minggu istirahat. Hasil tangkapan dibagikan kepada semua warga kampung, mengutamakan para janda, yatim piatu, dan fakir miskin (“Bentara” Flores Pos Selasa 28 April 2009).

Kalau Anda ingin rasakan ejawantah konkret Pancasila---kesepakatan keindonesiaan yang makin tidak jelas itu---datanglah ke Lamalera. Ikuti seluruh rangkaian “ola noe” selama enam bulan. Semua butir Pancasila ada di sana. “Ola noe” adalah Pancasila yang hidup. Keindonesiaan sejati yang bertahan.

Apakah ini tidak perlu dikonservasi? Apakah konservasi versi WWF lebih hebat daripada konservasi ala Lamarera, yang sudah teruji dan terbukti ramah lingkungan selama empat abad? Jepang yang lebih moderen daripada kita justru mempertahankan sistem pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat. Kita yang syok modern ini mau sepak buang semua itu. Hmmm.

Dalam konteks ini, kita hargai sikap tanggap DPRD Lembata. Mereka jamin, perda tentang zona pesisir dan kepulauan tidak akan jadi batu sandungan bagi “ola noe” di Lamalera. Bagus. Ini kabar baik bagi Lamalera.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 3 Desember 2010

02 Desember 2010

Ketika Uskup ke Serise

Luar Biasa bagi Warga Korban Tambang

Oleh Frans Anggal

Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng mengunjungi warga Serise, Minggu 28 November 2010. Ia berada di tengah mereka, bersama mereka. Ia pimpin ibadat ekologis singkat dan menanam pohon jati, simbol kehidupan, di areal lingkar tambang mangan PT Arumbai. Ia juga persembahkan misa arwah bagi 8 warga Serise bekas buruh tambang (Flores Pos Selasa 30 November 2010).

Hadir bersama uskup, 9 imam, 4 suster, tu’a teno Serise Sipri Amon, anggota DPRD Manggarai Timur (Matim) Pius Hamid, serta 400-an umat Katolik dan Protestan dari Reo, Luwuk, dan Satarteu.

Pesan uskup saat ibadah ekologis: alam ini diciptakan Tuhan baik adanya. Janganlah dirusak. Tanah ini harus dijaga. Pesannya saat misa arwah: “Kamu (warga Serise) harus mempertahankan hak kamu, dengan cara-cara damai dan tanpa kekerasan.”

Kesaksian anggota DPRD Pius Hamid: keadaan Serise sangat memprihatinkan. Lahan dan kebun warga rusak parah. Ruang hidup mereka hancur. Tidak benar ada masalah tanah antara Serise dan Satarteu. Orang Satarteu mengakui lingko Rengge Komba milik Serise. Ini bukan masalah tanah, tapi masalah tambang. Hancurnya ruang hidup masyaraat oleh eksploitasi mangan.

Pius Hamid mengingatkan tiga hal. Pertama, pemkab harus segera ambil sikap tegas terhadap perusahaan mangan. Tinjau lagi izin produksi PT Arumbai. Kedua, perusahaan harus reklamasi lahan yang sudah dirusak. Ketiga, semua komponen masyarakat harus kompak lakukan gerakan massal tolak tambang.

Peristiwa ini luar biasa. Pertama, warga Serise seperti menumukan oasis di tengah gersang gurun penelantaran oleh pemerintah. Berkali-kali mereka minta bupati datang untuk lihat langsung kerusakan lahan mereka. Untuk saksikan langsung derita mereka. Untuk dengar langsung keluh kesah dan jerit tangis mereka. Bupati tidak datang. Uskup, tidak diminta, datang. Ia punya hati. Hati sang gembala itulah oasis.

Kedua, di tengah sikap pemkab dan DPRD yang terkesan gamang, kehadiran Pius Hamid semacam oasis juga. Sehari sebelumnya, ketua DPRD datang bersama rombongan bupati, namun tidak ke Serise. Rombongan hanya sampai di Dampek, lalu minta warga Serise ke sana. Warga menolak. Warga memilih tetap di lokasi, di ruang hidup mereka yang sudah dirusak oleh tambang.

Ketiga, pesan Uskup Hubert dan pesan Pius Hamid saling melengkapi. Uskup berpesan ke dalam, ke warga Serise. Pius Hamid berpesan ke luar, ke pihak perusahaan, pemkab, dan komponen masyarakat. Ini semacam gerakan dwi-kiblat: ke dalam (sentripetal) dan ke luar (sentrifugal). Gerakan Sammlung und Sendung. Uskup Hubert meneguhkan “berkumpul di dalam”. Pius Hamid mengawali “mengirim ke luar”.

Keempat, ibadat ekologis di Serise nyambung dengan ritus adat yang digelar warga Serise sehari sebelumnya: takung ceki ali rewak lingko, rekonsiliasi dengan nenek moyang karena ibu bumi terluka. Di lokasi yang dirusakkan tambang, liturgi adat menyatu dengan liturgi gereja. Adat dan agama sehati sejiwa mengelilingi yang satu dan sama: altar kehidupan. Perjumpaan ini kekuatan rohani bagi masyarakat Serise dan warga Manggarai Raya. Ini modal spiritual dan moral perjuangan tolak tambang.

Kelima, ibarat ekologis dan misa arwah di Serise diselenggarakan pada hari Minggu pertama masa Adventus. Masa untuk meluruskan jalan yang bengkok dan meratakan tanah yang berlekak-lekuk, demi kedatangan Dia yang lama terjanji. Serise sedang ber-adventus. Menanti hari pembebasan. Harapan mereka tidak akan sia-sia. Banyak pihak akan bersama mereka. Berjuang bersama mereka.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 2 Desember 2010

01 Desember 2010

Fenomena “Tanda Kaki”

Prasasti Peresmian Desa di Flotim

Oleh Frans Anggal

Penjabat Bupati Flotim Muhammad S Wongso meresmikan desa baru, Desa Saosina, Kecamatan Adonara Timur, Jumat 26 November 2010. Pada kesempatan itu penjabat bupati menjejakkan tapak kaki kanannya di atas prasasti peresmian desa. Camat menjejakkan tapak kaki kiri. “Tapak kaki tersebut sebagai kenangan tak terlupakan bagi masyarakat Desa Saosina” (Flores Pos Senin 29 November 2010).

Sejauh diberitakan Flores Pos Januari-November 2010, ini peristiwa kedua di NTT. Sebelumnya, di Kupang. Dalam rangka kunjungan Presiden SBY dan ibu negara meresmikan Gong Perdamaian, pemkot membangun monumen di Taman Nostalgia. Anggarannya Rp1 miliar, dari APBD Perubahan 2010 yang belum ditetapkan tapi disetujui DPRD. Di taman ini dibangun pula Prasasti Tapak Kaki: tapak kaki gubernur, wabup, bupati, dan walikota se-NTT. Ini simbol perdamaian di NTT, kata Walikota Daniel Adoe (Flores Pos Kamis 22 Juli 2010).

Selain menelan dana yang duilah, prasasti ini janggal dalam simbolisasi. Kaki koq dijadikan simbol perdamaian. “Sejak kapan orang NTT berdamai pakai kaki? Sejak kapan ’jabat kaki’ menggantikan ’jabat tangan’?” kritik “Bentara” Flores Pos Jumat 23 Juli 2010.

“Simbol yang tepat: tapak tangan, yang ’menjulur’, ’menyambut’, bukan tapak kaki yang ’menginjak’. Apalagi tapak kaki pejabat. Mereka sudah tidak lagi berjalan kaki telanjang koq. Cocoknya: tapak sepatu! Dan itu bukan simbol perdamaian. Itu simbol penguasaan.”

Dalam hal simbolisasi, jejak tapak kaki pada prasasti peresmian Desa Saosina di Flotim lebih masuk akal. Fakta: penjabat bupati “menjejak” desa itu, kiasan untuk “mengunjungi”. Saosina adalah 1 dari 4 desa baru yang “dijejak”-nya untuk diresmikan. Desa baru lainnya: Latonliwo, Lelenbala, dan Lewomuda.

Yang jadi pertanyaan kita: mengapa perlakukan terhadap prasasti begitu berubah? Dulu, prasasti bikinan pemerintah cukup hanya ditandatangani pejabat. Tanda tangan itu kemudian dipahat jadi relief, selesai. Sekarang koq itu saja dianggap tidak cukup. Sudah ada “tanda tangan”, masih dianggap perlu lagi ada “tanda kaki”. Jadinya, prasasti peresmian Desa Saosina tidak hanya “ditandatangani” tapi juga “ditandakakii” oleh penjabat bupati.

Kenapa bisa begini? Apakah karena orang-orang pemerintah gemar nonton acara “Kick Andy” di Metro TV? Sehingga terinspirasi lakukan “kick pejabat” pada prasasti? Per definisi, prasasti adalah piagam, tulisan pada batu atau logam. Tulisan itu, kecuali pada orang cacat, selalu gunakan tangan. Untuk mengesahkannya, dibubuhlah tanda yang juga gunakan tangan. Itulah tanda tangan (Inggris: signature, Latin: signatura). Itu sudah cukup.

Tanda kaki hanya bikin prasasti jadi janggal. Pasasti itu piagam. Yang membedakannya dari piagam lain hanyalah mediumnya. Piagam lain gunakan wadah lunak (kertas dll), sedangkan prasasti gunakan wadah keras (batu atau logam). Keduanya sama-sama piagam. Kalau pada piagam lain, seperti ijazah, tanda kaki dinilai tidak pantas, lalu kenapa pada prasasti dianggap wajar?

Dengan kata lain, kita tidak temukan dasar rasional prasasti dibubuhi tanda kaki. Pada peristiwa “kick pejabat” di Desa Saosina, dasar itu dirumuskan indah. “Tapak kaki tersebut sebagai kenangan tak terlupakan bagi masyarakat Desa Saosina”.

Aha! Kenangan itu satu hal, peresmian desa itu hal lain. Kalau keduanya diabadikan pada prasasti berbeda, tidak jadi soal. Tapi kalau di-satu-prasasti-kan, ini bisa gawat. Lama-lama nanti surat-surat dinas di Flotim bisa disahkan pakai kaki. Redaksinya pun bisa diubah. “Yang bertanda kaki di bawah ini ….” Apakah tidak lucu?

“Bentara” FLORES POS, Rabu 1 Desember 2010

30 November 2010

Bupati Perlu ke Serise

Solusi Kasus Tambang di Matim

Oleh Frans Anggal

Setelah sepekan memagari dan menduduki lokasi tambang mangan di tanah adat (lingko) Rengge Komba milik mereka. warga Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Matim, menggelar ritus adat takung ceki ali rewak lingko, Sabtu 27 November 2010. Mereka korbankan seekor babi bagi nenek moyang karena lingko telah hancur oleh eksploitasi mangan (Flores Pos Senin 29 November 2010).

Ini ritus rekonsiliasi dengan roh nenek moyang (ceki). Dalam perasaan religius masyarakat adat, nenek moyang pasti marah. Anak cucu tidak tahu menjaga tanah warisan leluhur (mbate dise ame, redong dise empo). Mereka lengah dan lalai, sehingga tanah leluhur akhirnya diklaim oleh pihak yang tidak berhak dan dieksploitasi oleh pihak yang tidak pernah mereka serahi tanah itu untuk ditambang. Tanah itu kini terluka (rewak). Mereka telah berdosa terhadap leluhur dan alam. Mereka khawatir akan murka. Lewat kurban (takung) ini mereka mohon pengampunan, perdamaian, dan berkat untuk hidup selanjutnya.

Ritus dipimpin Siprianus Amon, dihadiri warga Serise, tu’a teno Weleng, tu’a teno Luwuk, tu’a teno Satarteu, dan Kades Satarpunda Bernabas Raba. Tu’a teno itu semacam kepala pertanahan dalam adat. Kehadiran mereka, terutama tu’a teno Satarteu, merupakan pengakuan bahwa lingko Rengge Komba milik Serise, bukan milik Satarteu. Selama ini PT Arumbai selalu beralasan, penambangannya sah karena telah direstui warga Satarteu selaku pemilik lingko.

Menurut Pater Mateus Batubara OFM dari JPIC OFM Indonesia, semua tua adat yang hadir menegaskan, lingko Rengge Komba milik Serise. “Tua-tua adat yang omong hari ini bukan sembarangan. Mereka tahu sejarah. Pertahankan hak ini!” tandas Kades Satarpunda Bernabas Raba.

Hadirnya 7 tua adat Satarteu dalam ritus ini semakin memberi pengukuhan. Sekaligus, menunjukkan bahwa antara Serise dan Satarteu tidak ada masalah. “Pihak-pihak lain saja yang mencari-cari cara untuk membenturkan Serise dengan Satarteu,” kata Pater Mateus.

Pernyataan ini penting. Pertama, PT Arumbai selalu beralasan penambangan di Rengge Komba sah karena telah direstui warga Satarteu sebagai pemilik lingko. Ini bisa berdampak---kalau tidak dikatakan bertujuan---melahirkan konflik horizontal antar-masyarakat adat. Tidak mengejutkan. Ini laku umum pertambangan di Indonesia. Devide et impera. Pecah-belahkan dan kuasai.

Kedua, Bupati Yoseph Tote barusan membuat pernyataan bahwa masalah di Serise itu bukan masalah tambang, tapi masalah tanah (Flores Pos Kamis 25 November 2010). Ini bisa berbahaya. Di satu sisi meluputkan PT Arumbai dari tanggung jawab dan tanggung gugat, di lain sisi membenturkan Serise dengan Satarteu. Yang pertama itu merusak keadilan. Yang kedua itu merusak kedamaian. Sedangkan PT Arumbai boleh terus merusak lingko.

Ini dasar mengapa warga Serise menolak datang ke Dampek untuk hadiri pertemuan dengan PT Arumbai dan tua adat Satarteu yang difasilitasi bupati. Mereka kecewa dengan cara wawas pemkab yang buntungkan mereka dan untungkan PT Arumbai. Kalau kasus Serise sekadar masalah tanah dan bukan masalah tambang maka konsekuensinya jelas: penambangan boleh jalan terus. Ini yang mereka tolak. Mereka justru mendesak penambangan dihentikan.

Bupati perlu memahami gejolak hati dan pikiran masyarakat Serise. Derita, kecemasan, dan harapan mereka hanya bisa terekam baik kalau bupati menangkap langsung dan lengkap atmosfer sikon empirik di lokasi sengketa. Bupati perlu ke sana. Sekaligus memenuhi permintaan warga. Datanglah, lihat langsung dan dengar langsung. Tidak cukup sampai di Dampek.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 30 November 2010

29 November 2010

Serise: Tanah & Tambang!

Mengkritisi Pernyataan Bupati Matim

Oleh Frans Anggal

Hampir sepekan warga Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Matim, duduki dan pagari lokasi tambang mangan di tanah adat Rengge Komba milik mereka. Ini mereka tempuh setelah berkali-kali mereka mengadu ke pemkab dan polres (Flores Pos Sabtu 7 November 2010).

Menurut Pater Simon Suban SVD dari JPIC SVD Ruteng, sudah 7 kali warga adukan PT Arumbai masuk lokasi tanpa persetujuan mereka. Berkali-kali mereka protes langsung ke PT Arumbai. Pada 23 November 2010 mereka laporkan ke polres penyerobotan oleh PT Arumbai dan Istindo Mitra Perdana.

Tidak ada tanggapan. Maka, mereka duduki dan pagari lokasi. Saat sudah begini baru muncul ke lokasi: kapolres, kadistamben, kasat pol PP, kaban kesbanglinmas. Mereka ajak warga ke Borong, ibu kota Matim, untuk cari solusi. Warga menolak. Warga tetap di tempat, tidur di lokasi.

Warga, 300-an orang, pernah ke Borong, Selasa 9 November 2010. Mereka memprotes eksploitasi mangan di tanah mereka. Saat itu DPRD janjikan wacana pembentukan pansus. Bupati janjikan pertemuan dengan pihak terkait. Janji belum terlaksana. Sementara, lahan warga tetap dieksploitasi. Artinya, perusahaan tetap diuntungkan, sedangkan warga tetap dibuntungkan. Ini tidak adil. Menunda pelaksanaan janji sama dengan menunda pemenuhan keadilan. Menunda pemenuhan keadilan sama dengan melanggengkan ketidakadilan.

Dalam konteks ketidakadilan itulah tindakan warga duduki dan pagari lokasi dapat dibenarkan secara moral, meski---dan itu pasti---dipersoalkan secara legal oleh perusahaan. Boleh dibilang, ini konflik yang legal vs yang moral. Dalam banyak kasus, yang legal kalahkan yang moral. Per-UU-an kalahkan keadilan. Huruf hukum kalahkan roh hukum.

Ini tidak boleh terjadi. Roh hukum harus diembuskan sebelum huruf hukum dituturkan. Keadilan harus ditegakkan sebelum per-UU-an diperbincangkan. Yang moral harus dimenangkan sebelum yang legal ditetapkan.

Maka, sambil menunggu penyelesaian sengketa, penambangan harus dihentikan. Meneruskan penambangan sama artinya dengan melanggengkan ketidakadilan. Tujuan warga duduki dan pagari lokasi justru itu. Untuk hentikan penambangan, hentikan pelanggengan ketidakadilan. Ini prasyarat penyelesaian masalah. Karena itu, pemkab dan polres jangan hanya desak warga tinggalkan lokasi. Desaklah juga perusahaan hentikan penambangan.

Dengan latar ini, pernyataan Bupati Yoseph Tote perlu dikritisi. Dia bilang, masalah pokok di Serise bukan masalah tambang tapi masalah tanah. Menanggapi pernyataan ini, “Senggol” Flores Pos Jumat 26 November 2010 nyeletuk, “O ya? Selama ini menambang di langit.”

Tanah dan tambang dalam kasus ini ibarat dua diagram yang bagiannya saling mencakup. Tambang itu di tanah (bukan di langit!), dan tanah itu ditambang (bukan dikebuni!). Bagaimana mungkin kasus ini hanya masalah tanah dan bukan masalah tambang? Selain tidak logis dan tidak realistis, dikotomi itu berkonsekuensi langgengkan ketidakadilan. Logikanya begini: karena ini bukan masalah tambangnya maka penambangan jalan terus, sedangkan warga harus tinggalkan lokasi untuk selesaikan masalah tanahnya.

Konskuensi seperti itu asimetris. Tidak adil. Perusahaan tetap untung, warga tetap buntung. Masalah Serise, ya masalah tanah, ya masalah tambang! Maka, sebelum diselesaikan, hentikan semua aktivitas di lokasi, baik penambangan maupun pendudukan dan pemagaran. Itu baru simetris. Itu baru adil. Keadilan hanya bisa ditegakkan dengan cara yang adil.

“Bentara” FLORES POS, Senin 29 November 2010

27 November 2010

Mengharukan & Menyedihkan

Demo Tolak Tambang di Lembata

Oleh Frans Anggal

Demo tolak tambang ke kantor bupati dan DPRD di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Rabu 24 November 2010, sungguh dramatis. Di satu sisi demo itu mengharukan. Di lain sisi demo itu menyedihkan.

Mengharukan. Jumlah demonstran 2.000-an. Tidak hanya berjumlah besar, aksi ini berdaya dukung luas. Demo tidak hanya libatkan masyarakat wilayah Kedang dan Leragere yang merupakan incaran tambang emas dan tembaga, tapi juga sertakan warga beberapa kecamatan. Para kades pun ikut beraksi. Demonstran bertahan dari siang hingga pukul 20.30.

Hal mengharukan ini menampakkan, betapa tolak tambang di Lembata telah jadi gerakan sosial masyarakat akar rumput. Gerakan sosial ini ditandai solidaritas, soliditas, dan militansi. Karena itu, masyarakat tidak sekadar berslogan ketika berpekik, “tolak tambang harga mati”, “tolak tambang sampai titik darah terakhir”. Hasilnya nyata. Sampai detik ini tambang belum masuk.

Ini buah perjuangan panjang sejak 2006. Selama itu, mereka berjuang sendirian dalam kebersamaan, dan berjuang bersama dalam kesendirian. Tidak hanya “tanpa” dukungan bupati dan DPRD, perjuangan mereka justru “melawan” bupati dan DPRD. Orang yang dulu mereka pilih dengan penuh harapan, kini mereka hadapi dengan penuh kekecewaan.

Perjuangan melawan arogansi penguasa ini adalah pertarungan. Ini perang. Dalam kultur masyarakat Flores-Lembata dan NTT umumnya, perempuan tidak turun ke palagan menghadapi musuh. Mereka cukup berada di fron paling belakang, memainkan peran domestik dan logistik. Kalau mereka sampai ikut ke medan laga, itu berarti mereka sudah tidak tahan.

Justru hal seperti inilah yang terjadi pada demo hari itu. Dari 2.000-an demonstran, mayoritasnya adalah perempuan, khususnya ibu-ibu. Dalam pandangan modern, sudah seharusnya perempuan turut berjuang tolak tambang. Sebab, pertambangan memicu kekerasan dan ketidakadilan terhadap mereka. Mereka kelompok paling rentan menghadapi dampak pertambangan. Mereka dijauhkan dari sumber penghidupannya semula. Pencemaran menyebabkan mereka mengalami masalah dalam sistem reproduksi.

Dalam pandangan tradisional---dan itulah yang terjadi pada demo di Lembata---bacaannya lain. Perempuan adalah personifikasi “kerahiman” yang terpaksa masuk ke ranah perjuangan “keadilan” tolak tambang yang secara kultural seharusnya hanya dipersonifikasikan laki-laki. Artinya apa? Di mata masyarakat tradisional itu, ngotot tambang eksekutif-legislatif Lembata sudah sangat bobrok. Sedemikian bobroknya sehingga memaksa perempuan ikut berdemo sambil membawa bekal dari kampung.

Pada titik ini, demo mengharukan itu adalah juga demo menyedihkan. Yang menyedihkan bukan ibu-ibu. tapi bapak-bapak, khususnya bapak bupati. Bapak DPRD mendingan, bersedia menemui demonstran. Bapak bupati tidak. Dia cuma kirim dua utusan: asisten satu setda dan kapolres. Makin menyedihkan, ternyata bapak bupati ini berbohong.

Via kapolres, kepada massa, dia bilang dia tidak pernah keluarkan surat izin tambang. Eh, selang beberapa jam, kepada utusan massa dia bilang, dia pernah keluarkan izin tambang. Dan, kepada wartawan dia akui, pemkab sudah terima Rp1,7 miliar dari PT Puku Afu Indah, anak perusahaan Merukh Enterprises, sebagai dana jaminan kesungguhan investor. Namun, katanya lagi, dana itu sudah dikembalikan. “Karena itu, untuk sementara kita sedang melakukan penangguhan perizinan penambangan kepada PT Puku Ufu Indah.”

Benarkah itu? Jangan-jangan ini pembohongan jilid dua.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 November 2010

26 November 2010

Demo Tolak Pasal Krusial

Tolak Tambang di Lembata

Oleh Frans Anggal

Sekitar 2-000-an massa menggelar aksi tolak tambang di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Rabu 24 November 2010. Mereka, warga dari Kecamatan Lebatukan, Kecamatan Kedang, dan beberapa kecamatan lain. Turut serta dalam aksi ini, empat kepala desa. Massa bergerak bersama beberapa elemen civil society seperti Barisan Rakyat Kedang Bersatu dan JPIC SVD (Flores Pos Kamis 25 November 2010).

Dalam pawai menuju kantor DPRD dan kantor bupati, mereka pekikkan yel dan bentangkan poster: tolak tambang harga mati. Dalam orasi, mereka tegaskan: tetap menolak tambang sampai titik darah penghabisan. Mereka mengecam pihak-pihak yang mencatut nama mereka mendukung tambang. Mereka meminta bupati dan DPRD tidak menjadi antek perusahaan tambang.

Di kantor DPRD, mereka mendesak agar pasal 50 dalam ranperda RTRW, yang memuat frasa “mineral, logam, dan radioaktif”, digugurkan. Di kantor bupati, mereka mendesak Bupati Andreas Duli Manuk menemui mereka. Bupati menolak dan hanya mengutus Asisten I Setda Nico Padji Liarian. Kepada wartawan, bupati katakan, “Mereka demo tolak tambang tidak relevan, tidak beralasan, dan demo kepada siapa?”

Ini mencengangkan. Seorang bupati tidak mampu melihat relevansi, alasan, dan sasaran demo yang sedang digelar warganya. Orang di luar Lembata, yang notabene bukan bupati, gampang koq melihat itu. Demo tolak tambang oleh 2.000-an massa itu relevan, beralasan, dan bersasaran jelas.

Relevan, karena menyangkut ranperda RTRW usulan bupati yang sedang dibahas DPRD. Ranperda itu memuat pasal krusial yang memudahkan masuknya tambang yang oleh masyarakat justru sudah ditolak. Mereka berdemo karena bupati dan sebagian DPRD masih ngotot tambang. Jadi, tidak hanya relevan, demo mereka beralasan. Demo kepada sapa? Ya jelaslah kepada bupati (pengusul ranperda) dan DPRD (pembahas ranperda).

Kalau benar bupati tidak mampu melihat relevansi, alasan, dan sasaran demo, itu salahnya sendiri. Dia cuma berani omong sama wartawan. Dengan demikian, dia tidak segera mendapat tanggapan dan jawaban atas apa yang dia nyatakan dan dia tanyakan. Seandainya dia berani temui massa, semuanya segera jelas.

Namun, akal sehat kita berteriak: tidak mungkin bupati tidak tahu! Kalau mau jujur, bupati tahu koq relevansi, alasan, dan sasaran demo hari itu. Patut dapat diduga, dia cuma berlagak tidak tahu. Untuk itulah dia ‘harus’ bertanya. Maka, pertanyaannya itu kedok kemunafikan, bukan tanda ketidaktahuan.

Bupati bikin sewot massa. Syukur, DPRD-nya tidak. Demonstran diterima baik oleh Wakil Ketua Dewan Yos Meran Lagour. Tanggapannya terhadap desakan agar gugurkan pasal krusial ranperda pun cukup bisa diterima oleh massa. Ada tiga pernyataannya yang patut disimak.

Pertama, jika pasal krusial tetap diakomodasi, maka kepentingan rakyat tetap diutamakan. Kedua, jika kehadiran massa ini representatif, maka tidak ada jalan lain bagi DPRD menolak tambang dan menggugurkan pasal krusial itu. Ketiga, jika masih ada perbedaan pendapat di kalangan DPRD, maka sampai kapan pun ranperda RTRW tidak bisa ditetapkan menjadi perda.

Ketiga pernyataan itu diawali kata “jika”. Bersifat kondisional. Kata kuncinya: kondisi, sebagai prasyarat. Maka, pesan bagi masyarakat tolak tambang: pilih yang mana. Kalau sudah pilih, ciptakanlah kondisinya. Selamat berjuang!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 November 2010

25 November 2010

Nagekeo: Parah Deh!

Menyoal Prosedur Lamaran CPNSD

Oleh Frans Anggal

Semua CPNSD Kabupaten Nagekeo 2010 diwajibkan mengirim lamaran melalui kantor pos terdekat. ”Lamaran dikirim melalui kantor pos untuk menghindari kontak langsung dengan petugas, yang bisa saja dianggap ada pilih kasih,” kata Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Aloysius Tiba (Flores Pos Senin 22 November 2010).

Apa tanggapan CPNSD? Mereka belum memberi tanggapan. Bisa dimengerti. Namanya juga calon, mereka terpaksa berlagak kerbau dicocok hidung. Ikut-ikut sa. Sebab, mereka tahu, bersikap kritis apalagi menantang dan menentang pada tahap seperti ini sama artinya dengan bunuh diri.

Belum adanya tanggapan CPNSD tidak berarti tidak adanya masalah. Anggota DPRD Nagekeo Marselinus Damara menilai prosedur melalui kantor pos tidak efektif. “Kantor pos Mbay ada di Mbay. Kantor bupati Nagekeo juga ada di Mbay. Kenapa (lamaran ke kantor bupati) harus diantar ke kantor pos lagi? Kecuali (bagi) mereka yang dari luar Mbay, (lamaran) bisa dikirim via kantor pos” (Flores Pos Rabu 24 November 2010).

Selain tidak efektif, cara seperti itu tidak efisien. “Bayangkan, pelamar yang berjubel itu pasti harus bayar (resi di kantor pos) tujuh ribu lima ratus (rupiah) per orang,” kata Damara. Dengan seribu pelamar saja, kantor pos memanen Rp7,5 juta. Kalau berkas harus bolak-balik karena belum lengkap, pemasukan kantor pos tentu berlipat.

“Hindari kesan bahwa sistem atau metode yang digunakan adalah komerisalisasi,” kata Damara. Betul. Sayangnya, kesan itu sudah tidak bisa dihindari. Kalau pada banyak daerah, pelamar hanya berurusan dengan toko untuk “habiskan” duit, pada seleksi CPNSD Nagekeo mereka harus “terkuras” lagi di kantor pos.

Tidak salah kalau dikatakan, prosedur ala Nagekeo ini contoh terbaik tentang pelayanan terburuk. Karakteristik ideal pelayanan publik adalah cepat, mudah, murah. Tak perlu diuraikan panjang lebar, kecuali bagi pelamar jauh, berurusan langsung dengan BKD akan lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah ketimbang melalui kantor pos. Langsung ke BKD bagi pelamar dekat merupkan pilihan rasional. Ini tidak. Main pukul rata. Semua harus via kantor pos.

Pukul rata ini semakin mengutakan kesan “komersialisasi”, meminjam istilah Marselinus Damara. Modus umumnya adalah bikin buntung supaya untung. Demi untung, maka prinsip pelayanannya: kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Kalau bisa dipermahal, kenapa harus dipermurah.

Kesan ini bertambah kuat karena argumentasi pemkab lemah. Dari penjelasan Sekretaris BKD Aloysius Tiba terungkap, tujuan pelamaran melalui kantor pos adalah untuk menghindari kontak langsung dengan petugas. Kontak langsung “bisa dianggap ada pilih kasih”.

Ini argumentasi parah. Pertama, pilih kasih tidak hanya bisa dibangun melalui kontak langsung. Bisa juga melalui kontak tidak langsung: via orang lain atau sarana komunikasi. Kedua, pilih kasih itu atribut yang dilekatkan pada orang BKD. Itu dosanya BKD. Kenapa dosa BKD harus didampakkan ke CPNSD? BKD yang bikin dosa, CPNSD yang pikul salib. Tidak adil.

Selain tidak adil, tidak rasional. Gatalnya di kepala, garuknya di kaki. Semestinya, struktur, sistem, mekanisme, dan budaya kerja di BKD itulah yang dibereskan. Wah, wah, parah deh!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 November 2010

24 November 2010

Di Balik Kebakaran Nage

Hormati Adat dan Berdayakan Masyarakat Adat

Oleh Frans Anggal

Akibat hubungan arus pendek, tiga rumah adat hangus terbakar di Kampung Nage, Desa Dariwali, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Kamis 18 November 2010. Ketiga rumah adat itu adalah Sao Sese Wali, Sao Pojo Molo, dan Sao Mue Zia. Turut terbakar, “ngadhu-bhaga” milik Suku Metu.

Ritus adat pemulihan dan tolak bala telah dilakukan pada Sabtu 20 November. Acara ini ditandai dengan “noza kaba”, penyembelihan kerbau korban. Acara dihadiri Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa. Tidak hanya hadir, bupati-wabup juga memberikan bantuan (Flores Pos Selasa 23 November 2010).

Bagi masyarakat adat, terbakarnya rumah adat dan simbol-simbol persekutuan bukanlah masalah kecil. Hangusnya semua perbendaharaan itu tidak hanya berarti hilangnya aset bersama, tapi juga dan malah terutama berarti terancamnya hidup persekutuan. Keterhilangan itu tidak hanya ancaman ekonomis, tapi juga dan terutama ancaman eksistensial.

Simaklah pernyataan Ketua Suku Metu, Andreas Molo, memaknai ikut terbakarnya “ngadhu-bhaga” mereka. “Kejadian seperti ini adalah isyarat bahwa ‘woe’ (suku) kami mau punah, karena ‘ngadhu-bhaga’ juga habis dimakan api. Akan tetapi, kami bertekad untuk berjuang membangun kembali, dan kami mohon bantuan dan uluran tangan pemerintah.”

“Ngadhu” dan “bhaga” merupakan monumen di tengah kampung, simbol eksitensi “woe” atau suku. Orang Ngada mengenal ungkapan, ”Ngadhu nee Bhaga tau rada go kisanata”. Dari jumlah “ngadhu” dan “bhaga”, dapat diketahui berapa jumlah suku dalam sebuah kampung. “Ngadhu” berupa tiang beratap, simbol laki-laki (lingga). Sedangkan “bhaga” berupa miniatur rumah berpintu terbuka, simbol perempuan (yoni).

Karena menyimbolkan sekaligus menandakan eksistensi suku maka hilangnya “ngadhu-bhaga” dianggap dan dirasakan seolah-olah sebagai hilangnya suku. Peristiwa yang menyebabkan hilangnya “ngadhu-bhaga”---dalam kasus di atas berupa hubungan arus pendek yang menimbulkan kebakaran---dipandang sebagai peristiwa chaostic, yang tidak hanya merusak harmoni tapi juga mengancam ekstensi suku.

Chaos tidak boleh dibiarkan berlangsung lama, baik berupa peristiwanya maupun akibat yang ditimbulkannya. Karena itu, tidak mengherankan, hanya berselang satu hari setelah kebakaran (18 November), masyarakat adat Kampung Nage langsung mengadakan ritus pemulihan dan tolak bala (20 November). Dari dasar dan tujuannya, ritus ini sesungguhnya ritus re-harmonisasi dan re-eksitensi suku. Ini ritus ‘kelas berat’. Maka, hewan korban yang pantas adalah kerbau.

Betapa suatu kehormatan, kebanggaan, penghiburan, dan peneguhan bagi warga suku dan warga kampung ketika Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa menyempatkan diri hadir dalam ritus ini. Selain berbagai bentuk bantuan yang telah diberikan Pemkab Ngada, kehadiran pemimpin tertinggi kabupaten ini memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat adat yang dirundung duka eksistensial.

Kita berharap, kepedulian yang diperlihatkan bupati-wabup yang dikenal sebagai paket Mulus ini menjadi tanda positif untuk kiprah pembangunan Ngada ke depan. Hormati adat. Berdayakan masyarakat adat. Jangan biarkan Ngada tergadai mudah dan murah. Belajarlah dari kontroversi eksplorasi pertambangan biji besi di Riung, yang merupakan catatan buruk di senjakala bupati terdahulu.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 November 2010