30 Oktober 2009

Gegabahnya Kejari Ende

Hakim dan Terdakwa Dipukul Massa

Oleh Frans Anggal

Salah seorang hakim Pengadilan Negeri Ende dan terdakwa kasus bawa lari siswi SMA dipukul massa pengunjung sidang di pengadilan itu, Kamis 29 Oktober 2009. Demikan warta Flores Pos Jumat 30 Oktober 2009. Mulanya, pengunjung hanya menggebuk terdakwa, Olimpius Deo Bari, guru SMA Negeri 2 Ende. Terdorong oleh tanggung jawab, hakim Ronald Masang datang melerai. Saat itulah ia kena jotos hingga bibirnya terluka.

Di manakah aparat Polres Ende ketika itu? Tidak ada seorang pun di sana! Bukan salahnya polres. Ini murni seratus persen salahnya kejari. Pihak kejari yang menghadirkan terdakwa ke persidangan tidak meminta pengawalan dari polres. Kenapa bisa begitu? “Kami tidak menyangka ini akan terjadi. Ini salah kami,” kata Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Ende Deden Soemantri.

Pernyataan Deden Soemantri sungguh jujur. Dan dalam jawaban itulah letak pokok soalnya. Kejari memutuskan sesuatu hanya berdasarkan ‘sangkaan’. Ini sikap gegabah yang sangat riskan. Sama gegabahnya, ‘menyangka’ semuanya aman-aman saja, beres-beres saja, lancar-lancar saja.

Kejari, oleh tanggung jawab yang diembannya dan karakter perkara yang ditanganinya, diidealkan mampu meraba-raba kemungkinan yang akan terjadi. Syukur-syukur kalau bisa memastikannya. Kalau tidak? Pertama, janganlah kemungkinan itu diabaikan. Apalagi diremehkan. Kedua, sikap dan tindakan paling tepat tetaplah satu ini. Mengantisipasi kemungkinan paling buruk. Ini yang justru tidak dilakukan kejari.

Kasus guru bawa lari siswi. Ini sangat serius untuk budaya kita. Guru dianggap sebagai orangtua. Guru itu digugu. Ia pusat keteladanan (exemplary center). Pandangan seperti ini mengandung implikasi serius. Sekali melakukan tindakan amoral, ia akan dikecam habis-habisan. Apalagi jika tindakan itu ia lakukan terhadap muridnya sendiri. Ia sulit dimaafkan. Bentuknya bisa macam-macam. Salah satunya, tindak kekerasan.

Dalam kasus ini, presedennya sudah ada. Tindak kekerasan massa terhadap si guru sudah terjadi sebelumnya. Sudah terjadi bukan berarti sudah selesai. Peluang untuk berulang tetap terbuka. Saat terdakwa dalam tahanan polres, peluang itu hilang. Demikan pula saat ia dalam tahanan kejaksaan. Peluang itu baru muncul kembali saat persidangan. Apalagi jika persidangan itu terbuka untuk umum.

Pertanyaan kita: kenapa kejari tidak melilhat tindak kekerasan massa yang sudah terjadi sebelumnya itu sebagai sesuatu yang bisa berulang? Kenapa kejari tidak melihat peluang berulangnya tindak kekerasan itu sebagai ancaman serius? Kenapa kejari tidak melihat ancaman serius itu sebagai sesuatu yang harus diantisipasi? Kenapa kejari tidak melihat sesuatu yang harus diantisipasi itu sebagai sesuatu yang mendesakkan kehadiran aparat keamanan?

Berani-beraninya kejari menghadirkan terdakwa ke perisidangan terbuka tanpa kawalan polisi. Ini sikap gegabah, yang tidak lagi sekadar riskan, tapi sudah nyata-nyata terbukti mengkondisikan berulangnya tindak kekerasan. Kali ini, korbannya bukan hanya si terdakwa. Hakim juga terkena pukulan. Persidangan kasus ini pun ditunda. Bahkan, sedang dipertimbangkan untuk digelar di tempat lain.

“Kami tidak menyangka ini akan terjadi. Ini salah kami.” Kejari mengakui kesalahannya. Sebuah sikap ksatria. Sikap terpuji. Sikap yang patut dihargai. Namun, mengaku bersalah saja tidaklah cukup. So what, gitu lo! Perlu berubah. Menjadi lebih baik, dan semakin baik.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 31 Oktober 2009

Raskin Memang Riskan

Seorang Kades Bikin Aturan Baru

Oleh Frans Anggal

Raskin bermasalah lagi di Flores. Kali ini di Kabupaten Sikka, di Kecamatan Bola, di Desa Wolonwalu. Sang kades, Minsia, bikin aturan baru. Tiap KK penerima raskin wajib bayar Rp75.000 uang pembangunan gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Bayar dulu uang itu, baru boleh beli raskin Rp1.600 per kg. Warga Dusun Ili protes. Mereka mengadu ke kejaksaan. Demikian warta Flores Pos Kamis 29 Oktober 2009.

Ini kasus ketiga yang menonjol dalam dua bulan terakhir. Sebelumnya, di Manggarai dan Ende. Di Manggarai, di Kecamatan Satar Mese, di Desa Pongkor, raskin dijual ke pengusaha. Hasilnya, untuk ketua RT Rp200 ribu per orang, untuk kegiatan olahraga di kecamatan, dan untuk beli kerbau bagi perjamuan syukuran proyek Wae Cecu yang dihadiri rombongan bupati.

Di Ende, di Kecamatan Detusoko, di Desa Hangalande, raskin dijual kepada pengusaha. Hasilnya, untuk bayar pajak warga dan bangun kantor desa. Keputusan ini diambil kades berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat dan badan perwakilan desa.

Raskin memang riskan. Mudah diselewengkan. Pada kasus Manggarai dan Ende, persoalannya adalah peruntukannya yang salah. Sasaran raskin adalah rumah tangga miskin. Jual demi kepentingan lain tidak dapat dibenarkan, meski ada kesepakatan. Pada kasus Sikka, persyaratannyalah yang salah, meski peruntukannya benar. Kades memasukkan persyaratan yang tidak diatur dalam pedoman teknis pelaksanaan.

Si kades punya maksud baik. Ia ingin gedung PAUD beres. Ia peduli pada pendidikan. Sayang, kepeduliannya yang terpuji tidak diikuti cara yang terpuji pula. Dari sisi logika, ia sesatpikir. Namanya, ‘sesatpikir di luar pokok persoalan’ (fallacy of arguing beside the point). Dia mengaburkan dua persoalan yang jelas-jelas berbeda, sedemikian rupa sehingga alasan atau syarat bagi persoalan yang satu dipergunakan untuk mendukung atau membuat simpulan atau putusan dari persoalan yang lain.

Bangun gedung PAUD itu satu persoalan, dan penerimaan raskin itu persoalan yang lain. Masing-masing dengan persyaratannya agar bisa terwujud. Dua persoalan berbeda dengan persyaratan berbeda ini dicampur-adukkan oleh si kades. Persyaratan pembangunan gedung PAUD, yakni tiap KK wajib setor Rp75.000, ia jadikan persyaratan bagi penerimaan raskin.

Dengan kata lain, dalam sesatpikir ini, si kades memasukkan persyaratan asing. Persyaratan yang tidak relevan. Persyaratan yang tidak ada tali-temalinya dengan persoalan pokok. Logika menamakan sesatpikir ini ‘sesatpikir tanpa pertalian’ (fallacy of irrelevancy).

Pertanyaan kita: apakah ini hanya persoalan sesatpikir? Untuk sementara, sekadar tak gegabah memvonis si kades, jawabannya: ya. Namun dengan penekanan, sesatpikir di sini bukan ‘sesatpikir menurut bentuk’ (formal fallacies), tapi ‘sesatpikir menurut isi’ (material fallacies). Yaitu, menyangkut kenyataan yang sengaja disesatkan oleh si kades. Oleh karena itu, si kades tidak bisa tidak bertanggung jawab. Tidak bisa tidak bertanggung gugat.

Karena negara ini negara hukum, dan yang dilakukannya menyangkut persoalan publik yang sengaja disesatkan, dan itu berarti melawan hukum, maka si kades patut diproses hukum. Melalui proses hukum akan jelas, apa saja kesalahannya. Atas dasar itulah ia akan paham kenapa harus berbenah. Atas dasar itu pula masyarakat dapat memaafkannya. Kenapa tidak.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 30 Oktober 2009

Erni Manuk Minta Dilantik

Masih Jadi Tahanan Polres

Oleh Frans Anggal

Theresia Abon Manuk alias Erni Manuk minta izin kapolres Lembata agar ia diperbolehkan hadir untuk dilantik menjadi anggota DPRD Lembata gelombang kedua Rabu 28 Oktober 2009. Sebelumnya, pada pelantikan gelombang pertama 1 September, ia tidak diizinkan keluar tahanan. Putri Andreas Duli Manuk bupati Lembata ini adalah tersangka kasus pembunuhan berencana Yoakim Langoday.

Besar kemungkinan, kapolres tidak memberi izin. Alasannya dapat diduga. Sama seperti sebelumnya: situasi keamanan tidak kondusif. Lagipula, dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu, DPRD Lembata tidak mengagendakan pelantikan Erni. Yang dilantik kali ini hanya pimpinan definitif DPRD dan dua anggota dari Partai Penegak Demokrasi Indonesia.

Meski demikian, salah seorang kuasa hukum Erni, A. Rahman, melihat dari sisi lain. “Ini soal hak asasi manusia (HAM). Kita menghormati asas praduga tak bersalah. Erni Manuk belum bisa dikatakan bersalah karena belum ada keputusan tetap dari pengadilan. Jadi, kita minta izin untuk dilantik karena ini soal hak,” kata Rahman, diwartakan Flores Pos Rabu 28 Oktober 2009.

Benar. Seseorang belum boleh dianggap bersalah sebelum vonis berkekuatan hukum tetap menyatakannya bersalah. Itulah asas ‘praduga tak bersalah’ (presumption of innocence). Asas ini bertolak dari dua hal. Pertama, hak warga. Orang yang dicurigai mempunyai hak untuk dianggap tidak bersalah sampai alat negara membuktikan kesalahannya. Kedua, potensi kesewenang-wenangan negara dan dapat khilafnya alat-alat negara.

Tentang (potensi) kesewenang-wenangan negara dan (dapat) khilafnya alat-alat negara, rezim Orde Baru punya banyak cerita. Tak perlu dilitanikan di sini. Intinya: yang diberlakukan bukan lagi asas ‘praduga tak bersalah’, tapi asas ‘praduga harus dihukum’. Maka: orang tidak dibebaskan, justru untuk dibuktikan bahwa dia bersalah. Bahkan, orang tidak dibebaskan, justru karena tidak cukup bukti bahwa dia bersalah.

Lawan-lawan politik Orde Baru mengalami itu. Jauh sebelumnya, dialami para tersangka kasus G30S. Banyak dari mereka yang mendekam puluhan tahun di penjara tanpa peradilan. Mereka dihukum tanpa mengetahui dan menerima apa bentuk kesalahannya. Mereka korban dari asas ‘praduga harus dihukum’.

Yang begitu, terang-benderang melanggar HAM. Menariknya, HAM ini jugalah yang dijadikan sisi tilik A. Rahman untuk mendesak kapolres Lembata mengizinkan Erni Manuk hadir guna dilantik menjadi anggota dewan gelombang kedua. Relevankah itu? Dalam kasus Erni Manuk, justru tidak.

Benar, asas ‘praduga tak bersalah’ itu bagian dari HAM. Tapi HAM tidak menafikan hukum. Sebaliknya, hukum dibutuhkan untuk menjamin HAM. Dan karenanya, hukum tidak boleh menghanguskan HAM. Dengan menjadi tahanan polres, HAM seorang Erni Manuk tidak dihilangkan. Satu-satunya yang diambil daripadanya hanyalah hak atas kebebasan bergerak. Itu saja. Lainnya tidak.

Konkretnya: Erni berhak dilantik menjadi anggota dewan. Tapi, ia tidak berhak untuk bergerak ke tempat pelantikan, karena hak bergeraknya sudah diambil. Oleh karena itu, jangan persalahkan kapolres kalau belum bisa dilantik. Kapolres tidak melarang pelantikan. Ia tidak berhak. Haknya hanyalah melarang Erni meninggalkan tahanan, karena hak bergerak Erni memang sudah diambil. Hak itu baru akan dikembalikan saat masa penahanan berakhir. Maka, kalau mau dilantik, tunggu saja waktu itu toh?

“Bentara” FLORES POS, Kamis 29 Oktober 2009

26 Oktober 2009

Sikka dan Kehormatan Dunia

Pengurusan Akta Kelahiran Gratis

Oleh Frans Anggal

Kabupaten Sikka dapat kehormatan tingkat internasional. Bupatinya, Sosimus Mitang, didaulat Plan International untuk jadi salah satu narasumber dalam forum di London, Inggris, 16 November 2009. Ia bawakan materi tentang pengurusan akta kelahiran gratis. Dia satu-satunya bupati di Indonesia yang terima kehormatan ini. “Semua materi sudah disiapkan,” katanya seperti warta Flores Pos Senin 26 Oktober 2009.

Sikka pantas untuk itu. Kabupaten ini berlakukan akta gratis sejak 13 Desember 2004. Dikukuhkan melalui Perda 14/2004. Di masa kepemimpinan Bupati Alexander Longginus dan Wabup Yos Ansar Rera. Ini langkah jauh ke depan ketika daerah lain masih ‘kolot’. Masih anggap dan perlakukan pencatatan kelahiran sebagai sumber pendapatan daerah. Selain ‘kolot’, tidak kreatif dan tidak inovatif. Cari gampang. Pungut sembarangan. Sampai tega melanggar hak anak.

Kita sudah punya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 5 UU ini mengamanatkan: setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Apa yang merupakan hak pada anak serentak menjadi kewajiban pada negara. Negara wajib memberikannya gratis. Dan karena anak menurut UU ini seseorang yang belum berusia 18 tahun, maka akta gratis berlaku bagi semua yang berusia di bawah 18 tahun.

Kabupaten Sikka berlakukan ini secara konsisten. Daerah lain? Masih pake tapi-tapian. Ini karena mereka merujuk UU No 23/2006 yang menggratiskan akta kelahiran hanya bagi anak berusia 0-60 hari. Di Manggarai Barat, misalnya, penggratisan hanya bagi yang kelahirannya dilaporkan tepat waktu. Di atas 60 hari, dipungut biaya. Untuk anak pertama dan kedua Rp20 ribu plus formulir Rp500. Untuk anak ketiga Rp30 ribu plus formulir Rp500. Ketentuan ini tertuang dalam Perda 15/2005.

Di Sikka tidak begitu. Di atas 60 hari, tetap gratis, asalkan ada keterangan dari pengadilan negeri. Dengan begini, Sikka konsisten pedomani UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satu asas UU ini: non-diskriminasi. Justru asas inilah yang dikangkangi UU 23/2006, yang menggratiskan akta kelahiran hanya bagi anak berusia 0-60 hari.

Dengan UU 23/2006 yang diskriminatif ini, daerah lain ramai-ramai bikin pungutan. Ditetapkan melalui perda pula, seperti yang dibuat Manggarai Barat. Cela yang dibuka UU 23/2006 mereka gunakan betul. Padahal, cela itu melanggar asas non-diskriminasi yang dianut UU Perlindungan Anak. Cela itu merupakan langkah mundur bagi perlindungan anak. Dan, daerah yang memanfaatkannya adalah daerah ‘kolot’, diwawas dari kacamata HAM, khususnya hak asasi anak.

Justru di sinilah unggulnya Sikka. Di hadapan dua UU yang tidak sinkron itu, Sikka memilih amanat yang paling menguntungkan anak. Jelas, kiblatnya adalah perlindungan anak. Sedangkan pada daerah lain, kiblatnya penggemukan pundi-pundi daerah. Demi pundi-pundi itu, hak anak dikorbankan.

Keunggulan lain Sikka terletak pada prosedur pengaktaan. Dibikin sederhana. Pelayanannya satu atap. Kerjanya terpadu. Libatkan diskes, rumah sakit, puskesmas, dan berbagai mitra. Dengan demikian, pelayanan cepat, mudah, dan gratis dinikmati semua anak, dari kota sampai desa.

Pantas, Sikka dapat kehormatan internasional. Pantas, bupatinya didaulat jadi salah satu narasumber forum dunia. Sebuah kehormatan bagi yang berhak. Profisiat!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 27 Oktober 2009

Kelas Jauh, Rugi Dobel, Lalu?

Kasus UMK Kampus III Maumere

Oleh Frans Anggal

Sepekan lebih kemelut di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) Kampus III Maumere belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Sejak Kamis 16 Oktober 2009, Forum Mahasiswa Peduli Keadilan (FMPK) terus beraksi. Dari menyegel kampus dan orasi hingga mosi tidak percaya kepada pengelola kampus. FMPK menuntut rektor UMK di Kupang datang ke Maumere, menyelesaikan persoalan yang mereka angkat.

Salah satu persoalan utama diwartakan Flores Pos Jumat 23 Oktober 2009. Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menolak penyesuaian ijazah 8 PNS yang bertugas di Kabupaten Sikka. Alasan BKN, mereka mengantongi ijazah kelas jauh UMK Kampus III Maumere.

BKN mengacu pada edaran Dirjen Dikti 1996 berdasarkan keputusan Mendikbud 1991. Bahwa, penyelenggaran kelas jauh tidak dibenarkan. Itu berarti ijazah kelas jauh tidak diakui. Ini kasus kelas berat. Porsinya rektor. Masuk akal, FMPK menuntut rektor hadir. Tapi, kata rektor, ia masih sibuk. Maka, klarifikasi persoalan tertunda. Aksi FMPK jalan terus.

Kelas jauh sudah lama dilarang. Pelarangannya berulang-ulang pula lewat edaran dan pengumuman Dirjen Dikti. Edaran ditujukan kepada penyelanggara dan pihak terkait. Sedangkan pengumuman ditujukan kepada masyarakat luas. Edaran dan pengumuman itu selalu menegaskan satu hal: kelas jauh dalam bentuk apa pun tidak dapat dibenarkan! Yang dibenarkan hanyalah pendidikan jarak jauh, bukan kelas jauh, yang selama ini ditangani oleh Universitas Terbuka.

Kenapa kelas jauh dilarang? Banyak hal yang diabaikan di sana. Pertama, dosen. Dosen harus selalu berada di kampus dan sewaktu-waktu dapat dihubungi mahasiswa. Kedua, perpustakaan. Sumber dan bahan pembelajaran ini mesti tersedia. Ketiga, laboratorium. Fasilitas yang diharuskan oleh bidang studi tertentu ini pun harus ada.

Pada kelas jauh, ketiga tuntutan itu tidak terpenuhi. Dengan demikian, kegiatan akademik tidak optimal. Dampaknya, para mahasiwa tidak terlatih baik untuk berpikir menurut disiplin ilmiah dan nalar keilmuan. Pada diri mereka tidak berkembang memadai ‘kekuatan nalar individual’ (the power of individual reason). Padahal, kekuatan nalar ini penting untuk menyusun konsep. Penting untuk menjadikan mereka ‘manusia penganalisis’ (man of analysis). Inilah hakikat perguruan tinggi.

Oleh tiga kelemahan tadi, kelas jauh justru menjauhi hakikat perguruan tinggi itu. Para mahasiswanya pun dijauhkan dari citra dan kiprah man of analysis. Yang bisa mereka lakukan paling beraksi sebagai ‘manusia rapat umum’ (man of public meeting) dan ‘manusia tukang pidato’ (man of public speaking). Dalam aksi demo, modal utamanya itu, ditambah megafon.

Memprihatinkan. Para mahasiswa telah dibodohkan oleh kelas jauh. Selain itu, mereka dikorbankan. Waktu, tenaga, dana, dihabiskan untuk sebuah proses pendidikan tidak bermutu. Sedihnya, sudah tidak bermutu, ijazahnya pun tidak diakui. Rugi dobel!
Kisah 8 tamatan UMK Kampus III Maumere yang ijazahnya tidak diakui BKN sudah bercerita banyak. Betapa masyarakat kita mudah dibodohkan dan dikorbankan oleh perguruan tinggi yang hanya ingin cari untung. Perguruan tinggi seperti ini telah meninggalkan jatidirinya. Menjadi sekadar ‘pasar ijazah’, ‘pasar gelar’, ‘pusat perbelanjaan’, bukan lagi ‘pusat keunggulan’ (center of excellence).

Cara seperti ini sudah melanggar hukum dan etika. Pemerintah perlu segera mengambil sikap dan langkah tegas.

“Bentara” FLORES POS, Senin 26 Oktober 2009

Mobil Dinas: Belajar dari Ende

Mobil Dinas Diparkir di Kantor

Oleh Frans Anggal

Petugas kesehatan di Kabupaten Manggarai memanfaatkan mobil puskesmas keliling (pusling) lebih banyak untuk urusan pribadi. Akibatnya, pelayanan kesehatan masyarakat tidak berjalan sesuai dengan harapan. Padahal, mobil pusling diadakan untuk memudahkan pelayanan ke desa-desa terpencil.

Persoalan ini diangkat anggota DPRD Manggarai Ansel Odi pada seminar “Keperawatdaruratan Persalinan” di RSUD Ruteng, Sabtu 17 Oktober 2009. Ia menanggapi materi Kadiskes Yulianus Weng tentang revolusi KIA yang juga menyentil soal ini. Masih banyak perilaku petugas medis yang tidak patut dicontohi, kata Weng. Khususnya dalam menggunakan sarana dan prasarana yang diadakan pemerintah.

“Kita sudah panggil mereka. Kita sudah berikan teguran. Seluruh kepala puskesmas telah diimbau agar memakai mobil pusling sesuai dengan peruntukannya guna melayani masyarakat di desa-desa,” kata Weng, seperti diwartakan Flores Pos Kamis 22 Oktober 2009.

Menegur yang melanggar. Mengimbau yang belum. Itulah langkah sang kadiskes. Langkah umum, biasa, seragam. Di mana-mana begitu. Dan, karena hanya begitu, pelanggaran selalu berulang. Keberulangan menunjukkan, tegur dan imbau saja tidaklah cukup. Mesti ada langkah lain. Apa?

Di Kabupaten Ende, jawabannya jelas dan tegas. Semua mobil dinas disimpan di kantor! Bukan di rumah kepala! Ende berlakukan ini sejak Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar mulai memimpin April 2009. Sebagai birokrat, mereka sadar: tegur dan imbau saja tidak cukup. Hebatnya, mereka tidak berhenti di situ. Mereka bertindak. Konkret, jelas, tegas, efektif.

Di Ende saat ini, tidak terlihat lagi mobil dinas ‘berkeliaran’ di luar jam dinas untuk urusan yang bukan dinas. Sebelumnya? Alamak! Mobil dinas, sopir dinas, tapi urusannya pribadi. Anggaran daerah terkuras. Kasihan juga sopirnya. Kerja di luar ketentuan 7 jam sehari. Syukur kalau dikasih gaji ekstra oleh kepala. Kalau tidak? Dia akan ‘makan’ apa yang bisa ‘dimakan’ dari mobil. Yang paling mudah dan rutin, ‘makan’ bahan bakarnya. Sebagian masuk tangki , sebagian masuk saku.

Penyalahgunaan seperti ini kini semakin sulit terjadi di Ende. Bupati dan wabup tidak perlu capek-capek menegur dan mengimbau. Sebab, mereka telah temukan titik simpul persoalan. Simpul inilah yang mereka bongkar. Efeknya berganda. Banyak pihak diselamatkan. Si kepala diselamatkan dari godaan penyalahgunaan sarana/prasarana daerah. Si sopir diselamatkan dari kesempatan memanipulasi dana kebutuhan mobil. Dia juga diselamatkan dari kesempatan dimanipulasi waktu dan tenaganya oleh kepala. Dan, tentu, daerah diselamatkan dari peluang pemborosan anggaran.

Dalam audiensi dengan pimpinan Flores Pos, Senin 19 Oktober 2009, Bupati Don berjanji akan membeberkan besaran penghematan anggaran berkat pemberlakukan aturan ini. Yang pasti tidak kecil. Dari anggaran bahan bakar dan ban saja, jumlahnya sudah bisa bikin kita tercengang.

Manggarai bisa meniru Ende. Dengan demikian, Kadiskes Yulianus Weng tidak perlu capek-capek menegur dan mengimbau para kepala puskesmas. Kuncinya, mulai dari atas. Dari bupati dan wabup. Dari kepala SKPD. Kalau ini jalan, yang di bawah gampang ikut. Masalahnya, justru ini. Yang di atas tidak kasih contoh. Padahal, ibarat menyapu tangga, mulainya harus dari atas. Sebab, ibarat ikan, busuknya mulai dari kepala.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 24 Oktober 2009

22 Oktober 2009

Lembata dan ‘Bupati-Pilot’

DPRD Nilai Bupati Manuk Tidak Betah di Lembata

Oleh Frans Anggal

“Saya bukan pesiar.” Begitu kata Bupati Lembata Andreas Duli Manuk dalam rapat kerja dengan DPRD, Selasa 20 Oktober 2009. Ia menanggapi sorotan dewan yang menilainya tidak betah di Lembata. Terlalu sering ke luar daerah. Sudah kebiasaan: 1 hari di Lembata, 6 hari di luar. Akibatnya, dewan sulit mambahas berbagai masalah bersama bupati.

Menurut Bupati Manuk, ia ke luar daerah karena urusan dinas. Perjalanan itu perjalanan dinas. Dan perjalanan dinas itu bisa ia pertanggungjawabkan. Jadi, “Saya bukan pergi pesiar.” Demikian warta Flores Pos Rabu 21 Oktober 2009.

Jawaban bupati perihal ke luar daerah, benar seratus persen. Ke luar daerah, karena urusan dinas. Karena urusan dinas, ke luar itu merupakan perjalanan dinas. Karena perjalanan dinas, maka SPPD ada. Karena SPPD ada, maka dana ada. Karena dana ada dan dimanfaatkan, maka bukti ada: kuitansi, tiket, dll. Ini bukti sah dan penting. Olehnya, bukti ini sulit untuk tidak diadakan. Karena, justru dengannya, perjalanan dinas dapat dipertanggungjawabkan.

Jawaban benar seratus persen ini, sayangnya, hanya benar untuk hal yang justru bukan inti sorotan dewan. Yang disoroti dewan bukan perjalanan dinasnya, tapi seringnya itu. Satu hari di Lembata, enam hari di luar. Mungkin yang dilukiskan DPRD ini berlebihan. Mudah-mudahan cuma gaya bahasa, bukan fakta. Kalau ini fakta, kasihan Lembata, dipimpin oleh ‘pilot’, bukan oleh ‘bupati’.

Prestasi pilot terletak pada jumlah jam terbang. Prestasi bupati? Bisa terletak pada jam terbang juga. Namun, pertanyaannya: terbang ke mana? Kalau terbangnya di dalam daerah dan lebih banyak dalam daerah, ini namanya ‘bupati-luar-biasa’. Sebaliknya, kalau terbangnya ke luar daerah dan lebih banyak luar daerah, ini namanya ‘bupati-biasa-di-luar’.

Spirit otonomi daerah mengidealkan ‘bupati-luar-biasa’, bukan ‘bupati-biasa-di-luar’. Credonya ini. Pergilah kepada masyarakat. Tinggallah bersama masyarakat. Layanilah masyarakat. Belajarlah dari masyarakat. Berencanalah bersama masyarakat. Bekerjalah bersama masyarakat. Mulailah dengan apa dimiliki masyarakat. Bersaksilah kepada masyarakat melalui teladan.

Seorang ‘bupati-biasa-di-luar’ tidak akan bisa melaksanakan credo itu. Padahal, spirit otonomi daerah menuntutnya harus begitu. Bagaimana mungkin memenuhi amanat “tinggallah bersama masyarakat” kalau bupati cuma 1 hari di daerah dan 6 hari di luar? Kalau tinggal bersama masyarakatnya cuma sehari sepekan, bagaimana bisa ia optimal melayani masyarakat? Belajar dari masyarakat? Berencana bersama masyarakat? Bekerja bersama masyarakat? Menjadi teladan bagi masyarakat?

Ini sudah masalah besar pada Bupati Manuk, sejauh disoroti DPRD dalam beberapa kali rapat kerja. DPRD sudah mengeluh. Saking seringnya bupati di luar daerah, dewan sulit mambahas dan menyelesaikan berbagai masalah di Lembata. Bupati memang bisa mewakilkannya pada wabup atau sekda. Namun, dalam beberapa kasus, jawaban mereka ujung-ujungnya: tunggu bupati. Apa yang bisa segera diselesaikan, terpaksa ditunda hanya karena bupati tidak hadir.

Itu baru keluhan dewan. Bagaimana pula keluhan masyarakat? Boleh jadi tidak terdengar. Tapi bukan berarti tidak ada. Masyarakat sering diam untuk hal yang sulit mereka ubah. Ini namanya ‘kesadaran palsu’ atau mistifikasi. Mereka tampak ikhlas menerima, bupati mereka memang begitu. Bukan ‘bupati-luar-biasa’, tapi ‘bupati-biasa-di-luar’. Alias, ‘bupati-pilot’.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 23 Oktober 2009

21 Oktober 2009

Pulau Ende Bebas BAB?

Catatan tentang Kesalahan Berbahasa

Oleh Frans Anggal

“Masyarakat Pulau Ende Sepakat Deklarasikan Bebas BAB”. Demikian judul berita Flores Pos Selasa 20 Oktober 2009. BAB, singkatan dari ‘buang air besar’. Dalam alinea pertama tertulis, masyarakat Kecamatan Pulau Ende yang tersebar di tujuh desa, sepakat mengadakan deklarasi bebas BAB di sembarang tempat pada November 2010. Deklarasi ini merupakan tindak lanjut program Unicef yang sejak tiga tahun silam merintis air minum bersih dan penyehatan lingkungan di pulau itu.

Dilihat dari konteksnya, istilah “bebas BAB” itu berterima. Orang paham maksudnya apa. Mulai November 2010, masyarakat Pulau Ende tidak lagi BAB di sembarang tempat. Mereka sudah punya jamban keluarga dan jamban umum. BAB-nya di situ, bukan lagi di kebun atau pinggir pantai. Mereka dibebaskan dari pola lama, dan masuk ke pola baru yang bersih dan sehat. Itulah makna kata “bebas” dalam istilah “bebas BAB”.

Dengan penjelasan ini, istilah “bebas BAB” kurang lebih sama dengan “bebas asap rokok”, “bebas malaria”, yang berarti “tanpa asap rokok”, “tanpa malaria”. Sampai di sini, “bebas BAB” terkesan benar. Padahal, justru sebaliknya. Istilah itu salah seratus persen. Makna leksikalnya bertolak belakang dengan maksud si pengucap.

Dandim Ende Letkol (Inf) Frans Thomas merupakan salah seorang pembaca yang menyadari kesalahan dalam istilah ini. Melalui SMS, ia memberikan catatan. “Menurut saya, bebas BAB di sembarang tempat pada November 2010 malah akan mengakibatkan lingkungan kotor dan tidak sehat.”

Betul sekali. Bayangkan: apa yang terjadi kalau masyarakat sepakat untuk bebas BAB di sembarang tempat. Bisa di jalan raya, di kintal rumah, di halaman kantor. Jadinya, tidak beda dengan sapi, kerbau, dan kambing di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat.

Di Labuan Bajo, ternak tidak diikat, tidak dikandangkan. Sapi, kerbau, dan kambing bebas berkeliaran. Bebas merumput di mana-mana. Dan tentu bebas pula BAB di mana-mana. Di kebun, di pekarangan rumah, di jalan raya, di halaman kantor. Cocoknya, ternak di Labuan Bajo inilah yang mencanangkan deklarasi bebas BAB di sembarang tempat. Bukan masyarakat Pulau Ende.

Kalau begitu? Masyarakat Pulau Ende jangan gunakan lagi istilah yang salah itu! Segera ganti dengan istilah yang tepat. Istilah yang sesuai dengan maksudnya yang luhur . Karena itu, deklarasikanlah “Stop BAB di Sembarang Tempat!” Atau, “Tertib BAB di Jamban!” Dan untuk tertib BAB, mulailah dengan tertib berbahasa, tertib beristilah. Jangan ikut bapak-bapak pejabat yang sering tidak logis dalam menggunakan bahasa dan istilah.

Satu contoh. Dari pusat sampai daerah, banyak pejabat menggunakan istilah “mengejar ketertinggalan”. Supaya maju alias tidak tertinggal, kita diajak oleh bapak-bapak ini untuk berjuang “mengejar ketertinggalan”. Persis seperti “bebas BAB di sembarang tempat” tadi, istilah ini salah seratus persen. Makna leksikalnya bertolak belakang dengan maksud si pengucap.

Bayangkan: mengejar ketertinggalan! Apa yang kita dapat? Ketertinggalan! Kita memperoleh apa yang kita kejar. Di negara lain, masyarakatnya diajak untuk mengejar kemajuan. Maka, yang mereka peroleh: kemajuan. Di negara kita, malah sebaliknya. Mengejar ketertingggalan. Pantasan tertinggal teruuuus .

“Bentara” FLORES POS, Kamis 22 Oktober 2009

20 Oktober 2009

Tei Baru Tau

Labuan Bajo dan Keteladanan

Oleh Frans Anggal

Masyarakat Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), kecewa. Ternak di kota itu masih berkeliaran. Sapi, kerbau, kambing. Merumput di mana-mana. Kebun, pekarangan, bahu jalan, halaman kantor. Buang kotoran pun di situ. Termasuk di jalan raya. Demikian warta Flores Pos Selasa 20 Oktober 2009.

Ternak berkeliaran bukan kasus baru untuk Labuan Bajo. Dulu, waktu Mabar masih bagian dari Kabupaten Manggarai, keadaannya sudah begitu. Ketika Mabar jadi kabupaten otonom, masih juga seperti itu. Kota ini bukan hanya kota pariwisata, kota pendidikan, kota niaga. Ia adalah juga kota hewan. Labuan Bajo semacam kandangnya.

Imbauan sudah disampaikan. Aturan sudah disosialisasikan. Bahkan sudah dibakukan jadi perda. Hasilnya? Sama saja. Omongan pejabat hanya jadi omong kosong. Perda hanya jadi macan ompong. Tegas di kertas, lunglai di lapangan. Pasti ada sesuatu yang salah.

Patut dapat diduga, imbauan, aturan, dan perda hanya sebatas ditulis dan diucapkan oleh para elite, titik. Mereka sendiri tidak melaksanakannya. Dalam beberapa kali pemberitaan terungkap, justru yang bandel tidak mengikat atau mengandangkan ternak itu para pegawai. Bagaimana mungkin masyarakat bisa taat aturan kalau yang di atas suka langgar aturan? Tak adanya keteladanan. Itulah salah satu biang keroknya.

Bagi para elite, khususnya pemimpin, keteladanan itu beban. Bukan karena manfaatnya, tapi karena keterlekatannya pada atribut pemimpin itu sendiri akibat kebutuhan sehingga menjadi tuntutan masyarakat. Pemimpin ‘harus’ jadi tokoh panutan. Pemimpin ‘harus’ jadi pusat keteladanan (exemplary center).

Tuntutan seperti ini tidak adil. Sebab, asumsinya adalah: kualifikasi moral si pemimpin harus di atas rata-rata. Dampaknya: kalau berbuat baik dan benar, ia tidak dipuji. Sebaliknya, kalau berbuat buruk dan salah, ia dikecam habis-habisan. Si pemimpin diperlakukan tidak sebagai manusia biasa. Padahal, ia bukan malaikat. Ini tidak adil.

Sayangnya, ketidakadilan ini justru dibutuhkan oleh masyarakat. Hanya dengan begitu, mereka menghargai pemimpinnya. Hanya dengan begitu, mereka percaya dan akhirnya melaksanakan apa yang diajarkan pemimpinnya. Dalam audiensi dengan pimpinan Flores Pos Senin 19 Oktober 2009, Bupati Ende Don Bosco M Wangge menunjukkan fenomena ini dengan istilah orang Ende-Lio. Tei baru tau. Lihat baru buat. Lihat dulu apa yang dilaksanakan pemimpin, barulah masyarakat percaya apa yang dikatakan pemimpin. Kalau omong doang, mereka akan bilang, tei roa, lihat dulu (apa kau juga bisa buat).

Waktu jadi Camat Detusoko, Don Wangge ‘menghargai’ sikap masyarakat ini dengan memberikan teladan. Ia pelihara sapi dengan cara mengikatnya di kandang, di lokasi yang mudah dilihat masyarakat. “Saya mau tunjukkan, sapi bisa gemuk dengan tali satu meter,” katanya. Dan benar. Sapinya jauh lebih gemuk ketimbang sapi warga yang berkeliaran. Masyarakat pun berubah. Tanpa perda!

Labuan Bajo bisa bikin seperti itu. Perda sudah ada. Bagus. Tapi apa artinya kalau ia cuma jadi macan kertas? Seperti masyarakat Detusoko, masyarakat Labuan Bajo tidak butuhkan perda penertiban ternak, betapa pun itu penting. Yang mereka perlukan, keteladanan para elite, para pemimpin. Istilah Manggarai sangat tepat. Toing le toming. Beritahu lewat teladan. Cobalah!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 21 Oktober 2009

Mabar dan Manajemen Siput

Kasus Rawan Pangan di Tiga Desa

Oleh Frans Anggal

Sejumlah anggota DPRD Manggarai Barat (Mabar) mendesak pemkab segera menurunkan bantuan pangan darurat bagi warga kelaparan di Desa Macang Tanggar, Golo Pongkor, dan Ngorang, Kecamatan Komodo. Tanaman pangan warga tahun ini gagal panen akibat banjir dan hama tikus.

“Pemkab Mabar semestinya segera mengambil sikap,” kata Bernadus Barat Daya. “Pemerintah tidak boleh abaikan mereka,” sahut Blasius Jeramun. Begitu warta Flores Pos Senin 19 Oktober 2009.

Kasus ini sudah diberitakan sejak pengujung September. Pihak desa pun sudah memberikan laporan. Hasilnya? Tiga pekan lewat sia-sia. Tak ada tindakan apa-apa . Hambatannya? Pekan lalu: bukan karena tidak ada beras, kata Asisten II Setda Gasa Maximus. Beras ada, tapi mesti tunggu surat perintah bupati. Pekan ini: pemkab masih memprosesnya, kata Wabub Agus Ch Dula.

Kapan ‘masih’ itu akan jadi ‘sudah’, tidak jelas. Bisa pekan depan, bulan depan, tahun depan. Di sisi lain, ketidakjelasan ini memperjelas satu hal. Mabar sedang dinakhodai oleh pemimpin yang tidak responsif. Tidak cepat dan tidak tepat menanggapi dan melayani kebutuhan rakyat. Kalau sudah begini, untuk apa Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat ada?

Mengisi perut sendiri memang merupakan tanggung jawab masyarakat sendiri. Inilah yang dinamakan ‘prinsip subsidiaritas’ (subsidiarity principle) dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Negara, dalam hal ini pemerintah, tidak perlu mencampuri urusan-urusan yang dapat diatur sendiri oleh masyarakat. Namun, ketika masyarakat tidak sanggup lagi mengatasi persoalannya, negara wajib turun tangan.

Sebelum krisis pangan terjadi, warga tiga desa di Mabar itu mengatur pangannya sendiri. Lahan digarap sendiri. Benih, pupuk, obat-obatan dibeli sendiri. Pasca-panen diproses sendiri. Pemasaran ditangani sendiri. Segala persoalan diatasi sendiri. Semuanya sendiri. Dan mereka bisa. Maka, mereka tidak mengemis pangan kepada pemerintah.

Dalam keadaan warga seperti itu, pemerintah memang tidak perlu campur tangan. Sayang, keadaan warga kini berubah. Panen mereka gagal akibat bencana banjir dan serangan hama tikus. Musim panen berikut belum kunjung tiba. Kalaupun tiba nanti, tak ada jaminan hasilnya memadai. Dalam keadaan seperti ini, stok makanan mereka menipis. Ancaman kelaparan sudah di depan mata. Mereka tidak bisa lagi mengatasi persoalannya sendiri.

Kalau sudah begitu ceritanya, pemerintah tidak bisa tidak campur tangan. Bantuan harus diberikan. Apalagi, warga yang dulunya mandiri itu kini memohon-mohon agar segera dibantu. Kasarnya, mereka tidak malu lagi untuk mengemis. Ini pertanda kondisi mereka sudah gawat. Menunda memberikan bantuan sama dengan meningkatkan ancaman. Dan yang sedang terancam di sana adalah kehidupan. Hak atas hidup justru hak asasi pertama.

Kondisi warga tiga desa ini tidak hanya mengharuskan pemerintah turun tangan, tapi juga mendesakkan kebergegasan. Tanggap darurat yang cepat dan tepat. Ini yang, sayangnya, tidak dimiliki pemimpin Mabar saat ini. Ke atas, cepatnya luar biasa, jam terbang tinggi, lintas negara pula. Ke bawah, untuk urusan perut rakyat lapar, lambannya minta ampun. Sudah tiga pekan, bantuan belum turun-turun.

Ini manajemen model apa? Manajemen yang tidak responsif. Tidak cepat dan tidak tepat menanggapi dan melayani kebutuhan rakyat. Manajemen siput.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 20 Oktober 2009

Tahu dan Ikut Aturan

Kasus Kades Jual Raskin di Ende

Oleh Frans Anggal

Polsek Detusoko, Ende, menahan 4,8 ton raskin Desa Hangalande yang dijual Kades Geradus Fiedrich kepada Andi Suryadarma pengusaha di kota Ende. Truk pengangkut ikut ditahan. Dalam keterangan kepada polisi, kades mengatakan penjulan dilakukan atas kesepakatan dengan masyarakat dan badan perwakilan desa. Hasil penjualan dipakai untuk bayar pajak dan bangun kantor desa. Demikian warta Flores Pos Kamis 15 Oktober 2009.

Sebagai kades, Geradus Fiedrich mungkin punya karakteristik kepemimpinan yang baik. Ia libatkan masyarakat untuk putuskan mau diapakan jatah raskin (kepemimpinan partisipatif). Ia juga tanggap dan cepat mengatasi masalah pajak dan bangunan kantor desa (kepemimpinan responsif).

Sayang , dua karakteristik itu tidak disertai karakteristik lain yang harus dimiliki. Penegasan Kabulog Sub Divre Ende Guswardi Eteks, seperti dilansir Flores Pos Jumat 16 Oktober 2009, bisa memberikan gambaran. Sasaran raskin adalah rumah tangga miskin. Jual demi kepentingan lain di desa tidak dapat dibenarkan, meski ada kesepakatan. Pedoman teknis pelaksanaannya begitu.

Jadi, sang kades melanggar aturan. Padahal, menegakkan aturan perundang-undangan merupakan salah satu karakteristik yang harus dimiliki pemimpin. Boleh jadi ia tidak tahu adanya aturan itu. Dengan demikian, itu tidak ia masukkan sebagai salah satu unsur pertimbangan putusan.

Kalau benar begitu, sang kades sedang sesatpikir. Ini namanya ‘sesatpikir segi terabaikan’ (fallacy of negleted aspect). Dikiranya, yang disimpukannya sudah benar dan meyakinkan. Padahal tidak demikian, seandainya salah satu unsur penting, yakni aturan tadi, ia tahu dan ia masukkan sebagai pertimbangan.

Boleh jadi juga, sang kades tahu adanya aturan, sebagai salah satu unsur kebulatan pertimbangan. Namun kemudian, ia menyederhanakan kebulatan pertimbangan itu dengan mereduksikannya ke persoalan kesepakatan semata. Seolah-olah semuanya beres asalkan ada kesepakatan. Ini namanya ‘sesatpikir penyederhanaan’ (fallacy of reduction).

Di hadapan logika, sesatpikir gampang perbaiki. Logika bengkok, sebengkok apa pun, tinggal diluruskan, ya selesai. Tidak demikian di hadapan hukum. Pelurusan yang bengkok sering harus lewat penyidikan, penahanan, pendakwaan, persidangan, vonis, dan penjara. Di depan hukum, ketidaktahuan atau sesatpikir pun tidak dapat dijadikan dalih. Tahu atau tidak tahu, tetap dianggap sudah tahu. Itulah logika pemberlakuan hukum. Keras memang, tapi itulah hukum. Dura lex, sed lex.

Lihat saja, apa yang dilakukan Polsek Detusoko. Sebagai penegak hukum yang notabene ‘keras’ itu, mereka tidak mau tau. Apakah sang kades tahu aturan atau tidak, tetap saja ia dianggap sudah tahu, dan yang dilakukannya itu melanggar aturan yang sudah ia ketahui . Di hadapan hukum, ketidaktahuan tidak selamanya meluputkan. Sebaliknya, ia bisa mencelakakan. Ignorantia iuris nocet.

Dari pasal KUHP yang digunakan Polsek Detusoko, kasus penjualan raskin ini merupakan tindak ‘kejahatan’. Tahu atau tidak tahu aturan, yang dilakukan sang kades tetaplah digolongkan sebagai ‘kejahatan’. Ini kejamnya hukum. Mau bilang apa. Dampaknya? Ancaman penjara. Untuk sang kades, pasal 374, tentang ‘penggelapan’: maksimal 5 tahun. Untuk yang lain, pasal 480, tentang ‘penadahan’: maksimal 4 tahun.

Siapa yang suka dipenjara? Tidak ada. Semoga kasus ini menjadi pembelajaran. Tahu aturan, dan ikut aturan. Itu saja kuncinya.

“Bentara” FLORES POS, Senin 19 Oktober 2009

17 Oktober 2009

Pembunuhan Itu Bukan Sinetron

Kasus Kematian Yoakim Langoday

Oleh Frans Anggal

JPU Kejari Lewoleba mengembalikan BAP pembunuhan Yoakim Langoday kepada penyidik Polres Lembata disertai petunjuk untuk dilengkapi. Salah satu yang diminta JPU adalah saksi mata: orang yang melihat langsung pembunuhan. Demikian warta Flores Pos Kamis 15 Oktober 2009.

Masuk akalkah itu? Tidak! Begitu tanggapan Piter Bala Wukak, Koordinator Umum Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasn (Aldiras). Yoakim dibunuh di hutan bakau (19 Mei 2009). Lokasi ini sengaja dipilih karena tersembunyi. Dengan demikian, pembunuhan tidak dilihat orang. Bagaimana mungkin JPU meminta saksi mata? “Jaksa hanya mengada-ada.”

Mengada-ada seperti ini bukan yang pertama di Flores. Juni 2009, saat mengembalikan BAP kasus PDAM Ende, JPU juga mengada-ada: meminta polisi menanyai tersangka, apakah mereka sadar melakukan korupsi. Memangnya ada korupsi tanpa sadar? Korupi sambil tidur nyenyak? Kalaupun mereka tidak tahu yang mereka lakukan itu korupsi, ketidaktahuan tidak dapat dijadikan dalih pembenaran tindakan atau peniadaan hukuman.

Kedua JPU itu sama dalam satu hal. Mengabaikan apa yang oleh Thomas Aquinas disebut ‘tatanan akal budi’ atau ordo rationis atau ordinance of reason. Tata akal budi tidak boleh dilepaskan dari hukum. Sekali dilepaskan, hukum dan tindakan hukum menjadi tidak masuk akal.

Permintaan kedua JPU itu tidak masuk akal. Karena tidak masuk akal maka, secara moral, daya ikat atau daya wajibnya hilang. Karena daya ikatnya hilang maka polisi tidak perlu merasa terbebani dan memaksa diri memenuhi permintaan itu.

Bandingkan dengan perintah Nazi Hitler: membunuh orang Yahudi. Perintah ini tidak masuk akal. Ia melanggar tata akal budi. Maka, secara moral, ia tidak punya daya ikat apa pun. Artinya, apabila dilanggar, si pelanggar tidak dapat disalahkan secara moral. Bahwa dia dihukum karenanya, itu soal lain.

Kurang lebih seperti itulah. Karena melanggar tata akal budi maka, meski diminta JPU, Polres Ende tidak perlu menanyai tersangka kasus PDAM, “Apakah kamu sadar melakukan korupsi?” Demikian pula Polres Lembata, tidak perlu mencari, apalagi mencari-cari, saksi mata pembunuhan Langoday, kalau memang tidak ada.

Yang kita herankan, bisa-bisanya JPU meminta hal mengada-ada seperti ini. Apakah memang karena tolol? Kalau tolol, kenapa jadi JPU? Kemungkinan lain: JPU sengaja mentolol-tololkan diri, demi ‘sesuatu’. Dalam kasus Langoday, Piter Bala Wukak mengendus ‘sesuatu’ itu sebagai kesan. Ada skenario untuk membebaskan para tersangka.

Boleh jadi. Apalagi kalau dikaitkan dengan korban, tersangka, dan motif. Korbannya orang besar untuk ukuran daerah: Langoday, Kabid Pengawasan, Pengelolaan, dan Pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Salah satu tersangkanya anak orang besar: Erni Manuk, putri Andreas Duli Manuk, bupati Lembata. Motifnya pun terkait proyek besar: proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Mortif ini disampaikan sendiri oleh Bupati Manuk dalam rapat paripurna DPRD Lembata, Selasa 18 Agustus 2009.

Apakah karena kualifikasi ‘besar’ itu dan demi ‘sesuatu’, JPU lalu mentotol-tololkan diri? Entahlah. Kalaupun benar begitu, kita minta polisi tidak ikut-ikutan tolol. Tidak perlu mencari, apalagi mencari-cari, saksi mata kalau memang tidak ada. Pembunuhan itu bukan sinetron. Tidak ada pemirsanya.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 17 Oktober 2009

16 Oktober 2009

Penutur Dunia Multikultur

Kiblat Jurnalisme Perdamaian

Oleh Frans Anggal

Seorang jurnalis yang meliput di daerah konflik harus mampu meredam konflik agar permasalahan yang ada dapat diselesaikan tanpa kekerasan. Begitu kata anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, pada lokakarya di Kupang, 14 Oktober 2009.

Apa yang dikatakan Bambang Harymurti merupakan pilihan sikap jurnalisme perdamaian. Lawannya, jurnalisme perang atau jurnalisme konflik. Wacana tentang dua genre ini muncul pertama kali dalam lokakarya di Taplow Court, Buckinghamshire, Inggris, 25-29 Agustus 1997. Hasil lokakarya dibukukan dalam Peace Journalism Option (1998).

Perbedaan hakiki kedua genre ini terletak pada orientasi. Yang diorientasikan jurnalisme perang adalah perang, propaganda, golongan elite, dan kemenangan. Yang diorientasikan jurnalisme perdamaian adalah perdamaian, kebenaran, golongan masyarakat, dan penyelesaian.

Kedua genre mengakui penting dan strategisnya peran media dalam konflik multikultur. Tanpa media, konflik tidak akan memiliki legitimasi. Medialah yang memperluas penyebaran berita konflik. Media jugalah yang mempertajam efek psikologisnya, bahkan melebihi apa yang dicapai konflik itu sendiri.

Studi yang dilakukan Eriyanto (2002) tentang konflik di Maluku 1999 menyimpulkan, konflik itu tidak berdiri sendiri. Media ikut menjadi bagian di dalamnya, bahkan memperkeruh suasana. Akhirnya, yang terjadi bukan hanya konflik antara kelompok Islam dan Kristen, tapi juga persaingan antarmedia yang berbasiskan sentimen agama. Uniknya, situasi konflik ini dimanfaatkan oleh satu kelompok media besar di Indonesia.

Konflik Maluku mengukuhkan satu hal. Begitu penting dan strategisnya peran media di tengah konflik. Tidak berlebihan kalau dikatakan: untuk sebagian, konflik atau perang itu dibikin oleh media. Kita di Indonesia mungkin baru menyadari kenyataan ini setelah 10.758 orang meninggal dalam 3.608 konflik di Tanah Air sepanjang 1990-2003. Tidak demikian dengan Bertold Brecht.

Sudah sejak seabad lalu, penyair kelahiran Augsburg, Jerman, 10 Februari 1898 ini mengingatkan penting dan strategisnya peran media. “Jika koran dipandang sebagai sarana membuat kekacauan, koran pun dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban.” Demikian pesan moralnya dalam “Kumpulan Cerita tentang Tuan Keuner” (Geschicten vom Herrn Keuner).

Dalam menciptakan ketertiban, perdamaian, dalam konflik multikultur, apa yang harus dilakukan media? Ada media yang memilih tidak memberitakannya. Itu berarti menutup hak masyarakat untuk tahu. Akibatnya, karena tidak memperoleh berita, masyarakat mengkonsumsi gosip dan menganggapnya sebagai berita.

Celakalah masyarakat yang mengambil keputuan berdasarkan gosip. Jurnalisme harus bisa mengalahkan gosip dengan berita bermutu. Yaitu, berita yang benar, yang akurat, karena terverifikasi. Berita bermutu akan memberikan informasi bermutu kepada masyarakat. Dan Informasi bermutu akan membantu masyarakat mengambil keputusan bermutu pula.

Atas dasar itu, bila ada konflik di tengah masyarakat, persoalan pokok bagi media yang bertanggung jawab bukanlah boleh atau tidak konflik itu diberitakan. Melainkan, bagaimana memberitakannya. Tentang bagaimana memberitakan konflik, media yang bertanggung jawab pasti memilih jurnalisme perdamaian. Konflik tetap diberitakan, namun dengan orientasi perdamaian, kebenaran, golongan masyarakat, dan penyelesaian. Sebab, sejatinya, media adalah penutur, dan bukan penghancur, dunia multikultur.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 16 Oktober 2009

Upacara dan Si Pejabat

Fenomena "Pejabatisasi" dalam Masyarakat

Oleh Frans Anggal

Tiga anggota DPRD Lembata tinggalkan tempat upacara sebelum acara dimulai. Philipus Bediona, Servasius Suban, Simeon Lake. Mereka kesal, Bupati Andreas Duli Manuk terlambat. Dalam undangan, upacara dimulai pkl 07.30. Karena keterlambatan bupati, upacara pun baru dimulai pkl 08.40. Molor 1 jam 10 menit.

Aksi walk out ini terjadi pada perayaan HUT 10 Tahun Otonomi Lembata di Lewoleba, Senin 12 Oktober 2009. “Kami protes, dengan sengaja meninggalkan tempat terhormat, dan mudah-mudahan ada perubahan ke depan,” kata Philipus Bediona dalam warta Flores Pos Selasa 13 Oktober 2009.

Molor ini bukan yang pertama, kata anggota dewan. Saat peletakan batu pertama kantor Bank Pembangunan Daerah, bupati baru datang setelah undangan menunggu berjam-jam. Kegiatan di Lopo, juga molor karena bupati terlambat. Padahal, disiplin itu penting. Menentukan kemajuan daerah. “Kita harus mulai dari yang kecil, disiplin waktu,” kata Bediona.

Disiplin penting. Itu benar. Namun, sorotan kita kali ini bukan tentang itu. Tapi tentang yang lain, yang terkait dengannya. Kita namakan saja: sebuah fenomena. Fenomena kepejabatan, sekaligus fenomena kemasyarakatan. Tentang pejabat, ya tentang masyarakat juga.

Banyak contoh tentang ini. Salah satunya: di geraja Katedral Ruteng, 2008, pada misa penguburan jenazah Uskup Eduardus Sangsun SVD. Umat sudah penuh. Ada yang hadir beberapa jam sebelum perayaan dimulai. Tepat pada jam acara seperti tercantum dalam undangan, petugas liturgi sampaikan pengumuman. Umat diminta bersabar, tunggu gubernur dan rombongan. Saat gubernur dan rombongan masuk 30 menit kemudian, apa yang tampak ? Para petugas protokoler sibuk sana-sini, lalu-lalang di depan umat. Mereka memberi kesan, seakan-akan gereja itu lapangan upacara kedinasan.

Upacara HUT 10 Tahun Otonomi Lembata molor, karena tunggu Bupati Manuk. Misa penguburan Uskup Edu Sangsun molor, karena tunggu gubernur dan rombongan. Bupati Manuk ditunggu, bisa dimengerti. Dia inspektur upacara pada perayaan. Gubernur ditunggu? Ini yang sulit dipahami. Yang pimpin misa saat itu uskup, bukan gubernur. Bersama umat, uskup ‘disiksa’ menunggu gubernur.

Apa yang sedang menggejala pada kedua upacara itu? Fenomena “pejabatisasi”! Pejabat menjadi tokoh sentral dalam masyarakat. Sedemikian sentral posisinya , maka dalam urusan pertanian, dia lebih penting ketimbang petani. Dalam urusan kesehatan, dia lebih penting ketimbang dokter. Dalam urusan pendidikan, dia lebih penting ketimbang guru. Dalam urusan keagaamaan, dia lebih penting ketimbang imam.

Salahkah si pejabat? Ya, kalau dia menganggap dan memperlakukan diri lebih penting daripada pihak lain dalam segala urusan. Namun, yang bersalah bukan hanya dia. Masyarakat juga, umat juga, kalau menganggap dan memperlakukan si pejabat lebih penting daripada pihak lain dalam segala urusan. Baik si pejabat maupun masyarakat sama-sama berandil melahirkan dan melanggengkan “pejabatisasi”.

Fenomena “pejabatisasi” sudah merambah dari ruang publik ke ruang privat. Dari ruang kantor ke ruang keluarga. Bahasa menunjukkan itu. Kita terbiasa dengan frasa ‘istri bupati’, ‘anak bupati’, dll. Padahal, bupati itu jabatan, fungsi, bukan orang, bukan pribadi. Kita anggap biasa. Maka, ‘istri bupati’, ‘anak bupati’ juga merasa biasa ketika menganggap diri ‘bupati kecil’. Salah siapa?

“Bentara” FLORES POS, Kamis 15 Oktober 2009

Dari Pidato Bupati Manuk

Kemajuan Bukan Bukti Tak Adanya Korupsi

Oleh Frans Anggal

Otonomi Lembata genap 10 tahun, Senin 12 Oktober 2009. Dalam pidatonya, Bupati Andreas Duli Manuk menangkis kritikan bahwa 10 tahun otonomi penuh dengan kegagalan. Tidak benar, katanya. Ia lalu membeberkan bukti adanya pertumbuhan. Singkatnya, 10 tahun otonomi, banyak kemajuan.

Dengan bukti-bukti itu, Bupati Manuk benar. Ada pertumbuhan. Ada kemajuan. Namun, hanya sampai di situ. Selanjutnya ia salah ketika pertumbuhan itu ia jadikan bukti tidak adanya kegagalan. Mungkin ia terkecoh atau sengaja membaca ‘teks’ para pengkritik dengan cara tertentu.

Dalam banyak pernyataan sikap, terutama saat demo, para pengkritik suka bikin rumusan melangit. “Pembangunan Lembata gagal total”. “Kepemimpinan Bupati Manuk gagal toal”. “Sepuluh tahun otonomi Lembata tidak maju-maju”. Rumusan seperti ini khas demonstran, yang dari sononya suka demonstratif. Menonjolkan sesuatu dengan cara melebih-lebihkannya.

Yang perlu diselami, apa di balik ‘teks’ yang melangit itu. Kekecewaan! Apa yang mengecewakan? Korupsi! Dalam pidatonya, Bupati Manuk tidak sedikit pun menyinggung korupsi. Padahal, inilah biang kerok lahirnya kritik dan demonstrasi. Inilah pokok soal dari cap “gagal total” dan “tidak maju-maju” itu.

Karena biang keroknya korupsi, maka tangkisan Bupati Manuk dengan menyebutkan bukti adanya pertumbuhan atau kemajuan sungguh tidak relevan. Mengapa? Sebagaimana kemajuan bukan bukti tidak adanya kegagalan, demikian pula pertumbuhan bukanlah bukti tidak adanya korupsi.

Dengan atau tanpa korupsi, pertumbuhan tetap ada. Contoh paling bagus tentang hal paling buruk ini: Indonesia. Tak ada yang menyangkal, birokrasi Orde Baru terkenal korup. Tak ada pula yang menyangkal, birokrasi korup ini pernah menghasilkan angka pertumbuhan yang mencengangkan dunia. Dan akhirnya tak ada juga yang menyangkal, birokrasi yang sama membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Sekarang pertumbuhan membaik lagi. Apa itu bukti berkurangnya korupsi? Justru tidak. Bersamaan dengan pertumbuhan itu, korupsi jalan terus. Malah semakin melembaga dan menyebar. Dari pusat sampai daerah. Dari eksekituf sampai legislatif dan yudikatif.

Jelaslah kiranya: adanya pertumbuhan, adanya kemajuan, bukanlah bukti berkurang atau tidak adanya korupsi. Dalam hal seperti ini, korupsi itu minyak pelumas roda birokrasi. Sogokan (ini termasuk korupsi) memperlancar segala urusan. Di sini, korupsi menjadi ‘dosa wajib’ yang memperlancar roda birokrasi, justru dalam urusan pertumbuhan atau kemajuan.

Dalam hal seperti ini pula, para koruptor memerankan diri sebagai bandit tak bergerak (stationary bandit). Bandit jenis ini tidak merampok korbannya sampai habis. Rampoknya sedikit demi sedikit, secara berkala. Ia juga tidak bakal membunuh korbannya. Sebab, kalau korbannya mati, ia tidak mungkin lagi merampok secara berkala. Maka, korbannya dipelihara, lebih bagus kalau semakin gemuk, karena dengan itu semakin banyak bagian yang bisa dijarah.

Dengan kata lain, ekonomi harus dibiarkan bertumbuh agar selalu ada bagian yang bisa dikorupsi. Sebuah daerah otonom seperti ini jelas merupakan daerah otonom yang gagal. Bukan karena tidak adanya kemajuan, tapi karena tidak bisa mengurangi, apalagi memberantas korupsi. Sebaliknya, menyuburkannya, sambil menyangkalnya dengan menyebutkan kemajuan sebagai bukti. Padahal, adanya kemajuan bukanlah bukti tidak adanya korupsi. Sebaliknya, kemajuan itu pertanda ada bagian yang sudah dicaplok.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 14 Oktober 2009

13 Oktober 2009

Quo Vadis, Mabar?

Rawan Pangan dan Ketidakpedulian Pemkab

Oleh Frans Anggal

Dalam dua pekan terakhir Oktober 2009, beberapa kali Flores Pos menurunkan berita rawan pangan di Mabar. Khususnya di Kecamatan Komodo. Di tiga desa: Nggorang, Golo Pongkor, Macang Tanggar. Rawan pangan terjadi karena gagal panen. Gagal panen terjadi karena bencana banjir dan serangan hama tikus.

Laporan sudah disampaikan ke pemkab. Tanggapan pemkab? Nol koma nol. Bantuan darurat belum turun-turun. Bukannya tidak ada, kata Asisten II Setda Gasa Maximus. Beras ada. Hanya, tidak bisa diturunkan begitu saja. Mesti tunggu surat perintah dari bupati.

Jadi, kuncinya ada di bupati. Ia pemegang kunci, sekaligus tokoh kunci. Hebat. Tapi dengan kunci itu pula ia dinilai. Dan penilaian dapat langsung diberikan. Bupati Mabar tidak peka dan tidak peduli. Kebutuhan akan pangan: sesuatu yang penting. Sedangkan ancaman rawan pangan: sesuatu yang genting. Yang penting dan genting menuntut respon yang cepat. Ini tidak terjadi. Dua minggu berlalu, bantuan belum turun-turun.

Jauh dari kesan tanggap dan peduli akan derita rakyat, bupati malah berwacana bahwa Mabar dibangun dalam lima sektor, tambang tidak boleh dipertentangkan dengan pariwisata, dll. Abstrak. Bahkan utopis, mimpi belaka, kalau lupa toleh ke bawah. Toleh ke kenyataan. Dan kenyataan itu adalah ini. Masalah utama rakyat Mabar adalah bagaimana bertahan tetap hidup (survival). Oleh karena itu, kegiatan utama bupati semestinya bagaimana memecahkan masalah itu (problem-solving).

Dua minggu lewat, bantuan pangan tidak turun-turun. Ini menunjukkan rangkaian proses pemecahan masalah tidak terjadi. Mandek. Mandeknya justru di tangan pemegang kunci dan tokoh kunci: bupati. Dia belum keluarkan SK untuk menurunkan bantuan. Di sini, pemegang kunci dan tokoh kunci yang seharusnya memperlancar proses pemecahan masalah, justru menghambat kelancaran itu. Aneh bin janggal.

Dalam keanehannya, skandal ini menyingkapkan satu hal penting. Apalagi kalau dikaitkan dengan tambang emas Mabar dan segala mimpi surgawinya. Pembangunan Mabar seakan telah terperangkap dalam utopia. Yang dimimpikan oleh bupati adalah “memperbesar kebahagiaan”. Sementara, yang dibutuhkan oleh rakyat adalah “memperkecil penderitaan”.

Yang tidak disadari adalah, kita tidak tahu bagaimana membuat orang bahagia. Tapi kita tahu bagaimana mengurangi penderitaan seseorang. Maka, mengutip filosof Karl R. Popper, yang dibutuhkan bukannya “semakin banyak kebahagiaan bagi semakin banyak orang”, melainkan “semakin sedikit penderitaan (yang dapat dihindari) bagi semua orang”.

Inilah yang dibutuhkan masyarakat Nggorang, Golo Pongkor, dan Macang Tanggar. Mereka rawan pangan. Mereka perlu segera dibantu. Yang mereka butuhkan tidak berlebihan. Mereka butuhkan pangan darurat sekadar penyangga sambil menanti panenan berikut yang mudah-mudahan tidak gagal lagi. Yang mereka butuhkan cuma itu. Bukan supaya mereka “semakin bahagia”, melainkan sekadar agar mereka “tidak semakin menderita”. Yang mereka butuhkan saat ini bukan “makan supaya kenyang”, tapi “makan supaya tidak lapar”.

Mengecewakan. Bupati mereka tidak menempatkan diri dalam posisi dan situasi mereka. Tidak melihat dari sudut pandang mereka . Tidak ikut tergetar oleh sedu-sedan mereka. Tidak ikut tersayat oleh kepedihan mereka. Tidak menangkap rintihan mereka yang tak terucapkan. Tidak punya empati. Juga, tidak punya peduli. Quo vadis, Mabar?

“Bentara” FLORES POS, Selasa 13 Oktober 2009

11 Oktober 2009

Ketika Obama Dapat Nobel

Ada yang Dukung, Ada yang Tidak

Oleh Frans Anggal

Presiden AS Barack Obama dianugerahi Nobel Perdamaian. Anugerah senilai 1,4 dolar AS ini akan diberikan di Oslo, 10 Desember 2009.

Komite Nobel menilai Obama layak. Sejak dilantik jadi presiden 20 Januari 2009, Obama mengupayakan secara luar biasa pemerkuatan diplomasi internasional dan kerja sama antar-bangsa. Ia menyerukan peniadaan senjata nuklir dan memulai kembali perkuatan proses damai Timur Tengah. “Jarang sekali ada orang yang menyamai Obama dalam mencuri perhatian dunia, sekaligus memberi manusia harapan untuk sebuah masa depan lebih baik,” kata Panitia Nobel.

Ada yang dukung, ada yang tidak. Reaksi negatif datang dari dunia Arab. Mereka menilai ini lelucon memalukan. AS masih pemilik arsenal nuklir terbesar. Tentaranya masih menumpahkan darah. Masalah Irak dan Afganistan belum tuntas. Obama belum berbuat apa-apa. Orang yang ‘mau mengubah’ itu belum mengubah apa pun. Obama tidak layak.

Anugerah Nobel memang terkadang diwarnai kontroversi. Ketika Boris Pasternak menerima Nobel Sastra, pemerintah Rusia Soviet marah karena Pasternak anti tirani komunisme. Ketika Lech Walesa dianugerahi Nobel Perdamaian, pemerintah komunis Polandia marah karena Walesa dianggap musuh negara. Ketika Uskup Desmond Tutu dihadiahi Nobel Perdamaian, pemerintah Afrika Selatan marah karena Desmond Tutu itu anti-apartheid.

Hal serupa terjadi di Indonesia, 1996, ketika Uskup Belo dan Ramos Horta dapat Nobel Pedamaian. Reaksi pemerintah Soeharto begitu negatif. Akibatnya, citra diplomasi internasional Indonesia hancur. Di mata dunia, cara beraksi Indonesia sama persis dengan cara Rusia Soviet Komunis, Polandia Komunis, dan Afrika Selatan Rasis Apartheid.

Dalam negeri, reaksi tolol para pejabat menjadi senjata makan tuan. Simpati rakyat Timtim terhadap Indonesia, yang sudah dibangun susah payah, melorot ke titik nol. Menlu RI Ali Alatas menyadari kefatalan ini: “Mulai sekarang kita hanya harus menanjak lereng gunung terjal.” Benar. Dua tahun berselang, 1999, Timtim lepas dari NKRI.

Cara bereaksi Indonesia mengukuhkan ucapan Uskup Belo dalam wawancara dengan BBC. “Bangsa Indonesia itu bangsa yang besar, tetapi jiwanya kecil.” Romo Mangunwijawa menilai Uskup Belo keliru. “Kali ini beliau keliru: yang berjiwa kecil bukan bangsa Indonesia, akan tetapi pejabat-pejabat Indonesia dan pemimpin agama.”

Lho, koq, pemimpin agama? Jujur saja. Sikap Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) saat itu dingin, sedingin es kutub. Sementara pejabat Katolik eselon tinggi menilai Uskup Belo tidak pantas sejajar dengan Uskup Demond Tutu, Mother Theresa, dll. Orang Katolik ini sungguh kasihan. Takut, takut, takut. Cari selamat.

Ini pengalaman buruk. Semoga tidak berulang, temasuk ketika kita mereaksi anugerah Nobel bagi Obama. Kekeliruan sering terjadi karena orang tidak proporsional. Panitia Nobel punya kriterianya. Semestinya orang menilai dengan kriterianya Panitia Nobel itu, bukan dengan kriteria made in pribadi.Kalau pakai kriteria pribadi, bikin saja Nobel sendiri.

Dalam memenangkan Obama, Panitia Nobel menggukan kriteria yang dapat kita padatkan dalam satu kata: hope. Harapan. Harapan akan dunia yang lebih damai. Dunia memang masih gelap. Namun Obama tidak mengutuknya. Sebaliknya, ia menyalakan sebatang lilin. Nyalanya masih kecil. Namun ada harapan, nyala kecil itu akan menyalakan lilin-lilin lain.

“Bentara” FLORES POS, Senin 12 Oktober 2009

10 Oktober 2009

Pernyataan Alo Sukardan

Catatan Jelang Pilkada Manggarai 2010

Oleh Frans Anggal

Banyaknya orang masuk penjara bukan indikator utama berhasilnya penegakan hukum. Begitu kata Aloysius Sukardan. Dia dekan fakultas hukum Undana Kupang yang ingin jadi bupati Manggarai 2010-2015. “Bagi saya, keberhasilan penegakan hukum itu, bagaimana mencegah staf agar tidak masuk penjara. Bukan pada banyaknya pejabat yang masuk bui,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Kamis 8 Oktober 2009.

Benarkah itu? Sekilas, tampak benar. Padahal, belum tentu. Mari kita mengkajinya sebagai sebuah teks dalam tiga otonominya. Yaitu: maksud si pembuat pernyataan, sikon sosial lahirnya pernyataan, dan untuk siapakah pernyataan itu.

Pertama, apa yang dimaksudkan Sukardan dengan ‘penegakan hukum’? Frasa ini padanan dari law enforcement dalam bahasa Inggris. Kata to enforce sama dengan ‘memaksa’. Lucunya, dalam wacana hukum Indonesia, to enforce diterjemahkan menjadi ‘menegakkan’. Maka, law enforcement pun dipadankatakan menjadi ‘penegakan hukum’. Ini bisa menyesatkan.

Alo Sukardan tampaknya ikut tersesat. Ia mangatakan, keberhasilan ‘penegakan hukum’ terletak pada tindakan ‘mencegah’. Ia mengacaukan ‘penegakan hukum’ dengan ‘penyadaran hukum’, ‘penaatan hukum’, ‘pendidikan hukum’, dll yang hakikatnya preventif. Padahal, ‘penegakan hukum’ justru sebaliknya: represif, sebagaimana ditunjukkan kata to enforce, ‘memaksa’.

Oleh hakikat represifnya, ‘penegakan hukum’ mencakup tindakan menangkap, menyidik, mendakwa, memvonis, memenjarakan. Dengan demikian, pernyataan Sukardan mesti diralat. Banyaknya orang masuk penjara merupakan salah satu indikator penting berhasilnya penegakan hukum. Keberhasilan penegakan hukum dapat diukur dari berapa banyak pejabat yang masuk bui.

Kedua, sikon sosial lahirnya pernyataan Sukardan adalah pertarungan para kandidat jelang pilkada Manggarai 2010-2015. Bupati-wabup sekarang Rotok-Deno ingin maju untuk periode kedua. Pada masa kepemimpinan mereklah banyak pejabat korupsi masuk penjara. Rakyat bisa salah menilai bahwa ini keberhasilan Rotok-Deno. Padahalnya, bukan. Ini keberhasilan Kejari Ruteng di bawah pimpinan Kajari Timbul Tamba.

Nah, tampaknya, ini yang mau diluruskan oleh Sukardan ketika mengatakan, “Bagi saya, keberhasilan penegakan hukum itu, bagaimana mencegah staf agar tidak masuk penjara. Bukan pada banyaknya pejabat yang masuk bui.” Dengan ini, Rotok-Deno kena getahnya. Rotok-Deno dinilai gagal memilih pembantu yang tepat dan gagal pula mendidik mereka menjadi staf terhormat. Buktinya, banyak pejabat masuk penjara. Tampaknya, Sukardan sengaja tidak memuji Kajari agar bisa lebih tajam memojokkan Rotok-Deno.

Ketiga
, dalam konteks jelang pilkada, pernyataan Sukardan ditujukan kepada konstituen. Dalam dialog sosialisasinya ke akar rumput, pertanyaan tentang banyaknya pejabat Manggarai masuk penjara selalu diangkat oleh masyarakat. Pernyataan Sukardan ini dimaksudkan untuk menjawabi pertanyaan mereka. Tujuan tersuratnya: pencerahan. Tapi, pasti adalah tujuan tersiratnya: kampanye.

Merebut hati rakyat (to win the heart of the people). Sah-sah saja dan bisa dimengerti. Sebab, dalam pilkada langsung, pilihan konstituenlah yang akan menentukan kemenangan kandidat. Pilihan mereka turut ditentukan oleh persepsi mereka tentang para kandidat. Pernyataan Sukardan justru berada dalam ranah membentuk persepsi itu.

Sayang, ia kurang cermat dan kurang fair. Semestinya ia bilang saja: banyaknya pejabat masuk bui itu bukti keberhasilan penegakan hukum, bukti banyaknya pejabat bobrok, bukti rekrutmen asal tunjuk, dan bukti lemahnya pengawasan kepala daerah.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 10 Oktober 2009

09 Oktober 2009

Purin Lewo dan Bandit

Piutang pada DPRD dan Pejabat Eksekutif

Oleh Frans Anggal

Naas menimpa Perusahaan Daerah (PD) Purin Lewo Lembata. Dalam laporannya kepada DPRD, ia terlilit piutang. Antara lain, pada anggota DPRD dan pejabat eksekutif. Sebanyak 19 anggota DPRD 2004-2009 belum melunasi kredit motor Rp233 juta. Pejabat eksekutif pun mengebon barang hingga ratusan juta rupiah. Demikian warta Flores Pos Kamis 8 Okotber 2009.

Piutang. Arti sederhananya: ada uang tapi masih di tangan orang. Uang bon yang belum tertagih. Jumlah dan lamanya piutang bisa bikin bangkrut sebuah perusahaan. Di kampung, banyak kios mati karena bon. Di Flores, media seperti Bentara dan Anak Bentara jadi almarhum karena piutang yang tidak tertagih. Orang Flores setia membaca tapi tak setia membayar.

Nasib yang sama mengintai Purin Lewo. “Salah satu penyebab perusahaan daerah ini tidak maju, bahkan sempat bangkrut, karena besarnya utang mantan aggota DPRD dan pejabat eksekutif di Lembata.” Ini dilontarkan Direktur PD Purin Lewo, Enzo Korohama. Penyakit keturunannya sama: setia mengambil dan menggunakan barang tapi tak setia membayar tagihan.

Dalam kasus kios bangkrut di kampung, yang tidak setia membayar itu orang-orang kebanyakan. Dalam kasus media Flores yang almarhum, yang tidak setia itu pelanggan yang kebanyakan ‘kelas menengah’. Sedangkan dalam kasus Purin Lewo, yang tak setia itu para pejabat legislatif dan eksekutif.

Kios di kampung itu milik keluarga. Media di Flores itu milik swasta. Purin Lewo di Lembata itu milik daerah. Langsung atau tidak langsung, uang masyarakat Lembata ada di sana. Namun, apa yang diperoleh masyarakat dengan kehadiran perusahaan daerah ini? Praktis, kurang atau bahkan tidak ada sama sekali. Tidak demikian untuk para elite daerah.

Kasus anggota DPRD yang belum melunasi kredit motor Rp233 juta dan pejabat eksekutif yang bon barang hingga ratusan juta rupiah mengesankan satu hal. Purin Lewo seakan-akan bukan perusahaan daerah, tapi perusahaannya elite daerah. Mau diapakan perusahaan ini, suka-sukanya mereka. Dan sukanya, perusahaan ini menjadi sapi perah. Maka, perusahaan daerah pun menjadi perusahaan sapi perahnya pejabat. Susunya mereka ambil, sapinya mereka terlantarkan.

Yang terjadi pada Purin Lewo kurang lebih begitu. Anggota DPRD dan pejabat eksekutif menikmati ‘susu’ kemudahan dari perusahaan daerah ini berupa kredit dan bon. Lalu? Habis manis, sepah dibuang. Habis susu, sapi ditendang. Kredit tidak dicicil. Bon tidak dibayar. Mungkin mereka bilang, bukan ‘tidak’ bayar, tapi ‘belum’ bayar. Benar. Tapi jangan lupa, banyak perusahaan hancur justru karena ‘belum’ itu. Purin Lewo sendiri sudah mengalami apa dampak dari ‘belum’.

Per definisi, ini bukan korupsi. Tapi merunut dampaknya, tak ada bedanya dengan korupsi. Ambruknya nilai dan kinerja perusahaan. Melubernya inefisiensi sumber daya publik. Dan hilangnya kepercayaan publik. Dampak ini mengukuhkan keyakinan, ini sebuah kejahatan.

Kalau ini kejahatan, pelakunya adalah bandit. Bandit cerdas tak akan merampok habis korbannya. Ia merampok sedikit namun berkala di wilayah ranahnya. Ia tak akan membunuh korbannya. Korban dibiarkan tumbuh agar selalu ada bagian yang bisa digerogoti. Seperti benalu yang ‘baik’, ia tidak mengisap mati inangnya.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 9 Oktober 2009

Skandal Kaos PNS Lembata

Tercemarnya Perayaan 10 Tahun Otonomi Lembata

Oleh Frans Anggal

DPRD Lembata persoalkan bisnis baju kaos oleh Perusahaan Daerah (PD) Purin Lewo. Bajo ini wajib dibeli PNS, Rp100 ribu per lembar. Pewajiban lahir dari surat Sekda Petrus Toda Atawolo. DPRD menilai, ini pemerasan terhadap PNS. Ada deal bisnis pemerintah dan perusahaan daerah. Motif kaos itu pun bukan motif Lembata, tapi motif Sumba.

DPRD akan panggil sekda. Apa kata sekda, akan terungkap nanti. Yang sudah bicara hanya Direktur PD Purin Lewo, Enzo Korohama. Dia bantah motif kaos itu motif Sumba. Itu motif kain tenun Lembata. Lalu, deal bisnis baju kaos itu? Ia juga bantah.

Kata Korohama, pengadaan kaos ini terkait perayaan 10 tahun otonomi Lembata 12 Oktober 2009. Namanya perayaan, butuh duit. Pada rapat pembentukan panitia, Purin Lewo ditunjuk jadi seksi usaha dana. Muncullah gagasan baju kaos. Jumlahnya 4 ribu. Untungnya Rp160 juta. Panitia dapat Rp85 juta. Purin Lewo dapat Rp75 juta.

Dengan penjelasan ini, Korohama membantah bantahannya sendiri. Dia bilang tidak ada deal bisnis. Lalu, pembagian keuntungan itu? Itu apa kalau bukan deal bisnis? Deal itu kata Inggris. Sebagai kata benda, deal = perjanjian, transaksi. Sebagai kata kerja, deal = membagi, memberi.

Jelas, makna kata deal yang notabene dibantah Korohama justru terpenuhi sempurna. Ada “perjanjian” untuk “membagi” keuntungan antara Purin Lewo dan panitia yang notabene pemerintah juga. Panitia dan pemerintah di sini hanya dua sisi dari mata uang yang sama. Buktinya, surat Sekda Atawolo. Mewajibkan PNS beli baju kaos. Saat bikin surat, dia pemerintah. Saat terima pembagian keuntungan, dia panitia. Bolak-balik, sama juga.

Atas dasar ini, pernyataan DPRD bahwa ada deal bisnis antara pemerintah dan perusahaan daerah sangatlah masuk akal. Lebih daripada sekadar deal, ada kata “bisnis” di sana. Bisnis baju kaos. Sah-sah saja. Cari dan dapat untung pun sah-sah saja. Namanya juga bisnis ya cari untung. Masalah timbul ketika mencari dan mendapat untung itu tidak atas hukum bisnis itu sendiri: hukum penawaran dan permintaan.

Itulah yang terjadi pada bisnis baju kaos di Lembata. Untuk dapat untung, mekanismenya bukan penawaran dan permintaan, tapi pewajiban. Pewajiban itu lahir dari surat Sekda Atawolo. Dengan surat ini maka kebebasan, yang justru dipersyaratkan oleh hukum penawaran dan permintaan, menjadi hilang. Karena menyebabkan hilangnya kebebasan, maka surat Sekda Atawolo merupakan sebuah pemaksaan. Karena pemaksaan ini bertujuan mendatangkan keuntungan, maka yang dilakukannya itu adalah pemerasan.

Dengan dasar ini, penilaian DPRD benar. Surat Sekda Atawolo itu pemerasan terhadap PNS. Yang juga menyakitkan, keuntungan pemerasan bukan hanya untuk panitia, tapi juga untuk Purin Lewo. Artinya? Perusahaan daerah ini bukannya membantu, tapi malah menunggangi perayaan 10 tahun otonomi Lembata untuk keuntungannya sendiri.

Dan sekda, selaku pembina PNS di daerah, tega-teganya paling depan dalam pemerasan ini. Dia pembina ataukah pembinasa PNS? Yang dilakukannya itu mencemarkan makna luhur perayaan 10 tahun otonomi Lembata. Menyedihkan, kalau perayaan penuh makna ini didanai uang tidak halal. Uang hasil pemerasan. Skandal ini tidak dapat dibenarkan, apalagi dibiarkan.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 8 Oktober 2009

Ngada dan Percaloan CPNSD

Demo Para Tenaga Honorer

Oleh Frans Anggal

Sekitar 20 tenaga honorer yang selama ini mengabdi di berbagai instansi Setda Ngada mendatangi DPRD, Senin 5 Oktober 2009. Ini aksi kesekian kalinya sejak tahun lalu. Mereka menuntut penuntasan kasus dugaan penyimpangan rekrutmen CPNSD di Setda Ngada.

Dugaan penyimpangan, antara lain, meloloskan tenaga honorer yang tidak masuk data base. Meloloskan tenaga honorer siluman. Dan meloloskan orang yang menggunakan ijazah palsu.

DPRD akan lakukan rapat internal sebelum bahas kasus ini bersama eksekutif. DPRD akan pelajari temuan inspektorat tentang kejanggalannya. Bila pemerintah tidak selesaikan dalam tenggat yang diberikan, DPRD akan bentuk pansus.

Ini kasus percaloan CPNSD. Taruhlah, akan diproses hukum. Apa hasilnya? Boleh jadi akan sama dengan sebelumnya, kasus percaloan juga, yang diproses sebagai kasus korupsi. Ujungnya, vonis bebas bagi dua terdakwa dari Dinas PPO dan BKD. Alasan majelis hakim: tidak semua unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan jaksa terpenuhi.

Jaksa mendakwa dengan pasal 11 UU No 31/1999. Pasal ini melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji karena ada hubungan kekuasaan dan kewenangan atau jabatan yang ada padanya ATAU menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan atau kewenangannya.

Dengan kata ATAU (sengaja dikapitalkan) maka pasal ini mempersyaratkan dua hal secara opsional: syarat objektif dan syarat subjektif. Syarat objektif: “... ada hubungan kekuasaan dan kewenangan atau jabatan yang ada padanya.” Syarat subjektif: “...menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan atau kewenangannya.”

Karena sifatnya opsionalnya, dua syarat ini tidak harus dipenuhi serempak. Cukup salah satunya terpenuhi maka terdakwa sudah harus divonis bersalah. Apa yang kemudian terjadi?

Salah satu terdakwa divonis bebas hanya karena ia staf biasa. Alasan majelis hakim: ia bukan pemangku kekuasaan dan kewenangan atau jabatan seperti yang disyaratkan pasal 11 UU No 31/1999, meskipun benar ia menerima uang dari 13 tenaga honorer agar nama mereka dimasukkan ke dalam data base ke BKN untuk diangkat menjadi PNS. Jadi, terdakwa divonis bebas karena perbuatannya tidak memenuhi syarat objektif pasal 11 UU No 31/1999.

Majelis hakim mengabaiakn dua hal di sini. Pertama, fakta hukum adanya penyuapan. Kedua, syarat subjektif pasal 11 UU No 31/1999. Yaitu, pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji, dalam hal ini pikiran para tenaga honorer yang menyetor uang kepada terdakwa. Dalam pikiran mereka, perbuatan terdakwa menerima dan meneruskan uang ada hubungannya dengan jabatan atau kewenangannya.

“Bentara” Flores Pos Kamis 5 Maret 2009 menilai vonis bebas ini janggal. Juga, bisa menjadi presedan buruk. Majelis hakim seakan-akan mengesahkan praktik percaloan CPNSD. Seakan-akan, setiap PNS boleh menjadi calo CPNSD, asalkan sebagai staf biasa.

Terbukti sekarang. Berulang! Mungkin karena vonis janggal itu. Merunut logika vonis itu maka: loloskan tenaga honorer yang tidak masuk data base, tak apa-apa! Loloskan tenaga honorer siluman, tak apa-apa! Loloskan orang yang menggunakan ijazah palsu, tak apa-apa! Asalkan, dilakukan oleh staf biasa!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 7 Oktober 2009

05 Oktober 2009

Polda NTT Tak Profesional?

Kasus Kematian Romo Faustin Sega Pr

Oleh Frans Anggal

Kepala Divisi Advokasi Hukum dan HAM dari Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI, Azaz Tigor Nainggolan, menilai penyidik Polda NTT tidak profesional menangani kasus kematian Romo Faustin Sega Pr. Sudah hampir setahun, BAP kasus ini bolak-balik polisi-jaksa. Ini terjadi karena polisi belum memenuhi semua petunjuk yang diberikan jaksa penuntut umum (JPU) .

Berbeda dengan penilaian terhadap polisi yang bernada negatif, penilaian terhadap JPU cenderung positif. Nainggolan menilai JPU memiliki komitmen kuat menuntaskan kasus ini. Penilaian disampaikan dalam jumpa pers di Bajawa, Jumat 2 Oktorber 2009, dan diwartakan Flores Pos Senin 5 Oktober.

Apa dasar Nainggolan menilai seperti itu? Sayang, tidak lengkap diberitakan. Yang tampak dari pemberitaan, penilaian tersebut lahir dari kenyataan bolak-balik BAP yang hampir setahun. Apakan ini melulu salahnya polisi? Ataukah juga, mungkin justru, karena tidak becusnya jaksa?

Versi jaksa, BAP bolak-balik karena polisi belum memenuhi semua petunjuk jaksa. Jadi, biang keroknya polisi. Lalu, atas informasi ini, kita menilai polisi tidak profesional. Penilaian ini tidak objektif kalau kita tidak tahu apa persisnya petunjuk jaksa. Kalau yang diminta jaksa hal tidak masuk akal, tidak relevan, apakah patut polisi dinilai tidak profesional karena tidak mampu memenuhi permintaan itu?

Mari tengok kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air PDAM Ende. Jaksa pernah meminta polisi memenuhi hal yang menurut polisi mengada-ada. “Bentara” Flores Pos Kamis 11 Juni 2009 menyoroti hal ini dengan judul “Lelucon Kasus PDAM Ende”.

Bayangkan, jaksa meminta polisi menanyai para tersangka, apakah mereka sadar melakukan korupsi. Aneh. Kalau para tersangka mejawab ”tidak sadar”, mau apa? Bisakah dipercaya, orang melakukan korupsi sambil tidak sadar? Korupsi sambil mengigau? Selain tidak masuk akal, permintaan jaksa ini menyalahi prinsip hukum. Ignorantia iuris nocet. ‘Ketidaktahuan akan hukum mencelakakan’. Ketidaksadaran akan hukum tidak dapat dijadikan alasan di pengadilan. Maka, tidak perlu tanya tersangka sadar atau tidak. Hanya polisi tolol yang memenuhi petunjuk tolol seperti ini.

Akan halnya petunjuk Kejari Bajawa yang harus dipenuhi Polda NTT dalam kasus Romo Faustin, kita mau omong apa. Kita tidak tahu, apa persisnya petunjuk jaksa. Kita juga tidak tahu, apa yang sudah dan yang belum dipenuhi polda. Berbeda dengan bolak-balik BAP kasus PDAM Ende yang sedikit ada transparansinya, bolak-balik BAP kasus Romo Faustin berlangsung dalam sirkuit tertutup.

Dalam sirkuit tertutup, kita tidak tahu: siapa jujur siapa bohong, siapa pahlawan siapa bandit. Maka, kita tidak bisa serta merta menilai polisi tidak profesional, sedangkan jaksa punya komitmen kuat menuntaskan kasus. Dua-duanya tidak transparan koq.

Karena itu, yang tepat bukanlah memberi label, tapi menuntut transparansi. “Bentara” Flores Pos Jumat 11 September 2009 mendesak Kejari Bajawa transparan. BAP belum lengkap? Apanya yang belum? Sebutkan dengan jelas dan tegas. Publik berhak untuk tahu. Haknya dijamin UUD 1945 Pasal 28F dan UU No 14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP). UU KIP hanya mengecualikan kerja intelijen, instalasi militer, dan hak intelektual. Lain-lainnya, termasuk alasan bolak-balik BAP, tidak pantas di-rahasia-negara-kan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 6 Oktober 2009

DPRD Mabar & Makhluk Langka

Bimtek DPRD Mabar ke Jakarta

Oleh Frans Anggal

Di DPRD Mabar saat ini ada makhluk langka. Namanya, Bernadus Barat Daya. Ketika yang lain rame-rame bimtek ke Jakarta, ia memilih tidak ikut. Bukan menolak bimtek, ia menolak harus ke Jakarta. Sebab, bimtek bisa di Labuan Bajo. Lebih efektif, lebih efisien, lebih ekonomis.

Menurut Barat Daya, dengan ke Jakarta maka uang dari pusat yang diberikan ke daerah dikembalikan lagi ke pusat. “Ini ditengarai hanya semacam ‘mafianya’ pihak pusat,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Sabtu 3 Oktober 2009.

Sayang, dari 29 anggota DPRD Mabar, hanya ada satu Bernadus Barat Daya. Ia rajawali yang terbang sendirian. Eagle flies alone. Lainnya, maaf beribu maaf, beo belaka. Pusat bilang bimtek, langsung mau. Pusat bilang ke Jakarta, langsung bernafsu. Kenapa?

Jawabannya: kesempatan. Kapan lagi ke Jakarta untuk pertama kali sebagai wakil rakyat kalau bukan sekarang ‘melalui’ bimtek? Kata ‘melalui’ sengaja kita pakai untuk menunjukkan, bimtek sebagai actus (kegiatan) hanya sekadar medium, sarana, bahkan dalih, untuk mencapai tujuan Jakarta sebagai locus (tempat). Dengan kata lain, yang memesonakan bukan actus-nya, tapi locus-nya. Bukan bimtek-nya, tapi Jakarta-nya.

Bimtek sendiri bisa dilakukan di daerah. Instrukturnya bisa orang di daerah, asalkan ahli. Kepastian ini disampaikan DPRD Lembata. Mereka bilang, ternyata bimtek itu hak, bukan kewajiban. Ternyata juga, bisa dilakukan di Lewoleba. Mereka omong begini setelah pulang bimtek lulu. Sebelumnya, tidak omong. Sebab, kalau omong, ke Jakarta-nya bisa batal. Padahal, Jakarta itulah tujuan mereka, bukan bimtek-nya.

Memangnya bimtek itu seperti apa? Ketua Sementara DPRD Sulawesi Selatan Moh Roem bersaksi. Dari pengalaman bimtek sebelumnya, pemateri Depdagri sekadar datang membacakan materi yang ada di buku! DPRD Sulsel sendiri, meski anggaran bimteknya Rp800 juta untuk 75 anggota, berencana melakukan boikot. “Prinsipnya, kami setuju jika bimtek tidak harus dilakukan di Jakarta,” kata Moh Roem, seperti ramai diberitakan beberapa media Makassar, Kamis 1 Oktober 2009.

Kata Moh Roem, apabila digelar di Jakarta, bimtek akan menghabiskan biaya Rp800 juta. “Kalau digelar di Makassar, DPRD bisa menghemat hingga 70%. Anggaran yang dihemat itu bisa untuk mengobati ratusan anak yang menderita gizi buruk di Sulsel.”

Di Manggarai Barat, yang seperti ini hanya Bernadus Barat Daya. Di Lembata ada, 5 orang. Lainnya, massa, atau lebih tepat kerumunan. Ciri khas kerumunan adalah anonimitas. Yang begini, gampang jadi beo. Pusat bilang bimtek, langsung mau. Pusat bilang ke Jakarta, langsung bernafsu. Padahal, bimtek tidak wajib. Ke Jakarta tidak harus. Tidak efektif, tidak efisien, dan tidak ekonomis.

Lalu, kenapa mukut ke Jakarta? Jawabannya, seperti kata lagu Mbah Surip: tak gendong ke mana-mana, enak to, mantap to, hahaha.... Privilese! Di sini, ‘wakil rakyat’ dipandang hanya sebagai ‘status’, bukan sebagai ‘panggilan’. Mereka punya sense of status, tanpa sense of mission sebagai wakil rakyat. Status itu nomor satu, karena menyertakan privilese tadi: enak to, mantap to, hahaha .... Sedangkan panggilan itu nomor sekian, karena mendesakkan pengabdian dan pengorbanan yang sering justru harus mengurangi atau menghilangkan privilese.

“Bentara” FLORES POS, Senin 5 Oktober 2009

02 Oktober 2009

DPRD “Tidak Mau Tau”

DPRD Manggarai Usulkan Dana Bimtek Rp700-an Juta

Oleh Frans Anggal

DPRD Kabupaten Manggarai mengusulkan dana Rp700-an juta untuk bimtek ke Jakarta. Usulannya baru disampaikan karena dalam anggaran induk tidak ada nomenklatur bimtek. Maka, terpenuhi atau tidaknya usulan dewan akan ditentukan dalam sidang perubahan anggaran. Demikian warta Flores Pos Jumat 2 Oktober 2009.

Rp700-an juta untuk 40 anggota dewan. Dirata-ratakan, tiap orang habiskan Rp17,5 juta. Jumlah ini jauh di atas anggaran bimtek DPRD Sulawesi Selatan, Rp800 juta untuk 75 anggota. Rata-rata per orangnya cuma Rp10 juta. Apalagi kalau dibandingkan dengan anggaran bimtek 54 DPRD NTT yang hanya Rp424 juta. Per orangnya cuma Rp7,8 juta.

Kayakah Manggarai? Tidak. Sebaliknya malah, miskin. Lalu, kenapa DPRD-nya mengusulkan anggaran gila-gilaan? Jawabannya bisa saja rasional, tapi pasti tidak realistis. Acuan jawaban rasional adalah logika anggaran: kalau ada dananya, kenapa tidak dihabiskan. Sedangkan acuan jawaban realistis adalah logika keterwakilan: di tengah konstituen yang mayoritas miskin koq tega-teganya wakil rakyat berfoya-foya.

Kalau Bertold Brecht masih hidup dan dimintai tanggapannya, mungkin penyair kelahiran Augsburg, Jerman, 10 Februari 1898, ini akan merevisi puisinya “Hymne kepada Tuhan” menjadi “Hymne kepada Tuan” untuk dipersembahkan kepada DPRD Manggarai. Nun jauh di gelap lembah,orang-orang lapar sekarat / Kau perlihatkan roti padanya, tapi kau biarkan mereka mati / Sedangkan kau bertakhta ... / Tak tersentuh / Gemilang dan keji ....

Mengusulkan dana bimtek Rp700-an juta di tengah kenyataan Manggarai yang masih miskin samalah dengan memperlihatkan roti kepada orang-orang lapar. Para wakil rakyat itu gemilang, karena berkelimpahan. Tapi keji, karena tak berhasrat untuk berbagi. Mereka hanya memperlihatkannya tanpa beritikad memberi. Setelah terpilih, mereka bertakhta, nun jauh di atas sana, sehingga tidak tersentuh.

Soal hubungan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakili, Gilbert Abcarian (1967) bikin penggolongkan dalam empat tipe. Tipe partisan: utamakan pertimbangan partai. Tipe trustee: utamakan pertimbangannya sendiri. Tipe delegate: utamakan pertimbangan konstituen. Dan, tipe politico: gabungkan semua tipe plus keterikatan pada hati nurani. Wakil rakyat tipe politico akan selalu bertindak atas dasar pertimbangan pemilih (constituency), partai asalnya (party), dan juga hati nuraninya (conscience).

Ke dalam tipe apa 40 anggota DPRD Manggarai bisa digolongkan? Tipe politico pasti tidak. Mereka tidak peka dengan kemiskinan konstituen. Mereka tak punya empati pada rakyat yang terdera derita. Tak punya sense of crisis. Dan itu berarti tumpul nurani.

Mengecewakan. Mereka dipilih secara langsung. Terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sistem ini diandalkan dapat mendorong pergeseran pola hubungan anggota legislatif dengan pemilih: dari tipe partisan ke tipe politico atau sekurang-kurangnya tipe delegate.

Aneh. Di Manggarai, yang diandalkan itu koq tidak jalan. Padahal, sistem pemilunya langsung, dengan suara terbanyak. Ritus peresmiannya pake sumpah, menghadirkan Tuhan. Sesudah itu, syukuran sana sini. Kenapa yang diteorikan bisa kandas semua?

Jangan-jangan Gilbert Abcarian salah bikin teori. Ia tidak tahu, di Manggarai masih ada satu tipe. Ciri-cirinya: tidak pake pertimbangan partai, tidak pake pertimbangan konstituen, dan tidak pake pertimbangan nurani. Ini tipe khusus bin spesial. Namanya: tipe tidak mau tau.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 3 Oktober 2009

Pilihan Terbaik: Rekonsiliasi

Kasus Bupati Ende vs Wartawan

Oleh Frans Anggal

Forum Solidaritas Anti Kekerasan (FSWAKA) Kabupaten Ende mendatangi DPRD dan Polres Ende, Rabu 30 September 2009. Mereka menyampaikan seruan moral terkait kasus peludahan terhadap wartawan Stef Bata yang dilakukan Bupati Ende Don Bosco M Wangge pada Kamis pekan sebelumnya.

Seruan moral FSWAKA antara lain menyatakan mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap pekerja pers. Mereka meminta DPRD mengontrol proses hukum kasus ini. Sedangkan kepada polres, mereka meminta proses hukum yang bersih, cepat, dan tuntas.

Forum ini menamakan diri “forum solidaritas”. Aksi dan seruan mereka merupakan wujud solidaritas. Apa lantas cuma sebatas solidaritas? Tentu tidak. Ada sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekadar solidaritas. Kepentingan warga! Apa itu? Hak untuk tahu (right to know).

Demi memenuhi hak warga inilah, pers menghasilkan berita. Dan berita yang dibutuhkan warga adalah berita bermutu. Hanya dengan menerima berita bermutu, warga bisa mengambil keputusan bermutu. Karena itu, tepat kalau dikatakan: pers bekualitas, masyarakat cerdas.

Apa itu berita bermutu? Berita bermutu adalah berita yang benar. Dan kebenaran hanya bisa dibangun melalui verifikasi. Esensi jurnalisme justru terletak di sini: disiplin melakukan verifikasi. Disiplin ini mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, dan manipulasi, guna mendapatkan informasi akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi atau dongeng.

Disiplin melakukan verifikasi hanya mungkin kalau pers memiliki kebebasan. Kekerasan kepada pekerja pers justru mengahalangi, mengurangi, bahkan menghilangkan kebebasan itu. Bila kebebasan pers hilang maka korban langsungnya adalah warga. Haknya untuk tahu ditutup.

Dengan dasar pemikian ini, aksi dan seruan moral FSWAKA patut dihargai. Di sisi lain, dengan dasar pemikiran ini pula, pekerja pers mesti mawas diri. Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap wartawan dipicu oleh lemahnya disiplin verifikasi. Dalam kasus Bupati Don, persis itulah soalnya. Tindakan sang bupati dipicu pemberitaan sang wartawan yang dinilainya tidak berimbang, tanpa kroscek, tanpa hak jawab.

Hingga di sini, kita menyimpulkan: baik Bupati Don maupun Stef Bata sama-sama salah. Yang satu melakukan ‘tindak kekerasan’ dengan meludah, yang lain melakukan ‘tindak kekerasan’ dengan mengabaikan verifikasi. Dengan masing-masing tindakannya, keduanya sudah saling merugikan. Maka, keduanya bisa saling menggugat melalui proses hukum.

Namun, dengan posisi satu-satu seperti ini, perlukah langkah hukum ditempuh? Ataukah ada langkah lain, yang secara tersurat sudah disampaikan Bupati Don melalui pemberitaan pers? Sang bupati sudah mengakui tindakannya salah. Ia menyesal. Ia minta maaf kepada korps wartawan. Ia pun mau minta maaf kepada korban. “Kalau pintu maaf dibuka, saya masuk.” Dia pun sudah bertekad untuk berubah: “Mudah-mudahan ini pertama dan terakhir kali.”

“Bentara” Flores Pos Sabtu 26 September 2009 mengapresiasi sikap Bupati Don sebagai sikap rendah hati (humble). Potensi untuk rendah hati dan berubah tentu juga ada pada diri seorang Stef Bata. Tinggal diaktualisasikan. FSWAKA diharapakn turut berpean. Sebab, sebagai kekuatan moral, FSWAKA telah membuat seruan moral. Tinggal kini, tindakan moral, dengan melakukan pilihan moral. Pilihan terbaik adalah win-win solution. Dengan kata lain: rekonsiliasi.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 2 Oktober 2009

01 Oktober 2009

Setelah 1 Oktober 1965

Mengapa Pembantaian Massal Tak Dikenang?

Oleh Frans Anggal

Hari ini, 1 Oktober 2009. Masihkan kita mengenangnya sebagai Hari Kesaktian Pancasila? Kalau masih, apa yang terkandung dalam memori kita?

Bisa macam-macam. Namun, bagi yang sudah termakan indoktrinasi Orde Baru, memorinya cenderung terbatas. Terbatas karena dibatasi, disetem oleh penguasa. Disetem melalui historiografi atau penulisan sejarah yang dimonopoli. Di dalamnya, yang satu diperlihatkan, yang lain disembunyikan. Yang satu ditonjol-tonjolkan, yang lain dikabur-kaburkan. Hasilnya: G30S itu kebiadaban PKI. Hari Kesaktian Pancasila itu kepahlawanan Soeharto.

Historiografi ala Orde Baru itu kental dengan peng-kultus-individu-an Soeharto. Sejarah memang sering hanya menjadi sejarahnya pamenang, bukan sejarahnya pecundang; sejarahnya penguasa, bukan sejarahnya jelata; bahkan tak jarang cuma sejarahnya lelaki, bukan sejarahnya perempuan.

Sejarah (history) sepertinya “... tidak lebih dari his-story---kisah dia, yakni kisah dari, oleh, dan tentang lelaki atau kisah versi atau milik lelaki (his), yang tidak lain adalah kaum elite politik atau pendukung fanatiknya; bukan sejarah masyarakat kebanyakan, yang notabene adalah kaum tani, apalagi her-story (kisah dari, oleh, dan tentang kaum perempuan).” Begitu tulis sosiolog Robert Mirsel dalam buku yang disuntingnya bersama Eman J. Embu, Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai (Penerbit Ledalero, 2004).

Sejarah memang sering terasa tidak adil. Penyair Bertolt Brecht menyadari ketidakadilan ini ketika melalui puisinya ia ‘menatap’ Tembok Tiongkok. Pada malam ketika Tembok Tiongkok jadi, Ke mana para tukang batu pergi? Para tukang batu hilang tak tercatat sejarah. Hanya para kaisar yang disebut.

Secara lebih dramatis, sosiolog Peter L. Berger ‘menatap’ sejarah pada piramida di Mesir. Ia tidak menanyakan ke mana para tukang batu pergi. Tapi, berapa banyak tukang batu yang mati saat membangun piramida dan tidak tercatat dalam sejarah. Di mata Berger, piramida itu tidak hanya piramida kemashyuran firaun, tapi juga dan terutama ‘piramida korban manusia’.

Hari Kesaktian Pancasila. Bolehlah kita memandangnya seperti Tembok Tiongkok dalam puisi Brecht. Atau, seperti piramida dalam buku Berger. Setelah 1 Oktober 1965, berapa korban yang dibantai atas nama Pancasila dan demi kesaktian Pancasila?

Banyak dan masaal. Persisnya berapa, hingga kini belum bisa dipastikan. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990), jumlah korban berkisar 78 ribu hingga 2 juta jiwa. Taruhlah, kalau dua jumlah itu dirata-ratakan, 432.590 orang.

Kata Cribb, pembantaian dilakukan dengan cara sederhana. "Mereka menggunakan alat pisau atau golok." Tidak ada kamar gas seperti punya Nazi di Jerman. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka dibunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, kata Cribb, "Kejadian itu biasanya malam." Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Sedangkan Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.

Mereka dibantai, tanpa peradilan, untuk kemudian tidak pernah dikenang. G30S kita kenang. Setemannya: kebiadaban PKI. Hari Kesaktian Pancasila kita kenang. Setemannya: kepahlawanan Soeharto. Lalu, kenapa kita tidak berani mengenang kebiadaban negara yang telah membantai massal rakyatnya sendiri? Untuk apa kita mengenang Hari Kesaktian Pancasila kalau kita tak jujur dengan sejarah?

“Bentara” FLORES POS, Kamis 1 Oktober 2009