Oleh Frans Anggal
Kepala Desa Koting C di Kabupaten Sikka, Marsel Ozias, mengeluh. Judi ayam di desanya semakin marak saja. Penertiban oleh aparatnya tidak membuahkan hasil. Soalnya, beberapa anggota polisi ikut bermain, bahkan menjadi beking. Kapolsek Nelle, M E Behhi, membantah. Mengapa judi sabung ayam sulit diberantas, ia punya alasan tersendiri. Katanya, bukan karena polisi terlibat, tapi karena letak lokasinya menguntungkan penjudi. Dari lokasi strategis itu, para penjudi mudah memantau gerak-gerik polisi saat melakukan razia. Mereka selalu bubar duluan sebelum polisi tiba.
Kalau pemberantasan judi sabung ayam di Koting ini dibikin film, hasilnya pasti sangat menarik. Menarik karena lucu. Akan sama lucunya seperti film India. Dalam kebanyakan film India, polisi selalu konyol, telmi (telat mikir), dan mudah dipermainkan.
Betapa tidak menggelikan. Menurut penuturan warga desa, di lokasi judi itu sabung ayam digelar rutin, dua kali seminggu, pada Selasa dan Jumat. Pentas ini disakiskan ratusan warga, sebagiannya datang dari beberapa kecamatan. Taruhan Rp50 ribu hingga Rp500 ribu. Judi ini judi terjadwal, massal, dan meriah. Tidak salah kalau kita menyebutnya pula sebagai judi terbuka.
Mencengangkan kita, setiap kali merazia judi yang terjadwal, massal, meriah, dan terbuka ini, polisi selalu gagal. Alasan kegagalannya tetap yang itu-itu juga: karena letak lokasi memudahkan penjudi memantau gerak-gerik polisi. Pertanyaan kita: sudah tahu selalu gagal, mengapa metode razia yang sama yang digunakan polisi? Dengan cara seperti ini, polisi seakan-akan sedang menjalani kutukan seperti Sisipus dalam mitologi Yunani.
Sisipus, karena kesalahannya, telah dihukum untuk terus mendorong batu besar ke atas gunung. Ketika hampir berhasil sampai di puncak, batu besar itu menggelinding kembali ke lembah, lalu Sisipus mengejarnya dan mendorongnya lagi, demikian seterusnya, selalu berulang, sepanjang segala abad. Pekerjaan seorang yang terkutuk.
Pemberantasan judi ayam di Koting bukanlah mitologi. Polisi yang melakukan razia pun bukanlah Sisipus. Karena itu, mereka tidak perlu berlaku terkutuk: bekerja selalu atas cara yang sama meskipun selalu gagal dan gagal. Sebagai yang terdidik dan terlatih, polisi memiliki seribu satu cara membekuk penjudi. Persoalannya dalam kebanyakan upaya pemberantasan perjudian, polisi bukannya tidak tahu tapi tidak mau menggunakan cara yang tepat. Kadangkala cara yang tidak tepat sengaja digunakan, berkali-kali malah, agar para penjudi tidak tertangkap. Dengan demikian, penjudi diuntungkan dan polisi menerima jasa. Sering terjadi, rencana razia sudah dibocoran kepada para penjudi.
Inikah yang terjadi di Koting? Entahlah. Harapan kita, Polsek Nelle berhenti jadi seperti Sisipus. Kisah Sisipus cukup dalam mitologi saja.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 28 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar