Pengiriman TKW Ilegal asal Ende
Oleh Frans Anggal
Aparat Polres Ende menggagalkan pengiriman tiga tenaga kerja wanita (TKW) asal Ende menuju Malaysia, Kamis 20 Januari 2011. Ketiganya hendak diberangkatkan oleh Muhammad Heider (35) dengan KM Awu tujuan Surabaya. TKW ini tidak dilengkapi dokumen sah. PJTKI tidak penuhi persyaratan perekrutan (Flores Pos Sabtu 22 Januari 2011).
Muhammad Heider adalah kepala cabang PJTKI PT Anugerah Diantas berpusat Surabaya. Ia bedomisili di Ende. Ia sudah jadi tersangka dan ditahan. Diancam dengan hukuman penjara 2-10 tahun, seturut pasal 102 dan 103 UU 39/ 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Adapun ketiga TKW, Rostia Mui (22), Yovita Wunu (22), dan Ludfina B Lina (24), sudah dipulangkan ke kampung asal di Desa Wolomasi, Kecamatan Detusoko, dan Desa Ja Mokeasa, Kecamatan Ende. Menurut janji Muhammad Heider, mereka akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Upah 400 ringgit per bulan. Upah bulan pertama disetor ke PJTKI.
Dengan tidak lengkapnya dokumen, sudah jelas: perekrutan dan pengiriman TKW ini ilegal. Dengan ilegalnya perekrutan dan pengiriman, patut dapat diduga, janji Muhammad Heider pun sulit dapat dipercaya. Bahkan, patut dapat diduga, janji itu hanya janji palsu, untuk tidak mengatakannya upaya tipu daya belaka.
Untung saja, pemberangkatan digagalkan. Kalau tidak, bukan mustahil nasib ketiga TKW hanya akan memperpanjang daftar kisah pilu para buruh migran perempuan di negeri jiran. Mereka bakal terbelit banyak masalah. Mulai dari terkena arus balik pemulangan secara paksa, pemerasan, eksploitasi, kekerasan seksual, hingga terinfeksi HIV/AIDS. Yang terakhir ini sudah dirasakan di Flores. Banyak pengidap HIV/AIDS bekas buruh migran di Malaysia.
UU 39/ 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang digunakan penyidik untuk menjerat Muhammad Heider sudah sangat tepat. Namun, dalam konteks lebih luas, UU ini belum memadai.
UU ini belum cukup mampu melindungi serta menjamin keselamatan dan hak hukum buruh migran, terutama buruh migran perempuan. Mereka ini, misalnya, kerap dipaksa melayani hasrat seksual majikan, diperdagangkan, termasuk ditipu bahkan dipaksa dijerumuskan ke dalam prostistusi.
Salah satu akar terpenting dari masalah ini adalah kelambanan atau sikap masa bodoh pemerintah kita terhadap berbagai kasus pelanggaran hak buruh migran yang dialami warga negara Indonesia di Malaysia. Pemerintahan SBY-Boediono gagal meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (Konvensi Migran 1990). Padahal, konvensi ini sudah ditandatangani pada 2004, masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Jika mempunyai komitmen politik terhadap kondisi warga negaranya yang bekerja sebagai buruh migran, seharusnya SBY-Boediono meratifikasi konvensi ini. Sehingga, standar perlindungan hak buruh migran yang terdapat dalam konvensi tersebut menjadi instrumen hukum Indonesia. Dengan demikian, buruh migran dan keluarganya dijamin haknya oleh negara.
Itu tidak dilakukan. Yang dibuat malah moratorium pengiriman buruh migran perempaun pembantu rumah tangga ke Malaysia. Apa-apaan? Kebijakan ini sangat diskriminatif, membatasi hak kebebasan bergerak dan hak buruh migran perempuan untuk mendapatkan pekerjaan.
“Bentara” FLORES POS, Senin 24 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar