26 Maret 2009

Uji Publik bagi Caleg

Oleh Frans Anggal

KPU NTT memberikan waktu seminggu untuk uji publik bagi para caleg. Nama mereka dipublikasikan agar diketahui dan disikapi oleh masyarakat. Kata KPU, masukan dari masyarakat bisa menggugurkan seorang caleg. Syaratnya, masukan itu sesuai dengan hukum formal yang berlaku untuk pencalegan.

Dalam satu minggu uji publik, akankah KPU mendapat umpan balik dari masyarakat? Kemungkinan tidak. Kalaupun ada, pasti sedikit. Uji publik mengandaikan adanya partisipasi politik dari masyarakat. Partisipasi aktif, bukan partispasi pasif.

Partisipasi aktif ditandai dengan keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari perencanaan dan pembuatan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Partisipasi seperti ini masih sangat kurang dimiliki masyarakat kita. Umumnya, partisipasi mereka bersifat pasif: menaati aturan serta menerima dan melaksanakan begitu saja keputusan politik. Kalau mereka tampak aktif saat menghadiri kampanye misalnya, itu lebih karena adanya mobilisasi politik.

Di hadapan masyarakat dengan partisipasi politik seperti ini, nasib uji publik bagi para caleg sudah bisa diperkirakan. Masukan dari masyarakat akan sangat sedikit atau mungkin tidak ada sama sekali. Itu tidak berarti semua caleg yang terdaftar, bagus-bagus semuanya. Sama sekali tidak.

Tak adanya masukan dari masyarakat bisa terjadi karena daftar sementara caleg yang dipublikasikan KPU itu cenderung dianggap sebagai "pengumuman" biasa. Artinya, sesuatu yang dianggap perlu dibaca, diketahui, dimengerti, dan diterima, bukan sesuatu yang perlu dinilai, apalagi dipersoalakan atau ditolak. Anggapan seperti ini lahir dari budaya partisiapsi politik pasif. Masyarakat sudah terbiasa menerima, menaati, dan melaksanakan begitu saja aturan/keputusan pemerintah.

Masih baik kalau hanya seperti itu. Yang kita khawatirkan kalau tak adanya masukan dari masyarakat merupakan tanda sikap apatis. Apatisme lahir dari kekecewaan. Pelaksanaan pemilu dan pilkada cenderung tidak memberikan pengaruh penting kepada pemilih. Masyarakat cenderung menyimpulkan, ada tidaknya pemilu tidak ada pengaruhnya bagi mereka. Hasil pemilu, yaitu para calon terpilih, sama saja, tetap saja tidak memihak rakyat.

Keadaan seperti ini mendesakkan perlunya pendidikan pemilih (voters education). Masyarakat perlu memahami proses politik dan arti partisipasi sesungguhnya. Mereka perlu menggunakan hak pilihnya secara kritis guna meningkatkan proses demokrasi.

Pendidikan pemilih akan melahirkan kesadaran dan partisipasi aktif. Hanya dengan itu, uji publik akan berdaya guna dan berhasil guna.

"Bentara" FLORES POS, Selasa 7 Oktober 2008

Tidak ada komentar: