Oleh Frans Anggal
Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Maumere yang membebaskan tiga mantan pimpinan DPRD Kabupaten Sikka periode 1999-2004, AM Keupung, OLM Gudipung, dan Stefanus Wula, dari dakwaan korupsi dana purnabakti DPRD.
Putusan MA ini merupakan tonggak penting bagi penegakan hukum di NTT, khususnya dalam hal pemberantasan korupsi. Provinsi ini termiskin, tapi terkorup. Terkorup, tapi hanya sedikit koruptor yang masuk penjara. Sebagian besar diluputkan oleh penegak hukum. Contoh paling mencengangkan adalah “pemecahan rekor” yang dilakukan Polda NTT tahun 2007. Polda menghentikan secara massal penyidikan kasus korupsi dana purnabakti DPRD 1999-2004 yang melibatkan 125 tersangka dengan kerugian negara Rp15 miliar.
Yang dilakukan PN Maumere merupakan contoh lain. Koruptor dana purnabakti DPRD Sikka yang merugikan negara Rp 276,5 juta diluputkan melalui putusan bebas. Ketiga mantan pimpinan DPRD mulai disidangkan 17 Juli 2007. Kasus ini melibatkan semua mantan anggota DPRD periode 1999-2004. Kasus displit dalam empat berkas perkara. Berkas pertama dengan tersangka tiga mantan pimpinan DPRD. Berkas kedua dengan 27 tersangka mantan anggota DPRD. Berkas ketiga dengan tersangka Bupati Sikka. Berkas keempat dengan tersangka mantan Sekab Sikka.
Masyarakat terhenyak ketika PN Maumere menjatuhkan putusan bebas. PN seperti juga para terdakwa menganggap dana purnabakti itu sah. Dasar yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000. Mereka keliru. PP ini memang mengatur kedudukan keuangan DPRD, tapi di dalamnya tidak ada nomenklatur tentang dana purnabakti. Dasar hukumnya rapuh.
Kalau dasar hukumnya ada, lalu bagaimana? Apakah pemberian dana pur nabakti dapat dibenarkan? Pertanyaan ini penting karena PP Nomor 110 Tahun 2000 sudah dinyatakan batal oleh MA melalui putusan judicial review. Sebagai gantinya, lahirlah PP Nomor 24 Tahun 2004 yang justru buruk. Dalam PP tersebut sudah diatur perihal dana purnabakti anggota dewan bahkan hingga perhitungan besarannya secara rinci. Karena sudah ada PP-nya, apakah dana purnabakti sudah bisa dibenarkan? Tidak!
Ditilik dari aspek normatif lain, dana purnabakti mencederai rasa keadilan dan asas kepantasan umum. Anggota DPRD bukan PNS yang bekerja sampai batas usia pensiun. Patokan berakhirnya karier anggota DPRD bukan usia, tapi kepercayaan rakyat secara periodik. Kalau rakyat tidak lagi memilihnya untuk lima tahun ke depan maka kariernya berakhir. Mereka berhenti bekerja bukan karena mencapai usia pensiun, tapi karena tidak lagi terpilih. Karena itu, mereka tidak berhak mendapat dana pensiun. Dana itu harus dihapus.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 6 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar