24 Februari 2011

“Republik Ketakutan”

Penyerangan terhadap Warga Ahmadiyah

Oleh Frans Anggal
Pemimpin Redaksi Flores Pos

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Mendagri, Menteri Agama, dan Jaksa (SKB Tiga Menteri) dievaluasi, menyusul bentrok warga dan jemaah Ahmadiyah di Banten, Minggu 6 Februari 2011. “Evaluasi dilakukan secara mendasar dan mendalam,” kata Menko Polhukam Djoko Suyanto (Flores Pos Selasa 8 Februari 2011).

Bentrokan Minggu (6/2) menewaskan empat orang dan melukai sejumlah orang lain. Sekitar seribu orang bersenjata tajam dan batu mengepung dan menyerang rumah seorang pemimpin Ahmadiyah. Di dalamnya terdapat 18 anggota Ahmadiyah yang tengah berkumpul. Massa menuntut mereka membubarkan diri. Massa menghancurkan rumah itu dan kendaraan yang diparkir di sekitarnya.

Kecaman muncul dari mana-mana. INFID (International NGO Forum on Indonesia Development) menilai negara gagal melindungi warganya untuk beragama dan berkeyakinan. INFID mengecam ketidakberdayaan negara mengatasi kekerasan yang secara simultan dilakukan kelompok vandalis terhadap jemaah Ahmadiyah. Ini bentuk pembiaran, melanggar HAM. INFID menyerukan masyarakat terus menggalang solidaritas menentang vandalisme yang mengatasnamakan agama. Negara harus mengambil tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan (Liputan6.com).

Amnesti Internasional mendesak pemerintah menyelidiki kasus ini. Desakan disampaikan Deputi Direktur Asia-Pasifik Amnesti Internasional, Donna Guest. "Ini serangan brutal terhadap pengikut Ahmadiyah yang mencerminkan kegagalan pemerintah Indonesia untuk melindungi penganut agama minoritas dari pelecehan dan serangan para pelaku," kata Donna Guest (Antara).

Menurut Amensti Internasional. pelecehan dan serangan terhadap komunitas Ahmadiyah juga didorong oleh SKB Tiga Menteri 2008. Pemerintah Indonesia perlu membatalkan semua hukum dan peraturan yang membatasi hak untuk kebebasan beragama serta memulai penyelidikan independen dan tidak memihak dalam semua kasus intimidasi dan kekerasan terhadap minoritas agama di Indonesia.

Karena desakan inikah presiden menegaskan SKB Tiga Menteri perlu dievaluasi secara mendasar dan mendalam? Entahlah. Belum jelas, apa makna “mendasar” dan “mendalam” di sini. Yang pasti, selagi posisi negera tidak berubah, perubahan mendasar dan mendalam pun tidak akan terjadi.

Ada prinsip hakiki bernegara yang dilanggar dengan SKB itu. Yaitu prinsip demokrasi. “Di dalam konsep demokrasi, agama adalah hak. Artinya ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani,” kata filosof Rocky Gerung dalamPidato Kebudayaan 10 November 2010.

Dalam konteks mayoritas dan minoritas, negara tidak boleh diperalat untuk menjalankan moral mayoritas. Yang harus diselenggarakan negara adalah ‘politik pengakuan’ (politics of recognition). Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih. Kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang "minoritas" dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Di dalam diktum paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas.

Ini yang tidak kita temukan. Pemerintahan SBY, yang dipercaya menegakkan demokrasi, telah gagal melindungi HAM warga minoritas. Republik ini pun menjadi ‘Republik Ketakutan’ (Republic of Fear), bukan ‘Republik Harapan’ (Republic of Hope).

“Bentara” FLORES POS, Rabu 9 Februari 2011

Tidak ada komentar: