Oleh Frans Anggal
Kalau Anda bukan warga Larantuka, dan harus ke ibu kota
Kabupaten Flotim itu sekarang, sebaiknya dengarkan ini. Jangan suka keluar
malam! Kalaupun terpaksa ke luar juga, pastikan lampu kendaraan cukup terang.
Jika harus berkaki, jangan lupa bawa senter. Banyak lampu jalan di Larantuka tidak
berfungsi. Kota itu sudah jadi kota gelap!
Harian Umum Flores Pos
berkali-kali memberitakan ini. Wartawannya Wentho Eliando tidak bosan-bosan
menulis hal yang sama, bulan demi bulan. Sementara warga Larantuka sendiri sudah
lelah untuk omong.
"Itu
sudah biasa,” kata Silvester, warga yang diwawancarai Flores Pos. “Kami selalu merasakan itu. Dan itu bukan masalah lagi
bagi kami. Biarkan saja sampai yang berkewajiban sadar bahwa lampu jalan itu
penting bagi Kota Larantuka. Cape
juga kita bicarakan itu. Tagihan pajak penerangan jalan yang kami bayar biar
jadi sumbangan untuk dihabiskan. Kalau masih kurang, kami siap sumbang tambah!"
(Flores Pos, Senin, 10 Agustus 2015).
Ucapan
warga ini boleh jadi menyingkap banyak hal di balik benaknya, yang karena satu
dan lain alasan tidak ia gamblangkan.
Pertama, "Itu sudah biasa.
Itu bukan masalah lagi bagi kami.” Perasaan bahwa gelapnya Larantuka itu sudah
biasa, sehingga bukan masalah lagi, merupakan perasaan umum warga. Dengan
menyebut warga maka otomatis termasuk di dalamnya pak bupati, pak wabup, pak sekda,
serta tak lupa pak kadis PU dan tamben selaku pengelola penerangan jalan umum.
Mereka warga Larantuka juga, pelanggan listrik juga, yang berkewajiban membayar
pajak penerangan jalan tiap bulan. Sungguh mengerikan kalau bapak-bapak ini
merasa Larantuka gelap itu biasa. Kalau benar begitu, mereka tidak punya sense of crisis. Betapa mengerikan pula
kalau bapak-bapak ini merasa Larantuka gelap itu bukan masalah, sehingga tak
perlu dan tak mendesak ada penanggulangan. Kalau benar demikian, mereka tidak
punya sense of urgency.
Kedua, “Biarkan saja sampai
yang berkewajiban sadar bahwa lampu jalan itu penting bagi Kota Larantuka. Cape juga kita bicarakan itu.” Selain
mengesankan keputusasaan, ucapan ini menuding pejabat terkait tidak punya
kesadaran. Ini ada hubungannya dengan pengalaman dan praktik hidup harian. Mana
ada pejabat teras Flotim berjalan kaki malam-malam sepanjang jalan di
Larantuka? Mereka selalu di atas mobil yang sorot lampunya tajam. Bagi mereka,
lampu mobil itulah lampu jalan. Lampu
jalan mereka istimewa: bisa dibawa ke mana-mana saat jalan-jalan di jalan yang
tidak ada lampu jalan. Dengan pengalaman dan praktik hidup seperti ini, masuk
akal kalau mereka tidak sadar bahwa lampu jalan di pinggir jalan itu penting
untuk Larantuka. Mereka cuma sadar akan apa yang penting untuk diri sendiri.
Ketiga, “Tagihan pajak
penerangan jalan yang kami bayar biar jadi sumbangan untuk dihabiskan. Kalau
masih kurang, kami siap sumbang tambah!" Warga mempersoalkan hubungan yang
semestinya ada antara pajak penerangan jalan dan penerangan jalan umum. Dari
namanya sudah jelas: pajak penerangan jalan. Pajak ini ada “supaya” ada penerangan jalan, dan
pajak ini ada “karena” ada penerangan jalan. Di Larantuka dan banyak kota lain,
kata “supaya” dan “karena“ sudah diganti
dengan kata lain. Pajak ini ada “tanpa” ada
penerangan jalan.
Menurut
akal lurus, hak menikmati penerangan jalan umum itu ada karena ada kewajiban
membayar pajak penerangan jalan. Kami
sudah bayar pajaknya, mana lampu jalannya? Yang menyedihkan, UU Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah justru menggunakan akal miring. Pasal
56, ayat 3 mengamanatkan, “Hasil penerimaan pajak penerangan jalan sebagian
dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.” Nah, hanya sebagian dari hasil penerimaan
pajak penerangan jalan yang dimanfaatkan untuk penerangan jalan. Sebagian
lainnya, mungkin dalam porsi terbesar, dibawa ke mana? Bisa ke mana-mana! Bisa
untuk belanja lain. Di sini, pajak penerangan jalan dijadikan alat budgeter,
pengumpul uang, untuk belanja lain.
Itulah pajak. Beda dengan retribusi yang memakai
akal lurus. Pada retribusi, imbalannya kepada pembayar bersifat langsung dan
seimbang. Pada retribusi parkir, misalnya, pembayar langsung mendapat jasa
tempat parkir kendaraannya. Pada pajak tidak begitu. Imbalannya kepada pembayar
tidak harus langsung dan tidak harus seimbang.
Besaran pajak penerangan jalan didasarkan
pada dua komponen, yaitu biaya tarif beban
(dilihat dari jumlah pelanggan) dan biaya pemakaian listrik (dilihat dari besar
pemakaian/kwh). Dengan dua komponen itu, penerimaan pajak penerangan jalan per
bulan bisa naik turun. Agar praktis, pemerintah menyusun perkiraan penerimaan
berdasarkan target, bukan berdasarkan angka riil akumulasi pungutan. Nah,
selisihnya ke mana dan untuk apa, itu bisa jadi soal. Ditambah lagi dengan
sifat imbalannya kepada pembayar yang tidak harus langsung dan tidak harus
seimbang, pajak penerangan jalan merupakan salah satu jenis pajak yang paling mudah
diselewengkan.
Pertanyaan kita, apakah pajak penerangan jalan di Flotim
diselewengkan? Sehingga penerangan jalan umum terlantar dan Larantuka jadi kota gelap? Wallahualam. Yang cukup
jelas, pemimpin di sana tidak peduli. Mereka merasa pintar, tapi tidak pintar
merasa. Yang penting buat, tapi tidak buat yang penting. Tidak punya sense of crisis. Tidak punya sense of urgency.
Pesan kita hanya dua. Pertama,
betapapun UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah menggunakan akal miring, akal lurus janganlah diinjak-injak.
Kami sudah
bayar pajaknya, mana lampu jalannya? Pembayar
pajak berhak atas pelayanan publik yang bermutu. Kedua, kesabaran warga ada
batasnya. Dari kecewa, mereka bisa frustrasi. Dari frustrasi, mereka bisa
destruktif. Itu yang tidak boleh terjadi. ***
Dimuat pada kolom "Kutak-Kutik" Harian Umum Flores Pos edisi Senin, 10 Agustus 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar