Angkat yang Baru Tak Hentikan yang Lama
Oleh Frans Anggal
Merasa diperlakukan tidak baik oleh Bupati Ngada Marianus Sae, dr. Aty Due dan keluarga mengirim surat pernyataan sikap ke bupati. Ini terkait pelantikan Selasa 25 Januari 2011 yang dinilainya pembunuhan karakter terhadap diri dan keluarga (Flores Pos Selasa 1 Februari 2011).
Dokter Aty, direktris RSUD Bajawa. Saat pelantikan , ia hadir, penuhi undangan sebagai kepala organisasi perangkat daerah, sebagai direktris RSUD. Apa yang ia saksikan? Bupati melantik direktris baru RSUD, drg. Maria Wea Betu.
Pengangkatan dan pelantikan pejabat baru itu tidak didahului atau disertai pemberhentian pejabat lama. Tidak pula disertai penunjukan posisi baru bagi pejabat lama. Menurut dr. Aty, ini menyalahi peraturan, PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Di mata dia dan keluarga, pelantikan itu seolah-olah hukumam berat untuk kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Ia merasakan ini menghina martabat pribadi dan keluarga . Ia dan keluarga merasa dipermalukan di hadapan hadirin pelantikan dan publik. Ini pembunuhan karakter.
Siapa pun yang diperlakukan seperti dr. Aty akan berpendapat dan berperasaan seperti itu. Cara bupati itu tidak ‘layak’ (fit) dan tidak ‘patut’ (proper). Ke-‘layak’-an berkenaan dengan yang legal. Ke-‘patut’-an berkenaan dengan yang moral. Mengangkat pejabat baru tanpa memberhentikan pejabat lama tidaklah layak. Karena, menyalahi asas kepastian hukum. Kepastian selalu mengandung dua kualifikasi: jelas dan tegas (clara et distincta). Jelas: A adalah A. Tegas: A bisa dibedakan dari B, C, D, dst.
Dalam kasus di atas, asas ini tidak terpenuhi. Coba tanyakan: siapakah direktris RSUD Bajawa? Jawabannya akan tidak jelas-tegas. Jawaban 1: dr. Aty Due, karena belum diberhentikan, dan itu berarti masih direktris. Jawaban 2: drg. Maria Wea Betu, karena sudah di-SK-kan dan dilantik. Jawaban 3: dua-duanya. Dokter Aty, direktis senior, karena sudah lama. Dokter Maria, direktris yunior, karena masih baru. Jadi, RSUD Bajawa punya dua direktur!
Bupati mungkin berpikir “dengan sendirinya”. Kalau drg. Maria di-SK-kan dan dilantik, dengan sendirinya dr. Aty tidak lagi direktris meski tidak diberhentikan. Mungkin juga bupati berpikir “dianggap sudah”. Dengan di-SK-kan dan dilantiknya drg. Maria maka dr. Aty dianggap sudah diberhentikan.
Dalam hukum, prinsip itu memang ada, tapi konteksnya lain. Misalnya, begitu sebuah UU disahkan maka semua perbuatan melawan UU itu bisa dikenai sanksi, terlepas dari apakah pelaku sudah atau belum tahu isi UU itu. Pelaku tidak bisa berkilah, saya belum tahu. UU yang disahkan selalu mengandaikan sudah diketahui publik dan karena itu sudah bisa langsung diberlakukan.
Pada kasus direktris RSUD Bajawa, prinsip itu tidak pas. Pengangkatan pejabat baru tidak sama dengan pemberhentian pejabat lama. Pengangkatan itu satu hal, pemberhentian itu hal lain. Pengangkatan yang baru tanpa pemberhentian yang lama melahirkan dualisme. Sebalkinya, pemberhentian yang lama tanpa pengangkatan yang baru melahirkan vacuum.
Agar tidak terjadi dualisme, bupati perlu segera memberhentikan dr. Aty dan memberinya posisi baru. Apa yang telah terjadi, selain tidak layak secara legal, juga tidak patut secara moral. Kalau dr. Aty dinilai sebagai loyalis bupati terdahulu (incumbent), mutasikan saja secara sah. Itu sudah cukup. Dan itu hak prerogatif bupati. Tidak perlu lagi membunuh karakternya. Membunuh karakter itu kejahatan. Dan itu sudah di luar batas kewenangan seorang bupati.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 2 Februari 2011
1 komentar:
waaaHHHH....... seru nieh!!!! RSUD bajawa ada 2 direktris, klo di ibaratkan dengan sebuah rumah tangga" ada bpk n ibu "trus udah punya anak pertama,kedua, ketiga,dst.....pinginnya punya anak terus tanpa KB alias ga lht dulu keadaan ank pertamanya,juga anak2 selanjutnya.....maunya nambah2 terus.......ksihan dunk anak2 sebelumnya..... nah tuh ama halnya dgn dr aty.....
Posting Komentar