Di Tengah Intoleransi Kehidupan Beragama
Oleh Frans Anggal
Maulid Nabi Muhammad SAW 1432 H, Selasa 15 Februari 2011, dirayakan di tengah suasana Indonesia yang tidak toleran dalam hidup beragama. Jauh dari spirit sebuah negara kesatuan. Jauh dari hakikat sebuah republik. Jauh dari amanat Pancasila, UUD 1945, demokrasi, dan HAM.
Pekan sebelumnya, Minggu 6 Februari, terjadi bentrokan warga dengan jemaah Ahmadiyah di Banten, Jawa Barat. Massa hancurkan rumah pemimpin Muhamadiyah dan membakar kendaraan sekitarnya. Empat orang tewas, lainnya terluka. Selasa 8 Februari, terjadi kerusuhan di Temanggung, Jawa Tengah. Tiga gereja dibakar massa yang tidak puas dengan tuntutan 5 tahun penjara untuk seorang terdakwa kasus penistaan agama.
Diwawas dengan spirit Maulid Nabi Muhammad SAW, aksi warga atau massa dalam dua peristiwa itu sungguh jauh panggang dari api. Jauh pengikut dari suri teladannya. Muhammad Rasulullah SAW adalah pemimipn besar yang luar biasa dalam memberikan teladan bagi umatnya.
Rasulullah dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Makkah el Mukarramah, pada bulan Rabi’ul Awwal (musim bunga), pada Senin 12 Rabi’ul Awwal permulaan tahun dalam peristiwa gajah (al fiil), bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M, dan empat puluh tahun setelah berkuasanya Kisra Anusyirwan di Parsi. Walaupun ada juga sebagian ulama tarikh yang berpendapat beliau lahir pada subuh Senin 9 Rabi’ul Awwal tahun Fil pertama.
Beliau diberi nama Muhammad (yang terpuji). Ayahnya Abdullah (hamba Allah). Ibunya Aminah (yang memberi rasa aman). Kakeknya yang dipanggil Abdul Muthallib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana). Bidan yang menangani persalinan bernama Asy-Syifa’ (yang sempurna dan sehat). Perempuan yang menyusuinya adalah Halimah As-Sa’diyah (yang lapang dada dan mujur).
Makna nama-nama itu memiliki kaitan erat dengan keperibadian Rasulullah. Sekaligus mengisyaratkan keistimewaannya. Dialah sang suri telaudan. Dalam konteks ini, secara subtansial dan aktual, perayaan Maulid Nabi adalah upaya mengenang, mencintai, dan meneladani semua keutamaannya.
Dengan kata lain, Maulid perlu direfleksikan dan diaktualisasikan sebagai upaya transformasi diri umat. Mengobarkan semangat baru membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (civil society) yang merupakan bagian dari demokrasi. Yang ditandai humanism, pluralisme, toleransi, anti-kekerasan, berkesetaraan gender, cinta lingkungan, dan berkeadilan sosial.
Dasarnya sangat jelas. Dalam perspektif sosial-politik, Muhammad adalah negarawan dan politikus andal. Ia identik dengan sosok pemimpin yang tegas, adil, egaliter, toleran, humanis, non-diskriminatif, dan non-hegemonik. Dengan kualifikasi dirinya itu ia mampu membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu masyarakat yang sejahtera dan tenteram.
Indonesia justru sedang tidak memiliki sosok pemimpin seperti itu. Negeri ini sedang dipimpin para peragu. Tidak tegas, gamang, dan ngambang. Alhasil, merajalelalah para vigilante. Mereka bertindak anarkis seenak perut sendiri, karena mereka tahu baik, di bawah para peragu, negara ini sedang merosot menjadi sebuah ‘negara gagal’ (failed state).
Mudah-mudahan, perayaan Maulid menjadi momentum yang menyadarkan. Yang membangkitkan tekad. Dan, menggerakan transformasi menuju Indonesia sejati, seperti yang dicita-citakan para bapak bangsa pendiri republik (founding fathers).
“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar