20 Februari 2011

Klaim Pemkab Sikka

Sukses Menurunkan Angka Kemiskinan

Oleh Frans Anggal

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Kabupaten Sikka Simon Subsidi mengatakan, selama 2010 Pemkab Sikka berhasil menurunkan angka kemiskinan, dari sebelumnya 35.979 rumah tangga miskin (RTM) pada 2009 menjadi 34.873 pada 2010. Penurunan mencapai 1.106 RTM (Flores Pos Rabu 19 Januari 2011).

Kunci keberhasilannya, kata Simon Subsidi, adalah PNPM-MP. Untuk program ini, pemkab alokasikan Rp49 miliar. Dana bersumber dari APBN Rp39,2 miliar dan APBD Rp9,8 miliar. Berkat keseriusan melaksanakan PNPM-MP, Pemkab Sikka berhasil menekan kemiskinan hingga 1.196 RTM.

Profisiat untuk Pemkab Sikka! Telah berprestasi menurunkan “sesuatu”. Pertanyaan kita: menurunkan apa? “Kemiskinan” ataukah “angka” kemiskinan? Apakah benar 1.196 RTM itu kini dalam keadaan tidak miskin lagi?

Kriteria apa yang digunakan? Kriteria BPS yang tidak masuk akal itukah? Penduduk miskin adalah penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp211.726? Ataukah kriteria Bank Dunia? Penduduk miskin adalah penduduk yang berpendapatan di bawah USD 2 per kapita per hari ekuivalen Rp552.000 per bulan (kurs Rp9.200/USD 1)?

Pertanyaan ini penting karena yang kita hadapi adalah kekuasaan yang dari sononya gemar membuat klaim. Semua pemerintah Indonesia, sejak rezim Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY, bertabiat sama. Selalu mengatakan berhasil menurunkan angka kemiskinan sebagai bukti tekad memberantas kemiskinan.

Sementara itu, de facto, semakin banyak penduduk yang tidak bisa membeli beras. Bergantung penuh pada BLT. Hanya andalkan raskin. Tidak bisa sekolahkan anak. Berobat ke dukun karena tidak sanggup ke dokter dan rumah sakit. Kisah gizi kurang, gizi buruk, busung lapar tidak hilang-hilang. Cerita penduduk makan umbi hutan belum kunjung lenyap. Juga di Kabupaten Sikka, yang katanya sukses menurunkan angka kemiskinan!

Apa yang bermasalah di sini? Indikator kemiskinan yang terlalau remeh- temeh. Akhirnya, resolusi yang digunakan adalah program-program ad hoc pemberdayaan yang bersifat proyek. Coba gunakan indikator kemiskinan ala Sajogyo, hasilnya akan lebih realistis.

Menurut Sajogyo, garis kemiskinan yang relevan untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah yang merefleksikan kebutuhan hidup terpenting, dalam hal ini kecukupan pangan. Garis kemiskinan Sajogyo diukur berdasarkan kalori makanan yang dikonsumsi keluarga dan bisa dicapai dengan pendapatan keluarga. Ukuran kemiskinan yang didasari kemampuan memenuhi kebutuhan konsumsi mereka adalah satu bahan makanan, beras. Indikator kemiskinan ala Sajogyo ini relevan untuk menilai data kemiskinan dalam peta kasus.

Fakta, masih sangat banyak yang andalkan raskin. Apakah mereka tidak miskin? Apakah 1.196 RTM di Kabupaten Sikka yang katanya tidak miskin lagi itu tidak lagi mengandalkan raskin? Ini perlu dicek, terutama oleh DPRD dalam kapasitasnya selaku pengontrol eksekutif.

Bagaimana kalau nanti terbukti sebagian dari 1.196 RTM itu masih andalkan raskin? Klaim penurunan kemiskinan kehilangan legitimasinya! Benar, ada yang menurun: “angka”-nya, bukan “kemiskinan”-nya. Angka itu hasil pengolahan data. Data itu hasil perkawinan fakta, pendapat, dan kepentingan. Dalam politik, kepentingan itulah yang langgeng.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 20 Januari 2011

Tidak ada komentar: