Oleh Frans Anggal
Tiga terpidana mati bom Bali: Amrozi, Ali Gufron alias Mukhlas, dan Imam Samudra telah mati ditembak. Kejaksaan Agung selaku eksekutor memastikan ketiganya meninggal pukul 00.15 WIB, Minggu, 9 November 2008.
Trio otak bom Bali ini tidak menolak hukuman mati. Sebagai mujahid, mereka tak gentar dengan hukuman itu. Yang mereka persoalkan hanyalah tata caranya. Mereka menginginkan hukuman pancung. Karena itulah, pengacaranya mengajukan uji materiil UU No. 2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Hukuman Mati. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak. Ketiganya tetap harus menjalani hukuman mati dengan cara ditembak.
Sikap Amrozi dkk mewakili sikap sebagian masyarakat yang tak mempersoalkan hukuman mati, khususnya untuk kejahatan tertentu. Bahkan banyak adat dan kebiasaan menolerir ‘pengadilan jalanan’. Sistem hukum Indonesia juga masih memberlakukan pidana mati sebagai hukum positif yang sah. Itu secara tegas diatur KUHP, juga oleh undang-undang lain seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Peradilan HAM, UU Pemberantasan Narkoba, dan UU Pemberantasan Terorisme.
Janggalnya, semua UU yang mengabsahkan hukuman mati itu bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945. Sejak amandemen yang kedua, UUD 1945 sudah mengakui dan menjamin hak atas hidup. Hak atas hidup itu tidak dapat dikecualikan atau dilanggar oleh siapa pun, kapan pun, di mana pun, dan dengan alasan apa pun.
Karena diakui dan dijamin oleh konstitusi yang merupakan dasar dari semua hukum dan perundang-undangan maka hak atas hidup harus diakui dan dijamin pula dalam keseluruhan sistem hukum dan perundang-undangan. Semua UU yang memberlakukan hukuman mati harus direvisi. Ini mesti dipandang sebagai amanat konstitusi yang harus pula menjadi kewajiban negara.
Dari sudut pandang ini, persoalan kita tidak lagi sebatas tata cara pelaksanaan hukuman mati seperti yang dipermasalahkan Amrozi dkk, tapi menukik ke hal yang lebih mendasar, bahwa hukuman mati sudah seharusnya dilenyapkan dari muka bumi Indonesia.
Sesuai dengan namanya, Mahkamah Konstitusi semestinya menempatkan diri sebagai penjaga hak-hak konstitusional warga negara. Di antaranya: hak atas hidup. Justru hak inilah yang tidak dijaga oleh MK, sehingga Amrozi dkk, Tibo dkk, dan banyak terpidana mati lainnya harus mati dibunuh oleh negara.
Sebagai penjaga hak-hak konstitusional warga negara, MK sangat mengecewakan. Tak bedanya dengan institusi hukum lain, ia terbias kepentingan agama, kepentingan kelompok, dan kepentingan politik. Semestinya ia imparsial. Itu kalau ia mau dihargai sebagai “Mahkamah Konstitusi”, bukan “Mahkamah Konspirasi”.
"Bentara" FLORES POS, Senin 10 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar