Oleh Frans Anggal
Sebentar lagi hasil pilkada Kabupaten Manggarai Timur (KMT) diumumkan KPU. Dari perolehan sementara suara, sudah dapat dipastikan pilkada perdana ini harus berlangsung dua putaran. Sebab, tak ada paket yang meraih 30 persen lebih suara sah, sebagaimana ketentuan UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Dua dari tujuh paket yang masih akan bertarung adalah YOGA (Yoseph Tote-Andreas Agas) dari PDI Perjuangan dan ABBA (Yoseph Byron Aur-Gonis Bajang) dari Golkar.
Pilkada dua putaran sungguh sebuah mimpi buruk. Waktu, tenaga, dan pikiran rakyat semakin terkuras. Beberapa bulan lalu mereka mengikuti pilgub, sekarang pilkada putaran pertama, sebentar lagi putaran kedua, dan tahun depan pemilu legislatif dan capres. Beruntun rakyat hidup dalam ketegangan. Tak sedikit pula yang berkonflik seakan tiada henti.
Di bawah ambang batas toleransi, hajatan politik seperti ini mengasyikkan. Tapi kalau kebanyakan seperti sekarang, besar kemungkinan menjenuhkan. Akan semakin banyak rakyat yang masa bodoh dan lalu memilih tidak ikut memilih alias jadi golput.
Dari sisi ekonomi, pilkada dua putaran merupakan pemborosan. Miliaran rupiah uang negara harus digelontorkan lagi. Semakin banyak yang dihabiskan kalau dijumlahkan dengan dana dari setiap kandidat untuk sosialisasi, kampanye, dan lain-lain kegiatan operasional yang mau tak mau diulang kalau ingin menang.
Pemborosan ini terjadi justru ketika sebagian besar rakyat masih hidup dalam kemiskinan. Betapa lebih bermanfaat kalau miliaran rupiah uang negara itu digunakan untuk mengentas rakyat dari kemiskinan, membangun atau memperbaiki infrastruktur jalan raya, air bersih, sarana pendidikan dan kesehatan.
Sebagai kabupaten baru, Manggarai Timur sendiri penuh dengan keluh kesah kekurangan dana. Yang terakhir yang paling dikeluhkan adalah dana pilkada, sampai-sampai muncul kekhawatiran pilkada terancam batal. Sekarang, dengan keharusan pilkada putaran kedua, keluh kesah yang sama bisa terulang.
Mau bilang apa. UU No 12 Tahun 2008 tidak mau tahu. Putaran kedua wajib hukumnya karena standar 30 persen tidak terpenuhi. Kita terhukum oleh hukum ciptaan sendiri. Hukum yang gila, yang bikin demokrasi jadi mahal dan boros.
Kenapa harus 30 persen? Sebenarnya, besar kecilnya persentase tidak penting, yang penting siapa peraih suara terbanyak saja, titik. Persentase tidak mengurangi legitimasi seseorang yang terpilih. Ini analog dengan soal sah tidaknya pilkada. Pilkada tetap sah meski yang coblos tak sampai 30 persen. Semestinya demikian juga bagi kemenangan pilkada. UU 12/2008 memang gila. Harus direvisi.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 4 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar