Kompak Memprotes Surat Gubernur NTT
Oleh Frans Anggal
Ribuan massa Perkumpulan Rakyat Watu Ata (Permata) mendatangi bupati, wabup, dan DPRD Ngada di Bajawa, Kamis 5 Mei 2011. Mereka memprotes surat gubernur NTT ke Menteri Kehutanan RI. Surat itu tidak mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan di NTT. Ini dinilai tidak realistis dan sangat merugikan masyarakat (Flores Pos Jumat 6 Mei 2011).
Surat itu tertanggal 20 Desember 2010. Perihal Ranperda RTRW Provinsi NTT 2010-2030. Tentang kehutanan, surat itu tidak usulkan perubahan. Akibatnya, bagi Kabupaten Ngada, luas kawasan hutan masih seperti dulu. Yakni 56 persen. Padahal, UU 41/1999 tentang Kehutan¬an menetapkan hanya 30 persen untuk sebuah kabupaten.
Demo ini mendapat tangapan positif dari bupati, wabup, dan ketua DPRD. Bupati Marianus Sae bilang, surat gubernur itu tidak sesuai dengan kondisi riil di Ngada dan sangat merugikan masyarakat Ngada. Sudah dua kali ia mengirim surat protes ke pusat, 8 Maret dan 27 April 2011. Namun belum ditanggapi pusat. Pemerintah dan DPRD ajukan luas kawasan hutan Ngada 30 persen.
Wabup Paulus Soliwoa bilang, untuk mengegolkan perjuangan, pemerintah akan presentasikan kondisi riil wilayah Ngada dan kawasan hutannya. Pemkab akan tempuh langkah administratif ke pusat.
Ketua DPRD Kristoforus Loko biang, jeritan rakyat dirasakan oleh wakil rakyat. "Kita tidak inginkan terjadi tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat. Kalau terjadi, kami sebagai wakil rakyat tidak akan berdiam diri, tetapi berupaya untuk menyelamatkan rakyat. Hutan tetap penting untuk kepentingan masyarakat, tetapi tidak boleh mengorbankan kehidupan masyarakat."
Aha! Sungguh menarik. Dalam demo ini, masyarakat, eksekutif, dan legislatif memiliki cara wawas yang sama terhadap surat gubernur. Bahwa surat gubernur tidak aspiratif. Gubernur tidak tanya-tanya kabupaten. Soal substansi hutan, gubernur bersikap seenak perutnya sendiri. Padahal gubernur tidak punya wilayah. Yang punya wilayah adalah bupati.
Selain tidak aspiratif, surat gubernur tidak realistis. Tidak sesuai dengan kondisi riil kabupaten. Yang kenal kabupaten adalah bupati. Namun pihak yang paling mengenal wilayahnya sendiri ini justru tidak ditanyai.
Tidak hanya tidak realistis, surat gubernur juga merugikan masyarakat. Khusus di Ngada, sebagian besar ruang hidup masyarakat ditetapkan jadi kawasan hutan, 56 persen. Sementara mayortas masyarakatnya hidup dari pertanian. Jumlah mereka terus bertambah. Seiring dengan itu, mereka butuhkan lahan yang luas. Dalam keadaan begini, kenapa gubernur tidak usulkan perubahan kawasan hutan menjadi 30 persen untuk semua kabupaten, sesuai dengan amanat UU?
Dampaknya menarik. Surat gubernur diprotes oleh bupati. Hal yang tidak perlu terjadi kalau gubernur menjalankan fungsi koordinasi. Justru ini yang kurang dari gubernur sekarang. Tidak heran pula, kasus tapal batas Ngada dan Manggarai Timur tetap menggantung tidak jelas penyelesaiannya. Tidak hanya diprotes oleh bupati, surat gubernur juga diprotes oleh masyarakat. Demo ribuan massa Permata itu adalah demo protes surat gubernur. Demkian pula pernyataan bupati, wabup, dan ketua DPRD adalah pernyataan protes terhadapnya.
Yang tak kalah menarik, kompaknya Ngada memprotes surat itu. Tampak, masyarakat, bupati, wabup, ketua DPRD bersatu padu memperjuangkan kepentingan masyarakat. Ini fenomena yang langka. Apakah ini pertanda Ngada bangkit?
"Bentara” FLORES POS, Sabtu 7 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar