Satu Tahun Lebih Ende Kota Gelap
Oleh Frans Anggal
Kalangan DPRD Ende meminta pemkab hentikan pungutan pajak penerangan jalan (PPJ) hingga semua lampu jalan kota berfungsi kembali. "Untuk apa masyarakat membayar PPJ setiap bulan kalau mereka tidak menikmati penerangan jalan pada malam hari," kata Sudrasman Arifin Nuh dari Partai Bulan Bintang, Minggu 5 Desember 2010 (Flores Pos Senin 6 Desember 2010).
Menurut Achmad Alhabsyi dari Partai Bintang Reformasi, PPJ yang dipungut melalui rekening listrik para pelanggan per bulan mencapai Rp80 juta. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memperbaiki lampu jalan yang rusak. "Sudah sepatutnya masyarakat menuntut haknya menikmati penerangan jalan. Karena kewajiban mereka sudah dilaksanakan."
Kita berusaha untuk mengerti. Ini pajak, bukan retribusi. Kalau retribusi, imbalannya langsung dan seimbang dinikmati pembayar. Pajak, tidak. Mungkin pemkab ‘bermain’ di sini. Karena dalam pajak itu imbalan kepada pembayar tidak harus langsung dan tidak harus seimbang maka ketidaklangsungan dan ketidaksembangan itu dibikin berlama-lama.
Masyarakat mengeluh. DPRD menggonggong. Kafilah pemkab tetap berlalu. Pada batas tertentu, kita paham. Tapi kalau kelamaan, itu keterlaluan. Di Ende, kondisinya sudah berlangsung satu tahun lebih. Kota yang katanya “sare pawe” ini menjadi kota gelap di malam hari.
Asisten Tata Praja Setda Abdul Syukur, dalam tanggapannya, tidak menjelaskan apa masalahnya. Dia cuma bilang pihaknya sedang mengkaji kemungkinan kerja sama dengan swasta mengelola lampu jalan dalam kota. Pihaknya akan mendata semua kerusakan dan melakukan perbaikan sebelum diserahkan kepada perusahan swasta. Kerja sama dengan pihak swasta sebelumnya pernah dilakukan, namun dihentikan.
Mengapa? Tak ada penjelasan. Pada titik ini, selaku pembayar pajak, kita berhak menduga ada yang tidak beres. Bukan tanpa dasar. PPJ adalah salah satu jenis pajak yang paling rawan penyelewengan. Besarannya didasarkan pada dua komponen, yakni biaya tarif beban dilihat dari jumlah pelanggan dan biaya pemakaian listrik dilihat dari besar pemakaian (kwh).
Dengan dua komponen itu, penerimaan PPJ per bulan bisa fluktuatif. Namun, dalam praktinya, pemkab menyusun perkiraan penerimaan berdasarkan target. Jadi, PPJ Rp80 per bulan itu hanyalah angka target, bukan angka riil akumulasi pungutan. Nah, selisihnya ke mana dan untuk apa?
Soal selisih yang jauh dari pentauan publik ini saja sudah bisa jadi masalah. Apalagi soal kasat mata gelap gulitanya kota Ende selama setahun lebih. Pertanyaan kita: PPJ Rp80 juta per bulan selama setahun lebih itu ke mana saja? Patut dapat diduga, dana ini dialihkan untuk pengeluaran pemkab yang tak ada kaitan dengan penerangan jalan. PPJ digunakan hanya sebagai alat budgeter, pengumpul uang, untuk belanja lain.
Kalau benar begitu, ini tidak benar. Anehnya, masyarakat mengeluh lalu sepi. DPRD mengangkat di sidang paripurna dan membuat pernyataan pers lalu senyap. Padahal, ketimbang menggagas pansus kasus kebakaran kantor dinas PPO yang sarat muatan politik itu, lebih penting, mendesak, dan berguna secara langsung bagi masyarakat kalau gelapnya kota Ende itulah yang dipansuskan.
Masyarakat dan elemen civil society perlu beri dukungan. Usulan kalangan DPRD tepat dan adil. Hentikan dulu pembayaran PPJ, sampai semua lampu jalan kota menyala. Pada titik pemkab tetap tidak peduli, kita lakukan boikot. Ke PLN, kita cukup bayar rekeningnya. Bayar PPJ-nya kita tolak.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 9 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar