08 September 2012

Yang Sesat Itu Siapa?


Oleh Frans Anggal

“Aliran Sesat Resahkan Warga Sikka”. Demikian judul berita halaman depan Flores Pos edisi Sabtu 1 September 2012.  Berita tersebut mengutip pernyataan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sikka dalam dialog pemimpin agama se-NTT di Kupang, Kamis 30 Agustus 2012. Dialog dihadiri Gubernur Frans Lebu Raya.   

Dalam dialog, disebutkan beberapa aliran atau denominasi di Kabupaten Sikka. Di antaranya, aliran Visi, Gereja Betel Indonesia (GBI) Rock, Gereja Kemenangan Iman Indonesia, dan kelompok doa Nepu. Aliran itu dinilai menyesatkan dan mengganggu kerukunan umat beragama. Mereka merekrut anggota dari penganut agama lain. Mereka mengusulkan pembangunan gereja di permukiman warga. Bahkan orang gila mereka mintai tanda tangan untuk mendukung usulan tersebut.

Menanggapi berita ini, Om Toki pada “Senggol” Flores Pos edisi Senin 3 September 2012 berceletuk. “Aliran sesat resahkan warga Sikka …. Ini soal perspektif! Jangan-jangan kita juga dinilai sesat oleh mereka ya?”

Tepat. Ini soal perspektif. Soal cara wawas. Seamsal mengukur tubuh orang lain dengan baju yang kita pakai. Kalau bajunya kebesaran, ah orang itu terlalu kurus. Kalau bajunya kekecilan, ah orang itu terlalu gemuk. Yang dilupakan, orang lain juga bisa mengukur tubuh kita dengan baju mereka. Di mata mereka, kita bisa terlalu gemuk, bisa juga terlalu kurus.    

Dalam menilai aliran lain,  mengukur ajaran “mereka” dengan ajaran “kita” berpeluang melahirkan cap negatif: “sesat”, “menyimpang”, dll. Sebatas dalam ruang privat (internal) agama atau kepercayaan, penilaian seperti itu dapat dimengerti. Setiap agama dan kepercayaan berusaha mempertahankan penganutnya agar tetap setia dan tidak berpindah ke agama atau kepercayaan lain. Persoalannya menjadi serius bahkan berbahaya manakala penilaian itu dibawa ke ruang publik. Jauh dari membina, cara ini justru membinasakan kerukunan.

Indonesia punya banyak contoh buruk. Yang paling ilustratif adalah tindak kekerasan Front Pembela Islam (FPI). Di tengah negara yang suka absen, FPI menjadi vigilante. Vigilantisme adalah paham yang membenarkan tindak kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum. Dalam sejarah AS, tulis The Lexicon Webster Dictionary (1971), pernah hidup vigilance committee. Yakni lembaga ekstralegal berkeanggotaan sukarela dan terorganisasi, yang menjaga aturan dan menghukum pelanggar dalam wilayah tempat otoritas legal tidak bekerja baik atau mengecewakan. Anggotanya disebut vigilante.

Dalam praktiknya, FPI sering menggunakan argumentasi agama untuk membenarkan tindakannya. Dengan kata lain, organisasi ini memakai argumentasi privat di dalam ruang publik. Sepak terjangnya leluasa ketika negara absen dalam ruang publik, terutama saat kehadiran, peran, sikap, dan tindakan tegas negara sangat dibutuhkan masyarakat.

Indonesia ini republik. Sebagai republik, Indonesia adalah sebuah ruang publik. Metafora domestika puitika menyebutnya rumah bersama. Dalam rumah bersama, argumentasi publiklah yang semestinya digunakan, bukan argumentasi privat. Yang membedakan warga satu dari warga lain adalah konstitusi, bukan kitab suci. Jarak antara si A dan si B  diukur dengan ayat-ayat yuridis, bukan dengan ayat-ayat biblis.

Ide republik dijelaskan bagus oleh Rocky Gerung dalam Pidato Kebudayaan 2010, “Merawat Republik, Mengaktifkan Akal Sehat”. Di dalam republik,  kata filosof ini, status primer seseorang adalah warga negara. Ia tentu memiliki status privat: agama, etnis, dll. Namun status privat tidak boleh diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warga negara bukanlah urusan negara. Negara pun tidak boleh diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu sebagai hak warga negara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya.

Persoalan “aliran sesat” di Kabupaten Sikka seyogianya diwawas dengan tilikan ini.  Forum dialog pemimpin agama se-NTT di Kupang itu adalah ruang publik. Di dalamnya representan negara juga hadir dalam diri gubernur. Yang mengherankan, yang dibawa masuk ke ruang itu bukan argumentasi publik, tetapi agumentasi privat. Petunjuknya tampak pada penilaian terhadap isi ajaran dari beberapa aliran di Kabupaten Sikka, yang dicap “sesat” dan “meresahkan warga Sikka”.

Cap “sesat” di sini, tolok ukurnya apa? Apakah konstitusi dan undang-undang (argumentasi publik)? Ataukah dogma, kitab suci, dan teologi agama tertentu (argumentasi privat)? Kalau tolok ukurnya konstitusi dan undang-undang, apa bentuk pelanggaran hukum dari isi “ajaran sesat” itu? Pasti tidak ada. Sebab, yang melanggar hukum hanyalah subjek hukum. Adapun isi keyakinan---sebagaimana ideologi, paham, cita-cita,  fantasi, imajinasi, dan mimpi---bukanlah subjek hukum.

Kalau tolok ukurnya dogma, kitab suci, dan teologi agama tertentu (argumentasi privat), mengapa itu dibawa ke ruang publik? Di hadapan representan negara pula, dalam hal ini gubernur, yang notabene tidak punya hak mengurus isi keyakinan. Jadi, yang “sesat” itu siapa? Yang diberi cap atau yang memberi cap?

Negara tidak punya hak menentukan mana agama tepat, mana agama sesat. Negara tidak punya hak memvonis mana ajaran lurus, mana ajaran bengkok. Isi keyakinan agama bukanlah urusan negara. Tetapi, bila isi keyakinan itu melahirkan tindak kriminal, negara wajib menghukum pelaku tindakannya, bukan melarang isi keyakinannya.

Apakah ada tindak kriminal yang lahir dari isi keyakinan “aliran sesat” di Kabupaten Sikka? Kalau ada, langkah yang tepat adalah melaporkan pelakunya ke polisi. Dan, tindakan melanggar hukum itulah yang  boleh dibawa ke ruang publik (dengan argumentasi publik), bukan isi keyakinan pelakunya (dengan argumentasi privat). Itu pun harus tetap dengan asas praduga tak bersalah, bukan asas praduga harus dihukum.

Ini yang tidak tampak dari (berita tentang) dialog pemimpin agama se-NTT di Kupang. Yang mencuat malah cap “aliran sesat” dengan tudingan “meresahkan warga Sikka”---sesuatu yang sesungguhnya lebih bersifat psikologis-sosiologis ketimbang yuridis.

Apa makna “meresahkan” dalam tudingan itu? Kecil kemungkinan “aliran sesat”, yang notabene minoritas baru, hadir di Sikka untuk meresahkan warga beragama lain yang adalah mayoritas. Yang lebih mungkin, si mayoritas menjadi resah karena di sampingnya telah hadir si yang lain. Kalau itu yang terjadi maka ini bukan lagi sekadar “soal perspektif” seperti celetukan Om Toki. Ini sudah soal sikap. Sikap intoleransi. Intoleransi dalam hidup bermajemuk. Dan itu berarti sebuah langkah mundur.

Ketika para bapak bangsa mendirikan Indonesia, kesepakatan rasional pertama yang mereka capai bagi kehidupan sosial adalah kesediaan menerima kemajemukan, tulis Rocky Gerung pada artikel dalam antologi SETARA Intitute,  Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi (Jakarta: 2009).

Fakta kemajemukanlah yang melahirkan Sumpah Pemuda, Pancasila, dan UUD 1945. Perbedaan merupakan alasan fundamental ke-Indonesia-an. Di satu sisi, kita berbeda-beda tetapi satu. Di sisi lain---ini yang semakin “dilupakan”---kita satu tetapi berbeda-beda. Perbedaan harus tetap diingatkan. Karena itu, segala upaya meniadakan perbedaan, salah secara logis dan berbahaya secara sosiologis.

Yang berbahaya secara sosiologis sudah kasat mata, antara lain pada tindak kekerasan FPI. Kita tidak menginginkan bahaya seperti itu muncul di NTT. Tetapi kita juga tak akan bisa menghindarkannya kalau kita tetap bersikap intoleran, seraya gemar membawa argumentasi privat kewargaagamaan ke dalam ruang publik kewarganegaraan. ***

“Opini” Flores Pos, Sabtu 8 September 2012

3 komentar:

Anonim mengatakan...

“Keluarkan dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu”

Anonim mengatakan...

Menyebarkan kebaikan dan Firman Tuhan sesuai dgn Alkitab adalah sangat baik. Namun bila dibalik smua itu ada motivasi terselubung utk mendapatkan materi, uang, pujian, fasilitas, kemudahan dll dr para jemaat adalah sesat. Jemaat dijerat dgn mengatasnamakan Tuhan. Kemudian di doktrin spy setia dan tdk keluar dr komunitasnya yg tujuannya spy bs diperas uangnya secara halus. Sy menulis ini spy para jemaat sadar dan mampu membedakan mana yg dtg dr Tuhan dan mana yg dr iblis. Krn iblispun bs menyamar sbg Malaikat terang. Kasian para jemaat yg sbnrnya bersungguh-sungguh mencari Tuhan tetapi dimanfaatkan oleh Nabi-nabi palsu berkedok pelayan Tuhan. Berdoalah dgn sungguh-sungguh, bukalah mata hati dan pikiran jernih kaliyan, maka kaliyan akan mampu melihat motivasi terselubung mrk yg sesungguhnya. Jgn terkecoh dgn mulut manis dan bahasa yg sok-sok dr Alkitab. Tp lihatlah motivasi dibalik itu. Krn segala kebaikan yg berasal dr Tuhan adalah tanpa pamrih dan tdk menuntut imbalan apapun. Smoga tulisan sy ini akan membawa kebaikan utk kita semua. Amieennn

Anonim mengatakan...

jaman sekarang umumnya yang ada pendeta saul bukan pendeta daud. Khusus kepada pendeta yang mencari kekayaan materi/duniawi, aku mau bertanya " dengan otoritas siapakah anda mengumpulkan harta kekayaan materi dengan memakai dan menjual nama Yesus dengan cara menina bobokan jemaat2 Tuhan ?"