Nasib Komodo di Tangan Yayasan N7W
Oleh Frans Anggal
Lembaga New7Wonders (N7W) pada Senin malam 7 Februari 2011 mengumumkan keputusan resmi atas kepesertaan Komodo dalam kampanye N7W. Voting untuk Komodo tetap dilanjutkan sebagai finalis resmi kampanye N7W. Komodo akan melaju dalam 28 besar finalis untuk meraih posisi 7 besar pada 11 November 2011 (Flores Pos Rabu 9 Februari 2011).
Presiden & Founder N7W, Bernard Weber, dalam situs resminya www.new7wonders.com menyatakan, keputusan untuk mempertahankan Komodo dalam kampanye tersebut berdasarkan besarnya dukungan dari berbagai pihak.
Keputusan kedua, N7W mengeluarkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dari statusnya sebagai Komisi Pendukung Resmi (Official Supporting Committee) untuk Komodo di kampanye N7W. Menurut Bernard Weber, segala tindakan Kemenbudpar yang menolak membayar Rp450 miliar untuk menjadi sponsor dan tuan rumah membuatnya yakin harus mendepak Kemenbudpar dari sponsor.
Reaksi Menbudpar? "Kita akan lanjut, kita akan ikuti terus prosesnya setelah ini. Di mana pun nantinya acara final digelar, saya berencana untuk datang. Kalau perlu saya akan bawa komodo-komodoan untuk dipromosikan sekalian di sana." Menanggapi rekasi Jero Wacik, N7W mengambil sikap: semua urusan promosi resmi tentang Komodo sebagai finalis dalam New7Wonders harus seizin N7W.
'Perang’ ini mungkin akan berjanjut. Harapan kita, ini tidak berdampak pada pencoretan Komodo. Sebab, N7W memiliki wewenang untuk itu. Dalam perjanjian umum pada saat mendaftar, terdapat klausa yang menyatakan N7W berhak mengeliminasi peserta apabila tidak memenuhi ketentuan.
Mencoret Komodo dari nominasi hanya karena Indonesia tidak bersedia menjadi tuan rumah (hosting) deklarasi memang tidak adil. Mekanisme voting dilaksanakan sejak 2008, tidak hanya libatkan orang Indonesia, tetapi juga orang-orang dari negara lain. Betapa mubazirnya semua itu kalau Komodo dieliminasi hanya karena Indonesia tidak bersedia menjadi tuan rumah.
Di sisi lain, ini peluang emas. Sudah di ujung sukses. Sayang kalau semuanya berantakan. Sejak Komodo ditetapkan sebagai finalis 7 Kejaiban Alam Dunia, semestinya pemerintah sadar bahwa untuk bersaing dengan calon keajaiban alam dunia lainnya seperti Amazone, Great Barrier Reefs, Grand Canyon, Kilimanjaro dan Sundhaban yang memiliki dukungan miliaran masyarakatnya, tidaklah mudah. Dibutuhkan strategi khusus untuk tampil dan menang.
Salah satu strategi khusus itu adalah seni diplomasi. Bukan reaksi emosinoal member cap N7W sebagai LSM yang tidak jelas sembari bertameng di balik rasa nasionalisme. Ini ‘penyakit’ khas pejabat RI. Gemar menjadikan nasionalisme sebagai ‘mantra penangkal bala’. Ketika ada evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional, nasionalisme kita pasang sebagai tameng.
“Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, in-the-making, tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik,” kata filosof Rocky Gerung dalam Pidato Kebudayaan 2010, “Merawat Republik, Mengaktifkan Akal Sehat”. Ketakutan untuk masuk dalam percakapan global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar