24 Februari 2011

Mananti Relanya Roworeke

Kasus Ekskomunikasi Adat di Ende

Oleh Frans Anggal

Usaha Pemkab Ende agar 80 warga korban kerusuhan berdarah Roworeke bisa kembali menetap di lokasi konflik mendapat reaksi keras dari masyarakat adat Roworeke. Masyarakat ini sudah bersepakat menolak mereka kembali ke Roworeke. Hingga kini para korban masih hidup dalam penampungan dinas nakertrans.

“Jangan buka kembali luka lama yang sudah sembuh. Kami tidak mau mereka kembali lagi ke lokasi sekarang,” kata Mochtar Wanda, mewakili Embu Wanda (Flores Pos Selasa 1 Februari 2011).

Kerusuhan berdarah Roworeke beberapa tahun silam dipicu oleh transaksi jual-beli tanah untuk terminal, antara pemkab selaku pembeli dan sekelompok masyarakat Roworeke selaku penjual, yang kala itu mengklaim diri sebagai pemilik tanah. Ini yang tidak bisa diterima oleh suku Oja dan suku Wanda, yang merasa sebagai pemilik sah atas tanah tersebut.

Pasca-kerusuhan berdarah, para mosalaki suku Oja dan suku Wanda meneguhkan kembali kepemilikannya atas tanah itu. Bersamaan dengan itu mereka bersepakat menolak kembalinya atau pemulangan 80 warga korban kerusuhan, yang sejak kasus meletus ditampung oleh pemkab di penampungan dinas nakertrans.

Suku Oja dan suku Wanda merasa dilecehkan dalam kasus jual beli tanah terminal Roworeke ini. Pemkab dinilai membeli tanah dari pihak yang tidak berhak. “Jual beli lokasi terminal itu tidak jelas, dijual oleh siapa,” kata Mochtar Wanda. Karena itu, Mochdar Wanda mengancam, jika upaya pemulangan 80 warga terus dipaksakan oleh pemkab, suku Oja dan suku Wanda---selaku pemilik sah atas tanah---akan menutup terminal Roworeke.

Hingga di sini, cukup jelas, suku Oja dan suku Wanda belum bersedia menerima kembali 80 warga korban kerusuhan. Dengan kata lain, ke-80 warga itu masih diekskomunikasikan oleh persekutuan masyarat Roworeke. Ekskomunikasi itu dilakukan melalui rius adat, sumpah adat. Maka, kalaupun mereka diterima kembali, tentu harus ada ritusnya, ritus rekonsiliasi. Dan itu hanya mungkin kalau dua suku itu rela. Ini soalnya. Kedua suku belum rela.

Disposisi ini perlu dicamkan oleh pemkab selaku mediator. Kalau orang belum rela, jangan dipaksakan. Namun upaya persuasi tetap perlu dilakukan. Kita yakin, suatu saat suku Oja dan suku Wanda akan rela. Bahwa mereka sudah melakukan ekskomunikasi secara adat, ya. Namun adat di mana pun tetap mengenal rehabilitasi dan rekonsiliasi. Juga adat Ende dan Lio. Kenapa?

Ekskomunikasi adat tidak hanya bertujuan untuk mengucilkan. Tapi juga menggerakkan si terkucil agar bertobat dan berbalik kembali ke jalan yang benar. Ekskomunikasi merupakan cara ampuh dalam adat untuk membantu si terkucil menyadari bahwa ia berada dalam bahaya. Ekskomunikasi adat tidak mengunci pintu selamanya bagi si terkucil. Ekskomunikasi adat selalu mengandung harapan, si tekucil akan bisa kembali dalam pangkuan persekututan.

Dalam konteks ini, upaya yang dilakukan pemkab itu sangat bagus. Bahwa suku Oja dan suku Wanda belum rela, kita maklumi. Untuk itu, pemkab jangan main paksa. Kedepankan cara-cara persuasi yang menyadarkan dan membuka cakrawala masa depan. Jangan gunakan pendekatan kekuasaan dan kedinasan. Gunakanlah pendekatan yang menyentuh rasa: pendekatan budaya. Pendekatan yang khas Ende-Lio.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 Februari 2011

Tidak ada komentar: