08 Oktober 2015

Anggota DPRD Bawahan Dirut PDAM



Oleh Frans Anggal

Terbetik kabar, beberapa anggota DPRD Ende menerima SPPD dari direktur PDAM. Tujuannya ke Jakarta, untuk  konsultasi dan asistensi pembuatan perda tentang penyertaan modal ke perusahaan daerah tersebut. Berapa jumlah anggota DPRD-nya tidak disebutkan. Berapa besar SPPD-nya tidak diungkapkan. Yang pasti, itu benar, diakui Dirut PDAM Ende Soedarsono sendiri (Flores Pos, Jumat, 2 Oktober 2015).

Gratifikasi? Oh, tidak, kata Dirut Soedarsono, “Ini bukan suap atau gratifikasi. Ini untuk kepentingan pembuatan perda.” Bantahan dirut diteguhkan Ketua Baleg DPRD Ende Yohanes Pela.  Ini tidak menyalahi aturan dan tidak menjadi persoalan,  karena “SPPD tersebut digunakan untuk konsultasi ke Jakarta. Ini murni untuk pembuatan perda inisiatif.” 

Publik tidak mudah terima. Pusat Advokasi Masyarakat (Pusam) dan Forum Kesejahteraan Masyarakat Kecil (FKMK) mendesak Kejari  Ende lakukan pemeriksaan. Perlu dipastikan, pemberian SPPD ini  gratifikasi atau bukan. Kalau itu gratifikasi, proses hukum harus dilanjutkan sampai tuntas  (Flores Pos, Sabtu, 3 Oktober 2015).

Pemred Flores Pos Pater Steph Tupeng Witin SVD dalam editorial “Bentara” Flores Pos edisi Senin, 5 Oktober 2015,  mendukung Kejari Ende mengusut “dugaan suap” ini. Selain untuk memastikan ini  suap atau bukan, pengusutan bertujuan  “membersihkan institusi DPRD dari orang-orang yang patut diduga sedang tersesat.”

Desakan pengusutan juga datang dari Forum Gabungan Elemen Masyarakat (Forgema). Kejari Ende pun tanggap. Kasi Intel Rochman Marsudi berjanji,  dalam waktu dekat pihaknya melakukan pemeriksaan (Flores Pos, Selasa, 6 Oktober 2015).

***
Makin cepat pemeriksaan itu makin baik, agar cepat terang-benderang. Sebab, kasihan PDAM dan DPRD: belum apa-apa, sudah apa-apa. Belum terbukti bersalah, mereka terlanjur sudah divonis masyarakat melalui apa yang dinamakan “peradilan sosial”.

Di mana-mana peradilan sosial itu kejam. Materi gugatannya bisa rumor, gosip, kabar angin. Penggugatnya bisa siapa saja dan anonim. Sidang gugatannya bisa kapan saja dan di mana saja. Semua orang bisa jadi jaksa, pembela, dan hakim. Peradilannya tanpa kehadiran si terdakwa: peradilan in absentia. Dengan demikian, si terdakwa tidak bisa bela diri. Bagaimana bisa, dia tidak tahu sedang diadili dan divonis.

Peradilan jenis inilah yang sedang menimpa Dirut PDAM Ende Soedarsono dan anggota DPRD Ende penerima SPPD. Di tengah masyarakat, mereka sudah dianggap bersalah. Si dirut dituding sogok dewan. Para anggota dewan dicap terima suap. Penjelasan Dirut PDAM Soedarsono dan Ketua Baleg DPRD Yohanes Pela  dianggap sebagai pembelaan diri belaka. Sebagai pihak yang terlibat dalam hal yang dianggap sebagai skandal ini, mereka sulit dipercaya.  

Jadi? Diperlukan pihak lain yang punya otoritas untuk menjernihkan masalah. Di sini perlunya intervensi penegak hukum. Makin cepat aparat penegak hukum mengklirkan masalah, makin cepat pula peradilan sosial berakhir. Di sini, proses hukum berperan sebagai pengekang kecenderungan  masyarakat pada kesewenang-wenangan.

Atas dasar itu, kita mengapresiasi Kasi Intel Kejari  Rochman Marsudi yang berjanji segera melakukan pemeriksaan. Pastikan segera kasusnya: apakah itu gratifikasi atau bukan. Dengan pemastian itu, keadilan dapat ditegakkan. Jika itu gratifikasi, lanjutkan proses hukumnya sampai tuntas. Jika bukan, hentikan. Dengan penghentian itu, nama baik dirut PDAM dan anggota  DPRD terpulihkan.

***
Bagaimana ujung akhir kasus ini nanti, belum bisa ditebak. Tapi gelagatnya terlihat. Ketua Baleg DPRD Ende Yohanes Pela mengatakan, pemberian SPPD itu tidak menyalahi aturan dan tidak menjadi persoalan. Ada dua frasa penting di situ: (1) tidak menyalahi aturan, dan (2) tidak menjadi persoalan.

Dalam hal frasa kedua, John Pela keliru besar. Dia bilang tidak menjadi persoalan. Sementara publik jelas-jelas menjadikan pemberian SPPD itu sebagai persoalan, bahkan persoalan sangat serius, sehingga mendesak kejaksaan melakukan pengusutan. Dan karena juga menganggap yang didesakkan itu adalah persoalan, Kasi Intel Rochman Marsudi pun berjanji segera melakukan pemeriksaan.

Sedangkan dalam hal frasa pertama, John Pela boleh jadi benar. Pemberian SPPD dari dirut PDAM  kepada beberapa anggota DPRD bisa saja tidak menyalahi aturan. Kenapa? Mungkin saja karena memang tidak ada aturannya. Maksudnya, aturan tertulis seperti UU. Kalau aturannya tidak ada, apa yang mau dilanggar?

Beberapa tahun silam, Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan pengujian UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi harus memenuhi delik formil. Artinya, hanya menyangkut perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan tertulis, seperti UU. Ketentuan tidak tertulis seperti asas kepatutan, rasa keadilan di masyarakat, dan norma kehidupan sosial lainnya (delik materiil) tidak diperhitungkan lagi.

Pemberian SPPD oleh dirut PDAM kepada anggota DPRD, apakah itu korupsi? Gratifikasi?  Belum tentu. Kalau tak satu pun peraturan tertulis yang dilanggar (delik formil), apalagi kalau peraturannya sendiri tidak ada, maka dugaan korupsi/gratifikasi itu tetap tinggal dugaan. Para pihak luput bulat-bulat.  

***
Taruhlah, secara hukum Dirut PDAM Soedarsono dan anggota DPRD penerima SPPD luput bulat-bulat. Habiskah persoalannya?  Persoalan hukum mungkin habis, tapi tidak persoalan lain. Persoalan kepatutan.

Coba bayangkan: direktur PDAM memberikan SPPD kepada anggota DPRD. SPPD terlanjur diidentikkan dengan uang. Yang cenderung dilupakan,  SPPD itu  singkatan dari  surat perintah perjalanan dinas. Ini surat perintah. Perintah dari atasan kepada bawahan. Siapa atasan di sini? Dia yang memberikan SPPD: dirut PDAM.  Siapa bawahannya? Mereka yang menerima SPPD: anggota DPRD.

Anggota DPRD jadi bawahan dirut PDAM! Ini sungguh tidak patut. Ini menghina diri sendiri. Menistakan rakyat yang memilih. Para wakil rakyat ternyata hanya menghiraukan apa yang mereka terima: duit. Mereka mengabaikan apa yang mereka campakkan: waka. Muruah. Kehormatan diri. ***

Dimuat pada kolom “Kutak-Kutik” Harian Umum FLORES POS, Kamis, 8 Oktober 2015.

19 September 2015

Segera Bereskan Akarnya


(Kasus Taman Permenungan Bung Karno)


Oleh Frans Anggal

Taman itu terletak di jantung Kota Ende, jantungnya Pulau Flores. Dulu, semasa pengasingannya di Ende, Bung Karno selalu ke tempat itu. Di bawah pohon sukun ia duduk. Bermenung. Dari permenungannya lahir Pancasila. Waktu terus berlalu. Pohon sukun itu akhirnya mati. Tapi kemudian diganti dengan pohon sukun baru. Bercabang lima pula, sejumlah sila Pancasila. Kini, di sebelah pohon sukun itu, ditempatkan patung Bung Karno. Ia duduk bermenung. Taman itupun diberi nama Taman Permenungan Bung Karno.

Jumat, 11 September 2015, kehebohan muncul.  Taman ini dijadikan tempat pesta nikah anak Wakil Bupati (Wabup) Ende Djafar Achmad. Hadir dalam pesta ini Bupati Ende Marsel W. Petu, kepala-kepala dinas, pemimpin dan anggota DPRD,  BUMN, dan BUMD, serta masyarakat kebanyakan. Pesta ini pesta rakyat.

Kritik datang dari mana-mana. Intinya, yang terjadi ini bukan hanya penyalahgunaan tempat, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan. Maklum, beberapa pejabat eselon dan PNS dilibatkan dalam persiapan pesta. Fasilitas pemerintah dan BUMN dikerahkan seperti mobil pelat merah dan aset lainnya.

Pemimpin Redaksi Flores Pos Pater Steph Tupeng Witin SVD dalam editorial “Bentara” Flores Pos, Senin, 14 September 2015, menilai kejadian ini sebagai tanda keanehan Pemkab Ende di bawah duet Marsel-Djafar. Ia mencatat dua kasus terakhir:  penggunaan Jalan El Tari sebagai arena  balap motor dan pemanfaatan Taman Permenungan Bung Karno sebagai tempat pesta nikah anak wabup. Apa keanehannya? Ruang publik dibolehkan begitu saja dimanfaatkan untuk urusan privat.

***
Bagi yang sudah lama tinggal di Kota Ende, keanehan seperti yang disoroti “Bentara” itu bukan hal baru. Keanehan seperti itu sudah biasa. Saking biasanya, sebagian besar warga mungkin menganggapnya tidak aneh lagi. Yang malah dianggap aneh adalah pihak yang menyebut kebiasan itu aneh. Jadi, makin aneh saja keanehan yang dianggap tidak aneh di Ende ini.

Di  Ende, mengaduk-campur- kaburkan  yang privat dengan yang publik bukan kisah baru. Balap sepeda motor di Jalan El Tari itu sudah dari dulu. Bupati-bupati sebelumnya juga tidak buat apa-apa. Dibiarkan begitu saja. Hajatan nikah, kematian, sambut baru, dan sunatan  bisa mengambil setengah bahkan seluruh badan jalan. Tinggal minta izin pihak berwenang, habis perkara, dan dipastikan tidak akan timbul perkara. Jalan raya yang adalah fasilitas umum (publik) bisa ditutup berhari-hari untuk urusan pribadi (privat). Para pengendara silakan belok ke jalur lain.  

Di Ende, dari dulu,  apa yang disebut ’kemerdekaan warga’ (civil liberties) belum sepenuhnya ada. Sebelum merdeka, warganya dipersulit penjajah. Setelah merdeka, pada masa Orde Baru, warganya  dipersulit negara. Kini, pada masa Reformasi, warganya dipersulit sesama warga. Jalan raya bisa seenaknya diblokir menjadi jalan saya.

Pelanggaran atas kepentingan publik seperti ini sudah terlalu biasa. Sudah dianggap wajar. Sudah mengendap dalam memori kolektif masyarakat. Juga dalam benak para pejabat. Maka tidaklah mengherankan kalau kisahnya berulang. Pesta nikah anak wabup di Taman Permenungan Bung Karno sesungguhnya hanyalah kisah yang sama dalam peristiwa yang berbeda. Tanggapan Wabup Djafar sendiri meneguhkan hal itu.

***
Tentang Taman Permenungan Bung Karno, sang wabup mengatakan, "Tempat ini merupakan taman bermain, dan di mana-mana taman merupakan tempat rekreasi. Taman ini disiapkan untuk tempat rekreasi bagi masyarakat, maka siapa saja boleh menggunakannya." (Flores Pos, Senin, 14 September 2015).

“Tempat ini merupakan taman bermain.” Wabup Djafar jelas keliru. Dari namanya saja sudah jelas, ini taman permenungan, bukan taman bermain. Dulu, Bung Karno ke sini untuk bermenung,  bukan untuk bermain. Lagi pula dia diasingkan ke Ende tidak sebagai murid taman kanak-kanak. Kalau dia hanya datang bermain di taman ini, ilham Pancasila mungkin tidak bakal didapatnya di sini. Dan taman ini mungkin tidak akan dijadikan situs. Taman ini bukan taman bermain. Ini taman bermenung. Tempat berkontemplasi, bukan beraksi. Tempat bersunyi, bukan berbunyi. Tempat berhening, bukan berbising. Menggelar pesta nikah di tempat ini jelas keliru besar.

“Di mana-mana taman merupakan tempat rekreasi." Ini juga keliru. Tidak semua taman itu tempat rekreasi. Taman makam pahlawan, misalnya, bukan tempat rekreasi. Karena itu, belum ada dan tidak bakal ada berita pejabat DKI menggelar pesta nikah anaknya di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kalaupun sebuah taman itu tempat rekreasi, tidak semua kegiatan dibolehkan dibuat di sana. Di Ende, misalnya, ada Taman Rendo,  taman rekreasi untuk anak-anak. Menggelar pesta nikah di Taman Rendo pasti tidak akan lucu. Sebab, yang menikah itu bukan anak-anak, dan menikah itu bukan rekreasi. Nah, kalau pesta nikah di Taman Rendo yang adalah taman rekreasi sudah dianggap tidak lucu, apalagi pesta nikah di Taman Permenungan Bung Karno yang jelas-jelas bukan taman rekreasi.

Dengan begitu, pernyataan wabup selanjutnya, “Taman ini disiapkan untuk tempat rekreasi bagi masyarakat" jelas keliru juga. Pertanyaannya sekarang, kalau bukan untuk rekreasi, untuk apakah Taman Permenungan Bung Karno dihadirkan di Kota Ende?

***
Sejenak kilas balik. Restorasi dan revitalisasi situs Bung Karno di Ende (salah satunya Taman Permenungan Bung Karno) merupakan hasil pemikiran berbagai tokoh, termasuk tokoh Flores seperti Ignas Kleden, tentang pentingnya pemugaran dan penghidupan kembali situs-situs sejarah untuk diwariskan kepada generasi mendatang. "Tujuannya tak lain adalah kesinambungan makna bernegara dari satu generasi ke generasi lain."

Itu kata-kata  Boediono, yang baik sebagai pribadi maupun sebagai wapres RI kala itu memberikan dukungan penuh. Kata-kata itu diucapkannya pada acara serah terima hasil revitalisasi dan restorasi situs Rumah Pengasingan Bung Karno dan Taman Permenungan Bung Karno di Ende, dari Yayasan Ende Flores kepada Pemkab Ende, di Auditorium Istana Wapres RI,  Jalan Kebon Sirih 14,  Jakarta Pusat, Senin, 17 Februari 2014. (Kompas, Rabu, 19 Februari 2014).

Peruntukannya terlihat. Taman Permenungan Bung Karno disiapkan  untuk “kesinambungan makna bernegara".  Pesta nikah anak wabup jauh sekali dari itu, untuk tidak mengatakan tidak ada hubungannya samasekali dengan  kesinambungan makna bernegara. Tapi … kesulitannya justru terletak di situ, pada penerapannya. Kesinambungan makna bernegara itu sangat abstrak. Maka perlu dikonkretkan: kegiatan macam apakah yang termaktub di dalamnya. Lebih praktis: kegiatan apa saja yang boleh dilakukan dalam Taman Permenungan Bung Karno. Ini yang sampai sekarang belum diatur secara jelas dan  tegas. Akibatnya, orang bebas menafsir. Pernikahan anak wabup di Taman Permenungan Bung Karno merupakan hasil dari penafsiran bebas juga. Kebetulan yang menafsir itu seorang wabup, yang notabene  punya kuasa, maka jadi sudah itu barang.

***
Menyikapi kenyataan ini, dan belajar dari kasus pahit sang wabup, Pemkab dan DPRD Ende perlu segera memikirkan cara terbaik bagi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Taman Permenungan Bung Karno (dan  situs Bung Karno lainnya di Ende). Kita sudah memiliki UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam UU ini dicantumkan 16 kewenangan pemerintah daerah. Kalau UU ini dinilai belum cukup operasional bagi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Taman Permenungan Bung Karno (dan  situs Bung Karno lainnya di Ende), mungkin perlu dibuat perda khusus. Sambil menunggu perda, apakah bisa dibuat perbup? Atau? Pemkab dan DPRD lebih tahu.

Intinya,  peraturan yang jelas dengan sanksi yang tegas perihal pemanfaatan ruang publik sangatlah dibutuhkan. Ini yang selama ini menjadi kekurangan besar di Kota Ende. Ini pulalah akar terjauh dari kasus pemanfaatan Taman Permenungan Bung Karno sebagai tempat pesta nikah anak wabup. Jadi? Segera bereskan akarnya. Jangan hanya kutuk pucuknya.  ***

Dimuat pada kolom "Opini" Harian Umum FLORES POS Edisi Jumat, 18 September 2015.

27 Agustus 2015

Ikut Aturan Main, Bung!

Oleh Frans Anggal

"Anda terbukti mengarang bebas …. Selama ini Anda membantai saya dalam tulisan Anda di Flores Pos. Mudah-mudahan yang Anda tulis itu benar adanya. Kalau tidak maka Anda lihat nanti!!”

Itu bunyi SMS, yang untuk keperluan tulisan ini tidak dikutip seluruhnya. Datangnya dari seseorang yang menyebut diri “Mikhael Hayon, mantan kades Kalike Aimatan, anggota DPRD Flotim”. Ditujukan kepada  Frans Kolong Muda, wartawan Flores Pos di Kabupaten Flotim. SMS terkirim pada Kamis, 18 Juni 2015,  sekitar pukul 11.00 Wita, dari nomor 081338133898.

SMS ini diduga sebagai reaksi atas pemberitaan Flores Pos selama ini soal dugaan penyalahgunaan dana Program Usaha Agrobisnis Perdesaan (PUAP) di Desa Kalike Aimatan, Kecamatan Solor Timur, tahun 2008/2009.  Nilainya Rp100 juta.  Mikhael Hayon, kalau benar dia pengirim SMS itu, diduga merasa terganggu oleh pemberitaan. Sebab, kasus tersebut terjadi saat dia menjabat kades. Sebagai kades, dialah penanggung jawab pengelolaan dana PUAP.

Dana PUAP itu telah digunakan. Sayangnya, digunakan tidak seturut petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kementerian Pertanian. Dana tidak mereka pakai untuk adakan bibit tanaman dan anak hewan ternak, tapi untuk beli truk. Tidak main-main, truknya truk bekas. Dan lebih tidak main-main lagi, truk itu truk bekas pangkat lima, karena sudah di bawah lima tangan. Dana sisa dari beli truk itu mereka pakai untuk bangun balai desa. Sialnya, truk kena strok tidak lama setelah dioperasikan. Truk itu rusak sampai saat ini.

Menurut hasil audit Inspektorat Flotim, kerugian keuangan negara dalam kasus ini Rp72 juta. Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polres Flotim telah melakukan penyelidikan sejak September 2014. Sudah hampir berulang tahun, penyelidikannya baru sebatas  memeriksa sejumlah saksi. Sedangkan Mikhael Hayon, si penanggung jawab pengelolaan dana PUAP, belum disentuh.

Nah, ini titik penting: polisi belum sentuh dia. Yang malah rajin sentuh dia adalah Frans Kolong Muda, si wartawan Flores Pos. Pemberitaannya gencar dalam tiga bulan terakhir.  Maka kepada si penulis beritalah SMS disasarkan.  Nadanya mengancam. Rupanya tujuannya agar nyali Frans Kolong Muda ciut. Kalau nyalinya ciut, mana berani lagi dia menulis? Maka pemberitaan terhenti. Dengan demikian, kasusnya mudah dihentikan. Kan tak ada lagi yang mengontrol.   

Kalau hitung-hitungan si pengancam seperti itu, ia keliru besar. Disangkanya tujuan tercapai, alih-laih hal lainlah  yang terjadi. Pertama, SMS bernada ancaman itu dijadikan berita oleh Frans Kolong Muda. Salain pertanda wartawan ini tidak kecut, pemberitaannya itu membuat sesuatu yang sedang terjadi di ruang gelap diangkat ke ruang terang, ke ruang publik, sehingga diketahui publik. Ini self cencorship wartawan agar ia tidak terperangkap dalam transaksi gelap yang menistakan profesinya.

Selain itu, memberitakan SMS bernada ancaman berarti juga mempertontonkan kepada publik mutu si pengirim SMS. Kalau benar Mikhael Hayon yang mengirim SMS, betapa ini menyedihkan. Dia itu kan anggota DPRD. Legislator. Asal katanya leges (bahasa Latin), yang berarti aturan. Dia pembuat aturan. Bagaimana bisa cara bereaksinya tidak pakai aturan? Padahal aturannya sudah ada, dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Selama ini Anda membantai saya dalam tulisan Anda di Flores Pos,”  bunyi SMS-nya. Kalau betul begitu, kenapa dia tidak kirim tanggapan ke Flores Pos? UU Pers menjamin haknya. Namanya, hak jawab. Yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pers berkewajiban memuat hak jawab.

"Anda terbukti mengarang bebas.” Kalau benar demikian, kenapa pula ia tidak kirim tanggapan ke Flores Pos? Di sini pun UU Pers menjamin haknya. Hak koreksi. Yaitu,  hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Pers wajib hukumnya memperbaiki informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakannya.

Sayangnya, mekanisme di atas tidak ditempuh oleh si pengirim SMS. Maka jadi teranglah di mata publik, dia tidak tahu aturan main. Percuma saja jadi legislator, pembuat aturan. Ganti pakai aturan, dia malah pakai cara preman, mengirim SMS bernada ancaman. “Mudah-mudahan yang Anda tulis itu benar adanya. Kalau tidak maka Anda lihat nanti!!”

Apa reaksi Frans Kolong Muda? Setelah ia jadikan berita, SMS bernada ancaman itu ia jadikan dasar pembuatan laporan polisi. Pelaporan tindak pidana ini pun ia beritakan. Ia tahu aturan main. Tidak bereaski ala preman. Ini hal kedua yang mungkin di luar dugaan si pengirim SMS.  

Dengan adanya laporan polisi  tersebut, kini dua kasus menimpa Mikhael Hayon. Yang pertama, kasus PUAP. Yang kedua, kasus SMS. Yang pertama itu kasus korupsi, yang dikenal sebagai extraordinary crime atau tindak pidana luar biasa. Yang kedua kasus tindak pidana biasa.

Yang menarik, kedua kasus ini terjadi karena hal yang sama. Karena orang tidak ikut aturan main. Dalam kasus pertama, aturan mainnya berupa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kementerian Pertanian.  Ini tidak dihiraukan. Dalam kasus kedua, aturan mainnya ada dalam UU Pers. Ini tidak diindahkan. Apakah karena tidak mau atau karena tidak tahu, walahuallam.

Yang pasti, pesan dari kedua kasus ini sangat jelas. Sebuah pesan tua dari peribahasa Latin kuno, dengan kebenaran yang tak akan pernah kuno. Serva ordinem, et ordo sevabit te! Peliharalah aturan, maka aturan akan memelihara engkau! Jadi? Ikut aturan main, Bung! ***

Dimuat pada kolom “Kutak-Kutik” Harian Umum Flores Pos edisi Kamis, 27 Agustus 2015.

14 Agustus 2015

Larantuka Kota Gelap



Oleh Frans Anggal

Kalau Anda bukan warga Larantuka, dan harus ke ibu kota Kabupaten Flotim itu sekarang, sebaiknya dengarkan ini. Jangan suka keluar malam! Kalaupun terpaksa ke luar juga, pastikan lampu kendaraan cukup terang. Jika harus berkaki, jangan lupa bawa senter. Banyak lampu jalan di Larantuka tidak berfungsi. Kota itu sudah jadi kota gelap!

Harian Umum Flores Pos berkali-kali memberitakan ini. Wartawannya Wentho Eliando tidak bosan-bosan menulis hal yang sama, bulan demi bulan. Sementara warga Larantuka sendiri sudah lelah untuk omong.

"Itu sudah biasa,” kata Silvester, warga yang diwawancarai Flores Pos. “Kami selalu merasakan itu. Dan itu bukan masalah lagi bagi kami. Biarkan saja sampai yang berkewajiban sadar bahwa lampu jalan itu penting bagi Kota Larantuka. Cape juga kita bicarakan itu. Tagihan pajak penerangan jalan yang kami bayar biar jadi sumbangan untuk dihabiskan. Kalau masih kurang, kami siap sumbang tambah!" (Flores Pos, Senin, 10 Agustus 2015).

Ucapan warga ini boleh jadi menyingkap banyak hal di balik benaknya, yang karena satu dan lain alasan tidak ia gamblangkan. 

Pertama, "Itu sudah biasa. Itu bukan masalah lagi bagi kami.” Perasaan bahwa gelapnya Larantuka itu sudah biasa, sehingga bukan masalah lagi, merupakan perasaan umum warga. Dengan menyebut warga maka otomatis termasuk di dalamnya pak bupati, pak wabup, pak sekda, serta tak lupa pak kadis PU dan tamben selaku pengelola penerangan jalan umum. Mereka warga Larantuka juga, pelanggan listrik juga, yang berkewajiban membayar pajak penerangan jalan tiap bulan. Sungguh mengerikan kalau bapak-bapak ini merasa Larantuka gelap itu biasa. Kalau benar begitu, mereka tidak punya sense of crisis. Betapa mengerikan pula kalau bapak-bapak ini merasa Larantuka gelap itu bukan masalah, sehingga tak perlu dan tak mendesak ada penanggulangan. Kalau benar demikian, mereka tidak punya sense of urgency. 

Kedua, “Biarkan saja sampai yang berkewajiban sadar bahwa lampu jalan itu penting bagi Kota Larantuka. Cape juga kita bicarakan itu.” Selain mengesankan keputusasaan, ucapan ini menuding pejabat terkait tidak punya kesadaran. Ini ada hubungannya dengan pengalaman dan praktik hidup harian. Mana ada pejabat teras Flotim berjalan kaki malam-malam sepanjang jalan di Larantuka? Mereka selalu di atas mobil yang sorot lampunya tajam. Bagi mereka, lampu mobil  itulah lampu jalan. Lampu jalan mereka istimewa: bisa dibawa ke mana-mana saat jalan-jalan di jalan yang tidak ada lampu jalan. Dengan pengalaman dan praktik hidup seperti ini, masuk akal kalau mereka tidak sadar bahwa lampu jalan di pinggir jalan itu penting untuk Larantuka. Mereka cuma sadar akan apa yang penting untuk diri sendiri. 

Ketiga, “Tagihan pajak penerangan jalan yang kami bayar biar jadi sumbangan untuk dihabiskan. Kalau masih kurang, kami siap sumbang tambah!" Warga mempersoalkan hubungan yang semestinya ada antara pajak penerangan jalan dan penerangan jalan umum. Dari namanya sudah jelas: pajak penerangan jalan. Pajak  ini ada “supaya” ada penerangan jalan, dan pajak ini ada “karena” ada penerangan jalan. Di Larantuka dan banyak kota lain, kata “supaya” dan “karena“  sudah diganti dengan kata lain.  Pajak ini ada “tanpa” ada penerangan jalan.

Menurut akal lurus, hak menikmati penerangan jalan umum itu ada karena ada kewajiban membayar pajak penerangan jalan.  Kami sudah bayar pajaknya, mana lampu jalannya? Yang menyedihkan, UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah justru menggunakan akal miring. Pasal 56, ayat 3 mengamanatkan, “Hasil penerimaan pajak penerangan jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.”  Nah, hanya sebagian dari hasil penerimaan pajak penerangan jalan yang dimanfaatkan untuk penerangan jalan. Sebagian lainnya, mungkin dalam porsi terbesar, dibawa ke mana? Bisa ke mana-mana! Bisa untuk belanja lain. Di sini, pajak penerangan jalan dijadikan alat budgeter, pengumpul uang, untuk belanja lain.

Itulah pajak. Beda dengan retribusi yang memakai akal lurus. Pada retribusi, imbalannya kepada pembayar bersifat langsung dan seimbang. Pada retribusi parkir, misalnya, pembayar langsung mendapat jasa tempat parkir kendaraannya. Pada pajak tidak begitu. Imbalannya kepada pembayar tidak harus langsung dan tidak harus seimbang.

Besaran pajak penerangan jalan didasarkan pada dua komponen, yaitu biaya tarif  beban (dilihat dari jumlah pelanggan) dan biaya pemakaian listrik (dilihat dari besar pemakaian/kwh). Dengan dua komponen itu, penerimaan pajak penerangan jalan per bulan bisa naik turun. Agar praktis, pemerintah menyusun perkiraan penerimaan berdasarkan target, bukan berdasarkan angka riil akumulasi pungutan. Nah, selisihnya ke mana dan untuk apa, itu bisa jadi soal. Ditambah lagi dengan sifat imbalannya kepada pembayar yang tidak harus langsung dan tidak harus seimbang, pajak penerangan jalan merupakan salah satu jenis pajak yang paling mudah diselewengkan.

Pertanyaan kita, apakah pajak penerangan jalan di Flotim diselewengkan? Sehingga penerangan jalan umum terlantar dan  Larantuka jadi kota gelap? Wallahualam. Yang cukup jelas, pemimpin di sana tidak peduli. Mereka merasa pintar, tapi tidak pintar merasa. Yang penting buat, tapi tidak buat yang penting. Tidak punya sense of crisis. Tidak punya sense of urgency.

Pesan kita hanya dua. Pertama, betapapun UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menggunakan akal miring, akal lurus janganlah diinjak-injak. Kami sudah bayar pajaknya, mana lampu jalannya? Pembayar pajak berhak atas pelayanan publik yang bermutu. Kedua, kesabaran warga ada batasnya. Dari kecewa, mereka bisa frustrasi. Dari frustrasi, mereka bisa destruktif. Itu yang tidak boleh terjadi. ***

Dimuat pada kolom "Kutak-Kutik" Harian Umum Flores Pos edisi Senin, 10 Agustus 2015.