30 Maret 2009

Janggal, Vonis PN Bajawa

Kasus Korupsi CPNSD Ngada

Oleh Frans Anggal

Dua terdakwa kasus korupsi di Ngada, Petrus Kanisius Noka (Dinas PPO) dan Hironimus Reba (BKD), divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Bajawa. Alasan majelis hakim, tidak semua unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan jaksa terpenuhi.

Noka dan Reba didakwa dengan pasal 11 UU No 31/1999. Pasal ini melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji karena ada hubungan kekuasaan dan kewenangan atau jabatan yang ada padanya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan atau kewenangannya.

Noka divonis bebas karena ia hanya staf biasa. Ia bukan pemangku kekuasaan dan kewenangan atau jabatan seperti yang disyaratkan UU. Meskipun benar, ia menerima uang dari 13 tenaga honorer agar nama mereka dimasukkan ke dalam data base ke BKN untuk diangkat menjadi PNS.

Akan halnya Reba, ia divonis bebas karena perbuatannya belum dapat dipandang sebagai perbuatan menerima hadiah atau janji. Ia memang menerima Rp50 juta dari Noka, namun kemudian uang itu ia kembalikan kepada Noka karena ia beralasan pengurusan data base ke BKN tidak menuntut biaya. Uang yang dikembalikan ini diteruskan Noka kepada para tenaga honorer.

Kalau disimak secara cermat, bunyi pasal yang didakwakan jaksa mempersyaratkan dua hal secara alternatif, yaitu syarat objektif dan syarat subjektif. Syarat objektif: “...ada hubungan kekuasaan dan kewenangan atau jabatan yang ada padanya.” Sedangkan syarat subjektif: “...menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan atau kewenangannya.” Karena sifanya alternatif maka bila salah satu saja dari dua syarat ini terpenuhi, si terdakwa sudah harus divonis bersalah.

Untuk terdakwa Petrus Kanisius Noka, hal yang dipertimbangkan majelis hakim hanya syarat objektif. Terdakwa divonis bebas hanya karena secara objektif ia tak ada hubungan dengan kekuasaan dan kewenangan atau jabatan yang ada padanya. Dengan kata lain, ia cuma staf biasa. Majelis hakim lalai mempertimbangkan syarat subjektif, yaitu pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji, dalam hal ini pikiran para tenaga honorer yang menyetor uang kepada terdakwa. Dalam pikiran mereka, perbuatan terdakwa menerima dan meneruskan uang ada hubungannya dengan jabatan atau kewenangannya.

Vonis majelis hakim PN Bajawa sangat janggal. Jaksa harus naik banding. Ini bisa menjadi presedan buruk ke depan. Majelis hakim seakan-akan mengesahkan praktik percaloan CPNSD. Seakan-akan, setiap PNS boleh menjadi calo CPNSD asalkan sebagai staf biasa.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 5 Maret 2009

Tidak ada komentar: