29 Maret 2009

Bunuh Diri dan Empati (Kasus Bunuh Diri di Sikka)

Oleh Frans Anggal

Di Kabupaten Sikka, seorang pria 62 tahun tewas gantung diri di pohon asam dekat rumahnya. Menurut anak kandungnya, sudah puluhan tahun korban mengidap tumor pada lengan, kaki, dan badan. Ia mengalami penderitaan berkepanjangan. Beberapa hari sebelumnya, juga di Kabupaten Sikka, pria 50 tahun tewas gantung diri di pohon jambu mete di kebun. Ia mengalami depresi karena ulah anak kandungnya. Masih pada pekan yang sama, seorang penumpang kapal feri Rokatenda jurusan Kupang-Lewoleba bunuh diri dengan cara melompat ke dalam laut. Dari buku catatannya terungkap ia menderita tekanan batin.

Ilmu sosiologi menggolongkan bunuh diri (suicide) ke dalam tiga kategori. Bunuh diri karena dan demi kepentingan diri (egoistic suicide). Bunuh diri karena dan demi kepentingan orang lain (altruistic suicide). Bunuh diri karena hilangan pegangan nilai dalam masyarakat (anomic suicide).

Kasus gantung diri di Sikka dan kasus bunuh diri dari atas kapal feri dapat dimasukkan dalam kategri egoistic suicide dan anomic suicide. Korban mengakhiri hidup karena dan demi berakhirnya derita. Juga karena tak ada pegangan nilai yang membuatnya tabah dan ulet.

Sejauh diberitakan Flores Pos, kasus bunuh diri yang terjadi di Flores dikarenakan oleh macam-macam hal. Keputuasaan dan depresi, cobaan hidup dan tekanan lingkungan, impitan ekonomi dan kemiskinan, gangguan kejiwaan, serta penderitaan karena penyakit.

Melihat sifat permasalahan seperti ini, kita perlu mengambil sikap yang tepat. Bukan dengan mengutuk sok moralis bahwa bunuh diri itu dosa, tapi dengan sikap seorang sahabat yang rela menempatkan diri dalam posisi dan situasi si pelaku. Melihat dari sudut pandangnya. Ikut tergetar oleh sedu-sedannya. Ikut tersayat oleh kepedihannya. Mendengar rintihannya yang tak terucapkan.

Dengan sikap seperti ini, kita akan sadar bahwa bunuh diri selalu terjadi dalam konteks dan realitas kehidupan yang tidak sehat, tidak wajar, dan tidak ideal. Dalam situasi normal, sikap yang wajar tentu saja adalah berusaha mempertahankan, memelihara, bahkan mengembangkan kehidupan. Bukan justru dengan sengaja menghilangkannya.

Yang kita tekankan di sini bukan soal benar-tidaknya atau boleh-tidaknya bunuh diri. Ini sudah jelas. Yang jauh lebih penting adalah sikap kita ketika mengatakannya. Apakah dengan cemooh? Ataukah dengan empati?

Tak ada kesempatan lain di mana kasih begitu dibutuhkan daripada ketika saudara kita sedang berada di ambang bunuh diri. Sayang sekali, yang sering terjadi, mereka sendirian, tanpa teman sepenanggungan. Persis seperti ketika di Taman Getsemani, Yesus membutuhkan teman berjaga, tapi lalu harus kecewa.

"Bentara" FLORES POS, Rabu 25 Februari 2009

Tidak ada komentar: