30 Maret 2009

Sesat Pikir Kapolres Sikka

Kasus Kematian Andri Haryanto

Oleh Frans Anggal

Kapolres Sikka Agus Suryanto mengatakan, ia tidak mengeluarkan surat pengantar dan izin autopsi ulang jenazah Andri Haryanto karena autopsi ulang bertentangan dengan kode etik kedokteran.

“Sebelumnya autopsi sudah dilakukan dan sampelnya diteliti oleh dokter ahli forensik dari Labfor Polda. Hasil autopsi juga sudah diumumkan bahwa Andri murni bunuh diri. Sangat tidak etis apabila dilakukan autopsi ulang.”

Kalau kita bolak-balik Kode Etik Kedokteran Indonesia termasuk penjelasan dan pedoman pelaksanaannya, ihwal autopsi ulang tidak ditemukan. Mana dari 17 pasal kode etik itu yang secara tersurat menjadi rujukan Kapolres Sikka tidaklah jelas.

Yang sedikit mendekati konteks, itu pun kalau dipaksa-paksa, paling-paling pasal 15, soal kewajiban dokter terhadap teman sejawat. “Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.”

Seandainya pasal ini yang menjadi rujukan Kapolres Sikka, seyogianya ia tidak berhenti di situ. Baca penjelasan dan pedoman pelaksanaannya. Bunyinya begini: “Biasanya kalau seseorang sudah percaya pada seorang dokter maka dokter tersebut akan dicari terus walaupun jauh dari rumahnya.” Namun terjadi juga, karena diburu oleh keinginan untuk lebih efisien, ingin segera sembuh, “banyak pasien yang walau baru berobat satu hari tapi belum sembuh, pada hari kedua telah ke dokter yang lain. Dalam hal seperti ini, dokter kedua yang menerima tidak dapat dikatakan merebut pasien dari dokter pertama. Seseorang yang telah kehilangan kepercayaan pada seorang dokter, tidak dapat dipaksa untuk kembali mempercayainya.”

Kalau pedoman dan penjelasan ini dikontekskan pada autopsi ulang jenazah Andri, poinnya tetap sama. Yaitu, kepercayaan, dalam hal ini kepercayaan keluarga Andri. “Seseorang yang telah kehilangan kepercayaan pada seorang dokter, tidak dapat dipaksa untuk kembali mempercayainya.”

Keluarga Andri lebih mempercayai ahli forensik UI Abdul Mun’im Idries ketimbang tim forensik Polda Bali. Dokter Mun’im pun bersedia melakukan autopsi ulang. Karena dasarnya adalah kepercayaan keluarga korban maka Dokter Mun’im tidak dapat dikatakan merebut autopsi jenazah. Karena itu, tidak dapat pula dikatakan bahwa autopsi ulang jenazah Andari itu tidak etis atau melanggar kode etik kedokteran seperti dikatakan Kapolres Sikka.

Semakin jelas, alasan etis yang digunakan Kapolres Sikka sangatlah rapuh. Sepertinya dia sekadar omdo, omong doang. Omdo-nya pun tidak tahu diri. Penegak hukum koq mendasarkan putusan hukum pada kode etik kedokteran yang justru tidak masuk ranah hukum. Ia sedang sesat pikir. Semoga cepat sadar. Dia itu Kapolres Sikka, bukan Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 21 Maret 2009

Tidak ada komentar: