Luar Biasa bagi Warga Korban Tambang
Oleh Frans Anggal
Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng mengunjungi warga Serise, Minggu 28 November 2010. Ia berada di tengah mereka, bersama mereka. Ia pimpin ibadat ekologis singkat dan menanam pohon jati, simbol kehidupan, di areal lingkar tambang mangan PT Arumbai. Ia juga persembahkan misa arwah bagi 8 warga Serise bekas buruh tambang (Flores Pos Selasa 30 November 2010).
Hadir bersama uskup, 9 imam, 4 suster, tu’a teno Serise Sipri Amon, anggota DPRD Manggarai Timur (Matim) Pius Hamid, serta 400-an umat Katolik dan Protestan dari Reo, Luwuk, dan Satarteu.
Pesan uskup saat ibadah ekologis: alam ini diciptakan Tuhan baik adanya. Janganlah dirusak. Tanah ini harus dijaga. Pesannya saat misa arwah: “Kamu (warga Serise) harus mempertahankan hak kamu, dengan cara-cara damai dan tanpa kekerasan.”
Kesaksian anggota DPRD Pius Hamid: keadaan Serise sangat memprihatinkan. Lahan dan kebun warga rusak parah. Ruang hidup mereka hancur. Tidak benar ada masalah tanah antara Serise dan Satarteu. Orang Satarteu mengakui lingko Rengge Komba milik Serise. Ini bukan masalah tanah, tapi masalah tambang. Hancurnya ruang hidup masyaraat oleh eksploitasi mangan.
Pius Hamid mengingatkan tiga hal. Pertama, pemkab harus segera ambil sikap tegas terhadap perusahaan mangan. Tinjau lagi izin produksi PT Arumbai. Kedua, perusahaan harus reklamasi lahan yang sudah dirusak. Ketiga, semua komponen masyarakat harus kompak lakukan gerakan massal tolak tambang.
Peristiwa ini luar biasa. Pertama, warga Serise seperti menumukan oasis di tengah gersang gurun penelantaran oleh pemerintah. Berkali-kali mereka minta bupati datang untuk lihat langsung kerusakan lahan mereka. Untuk saksikan langsung derita mereka. Untuk dengar langsung keluh kesah dan jerit tangis mereka. Bupati tidak datang. Uskup, tidak diminta, datang. Ia punya hati. Hati sang gembala itulah oasis.
Kedua, di tengah sikap pemkab dan DPRD yang terkesan gamang, kehadiran Pius Hamid semacam oasis juga. Sehari sebelumnya, ketua DPRD datang bersama rombongan bupati, namun tidak ke Serise. Rombongan hanya sampai di Dampek, lalu minta warga Serise ke sana. Warga menolak. Warga memilih tetap di lokasi, di ruang hidup mereka yang sudah dirusak oleh tambang.
Ketiga, pesan Uskup Hubert dan pesan Pius Hamid saling melengkapi. Uskup berpesan ke dalam, ke warga Serise. Pius Hamid berpesan ke luar, ke pihak perusahaan, pemkab, dan komponen masyarakat. Ini semacam gerakan dwi-kiblat: ke dalam (sentripetal) dan ke luar (sentrifugal). Gerakan Sammlung und Sendung. Uskup Hubert meneguhkan “berkumpul di dalam”. Pius Hamid mengawali “mengirim ke luar”.
Keempat, ibadat ekologis di Serise nyambung dengan ritus adat yang digelar warga Serise sehari sebelumnya: takung ceki ali rewak lingko, rekonsiliasi dengan nenek moyang karena ibu bumi terluka. Di lokasi yang dirusakkan tambang, liturgi adat menyatu dengan liturgi gereja. Adat dan agama sehati sejiwa mengelilingi yang satu dan sama: altar kehidupan. Perjumpaan ini kekuatan rohani bagi masyarakat Serise dan warga Manggarai Raya. Ini modal spiritual dan moral perjuangan tolak tambang.
Kelima, ibarat ekologis dan misa arwah di Serise diselenggarakan pada hari Minggu pertama masa Adventus. Masa untuk meluruskan jalan yang bengkok dan meratakan tanah yang berlekak-lekuk, demi kedatangan Dia yang lama terjanji. Serise sedang ber-adventus. Menanti hari pembebasan. Harapan mereka tidak akan sia-sia. Banyak pihak akan bersama mereka. Berjuang bersama mereka.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 2 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar