14 Agustus 2015

Larantuka Kota Gelap



Oleh Frans Anggal

Kalau Anda bukan warga Larantuka, dan harus ke ibu kota Kabupaten Flotim itu sekarang, sebaiknya dengarkan ini. Jangan suka keluar malam! Kalaupun terpaksa ke luar juga, pastikan lampu kendaraan cukup terang. Jika harus berkaki, jangan lupa bawa senter. Banyak lampu jalan di Larantuka tidak berfungsi. Kota itu sudah jadi kota gelap!

Harian Umum Flores Pos berkali-kali memberitakan ini. Wartawannya Wentho Eliando tidak bosan-bosan menulis hal yang sama, bulan demi bulan. Sementara warga Larantuka sendiri sudah lelah untuk omong.

"Itu sudah biasa,” kata Silvester, warga yang diwawancarai Flores Pos. “Kami selalu merasakan itu. Dan itu bukan masalah lagi bagi kami. Biarkan saja sampai yang berkewajiban sadar bahwa lampu jalan itu penting bagi Kota Larantuka. Cape juga kita bicarakan itu. Tagihan pajak penerangan jalan yang kami bayar biar jadi sumbangan untuk dihabiskan. Kalau masih kurang, kami siap sumbang tambah!" (Flores Pos, Senin, 10 Agustus 2015).

Ucapan warga ini boleh jadi menyingkap banyak hal di balik benaknya, yang karena satu dan lain alasan tidak ia gamblangkan. 

Pertama, "Itu sudah biasa. Itu bukan masalah lagi bagi kami.” Perasaan bahwa gelapnya Larantuka itu sudah biasa, sehingga bukan masalah lagi, merupakan perasaan umum warga. Dengan menyebut warga maka otomatis termasuk di dalamnya pak bupati, pak wabup, pak sekda, serta tak lupa pak kadis PU dan tamben selaku pengelola penerangan jalan umum. Mereka warga Larantuka juga, pelanggan listrik juga, yang berkewajiban membayar pajak penerangan jalan tiap bulan. Sungguh mengerikan kalau bapak-bapak ini merasa Larantuka gelap itu biasa. Kalau benar begitu, mereka tidak punya sense of crisis. Betapa mengerikan pula kalau bapak-bapak ini merasa Larantuka gelap itu bukan masalah, sehingga tak perlu dan tak mendesak ada penanggulangan. Kalau benar demikian, mereka tidak punya sense of urgency. 

Kedua, “Biarkan saja sampai yang berkewajiban sadar bahwa lampu jalan itu penting bagi Kota Larantuka. Cape juga kita bicarakan itu.” Selain mengesankan keputusasaan, ucapan ini menuding pejabat terkait tidak punya kesadaran. Ini ada hubungannya dengan pengalaman dan praktik hidup harian. Mana ada pejabat teras Flotim berjalan kaki malam-malam sepanjang jalan di Larantuka? Mereka selalu di atas mobil yang sorot lampunya tajam. Bagi mereka, lampu mobil  itulah lampu jalan. Lampu jalan mereka istimewa: bisa dibawa ke mana-mana saat jalan-jalan di jalan yang tidak ada lampu jalan. Dengan pengalaman dan praktik hidup seperti ini, masuk akal kalau mereka tidak sadar bahwa lampu jalan di pinggir jalan itu penting untuk Larantuka. Mereka cuma sadar akan apa yang penting untuk diri sendiri. 

Ketiga, “Tagihan pajak penerangan jalan yang kami bayar biar jadi sumbangan untuk dihabiskan. Kalau masih kurang, kami siap sumbang tambah!" Warga mempersoalkan hubungan yang semestinya ada antara pajak penerangan jalan dan penerangan jalan umum. Dari namanya sudah jelas: pajak penerangan jalan. Pajak  ini ada “supaya” ada penerangan jalan, dan pajak ini ada “karena” ada penerangan jalan. Di Larantuka dan banyak kota lain, kata “supaya” dan “karena“  sudah diganti dengan kata lain.  Pajak ini ada “tanpa” ada penerangan jalan.

Menurut akal lurus, hak menikmati penerangan jalan umum itu ada karena ada kewajiban membayar pajak penerangan jalan.  Kami sudah bayar pajaknya, mana lampu jalannya? Yang menyedihkan, UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah justru menggunakan akal miring. Pasal 56, ayat 3 mengamanatkan, “Hasil penerimaan pajak penerangan jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.”  Nah, hanya sebagian dari hasil penerimaan pajak penerangan jalan yang dimanfaatkan untuk penerangan jalan. Sebagian lainnya, mungkin dalam porsi terbesar, dibawa ke mana? Bisa ke mana-mana! Bisa untuk belanja lain. Di sini, pajak penerangan jalan dijadikan alat budgeter, pengumpul uang, untuk belanja lain.

Itulah pajak. Beda dengan retribusi yang memakai akal lurus. Pada retribusi, imbalannya kepada pembayar bersifat langsung dan seimbang. Pada retribusi parkir, misalnya, pembayar langsung mendapat jasa tempat parkir kendaraannya. Pada pajak tidak begitu. Imbalannya kepada pembayar tidak harus langsung dan tidak harus seimbang.

Besaran pajak penerangan jalan didasarkan pada dua komponen, yaitu biaya tarif  beban (dilihat dari jumlah pelanggan) dan biaya pemakaian listrik (dilihat dari besar pemakaian/kwh). Dengan dua komponen itu, penerimaan pajak penerangan jalan per bulan bisa naik turun. Agar praktis, pemerintah menyusun perkiraan penerimaan berdasarkan target, bukan berdasarkan angka riil akumulasi pungutan. Nah, selisihnya ke mana dan untuk apa, itu bisa jadi soal. Ditambah lagi dengan sifat imbalannya kepada pembayar yang tidak harus langsung dan tidak harus seimbang, pajak penerangan jalan merupakan salah satu jenis pajak yang paling mudah diselewengkan.

Pertanyaan kita, apakah pajak penerangan jalan di Flotim diselewengkan? Sehingga penerangan jalan umum terlantar dan  Larantuka jadi kota gelap? Wallahualam. Yang cukup jelas, pemimpin di sana tidak peduli. Mereka merasa pintar, tapi tidak pintar merasa. Yang penting buat, tapi tidak buat yang penting. Tidak punya sense of crisis. Tidak punya sense of urgency.

Pesan kita hanya dua. Pertama, betapapun UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menggunakan akal miring, akal lurus janganlah diinjak-injak. Kami sudah bayar pajaknya, mana lampu jalannya? Pembayar pajak berhak atas pelayanan publik yang bermutu. Kedua, kesabaran warga ada batasnya. Dari kecewa, mereka bisa frustrasi. Dari frustrasi, mereka bisa destruktif. Itu yang tidak boleh terjadi. ***

Dimuat pada kolom "Kutak-Kutik" Harian Umum Flores Pos edisi Senin, 10 Agustus 2015.

Tidak ada komentar: