27 Juni 2012

Bahasa Kita, Jati Diri Kita

Bedah Buku Alexander Bala Gawen

Oleh Frans Anggal


Kesibukan di Aula 2 FKIP Uniflor Ende sangat terasa jelang pukul 08.00, Sabtu 23 Juni 2012. Pagi itu Komunitas Kata PBSI menggelar bedah dan diskusi buku Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa, karya Alexander Bala Gawen.

Alexander Bala Gawen adalah dosen Uniflor, pengampu mata kuliah Teori Pembelajaran Bahasa, dan kini Ketua Program Studi PBSI. Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa  diterbitkan Nusa Indah, Ende,  2012, tebal 148 halaman. Buku yang merupakan materi kuliah Teori Pembelajaran Bahasa ini melewati sentuhan editor M. M. Sinta Wardani dan penyunting naskah Hendrik L. Kerans. Dicetak pada Moya Zam Zam Printika Yogyakarta.

Dalam kegiatan ini, mahasiswa PBSI terlibat penuh. Sebagian besar dari semester VI plus beberapa dari semester IV. Dalam kepanitiaan, misalnya, hanya ketuanya yang dosen, Suster Wilda CIJ, yang kini Sekretaris Program Studi PBSI. Sedangkan sekretarisnya mahasiswa, Adven A. Menzen, dibantu Polycarpus Mbu. Juru kamera Ivan Jehadan. Operator tayang Bartol Tolok. Penangan registrasi Stefin Bude. Konsumsi Irma dan Ilham, membantu dosen mereka Agus Berek.

Demikian pula yang berperan pada sesi bedah dan diskusi, sebagian besar mahasiwsa. MC,  Fransiskus Dena dan Eustakia Erlinda. Moderator Libertus Demu. Notulis Maria Liliornis Inas. Doa, Vivi dan Ona Maria Harti.

Dua dari lima pembahas juga mahasiswa: Yosef Pius Marianus Beoang (pembahas III) dan Elisabeth Valeria Puty (pembahs IV). Bersama moderator, keduanya duduk sederet dengan para dosen: Alexander Bala Gawen (penulis), Pius Pampe (pembahasa utama), M. M. Sinta Wardani (pembahas I), dan  Veronika Genua (pembahas II).

Suasana kegiatan ini serius tetapi santai. Sebelum ke inti, acara diawali nyanyi diiringi gitar oleh para mahasiwa. Saat jeda minum, mengantarai presentasi dan diskusi, para dosen “ditodong” untuk menyanyi. Tak terkecuali Alexander Bala Gawen. Ia pun mendendangkan “Bale Nagi” dari Flores Timur. Sinta Wardani dan Yohanes Sehandi mendapat giliran “dipaksa” berduet. Mereka melantunkan “Hatimu dan Hatiku”, tembang lawasnya Titiek Sandhora dan Muchsin Alatas.

Hangatnya bedah dan dikusi membuat waktu tiga jam mengalir tak terasa. Suster Wilda lega. Kegiatan ini berjalan sukes. Ini awal yang baik untuk kegiatan selanjutnya, bedah buku atau diskusi apa saja. Direncanakan, PBSI menggelar diskusi sekali sebulan.    

Jaga Idealisme

Selaku penulis buku, Alexander Bala Gawen mengantarkan presentasi “Pemerolehan versus Pembelajaran Bahasa, Menjaga Identitas Kita”.

Pemerolehan bahasa, katanya, merupakan fase yang terkait dengan budaya.  Melalui bahasa, kita dapat mengungkapkan segala sesuatu di sekitar kita. Secara teoritis, sejak lahir yang ditandai dengan tangisan, manusia sudah mengenal bahasa. Bahasa yang dikuasai sejak lahir inilah yang mendorong anak menguasai dunia.

“Oleh karena itu, dunia dikuasai dengan baik kalau orang menguasai bahasa. Orang yang mengenal banyak bahasa akan mengenal banyak ilmu pengetahuan.”

Ada dua evolusi besar dalam pemerolehan bahasa, katanya. Evolusi fisik dan evolusi bahasa. “Bagaimana secara teoritis berlangsungnya proses ini, semunaya ada dalam buku ini.” Bahwa apabila penguasaan bahasa itu baik pada umur pralinguistik maka anak akan lebih mantap menghadapi tugas-tugas kebahasaan yang lebih luas.

Karena itu, ia menekankan pentingnya peran orangtua, tanpa mengabaikan faktor lingkungan sosial. Bisa saja, anak yang sudah berbahasa santun dalam keluarga berubah menjadi anak yang berbahasa kasar akibat pengaruh lingkungaan.

Berbeda dengan pemerolehan bahasa yang diterima di dalam keluarga, pembelajaran bahasa diterima anak di dalam lingkungan sekolah dasar sampai batas ia masih ingin belajar bahasa. 

“Yang perlu diperhatikan, kita menjaga idealisme kita. Jati diri orang tampak dari bahasa yang ia gunakan. Secara sosial orang bisa berkonflik karena bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, idealisme dari bahasa kita perlu dijaga.”

Karena itu, ia menutup pengantarnya dengan mengutip filsuf analitika bahasa, Ludwig Wittgenstein. “Batas bahasaku, berarti duniaku. Segala sesuatu yang bisa dikatakan berarti bisa dikatakan dengan jelas. Bilamana seseorang tidak dapat berbicara, dia harus diam.”

Pendalaman

Mendalami buku ini, Pembahas I Sinta Wardani menyajikan “Menggagas Bahasa, Menggagas Kemanusiaan”.

“Mengapa makhluk infrahuman lain seperti gorila, orang utan, mamalia yang memiliki struktur biologis yang hampir sama dengan manusia, tidak mampu berbahasa?  Karena potensi biologis-psikologisnya tidak mendukung performa berbahasa. Bagaimana manusia berbahasa? Hal ini dibahas mendalam di dalam buku ini,” katanya.

Menurutnya, yang dipaparkan Alexander Bala Gawen dalam bukunya,  mengantar pembaca pada keunikan bahasa sebagai milik khas manusia.

Pembahas II Veronika Genua menyoroti hal yang lebih praktis, “Strategi Pembelajaran Bahasa”. Yakni usaha  sadar dan sengaja yang dilakukan untuk membelajarkan sebuah bahasa kepada orang lain yang dilakukan sistemis, sistematis, tersadari, dan terencana.

Ia mengingatkan suatu hal penting. “Pada strategi pemerolehan bahasa, anak-anak berbeda dengan orang dewasa.” Anak-anak identik dengan  bermain, bernyanyi, bercerita, dan mendongeng. Tujuannya, anak betah dan terpanggil untuk mempelajari bahasa. Yang diupayakan adalah belajar itu menjadi menyenangkan, belajar sambil bermain, dan pemberian motivasi untuk terus belajar.

Pembahas III Yosef Pius Marianus Beoang mengulas “Pemerolehan Bahasa”. Sedangkan Pembaas IV Elisabeth Valeria Puty menyelisik “Tahap Perkembangan Bahasa”.

Pujian

Setelah pendalaman oleh keempat pembahas, Pius Pampe memberikan penilaian selaku pembahas utama.

Ia menyampaikan apresiasi. Buku ini lebih banyak menampilkan original thinking atau pemikiran asli si penulis. Ini hal terpuji, tidak sekadar memindahkan pikiran orang lain.

Tak lupa ia memberikan beberapa catatan. Antara lain, tentang pemerolehan bahasa. “Betul ada banyak teori. Yang belum mucul, teori gelombang.” Perlu ditampilkan juga sejarah ilmu bahasa, karena hal itu terkait dengan teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa. “Kalau ada ilmu bahasa, pasti ada filsafat bahasa. Di dalam buku ini, pendapat filsuf Ludwig Wittgenstein belum terlalu muncul, yakni tentang logika bahasa, penamaan, proposisi, dan pemaknaan.”

Mengingat pentingnya buku ini bagi mahasiwa PBSI maka selaku dekan FKIP, ia menyatakan buku ini wajib dimiliki mahasiswa. Ia juga mendorong para dosen giat menulis. “Sebentar lagi FKIP punya jurnal yang memiliki  ISBN.”

Masukan

Masukan disumbangkan antara lain oleh Pater Hendrik L. Kerans SVD, direktur Penerbit Nusa Indah, pada sesi diskusi. Menurutnya, buku ini belum diletakkan dalam tindakan komunikasi. Semestinya teori tindakan komunkasi dimasukkan.

Ia menyebutkan empat elemen penting dalam teori tindakan komunikasi. Pertama, menyampaikan sesuatu. Kedua, sesuatu yang disampaikan itu masuk akal. Ketiga, yang disampaikan itu diharapkan dimengerti. Keempat, sesuatu itu akhirnya dipahami bersama.

Turut menyumbangkan pendapat, Pater Amandus Klau SVD, editor Harian Umum Flores Pos. Ia antara lain menjelaskan fenomena bahasa penyair Sutardji Calzoum Bachri yang ditanyakan Yohanes Sehandi.      Sutardji melakukan dekonstruksi atau pembongkaran terhadap bahasa. Pater Amandus merujuk pada filsafat dekonstruksi Jacques Derrida. 

Banyak pertanyaan yang dilontarkan mahasiswa. Semuanya terjawab dengan memusakan oleh penulis, pembahas, dan floor. Kecuali dua pertanyaan ini. Pertama, pertanyaan tentang fenomena bahasa dukun (mantra) yang dilontarkan Yohanes Sehandi. Kedua, pertanyaan tentang bahasa dan pikiran yang diajukan seorang mahasiswa: mana yang lebih dahulu ada, bahasa atau pikiran? *** 

Flores Pos, Selasa 26 Juni 2012 

Menatap si Peminta-minta

Bedah Puisi Uniflor-SMAN 1 Ende
      
Oleh Frans Anggal



Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan lagi tentang aku
Nanti darahku jadi beku

Puisi Chairil Anwar “Kepada Peminta-minta” dibahas di panggung  terbuka Batara Smansa di SMA Negeri 1 Ende, Rabu 30 Mei 2012.

Mahasiswa Semester IV Kelas B Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor) menggandeng Kelas XI Bahasa sekolah itu dalam bedah dan diskusi puisi “Membaca Realitas Kemiskinan dalam Puisi ‘Kepada Peminta-minta’ Karya Chairil Anwar”. Kegiatannya tiga jam sejak pukul 15.30.

Didahului sapaan MC Kristina Bara dan doa pembuka secara Katolik oleh Maria Yulita Ati serta laporan Ketua Panitia Fransiskus Aurelius Loko, kegiatan dibuka  Kasek Amatus Peta. Selanjutnya presentasi materi. Diawali deklamasi oleh Yohana Natalia Dhone.

Bertindak sebagai moderator, Elias Radi. Pemateri I, Elisabeth Valeria Puty, pemateri II Stefanus Dalung, pemateri III Monika Alfonsa Mau. Notulis Emiliana Kreten Muda.

Di pengujung acara, mahasiswa serahkan cenderamata, disampaikan  Dekan FKIP Pius Pampe kepada guru Smansa Yuvita Ida. Doa penutup secara Islam dibawakan  Afrida Haryanti.

Dalam sambutan membuka kegiatan, Amatus Peta mengatakan Batara adalah akronim dari Bina Akrab Cipta Sejahtera. “Dalam keakraban, kesejahteraan bisa tercapai. Dan keakraban harus dibina. Suasana sore ini adalah suasana keakraban.”

Tentang puisi, ia berpendapat, “Puisi adalah nyanyian jiwa selaras rasa. Yang ditampilkan adalah jiwa yang bernyanyi menurut apa yang dirasakan. Anehnya, saat baca puisi, orang kurang berminat.  Orang belum menyadari kekuatannya.  Chairil Anwar itu terkenal karena nyanyian jiwanya yang selaras rasa.”

Dua Versi, Dua Pesan

Pamateri menjelaskan, puisi  “Kepada Peminta-minta” (Juni 1943) merupakan saduran dari puisi penyair Belanda  W. Ellesschots “Tot den Arme”.  Chairil tak pernah menyebut sumbernya.Ia pun dicap plagiator.

Dalam “Tot den Arme”, tokoh  “aku”  merujuk pada  orang kaya pada Injil Lukas 16: 19-30, “Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin”. 

Seperti dikisahkan Injil, Lazarus miskin, penuh borok, dan kelaparan. Ia berbaring dekat pintu rumah seorang kaya. Tetapi si kaya tidak memberinya makan. Keduanya  meninggal. Selanjutnya tentang si kaya Injil berkisah, “… sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya.” 

Bisa diimajinasikan, “Tot den Arme” melukiskan adegan itu, ketika Lazarus dan si kaya bertatapan.  Si kaya diliputi rasa bersalah, takut, ngeri,  karena semasa hidup di dunia ia tidak berempati dan berbelas kasih.

Bagaimana dengan “Kepada Peminta-minta”?

// Baik, baik aku akan menghadap Dia / Menyerahkan diri dan segala dosa / Tapi jangan tentang lagi aku / Nanti darahku jadi beku // Jangan lagi kau bercerita / Sudah tercacar semua di muka / Nanah meleleh dari luka / Sambil berjalan kau usap juga //  Bersuara tiap kau melangkah / Mengerang tiap kau memandang / Menetes dari suasana kau datang / Sembarang kau merebah //  Mengganggu dalam mimpiku / Menghempas aku di bumi keras / Di bibirku terasa pedas / Mengaum di telingaku // Baik, baik aku akan menghadap Dia / Menyerahkan diri dan segala dosa / Tapi jangan tentang lagi aku / Nanti darahku jadi beku //

Kata “tentang” dalam bait pertama dan terakhir sama artinya dengan memandang atau menatap.

Oleh mahasiswa, konteks Injil  dari “Tot den Arme” ditanggalkan, diganti dengan konteks sosial Indonesia saat Chairil Anwar menyadur. Ini bertolak dari pengakuan, “Kepada Peminta-minta” tetaplah  karya Chairil Anwar, meskipun saduran. Berbeda dengan terjemahan, saduran itu merupakan hasil adaptasi dan kontekstualisasi.

Karena itulah  sikap tokoh aku dalam pembahasan bergeser, dari aku yang merasa bersalah (kepada pengemis) ke aku yang mempersalahkan (si pengemis). Bahkan,  “Chairil Anwar memandang si peminta-minta dengan rasa benci.” Chairil terganggu karena si peminta-minta “... terlalu menyerah pada keadaan hidup yang hanya mempertontonkan kemelaratan, yang sebenarnya masih dapat diatasi.”

Argumentasi ini pas untuk keadaan tertentu saat ini. Di Jakarta, misalnya, mengemis dijadikan profesi. Ini yang ditolak  mahasiswa. Maka, pesan moral yang mereka tarik dari “Kepada Peminta-minta” pun berbeda dengan pesan moral “Tot den Arme”.

“Tot den Arme” mengamanatkan pesan: perlunya berempati dan berbagi kepada yang kecil, lemah, tersingkir, tertindas, termiskinkan. Sedangkan “Kepada Peminta-minta” beramanat: jangan suka dikasihani, bangkitlah, bebaskan diri dari kemiskinan.

Kemiskinan dalam padangan para mahasiswa bermakna luas. Tidak hanya kemiskinan  material, tetapi juga kemiskinan visi, misi, pengetahuan, niat, tekat, dan daya juang.

Seru

Sesi tanya-jawab cukup seru. Siswa Smansa  melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Jawaban pemateri tidak mereka terima begitu saja. Mereka masih mengujinya.

Semua pertanyaan akhirnya bisa dijawab, tidak hanya oleh pematri tetapi juga oleh floor serta masukan dari para guru dan dosen.

Masukan

Dosen Uniflor Yohanes Sehandi mengatakan, tema membaca realitas kemiskinan bisa disambung dengan membaca realitas kemiskinan di NTT. “APBD kita 90% dari pusat, hanya 10% dari PAD. Ini peringatan keras dari Chairil Anwar untuk kita di NTT.”

Dekan FKIP Pius Pampe  menekankan, dalam bedah puisi, perlu dipahami dengan baik latar belakang dan watak si penyair. “Chairil Anwar itu vitalis, sangat hidup. Juga anarkis, dalam pilihan kata, bukan dalam tindakan. Dia juga pandai hidup bersama dengan orang lain.”

Dosen muda Ardi Sumbi  mengatakan, yang menarik dia sejak kecil adalah foto Chairil Anwar yang memberi kesan bermenung. “Puisi ini gambarkan diri penyair sendiri.”

Guru Smansa Yuvita Ida melihat sisi lain. “Chairil Anwar beri contoh buruk, plagiat. Seharusnya angkat puisi lain. “

Dosen senior Theo Uheng memberi semangat. Kita bisa, tidak jadi peminta-minta. “Saya bangga dengan anak-anak Smansa. Kamu sudah tunjukkan kamu bisa dan pasti bisa.”

Kesan

Wakil siswa meniai kegiatan ini  sangat bagus. “Ini membantu saya dan teman-teman dalam memahami puisi. Harapan, dilakukan tiap tahun.”

Frans Anggal memuji ketekunan Suster Wilda Wisang CIJ, pengampu mata kuliah Kajian Apresiasi Puisi,  dalam membimbing  mahasiswa   sehingga kegiatan pada tujuh       sekolah berlangsung dan berakhir dengan sukses. 

Suster Wilda terkesan dengan kesungguhan mahasiswanya. “Dengan kegiatan ini, mereka belajar menjadi guru. Menjadi guru yang  kreatif, yang  mampu membuat siswa kreatif.”  

Ia menyampaikan terima kasih kepada semua pihak. Kepala sekolah mitra, para guru, dan siswa.***

Flores Pos, Jumat 1 Juni 2012

Apa yang Dilakukan Cermin?

Bedah Puisi Uniflor-MAN Ende

Oleh Frans Anggal



cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah 
meraung, tersedan, atau terisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya 
barangkali ia hanya bisa bertanya: 
mengapa kau seperti kehabisan suara?

Itulah “Cermin I”, puisi karya penyair Sapardi Djoko Damono, 1980. Puisi ini dibedah dan didiskusikan oleh mahasiswa Semester IV Kelas G Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor) bersama mitranya Kelas XI Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Ende. Kegiatan dilangsungkan di aula baru dan megah MAN pada Selasa 29 Mei 2012, selama tiga jam, pukul 10.30-13.30.

Bedah dan diskusi puisi merupakan salah satu model pembelajaran Kajian Apresiasi Puisi, mata kuliah yang diampu Suster Wilda Wisang CIJ. MAN adalah sekolah keenam dari tujuh sekolah yang digandeng sebagai mitra.

Bertema “Nilai Kejujuran dalam Puisi ‘Cermin’ Karya Sapardi Djoko Damono”, kegiatan ini sukses, berkat kerja sama apik di bawah koordinasi Ketua Panitia Polycarpus H. Mbuu dan Sekretaris Mersiana Dhone.

“Cermin adalah media introspeksi,” kata Yustina Ria selaku MC di awal sapaannya. Disusul doa pembukan oleh Triutami Nurdin. “Cermin itu jujur. Tidak berbohong. Apa adanya,” kata Polycarpus saat menyampaikan laporan selaku ketua panitia.

Dalam sambutan membuka kegiatan, Kepala MAN Ende Samsudin Thalib menyampaikan terima kasih atas kepercayaan Uniflor menjadikan MAN mitra dalam kegiatan ini.

Presentasi dan diskusi dimoderatori Maria Goreti Tima Gui. Bertindak sebagai pemateri I, Tekla Angelina Evi, pemateri II Marselinus Dor, pemateri III Egensia Fransiska Pel. Notulis sekaligus perumus simpulan diskusi, Gradiana Rosalina Kabut.

Mengantar presentasi, Fransiska Wua tampil mendeklamasikan “Cermin I”. Pembawaannya sangat padu dengan petikan gitar Oskarius Aja mengiringi Maria Hendrito Mare dan Rian Desantos Karo melantunkan “Untuk Kita Renungkan” karya Ebit G. Ade.

Kegiatan ini ditutup dengan penyerahan cenderamata dari para mahasiswa, disampaikan oleh dosen senior Uniflor Theo Uheng kepada guru senior MAN Haji Abdullah Ama.

Jujur dan Hening 

Pemaparan materi dimulai dari judul. Secara denotatif-leksikal, cermin adalah kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air raksa dsb. Sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda-benda yang ditaruh di depannya, biasanya untuk melihat wajah ketika bersolek dsb.

Sedangkan secara konotatif-imajinatif, cermin kaya akan makna. Terlebih ketika benda mati itu “dihidupkan” dalam tubuh puisi melalui majas personifikasi seakan-akan cermin itu adalah manusia. Itulah yang dilakukan penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya ini.

// cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah / meraung, tersedan, atau terisak, / meski apa pun jadi terbalik di dalamnya / 

Dengan negasi “tidak pernah”, larik-larik itu hendak menyatakan sesuatu yang tidak tekstual. Bahwa yang dilakukan cermin hanyalah memperlihatkan, bukan menyuarakan. Cermin hanya menyodorkan bayangan benda-benda yang terdapat di depannya. Ia tidak berkomentar apa pun tentangnya. Ia hanya menunjukkan sesuatu, tanpa mengatakan apa pun tentang sesuatu itu.

“Meski tidak bisa berkata apa pun, cermin selalu memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu seperti aslinya, apa adanya,” kata pemateri. Apa yang ada di dalam cermin, sama dengan apa yang ada di luarnya. Itulah kejujuran.

Kejujuran tidak lahir dengan sendirinya. Keutamaan moral ini membutuhkan proses melalui pendidikan dalam pengertian yang luas. Dalam proses panjang itu, yang ditekankan bukan hanya perihal belajar untuk mampu berkata-kata, tetapi juga belajar untuk bisa mengendalikan kata-kata. Belajar untuk “bicara yang penting”, bukan “yang penting bicara”.

Lebih daripada itu, belajar untuk diam. Berhening. Berefleksi. Bermeditasi. Berkontemplasi. Inilah pesan lain dari cermin. Dalam konteks inilah larik keempat dan kelima bisa dipahami. Bahwa, cermin tidak pernah bersuara. Kalaupun bersuara, / barangkali ia hanya bisa bertanya: / mengapa kau seperti kehabisan suara?//.

Yah, mengapa kau seperti kehabisan suara? Jawabannya: karena kau terlalu banyak bersuara! Kurang berhening. Kurang melihat ke dalam diri. Padahal di dalam diri itu ada cermin: hati. Di sini, cermin berarti nurani. Nurani harus bening, lewat hening, agar bisa memperlihatkan sesuatu apa adanya. Itulah kejujuran.

Aktif Bertanya

Saat sesi tanya jawab dibuka, siswa MAN tak lewatkan kesempatan. Mereka sangat aktif. Moderator “terpaksa” menambah jumlah termin, dari dua menjadi tiga.

Termin pertama, lima siswa maju. Isnawati: “Apa hubungan puisi ini dengan kami sebagai pelajar?” Yayu: “Nilai apa yang terkandung dalam puisi ini?” Uni: “Dikatakan, penyair gunakan riama bebas, itu terdapat pada larik mana?” Fauzia: “Berikan contoh kata-kata arkais, dan mengapa disebut arkais.” Swarnika: “Apa latar belakang penulisan puisi ini, dan mengapa diberi judul ‘Cermin’?”

Termin kedua, tujuh siswa tampil. Aludin: “Coba jelaskan arti penulisan tematik dan stilistik.” Nakoda: “Jelaskan makna larik ketiga: meski apa pun jadi terbalik di dalamnya.” Aan: “Apa maksudnya, mengapa kau seperti kehabisan suara?” Sajudin: “Apa hubungan antara cermin dan hati?” Marisa: “Apa tipografi puisi ‘Cermin’, tolong jelaskan.” Sulistri: “Mengapa puisi disebut sebagai puncak karya seni di Indonesia?” Yuni: “Hikmah apa yang dapat kita petik dari puisi ini?”

Termin ketiga, giliran Trisnawati, Uni, dan Nunung. Mereka bertanya tentang gaya bahasa yang membedakan penyair yang satu dari penyair yang lain. Juga tentang rima bebas dan rima terikat.

Pertanyaan mereka dijawab satu per satu oleh pemateri. Dilengkapi oleh floor. Akhirnya disempurnakan oleh dosen.

Masukan dan Saran 

Di mata Ardi Sumbi, cermin menjadi kata yang memiliki banyak arti. Cermin adalah hati, nurani, tempat kita berkiblat untuk menimbang-nimbang sesuatu. Larik / mengapa kau seperti kehabisan suara? / menunjukkan ketumpulan suara hati sehingga tak mampu menyuarakan kebenaran. “Kualitas hidup tidak dilihat dari dari seberapa panjang umur seseorang, tetapi dari seberapa banyak yang ia lakukan dalam menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran,” kata dosen Uniflor ini.

Menurut Yohanes Sehandi, Sapardi Djoko Damono adalah penyair sekaligus intelektual. Yang membedakan. Sapardi Djoko Damono dari penyair lain adalah diksi. Ia mengandalkan kekuatan kata yang membangun imajinasi. Kata-katanya sederhana tetapi kuat. “Kita harus selalu bercermin,” pesannya. “Dan, jangan sekali-kali memecahkan cermin, nurani kita.”

Theo Uheng berpendapat, pertanyaan menggelitik pada larik / mengapa kau seperti kehabisan suara? / dan pertanyaan-pertanyaan lain dari floor bisa dijawab oleh “Cermin II” karya Sapardi Djoko Damono. Maka ia menganjurkan “Cermin I” dikaitkan dengan “Cermin II”. “Cermin I” cermin bening. “Cermin II” cermin buram.

Haji Abdullah Ama mengusulkan uraian yang detail tetapi singkat dan runtut tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi. “Ini agar tidak membingungkan anak-anak.”

Wakil siswa berharap kegiatan ini dilanjutkan pada masa mendatang. “Terima kasih kepada kakak-kakak yang telah memberi pengetahuan begitu luas tentang puisi.” ***

Flores Pos, Kamis 31 Mei 2012

05 Juni 2012

Setelah Cintaku Hilang

Bedah Puisi Uniflor-SMA Tri Darma Ende

Oleh Frans Anggal
  


Habis kikis 
Segala cintaku hilang terbang 
Pulang kembali aku padamu 
Seperti dulu

Itulah bait pertama "Padamu Jua" karya Amir Hamzah. Sebuah puisi religius, yang tidak hanya indah dari segi kemasan susastra, tetapi juga mendalam dari segi isi dan pesan.

Amir Hamzah melukiskan hubungan manusia (aku) dengan Tuhan seperti hubungan antara dua kekasih.

Puisi ini dideklamasikan mahasiswa Semester IV Kelas F Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor).

Puisi dari Angkatan Pujangga Baru era 1930-an ini jadi pilihan mereka dalam bedah dan diskusi puisi, yang dilangsungkan di aula SMA Tri Darma Ende, Senin 28 Mei 2012. Mereka bermitra dengan siswa Kelas XI Bahasa sekolah itu. Kegiatannya tiga jam, sejak pukul 09.00.

Bertajuk "Hidup adalah Hukum Perubahan, Memaknai Hidup Melalui Puisi 'Padamu Jua' Karya Amir Hamzah", bedah dan diskusi ini berjalan sukses di bawah koordinasi Ketua Pelaksana Emanuel Lalong dan Sekretaris Matildis Selina.

Maria Jelina Murni tampil sebagai MC. Samforianus Afirman sebagai moderator. Martinus Santoso, Ida Nurtiana Dayu, dan Maria Gia Dalopes Ndiki masing-masing sebagai pemateri I, II, dan III. Helena Seso sebagai notulis sekaligus perumus hasil diskusi. Karolina Alut sebagai pembawa doa.

Usai pemaparan materi, para siswa Tri Darma aktif melontarkan pertanyaan, khususnya pada termin pertama tanya-jawab dari dua termin yang disiapkan. Parlan, Ningsih, Yolan, Ayu dan Yonky maju satu per satu memegang mik dan bertanya. Mereka akhirnya puas setelah semua pertanyaan dijawab pemateri dan dilengkapi floor.

Kegiatan ini dibuka oleh Kristianus Raja mewakili kepala sekolah yang tidak berhalangan hadir. Selanjutnya ditutup dengan penyerahan cenderamata dari para mahasiswa, disampaikan oleh Yohanes Sehandi dosen Uniflor kepada Salestina Kara guru Bahasa dan Sastra SMA Tri Darma.  

Hanya pada Tuhan

Oleh mahasiswa Semester IV/F, puisi Amir Hamzah ini dibedah bait per bait. Seluruhnya tujuh bait. Dimulai dari judul, dengan pertimbangan bahwa judul merupakan jalur penting menuju isi yang tersirat dalam tubuh puisi.

Sebagai judul, "Padamu Jua" menunjukkan dua hal. Pertama, finalitas: akhirnya kepada Engkau. Kedua, eksklusivitas: akhirnya hanya Engkau. Judul mulai diperjelas dalam bait pertama, yang sesungguhnya sudah merupakan inti dari puisi ini.

// Habis kikis / Segala cintaku hilang terbang / Pulang kembali aku padamu / Seperti dulu //

Dulu aku bersama-Mu Tuhan. Mencintai-Mu. Lalu aku menjauhi-Mu dan meninggalkan-Mu. Aku mencintai yang lain. Ternyata aku tidak mendapatkan apa pun yang aku harapkan. Sebaliknya, aku kehilangan banyak. Bahkan aku kehilangan cinta itu sendiri. Semuanya sudah habis, Tuhan. Tiada yang tersisa. Akhirnya aku kembali pada-Mu lagi. Dan kali ini, pada-Mu saja. Aku ingin hanya bersama-Mu, seperti dulu.  

// Kaulah kandil kemerlap / Pelita jendela di malam gelap / Melambai pulang perlahan / Sabar, setia selalu //

Aku ingin pulang, kembali pada-Mu. Tetapi aku tak tahu jalan. Aku tersesat di gelap dosa. Dalam kekelamanku, Engkau ternyata tidak pasif diam. Engkau aktif memanggilku pulang, tidak melarangku datang. Engkau menunjukkan arahku kembali, tidak mengusirku pergi. Ah, Engkau begitu sabar, begitu setia.  

// Satu kekasihku / Aku manusia / Rindu rasa / Rindu rupa //

Kini hanya Engkaulah kekasihku, Tuhan. Satu-satunya. Sebagai manusia, aku rindu rasa. Rasa dekat, akrab, intim dengan-Mu. Berada di peluk-Mu. Dari jarak sedekat itu, aku ingin menatap wajah-Mu. Tetapi Tuhan ….  

// Di mana engkau / Rupa tiada / Suara sayup / Hanya kata merangkai hati //

Engkau tak terlihat, meski kurasakan Engkau begitu dekat. Suara-Mu hanya terdengar sayup, meski kata-kata-Mu jelas terpatri di hatiku, terang tertera dalam Kitab-Kitab-Mu, surat-surat cinta-Mu itu, yang selalu aku baca setiap kali aku merindukan-Mu.  

// Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lepas //


Sifat-Mu itu aku tahu dari surat-surat cinta-Mu. Juga dari kisah cinta kita. Engkau cemburu: tak inginkan aku berbagi kasih dengan yang lain. Engkau ganas: memukul hatiku tanpa melukainya. Ah, tak pernah aku merasakan cinta sedahsyat ini. Aku seperti mangsa dalam cakar cinta-Mu. Seperti tikus di hadapan kucing. Menjauhi-Mu, aku Kau tangkap. Mendekati-Mu, aku Kau lepas. Bertukar tangkap dengan lepas.  

// Nanar aku gila sasar / Sayang berulang padamu jua / Engkau pelik menusuk ingin / Serupa dara di balik tirai //

Setiap kali aku menatap nanar tergila-gila pada sasaran lain, kisah cinta kita pasti berulang. Tetap saja, akhirnya, aku kembali pada-Mu. Tetap saja, akhirnya, sayangku hanya pada-Mu. Mengapa? Sulit aku jelaskan. Engkau begitu pelik, sulit dipahami. Engkau misteri, yang menggentarkan aku, tetapi justru karena itu dan serentak dengan itu menggemarkan aku. Seperti dara jelita di balik tirai, rahasia-Mu membuat aku gentar sekaligus gemar.

// Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri / Lalu waktu - bukan giliranku / Mati hari - bukan kawanku // 

Seperti dara di balik tirai itu pula, Engkau bersunyi dalam kasih, menunggu aku seorang diri. Tak ada yang lain. Karena Engkau tak ingin menduakan cinta. Aku pun mau seperti itu. Kapan aku boleh beristirahat dalam sunyi kasih-Mu Tuhan? Aku serahkan pada-Mu. Engkaulah penguasa waktu. Engkau yang menentukan kapan hari dan waktu itu tiba.  

Kesan

Ardi Sumbi, dosen Uniflor, memuji kepenyairan Amir Hamzah. "Amir Hamzah sangat cermat dalam memilih kata-kata. Puisinya gampang-gampang susah untuk dipahami kalau kita tak benar-benar memahami konteksnya," kata Ardi.

Yohanes Sehandi memuji cara menganalisis seperti ini. Ini bagus untuk pembelajaran di sekolah. Bait per bait dijelaskan, lalu dihubungkan maknanya, sehingga didapat apa simpulannya dan apa nilai atau pesannya.

Lantas, apa pesan puisi ini? Simpulan yang dibacakan notulis menggarisbawahi dua hal. Pertama, meski manusia berdosa, Tuhan tetap setia. Kedua, bangunlah terus rasa rindu pada Tuhan melalui doa dan perbuatan baik. Itulah yang dimaksudkan dengan "hukum perubahan" dalam tema bedah dan diskusi puisi ini. Berubah ke arah lebih baik, dengan jalan semakin dekat pada Tuhan.

Hendrikus Pai, guru agama SMA Tri Darma, menyinggung Kitab Suci Perjanjian Lama yang melukiskan hubungan umat Israel dengan Yahwe sebagai hubungan antara dua kekasih. "Dalam Perjanjian Lama, Allah itu cemburu. Maka (pesannya), manusia harus setia pada Allah."

Harapan


Terima kasih dan harapan disampaikan guru SMA Tri Darma.

Kristianus Raja, mewakil kepala sekolah, berharap bedah puisi ini bermanfaat bagi para siswa.

Selestina Kara, selain berterima kasih juga berharap kegiatan ini dapat dipetik manfaatnya oleh guru dalam pembelajaran sastra di sekolah.

"Terima kasih," kata Dorothea Weli. "Ini sarana yang bagus untuk pembelajaran sastra. Harap datang lagi ke sekolah ini.”

Mewakili siswa, Viani menyatakan senang. "Ini yang kedua kalinya kami dikunjungi kakak-kakak Uniflor kelas PBSI. Harapan … datang lagi." ***  

Flores Pos, Rabu 30 Mei 2012

04 Juni 2012

Rajawali Pembela Langit

Bedah Puisi Uniflor-SMA Adyaksa

Oleh Frans Anggal  


Sebuah sangkar besi 
tidak bisa mengubah seekor rajawali 
menjadi seekor burung nuri 
Rajawali adalah pacar langit 
dan di dalam sangkar besi 
rajawali merasa pasti 
bahwa langit akan selalu menanti

Sebuah awal yang kuat dari “Sajak Rajawali”, puisi karya W. S. Rendra. Kuat, tidak hanya karena diksi, estetika, imajeri, dan bunyinya, tetapi juga karena kebenaran yang dikandungnya serta keberanian yang terpancar daripadanya. Ini ungkapan keberanian, perasaan tak takut atau sikap tak gentar terhadap tekanan politik dan ancaman penjara. Sikap aktivis sejati dalam memperjuangkan kebenaran.

Puisi ini dideklamasikan Maria Yohana Dhone di ruang kelas SMA Adyaksa Ende, Jumat 25 Mei 2012. Hari itu ia dan rekan-rekannya mahasiwa Semester IV Kelas A Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor) menggelar bedah dan diskusi puisi. Tajuknya, “Memperjuangkan Kebenaran Hidup di Tengah Ketidakadilan, Bedah Puisi ‘Sajak Rajawali’ Karya W. S. Rendra”. Mereka menggandeng siswa Kelas XI Bahasa SMA Adyaksa. Kegiatan berlangsung sekitar tiga jam sejak pukul 15.30.

Kegiatan diawali sapaan MC, Ludvina da Ota. Doa pembuka secara Katolik oleh Seratiana Emol. Laporan Ketua Panitia Fransiskus X. Manu. Sambutan sekaligus membuka kegiatan oleh Kepala SMA Adyaksa Donatus Calon. Disusul sambutan Ketua Pogram Studi PBSI Alexander Bala Gawen. Selanjutnya deklamasi dan presentasi materi.

Bertindak sebagai moderator, Maria Marlinda Rere. Pamateri I Leonardus Sardin, pemateri II Maria Herni Dei, pemateri III Yeniriance Elisabet Kanisius. Duduk sebagai notulis sekaligus perumus hasil diskusi, Wiwik Sumbogo. Penyerahan cenderamata dari Uniflor mengakhiri kegiatan, seusai doa penutup secara Islam oleh Saliha.

Kebenaran Hidup 

Dalam uraiannya, pemateri menelusuri bagian per bagian larik “Sajak Rajawali” yang seluruhnya terdiri dari hanya satu bait. Bait yang panjang.

// Sebuah sangkar besi / tidak bisa mengubah seekor rajawali / menjadi seekor burung nuri /. Inilah kebenaran itu. Benar, tidak hanya secara lugas (denotatif), tetapi juga secara kiasan (konotatif). Lugas, sebuah sangkar besi tidak bisa mengubah satu spesies (Rajawali) menjadi spesies yang lain (Nuri). Kiasan, sebuah pengungkungan, pembatasan, pemenjaraan secara fisik tidak bisa mengubah pejuang sejati dari pemberani (Rajawali) menjadi pengecut (Nuri). Mengapa?

Alasan atas pertanyaan itu ada pada larik berikutnya. / Rajawali adalah pacar langit / dan di dalam sangkar besi / rajawali merasa pasti / bahwa langit akan selalu menanti /.

Rajawali lahir untuk mengarungi angkasa. Langitlah dunianya, bukan sangkar besi. Keleluasaan dan kebebasanlah dunia pejuang sejati, bukan pengungkungan, pelarangan, pemenjaraan. Maka, meski dikurung dalam sangkar besi, jiwa, semangat, hasrat, kerinduan Rajawali tetaplah langit. Ke langit ia akan kembali. Ini sebuah optimisme. Bahkan sebuah spiritualitas pengharapan.

Eratnya hubungan antara Rajawali dan langit diungkapkan dalam larik selanjutnya. / Langit tanpa rajawali / adalah keluasan dan kebebasan / tanpa sukma /. Rajawalilah yang memberi makna pada langit. Bahkan Rajawalilah jiwanya langit. Tanpa Rajawali, langit kehilangan roh. Tanpa aktivis sejati yang berani memperjuangkan kebenaran maka kebebasan tidak ada maknanya. Bahkan berbahaya. Karena kebebasan hanya akan diisi dengan kejahatan, kesewenang-wenangan, kebohongan, ketidakadilan, dan permusuhan.

Tak terpisahkannya langit dari Rajawali yang menyukmainya dipertegas dalam larik berikut. / Tujuh langit, tujuh rajawali / tujuh cakrawala, tujuh pengembara /. Kalau ada tujuh langit maka harus ada tujuh Rajawali. Kalau ada tujuh cakrawala maka harus ada tujuh pengembara. Satu mengandaikan yang lain. Tanpa manusia, tak ada gunanya kebebasan. Tanpa kebebasan, tak bermaknanya hidup sebagai manusia. Sebab, manusia dilahirkan sebagai mahkluk merdeka.

Itulah yang oleh pematari disebut sebagai kebenaran hidup. Namun, dalam kenyataan, terutama di bawah rezim otoriter dan represif Orde Baru Soeharto, kebenaran ini dinafikan. “Sajak Rajawali” lahir pada era itu, tahun 1973, ketika ketidakadilan merajalela dan kebebasan berpendapat untuk mempersoalkan semua bentuk ketidakadilan diharamkan. Banyak pejuang sejati dijebloskan ke dalam penjara karena keberaniannya bersuara.

Mewakili para pemberani yang tidak atau belum dipenjara alias yang masih leluasa mengarungi langit, Rendra bersuara dalam larik selanjutnya. / Rajawali terbang tinggi / memasuki sepi / memandang dunia /. Kebebasan yang masih ada di luar aneka pelarangan dan penjara tidak disia-siakan. Itu peluang untuk mengambil jarak dan melakukan kontrol terhadap penguasa.

Sedangkan mewakili para pemberani yang terkurung dalam aneka pelarangan dan penjara, Rendra memaklumkan kemerdekaan jiwa. / Rajawali di sangkar besi / duduk bertapa / mengolah hidupnya /. Bagi pejuang sejati, penjara fisik bukanlah penjara jiwa. Engkau bisa mengerangkeng tubuhku, tapi tidak sukmaku. Jiwaku tetap merdeka.

Akhirnya, Rendra menutup puisinya dengan penegasan tentang eratnya hubungan Rajawali dengan langit, dan tentang apa yang akan dilakukan Rajawali. / Rajawali terbang tinggi / membela langit dengan setia / Dan ia akan mematuk kedua matamu / wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka /. Ini akhir sekaligus puncak. Langit tidak hanya dipacari, tetapi juga dibela. Kebebasan tidak hanya diimpikan, tetapi juga diperjuangkan. Inilah perjuangan kebenaran hidup di tengah ketidakadilan itu. Bukan tanpa hasil. Karena, pendurhaka yang tetap mencemarkan langit biru akan dipatuk matanya. Penguasa yang tetap mengharamkan kekebasan akan diturunkan dari takhtanya, tergusur, dan tergilas.

 Banyak Pertanyaan 

Usai presentasi materi, muncul banyak pertanyaan dari siswa SMA Adyaksa. Mereka sangat antusias dan penuh rasa ingin tahu.

“Apa latar belakang penyair menulis puisi ini, dan apa hubunganya dengan realitas sekarang?” tanya Imelda Lili. “Jelaskan efek puisi ini terhadap gaya kepemimpinan saat itu,” pinta David. “Pesan apa yang dapat dipetik dari tema bedah puisi ini?” tanya Celestina. “Mengapa Rendra disebut sebagai Burung Merak?” tanya Christoforus. “Apa dampak puisi ini bagi kami yang masih dalam tahap belajar?” tanya Yakobus.

Muncul juga pertanyaan kelas berat. “Apakah kebenaran itu sesuatu yang sudah ada dan tinggal ditegakkan, ataukah kebenaran itu sesuatu yang belum ada yang masih harus diperjuangkan?” tanya Yohanes Sengsara.

Ada pula yang kedengarannya lucu tetapi kritis. “Dalam puisi ini Rajawali ingin mendobrak sangkar besi. Seperti apakah Rajawali itu mendobrak?” tanya Anastasia. Terakhir, minta petunjuk berupa aplikasi praktis. “Apa yang perlu kami lakukan untuk memperjuangkan kebenaran hidup?” tanya Clementino.

Pertanyaan mereka dijawab satu per satu oleh pemateri. Jawaban disumbangkan juga oleh floor, kebanyakan dari kalangan mahasiswa sendiri. Para penanya merasa puas.

Respon Positif 

Kapala SMA Adyaksa Donatus Calon sangat berterima kasih.

“Anak-anak kami sangat membutuhkan kehadiran kakak-kakaknya, karena pasti ada hal baik yang harus mereka tiru. Ini motivasi bagi mereka. Anak-anak kami mau maju, mau teladani kakak-kakanya,” katanya.

Mewakili siswa, Yakobus N. Raja mensyeringkan pengalamannya sebagai anak kampung yang memperjuangkan hidup sebagai pelajar di kota Ende. Bedah puisi ini menjadi motivasi baginya dan teman-temannya, tidak hanya untuk mencintai sastra, tetapi juga untuk menjadi pejuang kebenaran hidup di tengah masyarakat. ***

Flores Pos, Selasa 29 Mei 2012

Dari Tanah Air Mata ….

Bedah Puisi Uniflor-SMAN 2 Ende

Oleh Frans Anggal




Tanah airmata tanah tumpah dukaku 
mata air airmata kami 
airmata tanah air kami 


Mewakili keluh jelata yang dimiskink an dan dipinggirkan penguasa di negeri ini, suara Theresia Elviana Gala terdengar sendu ketika bait pertama puisi Sutardji Calzoum Bachri ia bacakan.

Pembacaan puisi ini mengawali bedah dan diskusi puisi bertajuk “Representasi Perjuangan Rakyat dalam Puisi ‘Tanah Air Mata’ Karya Sutardji Calzoum Bachri”. Kerja sama mahasiswa Semester IV Kelas D Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores (Uniflor) dengan Kelas XI Bahasa SMA Negeri 2 Ende. Berlangsung di aula SMAN 2 Ende, Jumat 25 Mei 2012, selama tiga jam sejak pukul 07.30.

Kegiatan dimulai dengan sambutan Ketua Panitia Marianus Pantur, disusul doa pembuka secara Katolik oleh Getrudis Mur dan diakhiri doa penutup secara Islam oleh Samsya. Sebagai pamungkas, penyerahan cenderamata dari Uniflor oleh Pembantu Dekan II FKIP Eta Bali Larasati kepada Wilhelmina Manja mewakili Kasek Handrikus Sengi.

Tampil sebagai MC, Kristina Gue. Vokalnya jernih, diksinya jelas. Bertindak sebagai pemateri I Novita Sena, pemateri II Damsik Juma, pemateri III Simson Papu. Ketiganya cerdas menjawab setiap pertanyaan. Moderator Eduardus Gon apik mengatur lalu lintas diskusi. Notulis Karni Diaz Gonzales ringkas padat membuat simpulan akhir. Semua ini hasil kerja sama dan kerja keras semua anggota kelas di bawah koordinasi Ketua Panitia Marianus Pantur dan Sekretaris Syafari Ahbdul Rejab.

Perjuangan Rakyat 

Suara Theresia Elviana Gala kian sendu memasuki bait kedua, ketika para jelata menyatakan // di sinilah kami berdiri / menyanyikan airmata kami //.

Kesenduan pun mengharu biru tatkala selubung kontras mulai dilucuti, antara yang mekar dan yang memar, antara yang makmur dan yang hancur. // di balik gembur subur tanahmu / kami simpan perih kami / di balik etalase megah gedung-gedungmu / kami coba sembunyikan derita kami //.

Coba disembunyikan, tetapi tidak bisa. // kami coba simpan nestapa / kami coba kuburkan duka lara / tapi perih tak bisa sembunyi / ia merebak kemana-mana //.

Perih, derita, nestapa, dan duka lara menyebar dan meluas. Inilah yang menjadikan tanah air ini tanah air mata. Bahkan, inilah yang menjadikan tanah air ini mata airnya air mata. Maka air mata pun menggenangi tanah air. Sehingga penguasa tak akan bisa membantah atau menyangkal.

// bumi memang tak sebatas pandang / dan udara luas menunggu / namun kalian takkan bisa menyingkir / ke manapun melangkah / kalian pijak airmata kami / ke manapun terbang / kalian kan hinggap di air mata kami / ke manapun berlayar / kalian arungi airmata kami / kalian sudah terkepung / takkan bisa mengelak / takkan bisa ke mana pergi / menyerahlah pada kedalaman air mata //

Maka hanya ada satu pilihan. Dan itu keharusan. Mengakui kenyataan. Tidak lagi menutup-nutupi fakta. Itulah awal untuk berbenah. Untuk mengubah tanah air, dari tanah air mata menjadi tanah mata air. Yang menghidupkan, membersihkan, dan menyegarkan segenap warganya.

Dengan muatan seperti itu, benarkah puisi ini representasi perjuangan rakyat? Mengapa tidak! Para pemateri tidak membatasi perjuangan sekadar aksi demo atau angkat senjata. Perjuangan bisa berarti kritik dan upaya penyadaran atau konsientisasi. Puisi justru bergerak di ranah ini.

Melalui puisi “Tanah Air Mata”, Sutardji mencelikkan mata dan hati penguasa yang buta terhadap derita rakyat. Ia membuka kedok mereka yang menutup-nutupi kenyataan dengan retorika semu dan statistik menyesatkan. Ia mempermalukan mereka yang bermekaran di atas kememaran rakyat, yang berkemakmuran di atas kehancuran jelata.

Puisi ini diciptakan pada 1991, ketika rezim Orde Baru Soeharto masih sangat berkuasa. Ini rezim yang otoriter dan represif, yang mengharamkan kebebasan berpendapat. Dalam konteks inilah “Tanah Air Mata” berani bersuara lantang. Ini perjuangan. Representasi perjuangan rakyat.

Antusiasme dan Pujian 

Bedah dan diskusi puisi di SMAN 2 Ende ini merupakan kegiatan ketiga dari safari selama tiga pekan ke beberapa sekolah. Kegiatan ini merupakan salah satu model pembelajaran mata kuliah Apresasi Kajian Puisi yang diampu Suster Wilda Wisang CIJ.

Pada sambutan membuka kegiatan, Kepala SMAN 2 Ende Hendrikus Sengi menyatakan antusias. Ia berharap kegiatan ini membangkitkan apresiasi sastra, khususnya puisi. Sebab, akhir-akhir ini seni puisi hampir kurang diperhatikan. Padahal seni bisa menjadi kekuatan pembebasan, seperti ditunjukkan Angkatan 45. “Ironis. Sekarang banyak perguruan tinggi dan kaum terpelajar, tetapi seni makin kerdil.”

Usai bedah dan diskusi, guru sastra SMAN 2 Ende Wilhelmina Manja memuji para mahasiwa. Pujian yang sama dikemukakan rekannya Sinta Nainggolan. “Baru semester IV, tapi sudah bisa. Yang sudah sarjana belum tentu bisa.”

Pujian juga dikemukakan Yohanes Sehandi, dosen Uniflor dan penulis buku Sastra dan Sastrawan NTT yang akan segera terbit. “Saya sudah bandingakn analisis para kritikus sastra tentang puisi Sutadji ini. Yang paling kuat Dami N. Toda. Lalu saya bayangkan seperti apa kelas IV D menganalisis puisi ini. Pertama-tama saya tak percaya. Saat saya ikuti pertanggungjawaban mereka, saya puji. Luar biasa.”

Wakil siswa pun turut memuji. “Sangat bagus. Ini memotivasi kami untuk lebih memahami dan mencintai puisi.” Ia berharap kegiatan seperti ini diteruskan dan ditingkatkan.

Aktifnya Para Siswa 

Begitu sesi tanya jawab dibuka, wow, para siswa langsung “menyerbu”. Mereka mengisi ful dua termin tanya-jawab dengan berbagai pertanyaan informatif dan pertanyaan diskusi.

Keaktifan dan kekritisan mereka mendapat pujian dari Frans Anggal dan Suster Wilda. “Bertanya itu pertanda kecerdasan,” kata Frans Anggal. Ilmu pengetahun lahir dari pertanyaan. “Siswa SMAN 2 hebat benar, aktif dalam diskusi,” timpal Suster Wilda.

Suster Wilda membacakan sebuah puisi, satu dari banyak tanggap spontan siswa saat kegiatan berlangsung.

Pada sambutan menutup kegiatan, Pembantu Dekan II Eta Bali Larasati menyatakan penghargaannya atas respon positif SMAN 2 Ende, sekolah yang sudah lama menjadi mitra Uniflor. “Saya senang, siswa dan guru SMAN 2 Ende sangat antusias.”

Ia melihat pembelajaran bedah dan diskusi puisi ini sebagai model yang sangat diharapkan untuk membangkitkan minat guru di bidang sastra. “Karena, ketika guru tidak berminat pada sastra maka porsi sastra kurang sekali dalam pembelajaran di sekolah. Lebih banyak aspek kebahasaannya. Seharusnya fifty-fifty,” katanya. ***

Flores Pos, Senin 28 Mei 2012