Kericuhan Seusai Rapat
Oleh Frans Anggal
Rapat gabungan komisi DPRD Ende bersama pemerintah, Senin 24 Mei 2011, berbuntut ricuh. Kericuhan terjadi setelah rapat. Rapat dipimpin wakil ketua DPRD Fransiskus Taso. Usai menutup rapat, ia "membuka" babak baru bersama anggota Gabriel Dala Ema. Yakni babak nyaris adu jotos (Flores Pos Slasa 24 Mei 2011).
Konon, tersinggung oleh pernyataan Gaby Ema, Frans Taso naik pitam. Ia mengejar Gaby Ema. Gaby lari ke luar ruang sidang. Karena tak bisa mengejar, Frans renggut peralatan sound system di ruang sidang dan melempari Gaby. Tidak kena. Gaby lari hingga jalan raya dan selanjutnya tinggalkan DPRD.
Seandainya adegan ini direkam dengan baik, hasilnya bisa diunggah ke You Tube. Bagus sebagai ilustrasi buat anak cucu. "Nak, inilah DPRD Ende 2009-2014," kira-kira begitu tulis si pengunggah. "Dalam rapat, mereka adu otak. Di luar rapat, mereka adu otot. Dalam rapat, peralatan sound system dipakai untuk omong. Di luar rapat, dipakai untuk lempar orang."
Mereka adu otot, bukan karena suka olah raga. Tapi karena gagal olah emosi. Emosi kalahkan rasio. Dalam keadaan seperti itu, orang yang marah sama dengan orang yang gila. Makanya, sastrawan Romawi Quintus Horatius Flaccus alias Horace bilang, amarah adalah kegilaan yang singkat. Ira furor brevis est. Makin tepat saja kalau kita bayangkan adegan di DPRD Ende itu. Adu mulut, kejar, lempar. Benar-benar gila singkat.
Mungkin ada yang bilang, wakil rakyat juga manusia. Bisa marah. Itu benar. Namun persoalan¬nya bukan itu. Bukan tidak boleh marah. Tapi marah yang bagaimana. Bagaimananya itulah yang membedakan marahnya orang dewasa dan marahnya anak-anak. Marahnya orang yang tidak bersekolah dan marahnya orang yang berpendidikan tinggi. Marah di pasar dan marah di kantor.
Perbedaan itu melahirkan pembedaan anak timbangan. Bobot anak timbangan tidak boleh sama atau disamakan, meski alasan, tujuan, dan cara perbuatannya sama. Dalam perbuatan mencuri, yang sama alasan, tujuan, dan caranya, anak timbangan bagi orang dewasa tentu harus lebih berat daripada anak timbangan bagi anak-anak.
Dengan ini, kita mengkritisi pernyataan Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Ende H. Mohamad Taher. Dia bilang, kericuhan di DPRD itu tidak wajar. Melanggar kode etik dan tata tertib DPRD. Mempermalukan DPRD. Mencederai wibawa dan kehormatan DPRD. Ia benar. Sayang, ia kemudian salah ketika menyebutkan kericuhan itu pelanggaran ringan. Dan karena pelanggaran ringan, persoalannya diselesaikan ke dalam. Secara kekeluargaan.
Benarkah ini pelanggaran ringan? Anak timbangan apa yang ia gunakan? Yang nyaris adu jotos, yang mengejar dan dikejar, yang merusak dan menyalahgunakan peralatan sound system ruang sidang itu wakil rakyat. Mereka bukan anak kecil. Bukan orang kampung. Kejadiannya bukan di pasar. Maka, anak timbangan untuk perbuatan mereka haruslah berat.
Dengan demikian, kita hendak katakan, pelanggaran mereka itu pelanggaran berat. Ukuran berat-ringannya bukan KUHP, tapi tata tertib dan kode etik dewan serta kepatutan sosial. Maka, jangan melihat sifat pidananya. Itu tugas polisi, jaksa, hakim. Lihatlah sifat tidak-disiplin dan tidak-etisnya. Itulah tugas BK.
Ketua BK sudah sebutkan dampak pelanggaran itu. Mempermalukan DPRD. Mencederai wibawa dan kehormatan DPRD. Ini sudah jelas menunjukkan pelanggaran itu pelanggaran berat. Nah, tunggu apa lagi? Tunggu sampai ada yang mati karena dilempari peralatan sound system? Yang benar saja ah!
”Bentara” FLORES POS, Kamis 26 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar