27 Januari 2010

Menatap Wajah-Wajah Kalah

Ende dalam Sehari: Darah dan Airmata

Oleh Frans Anggal

Sengketa tanah di kota Ende, Selasa 26 Januari 2010, penuh darah dan airmata. Darah bersimbah, di luar kota, di Lokoboko, Kecamatan Ndona. Airmata bercucuran, dalam kota, di Paupire, Kacamatan Ende Tengah.

Di Lokoboko, Akbar Amir (64), tewas dibacok. Keponakan kandungnya, Umar Hasan Kota (37), terpotong dua jari tangan kanannya. Pelakunya belum diketahui, sedang dalam pencarian polisi. Di Paupire, puluhan warga, penghuni 11 rumah di atas lahan 3.912 meter persegi, menelan kepedihan. Rumah dan tanaman mereka digusur excavator. Pelakunya aparat negara.

Darah di Lokoboko bersimbah oleh tindakan main hakim sendiri lawan sengketa. Airmata di Paupire bercucuran oleh tindakan pro iustitia eksekusi. Darah di Lokoboko mengawali kasus baru tindak pidana, di tengah kasus lama sengketa tanah yang belum kunjung usai. Airmata di Paupire membuka babak baru hidup pemenang dan pecundang, setelah sengketa panjang berujung putus final.

Dengan lain kata, kasus hukum Lokoboko masih akan berlanjut, entah sampai kapan. Sedangkan kasus hukum Paupire dipastikan tamatlah riwayatnya. Setelah ada yang menang, ada yang kalah. Lewat putusan dan pelaksanaan putusan. Begitulah solusi meja hijau. Tak ada menang-menang (win-win solution). Yang ada cuma menang-kalah (win-lose solution). Olehnya, yang menang bersuka. Yang kalah menelan duka.

Dalam penyelesaian seperti itu, wajah hukum tampak seram. Dura lex, sed lex, kata adagium Latin. ‘Hukum memang keras, tetapi itulah hukum’. Bahkan sedemikian kerasnya, sampai-sampai demi tegaknya keadilan, hukum sepertinya tega mempersetankan segala akibat. Fiat iustitia ruat caelum, bunyi adagiumnya. ‘Hendaklah keadilan ditegakkan walau langit akan runtuh’. Ini ucapan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Atau, versi adaptasinya, Fiat iustitia pereat mundus. ‘Hendaklah keadilan ditegakkan meski dunia harus binasa’. Ini ucapan Ferdinand I, Raja Hungaria dan Bohemia 1558-1564.

Di hadapan hukum begini, duka yang kalah di Paupire tak terperikan. Demi tegaknya keadilan, 11 rumah mereka dirubuhkan. Puluhan tanaman mereka ditumbangkan. Oleh excavator, mesin baja sekeras hukum itu, semuanya rata tanah. Yang kalah merasa seperti kiamat. Seakan ruat caelum, langit runtuh. Seolah pereat mundus, bumi binasa. Dan ketika wajah mereka kita tatap dengan hati manusia, apa yang kita lihat? Penderitaan!

Kata-kata filosof Emmanuel Levinas seakan terngiang kembali. Levinas pernah bilang: penderitaan baru melepaskan selubungnya, bila penderitaan itu tertera pada wajah sesama manusia. Pada saat itulah, kata Levinas, terbukalah alam transenden. Sebuah dimensi baru mulai tampak, ketika wajah sesama manusia manantang kita, berseru kepada kita.

Lalu, apa manfaatnya bagi kita? Tatkala penderitaan itu tersingkap selubungnya lewat wajah sesama kita? Filosof CA van Peursen memberikan jawaban singkat tapi jelas. Menemukan penderitaan, kata van Peursen, dapat menolong kita. Untuk berbuat sesuatu. Untuk merombak suatu situasi. Singkatnya, untuk melaksanakan pembebasan.

Kita alamatkan pesan ini ke Pemkab Ende. Tataplah wajah-wajah kalah di Paupire. Wajah penuh derita. Mereka kehilangan rumah. Kehilangan pusat dinamika dasar eksistensi mereka sebagai manusia untuk pergi dan pulang. Oleh hukum sekeras baja excavator, mereka tercerabut dari tempatnya berakar. Lalu terlempar ke dalam keterasingan. Tapi mereka tetap manusia. Tetap warga Kabupaten Ende. Maka, atas nama kemanusiaan, yang tidak cukup hanya adil tapi juga harus beradab, mereka perlu dibantu.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 Januari 2010

26 Januari 2010

Kasus UASBN SDI Woang

Boroknya Birokrasi Pendidikan di NTT

Oleh Frans Anggal

Status kelulusan murid tamatan SDI Woang di Ruteng, Kabupaten Manggarai, tahun 2009, sungguh membingungkan. Bayangkan saja, mula-mula kelulusannya nol persen. Lalu berbalik 180 derajat menjadi seratus persen. Kemudian turun derajat menjadi 62 persen (Flores Pos Selasa 26 Januari 2010).
.
Pada pengumuman hasil UASBN reguler Juni 2009, kelulusannya dinyatakan nol persen. Orangtua mengamuk. Jalan keluar pun disepakati. Semua anak, 45 orang itu, ikut ujian paket A. Hasilnya luar biasa. Lulus semua, seratus persen. Hingga di sini, persoalannya dianggap sudah selesai.

Yang dianggap sudah selesai ini ternyata belum selesai. Lima bulan berselang, November 2009, muncul surat keterangan hasil UASBN reguler dari Kupang. Kelulusan UASBN reguler SDI Woang 2009 ternyata bukan nol persen seperti yang ’terlanjur’ diumumkan Juni 2009. Kelulusan ’versi’ baru menyebutkan kelulusannya 62 persen. Lulus 28, tidak lulus 17.

Secara teknis, dalam hal melanjutkan pendidikan, boleh dibilang tidak ada masalah. Kelulusan paket A itu sah. Dan karena semuanya lulus ujian paket A, ke-45 anak pun berhak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. De facto, jika tak ada halangan lain, semua mereka kini duduk di bangku kelas satu SLTP dan sebentar lagi akan naik ke kelas dua.

Apa yang oke secara teknis ini, belum tentu oke secara psikologis. Kelulusan nol persen itu pukulan berat. Tidak hanya bagi anak, tapi juga bagi guru dan orangtua. Ada perasaan gagal, sia-sia, dan sudah pasti kecewa. Terlebih kalau orientasi utamanya hasil, bukan proses. Terlebih kalau orientasi utamanya ijazah, bukan pengetahuan. Cepek-capek belajar, mengajar, dan ongkos enam tahun, hasil akhirnya nol koma nol. Kurang lebih begitu.

Dalam kegalauan seperti ini, ujian paket A tidak hanya menyelamatkan nasib anak, tapi juga melegakan baik anak maupun guru dan orangtua. Apalagi ketika hasilnya menakjubkan. Berbalik 180 derajat dari hasil UASBN reguler. Dari semula nol persen, ’tiba-tiba’ jadi seratus persen. Sayang, rasa plong ini cuma lima bulan. Anak yang sudah tenang dengan status lulus paket A, kini dirongrong kembali perasaannya oleh vonis tidak lulus November 2009.

Grafik emosi mereka sepertinya dipermainkan. Down-ups-down. Terempas-terangkat-terempas lagi. Beda dengan grafik emosi anak yang divonis lulus. Down-ups-ups. Malah, mereka yang lulus ini boleh bangga. Mereka menyandang dua status kelulusan sekaligus. Lulus UASBN reguler, juga lulus paket A. Jarang lho yang seperti ini. Mungkin hanya di NTT.

Apa yang mungkin membanggakan anak yang divonis lulus, dengannya mereka bisa menyandang dua status kelulusan sekaligus, sebenarnya sangat memprihatinkan kita. Kasus ini memperlihatkan betapa bobroknya birokrasi pendidikan di NTT, khususnya dalam penyelenggaraan ujian nasional.

Kita maklum, errare humanum est. Keliru itu manusiawi. Tapi kita juga tahu, tiap kekelirun mengharuskan perbaikan sesegera mungkin. Kenapa pembetulan pengumuman kelulusan UASBN SDI Woang baru muncul setelah lima bulan?

Kalau lima bulan itu ada alasannya, pemerintah wajib menjelaskannya secara transparan. Penyelenggaraan pendidikan, termasuk ujian nasonal, berada dalam ranah publik. Apalagi menggunakan dana publik pula. Karena itu, publik berhak untuk tahu. Dengan demikian, transpransi merupakan keharusan. Kita perlu tahu duduk soalnya. Daripadanya kita belajar dan berbenah. Agar tidak menjadi seperti keledai. Selalu terantuk pada batu yang sama.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 27 Januari 2010

25 Januari 2010

Waioti, Frans Seda, Don Thomas

Rencana Penggantian Nama Bandara

Oleh Frans Anggal

Rencana penggantian nama Bandara Waioti di Kabupaten Sikka makin ruwet saja. Semula, hanya dua calon nama yang diperdebatkan. Frans Seda ataukah Don Thomas. Sekarang muncul calon nama ’baru’ tapi ’lama’. Waioti. Wai = sungai, oti = biawak.

Usulan ini dilontarkan John Mansford Prior lewat opininya ”What’s in a Name” pada Flores Pos Senin 25 Januari 2010. Menurut imam dan dosen STFK Ledalero ini, dilihat dari sisi ekologis, nama Waioti itu manis dan patut dipertahankan.

”Waioti dapat mengingatkan kita akan pentingnya sikap dasar hidup ramah, pesona, dan takzim pada alam. Itu adalah sikap dasar yang melahirkan keyakinan, ikhtiar, dan kerja keras untuk menghijaukan dan menyuburkan kembali bumi wilayah Kabupaten Maumere, rumah kita.”

Ia tampak sengaja sebut ’Kabupaten Maumere’, bukan ’ Kabupaten Sikka’, sebagai ’rumah kita’. Entah apa maksudnya. Terlepas dari teka-teki itu, John Prior berikan pendasaran baru. Pendasaran ekologis. Kalau dasar ini kita gunakan secara murni dan konsekuen, banyak nama asli bandara harus dipertahankan. Dengan kensekuensi, nama babtisan baru patut disesalkan.

Nama bandara di Ruteng, Manggarai, misalnya. Aslinya, Satar Tacik. Satar = padang. Tacik = laut. Diubah jadi Frans Sales Lega: bupati kedua, visioner, tegas, dan mampu gerakkan swadaya masyarakat dalam pembangunan, termasuk dalam membangun bandara tersebut. Kalau pake pertimbangan ekologis tadi, Satar Tacik itu manis, semanis Waioti, dan karenanya layak dipertahankan. Penggantian nama jadi Frans Sales Lega patut disayangkan.

Itu kalau pendasarannya ekologis. Namun, ekologi bukan satu-satunya dasar. Ada pendasaran lain, di atasnya pilihan nama baru dapat berterima. Umumnya orang gunakan pendasaran ketokohan seseorang. Entah sebagai pahlawan ataukah penjasa. Kita belum tahu persis, muatan apa yang ada dalam usulan nama Frans Seda atau Don Thomas untuk gantikan Waioti.

Kalau sebagai penjasa, nama yang layak menurut John Prior adalah Kapten Tasuku Sato. Petinggi penjajah militer Jepang inilah yang rencanakan pembukaan Landasan Udara Waioti, supaya Jepang bisa duduki Flores dengan lebih mudah. Kalau sebagai pahlawan, nama yang layak adalah “para pekerja, para kuli, rakyat jelata dari wilayah Maumere yang dimobilisasi, dikerjapaksakan, kerja rodi, yakni para korban rejim kala itu. Ada yang jarinya dipotong, lain dipukul, lain lagi dijemur di terik matahari.”

Secara tersirat, John Prior bedakan penjasa dan pahlawan. Penjasa adalah orang yang berikan jasa khusus. Sedangkan pahlawan adalah orang yang berikan pengorbanan khusus. Berjasa berarti memberikan sesuatu, sedangkan berkorban berarti kehilangan sesuatu. Dengan pengertian ini, Frans Seda dan Don Thomas jelas bukan pahlawan, tapi ‘cuma’ penjasa.

Apakah tunggu jadi pahlawan dulu barulah seseorang boleh diabadikan namanya? Tentu tidak. Leonardo da Vinci bukan pahlawan, tapi namanya jadi nama bandara di Roma. John F Kennedy bukan pahlawan, tapi namanya jadi nama bandara di New York. Jadi, tidak hanya pahlawan, penjasa juga pantas. Jasanya pun tidak mesti berkenaan dengan bandara. Leonardo da Vinci tidak pernah berurusan dengan bandara, tapi namanya diabadikan di bandara. Tentu ada pendasaran dan kriterianya, yang berterima oleh publik.

Inilah yang perlu dipikirkan Pemkab Sikka. Merumuskan pendasaran dan kriteria yang berterima oleh publik. Adapun opini John Prior sangat bermanfaat, sebagai verifikasi. Ibaratnya menyepuh emas dalam tanur api. Agar murni karena teruji.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 26 Januari 2010

‘Tenggelam’-nya Siti Nirmala

Kapal Multifungsi Pemkab Flotim

Oleh Frans Anggal

Ada dua peristiwa menarik di Flotim, dalam sepekan. Pertama: Rabu, 20 Januari 2010, di Larantuka, Felix Fernandez bikin jumpa pers. Mantan bupati 2000-2005 ini nyatakan siap maju dalam pilkada Flotim 2010 (Flores Pos, Jumat 22 Januari 2010). Kedua: Jumat, 22 Januari 2010, di Larantuka, di kolam labuh Pelabuhan Larantuka, kapal multifungsi Siti Nirmala tenggelam ke dasar laut (Flores Pos, Sabtu 23 Januari 2010).

Dua peristiwa ini menarik. Pertama, terjadinya hanya dalam sepekan. Jarak waktunya hanya dua hari. Kedua, kata yang menandai dua peristiwa ini antonim: muncul x tenggelam. Rabu-nya Felix Fernandez ’muncul’ dalam jumpa pers. Jumat-nya Siti Nirmala ’tenggelam’ dalam insiden. Ketiga, Felix Fernandez dan Siti Nirmala memang erat terkait. Siti Nirmala dibeli saat Bupati Felix Fernandez dan Wabup John Payong Beda pimpin Flotim. Keempat, pembelian itu sendiri bermasalah.

Nun kala itu, masyarakat yang tergabung dalam Forum Reformasi Flores Timur di Larantuka menduga kuat, pembelian Siti Nirmala bersama satu kapal lainnya, KFC Andhika Mitra Express, sarat KKN. Ditengarai, pembelian dua kapal ini tidak prosedural. Pembeliannya tidak melalui tender. Dilakukan sebelum alokasi dananya termuat dalam APBD 2001. Ditengarai pula, harganya digelembungkan.

Siti Nirmala dibeli dengan harga lebih mahal. Kalau Andhila Mitra Express ‘cuma’ Rp3,479 miliar, Siti Nirmala Rp6 miliar. Hasilnya? Ada! Dan jelas! Yaitu: rugi! Khusus Siti Nirmala, tujuan pembeliannya agung nan mulia. Bantu pemerintah lakukan tugas-tugas antar-pulau di kabupaten kepulauan itu. Dalam perjalanan, Siti Nirmala bukannya membantu, tapi membebankan. Biaya operasionalnya terlalu tinggi. Ditambah rusak sana sini, akhirnya diistirahatkan.

Pengganti Felix Fernandez dan John Payong Beda , yaitu Simon Hayon dan Yoseph ‘Yosni’ Laga Doni Herin tampak sangat ‘alergi’ dengan Siti Nirmala. Nasib Siti Nirmala pun tidak jelas selama hampir lima tahun kepemimpinan mereka. Kasihan si Siti ini: dipake, tidak. Dibuang, tidak. Ia hanya ‘dipelihara’. Namanya pelihara, pasti ada ongkosnya. Maka, dana pemeliharaan keluar terus, dari pundi-pundi daerah.

Dengan hanya ‘dipelihara’ seperti itu, kita harus jujur katakan: Simon-Yosni memang tidak ‘menelantarkan’ Siti Nirmala, tapi sangat jelas ‘memubazirkan’-nya. Uang rakyat keluar terus atas nama dana pemeliharaan. Tapi, keluarnya untuk sesuatu yang tidak datangan satu pun nilai tambah. Kenapa tidak dijual saja atau disewapakaikan ke pihak lain?

Rencana jual ada, kata pemkab. Sudah disetujui DPRD. Calon pembelinya ada. Namun, sebatas ‘akan’. Selain menawar terlalu rendah, batang hidung mereka tidak muncul-muncul di Larantuka. Maka, seperti itulah: selama hampir lima tahun, Siti Nirmala hanya jadi penghias Pelabuan Larantuka. Dengan hanya ‘dipelihara’, ia tidak ‘diterlantarkan’, tapi sudah pasti ‘dimubazirkan’.

Koq bisa ya selama lima tahun tetap begitu? Kalau cuma tunggu di tempat, ya susah. Semestinya pemkab lebih proaktif. Tapi, itu tidak terjadi. Ada apa? Patut dapat diduga, semua ini bukan tanpa kesengajaan.

Boleh jadi, Simon-Yosni sengaja korbankan kalkulasi ekonomi demi kalkulasi politik. Siti Nirmala tidak dipake karena ia identik dengan Felix Fernandez. Ia juga tidak dijual karena dengan demikian ia ‘hilang’ dari Flotim. Ia perlu tetap ‘ada’, sebagai simbol ‘kegagalan’ Felix Fernandez. Siti Nirmala mengikat memori kolektif masyarakat akan sebuah masa lalu penuh skandal.

Lalu, ketika pilkada datang lagi, dan Felix Fernandez ‘muncul’ kembali, simbol itu (tiba-tiba) ‘tenggelam’. Apa ‘arti’ semua ini?

“Bentara” FLORES POS, Senin 25 Januari 2010

Virgin, Di Manakah Perawanmu?

Kumpulan Puisi Seorang Mahasiswi

Oleh Frans Anggal

Maria Santisima Gama, mahasiwi Unipa Maumere, persembahkan kumpulan puisi. Virgin, Di Manakah Perawanmu? Diterbitkan Percetakan Ledalero 10 Januai 2010, kumpulan ini berisi 19 puisi. Semuanya hasil permenungan atas berbagai ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil di Kabupaten Sikka. Khususnya anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual.

”Kumpulan puisi ini saya persembahkan untuk semua kaum muda, anak-anak, kaum perempuan, petani, masyarakat miskin, dan semua mereka yang menjadi korban ketidakadilan dalam masyarakat kita,” katanya (Flores Pos Jumat 22 Januari 2010).

Kenapa dalam menanggapi ketidakadilan, ia memilih puisi, dan bukan yang lain? Ia sendirilah yang paling pas menjawab. Meski begitu, kita berhak berpendapat. Sebab, untuk itulah puisinya diterbitkan. Dalam rabaan kita, puisi ia pilih, selain karena ia berbakat, juga karena puisi ia andalkan sebagai medium ekspresi.

”Virgin, Di manakah Perawanmu?” Ini salah satunya, sekaligus judul kumpulan puisinya. Puisi ini hasil permenungan atas berbagai kasus pemerkosaan di Sikka. Termasuk, yang menimpa seorang mahasiswi. Sebagai wanita, sang penulis lebih mudah berempati pada korban. Sebagai seniman, ia lebin intens menghayati derita korban. Juga, lebih intens melibatkan seluruh kemampuan mentalnya, lebih daripada sekadar olahpikir atau olahrasa.

Virgin ... Itulah mahkota para gadis / Tapi, Virgin sahabatku berduka / Kini meratapi aib karena ternoda / Oleh lelaki biadab bersosok drakula / Maafkan aku Virgin / Tak menemanimu kala itu / Aku tau kau merasa terpuruk / Tapi tegarlah, tatap masa depan / Bersama kita merenda asa dan cinta

Uraian psikologi korban pemerkosaan tak bisa mengalahkan kekuatan, apalagi keindahan penyampaian oleh sebuah puisi. ... meratapi aib karena ternoda, ... merasa terpuruk ..... Itulah derita korban. Puisi punya penyampaian yang unik, yang hampir tak mungkin diubah ke dalam bentuk lain atas cara yang sama indah dan sama kuatnya. Sangat boleh jadi, Maria Santisima Gama memilih puisi justru karena apa yang dipunyai puisi ini.

Semua itu bisa dianggap sebagai alasan internal. Ada pula alasan eksternal. Secara tersirat, penulis mengakuinya. Puisinya hasil permenungan terhadap berbagai ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil di Sikka, khususnya anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual. Frasa ”berbagai ketidakadilan” menunjukkan banyak dan bermacam-macamnya.

Menurut Koordinator Divisi Perempuan TRUK-F, Suster Eustochia SSpS, selama lima tahun terakhir, terjadi 822 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan. Lima di antaranya libatkan pejabat publik Kabupaten Sikka. ”Saat ini, TRUK-F sementara tangani kasus pemerkosaan yang melibatkan salah satu anggota DPRD Sikka.”

Dengan 822 kasus selama lima tahun maka, dirata-ratakan, tiap tahun 164 kasus, tiap bulan 13 kasus. Hampir tiada hari tanpa kekerasan dan pelecehan seksual. Ini kengerian, menikam sukma. Mungkin inilah yang dorong Maria Santisima Gama andalkan puisi sebagai medium ekspresi. Intensitasnya menguat ketika banyak kasus mentok di tangan aparat penegak hukum. Kasus anggota DPRD, misalnya, tidak maju-maju.

Karena itu, semestinya kumpulan puisi Maria Santisima Gama tidak hanya dipersembahkan bagi korban ketidakadilan. Perlu juga bagi aparat penegak hukum. Biar mereka baca puisi. Agar halus nurani. Agar jadi peka. Bahwa, korban yang sedang mereka tangani kasusnya adalah manusia yang merasa terpuruk, yang meratapi aib karena ternoda.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 23 Januari 2010

21 Januari 2010

Harap Mereka Tidak Begitu

5 Tahun 822 Kasus Kekerasan Seksual

Oleh Frans Anggal

Koordinator Divisi Perempuan TRUK-F, Suster Eustochia SSpS mengatakan, dari 822 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan yang ditangani lima tahun terakhir, ada lima kasus yang melibatkan pejabat publik Kabupaten Sikka.

”Saat ini, TRUK-F sementara tangani kasus pemerkosaan yang melibatkan salah satu anggota DPRD Sikka. Kami juga sedang tangani kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual oleh empat kepala desa. Para pelaku termasuk kategori pejabat publik,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Kamis 21 Januari 2010.

Kalau mau jujur, kita harus katakan tidak hanya 822 kasus. Yang 822 itu jadi ’kasus’ karena tersingkap. Lainnya, jauh lebih banyak, tersembunyi. Yang tersingkap itu hanya puncak gunung es. Yang tersembunyi, selain banyak, juga bervariasi. Kekerasan dan pelecehan seksual hanyalah salah satu dari aneka bentuk yang lahir dari relasi asimetri antara laki-laki dan perempuan.

Relasi asimetri sudah berlangsung lama. Juga sudah melembaga: dalam keluarga, masyarakat, bahkan negara. Di dalamnya, perempuan dan anak-anak selalu jadi korban. Bentuknya macam-macam.

Pertama, peminggiran (marjinalisasi). Banyak perempuan dapat pekerjaan tidak sebagus pekerjaan laki-laki. Ini karena perempuan tidak diberi peluang pendidikan seperti yang diperoleh laki-laki. Peminggiran bisa terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, negara, yang bersumber dari keyakinan dan tradisi.

Kedua, penomorduaan (subordinasi). Ada anggapan, perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng, dll. Ini mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki: di rumah, tempat kerja, masyarakat, dll.

Ketiga, pencitraan buruk (stereotip). Perempuan yang pulang larut malam dianggap sebagai pelacur, jalang, dll. Kalau laki-laki, tidak. Laki-laki yang pulang malam malah dianggap macho, pemberani.

Keempat, kekerasan (violence). Berupa serangan fisik dan psikis. Akibat dari marjinalisasi, subordinasi, dan stereotip tadi, perempuan rentan mengalami kekerasan. Perkosaan, pelecehan seksual, penjambretan paling banyak dialami perempuan.

Kelima, beban kerja berlebihan. Tugas dan tanggung jawab perempuan berat dan terus-menerus. Selain layani suami, perempuan hamil, melahirkan, menyusui, juga harus jaga rumah. Kadang merangkap mencari nafkah.

Anehnya, semua ini dianggap ‘wajar’. Kenapa? Relasi asimetri itu sesungguhnya relasi kekuasaan. Kekuasaan cenderung menormalisasinya: menganggapnya wajar. Kuatnya dominasi pihak menguasai terhadap yang dikuasai mengakibatkan relasi asimetri ‘diterima’ sebagai ‘kewajaran’.

Menurut filosof Michael Foucault, kekuasaan di sini bukan institusi, bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki, tetapi nama untuk situasi strategis kompleks dalam masyarakat. Di dalamnya, terjadi institusionalisasi kekuasaan yang melembaga dalam seluruh struktur hukum, politik, dan aturan sosial yang langgengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan.

Dalam konteks ini, kekerasan dan pelecehan seksual di Sikka harus disikapi serius. Khususnya oleh polisi, jaksa, dan hakim. Tidak menindak pelaku sama artinya dengan memandang perbuatannya wajar. Itu berarti polisi, jaksa, dan hakim melanggengkan relasi asimetri tadi. Kita berharap, mereka tidak begitu. Bersama TRUK-F dll, mereka harus jadi bagian terpadu kekuatan reformasi.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 22 Januari 2010

20 Januari 2010

Tindakan Camat Wolowae

Ketika Kasek Disuruh "Push Up"

Oleh Frans Anggal

Para murid dan guru dari empat sekolah SD hingga SMA serta tokoh masyarakat berdemo ke Kantor Camat Wolowae, Kabupaten Nagekeo, Selasa 19 Januari 2010. Mereka minta klarifikasi Camat Dominikus Bhoke tentang tindakan camat dan babinsa terhadap Kepala SDK Wolowajo Matias Misa.

Seperti diwartakan Flores Pos Rabu 20 Januari 2010, kasek bersama masyarakat lainnya ’dibina’. Mereka dinilai tidak tertib memelihara ternak. Mereka disuruh pompa dada (push up), berdiri dengan satu kaki, dan dilatih baris-berbaris. Perlakuan ini tidak diterima oleh para guru. Mereka kerahkan murid, rame-rame demo ke kantor camat.

Apa yang salah dari tindakan camat? Secara hukum, tindakannya dapat dianggap sebagai perbuatan tidak menyenangkan. Secara moral, tindakannya dapat dianggap sebagai perbuatan melanggar etika kepatutan. Apa pun itu, penilaian kita terfokus pada tindakan konkret. Di sana ada tujuan dan cara mencapai tujuan.

Tujuan tindakan camat itu baik. Menertibkan ternak. Ternak tidak mungkin tertib kalau pemiliknya tidak tertib. Maka, pemiliknya perlu tertibkan atau dibina. Terutama, yang kedapatan atau ketahuan lengah atau lalai. Salah satunya, si kasek. Mereka disuruh pompa dada, berdiri satu kaki, dan baris-berbaris.

Tujannya baik, namun caranya tidak relevan. Kaitan langsungnya dengan masalah ternak tidak ada. Apakah kalau pemilik ternak itu pompa dada, berdiri satu kaki, baris-berbaris, maka ternak mereka jadi ’sadar’ dan tidak lagi berkeliaran? Hanya ada dua cara tertibkan ternak: diikat atau dikandangkan. Tanpa itu, ternak akan tetap berkeliaran, meskipun pemiliknya pompa dada, berdiri satu kaki, dan baris-berbaris dari pagi sampai sore.

Kenapa cara tak relevan ini justru dipilih camat? Kita patut dapat menduga, rupanya karena ada babinsa di sana. Bintara pembina desa. Karena babinsa itu tentara, bisa dimengerti, pembinaannya khas tentara pula: pompa dada, berdiri satu kaki, baris-berbaris. Asumsinya: di dalam tubuh sehat terdapat jiwa sehat. Kalau tubuh tertib maka otak dan hati pun tertib. Tapi sejarah bercerita lain. Orang Indonesia baris-berbaris sejak TK. Hasilnya? Otak dan hatinya tetap tidak tertib. Korupsi menjamur dari pusat sampai daerah.

Rupanya Camat Wolowae ikut terperangkap dalam asumsi ini. Supaya pemilik ternak sadar, ia gunakan gaya militer. Hasilnya apa? Demo! Kenapa? Masyarakat sudah cerdas. Juga sudah traumatik dengan cara-cara militeristik. Selain itu, camat langgar pakem prosedur. Camat main ’tembak langsung’. Padahal, kasek PNS itu punya instansi kedinasan. Ia juga punya pimpinan langsung. Kenapa main ’tembak langsung’ dan tidak ’melalui’ atasan langsung si kasek? Kenapa tidak melalui kakancam PPO, misalnya? Kalaupun atribut kedinasannya ditanggalkan, si kasek masih punya ketua RT, ketua RW, kades atau lurah. Kenapa tidak melalui mereka?

Mudah-mudahan demo ini bisa menyadarkan camat. Bahwa, penertiban atau pembinaan yang benar adalah dengan pewajiban dan pemastian bahwa semua ternak diikat atau dikandangkan. Idealnya sih ada perda. Kalau belum, urun rembuk desa atau kecamatan diperlukan. Koordinasi, sosialisasi, kontrol, dan sanksi perlu disepakati. Dalam koordinasi misalnya, apa yang bisa dilakukan oleh ketua RT tidak perlu dirampas oleh camat.

Mudah-mudahan demo ini juga menyadarkan para guru. Tujuan mereka bagus: minta klarifikasi camat. Tapi, kenapa mereka kerahkan para murid? Murid diperalat oleh guru. Ini tidak dapat dibenarkan. Ini tidak boleh terulang.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 21 Januari 2010

19 Januari 2010

Skandal Kabupaten Sikka

Krisis Panti Santa Dymphma

Oleh Frans Anggal

Pengelola Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Santa Dymphma Warklau, Maumere, mengumumkan akan menjual rumah mereka di Jalan Gang Ujung Pandang, Kelurahan Carep, Kecamatan Lengke Rembong, Kabupaten Manggarai. Ini terpaksa dilakukan karena panti mulai kewalahan memenuhi kebutuhan anak-anak cacat yang jumlahnya makin bertambah. Kini sudah 153 orang plus 36 pengasuh.

”Selama ini, seluruh pembiayaan panti diusahakan sendiri oleh pengelola panti. Kami hampir tidak mendapat bantuan lagi dari pemerintah,” kata Kepala Panti Sr Lucia CIJ. ”Untuk memenuhi kebutuhan panti, saya terpaksa mengumumkan secara resmi kepada masyarakat Flores dan Lembata sudi kiranya membeli rumah milik panti yang berlokasi di Ruteng. Uangnya kami perlukan untuk pembiayaan makan minum anak-anak panti” (Flores Pos Senin 18 Januari 2010).

Jual rumah untuk kebutuhan makan minum. Ini tidak biasa, bahkan janggal. Kenapa tidak dikontrakkan saja? Para ’penonton’ mudah menilai seperti ini. Tapi coba bayangkan kalau situasinya begini: biaya makan minum sudah tidak ada lagi. Segala jalan sudah dicoba tapi gagal. Tegakah pengelola panti biarkan 153 anak mati kelaparan? Tidak. Maka, cara apa pun mereka tempuh. Mulai dari apa yang mereka miliki. Satu-satunya yang bisa datangkan cukup uang hanya satu: rumah di Ruteng. Rumah itu mau dijual. Terpaksa.

Ini menyedihkan. Keadaan ini seharusnya menjadi tamparan keras, terutama bagi pemerintah. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 mengamanatkan, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Siapa negara di sini? Pemerintah! Ini sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 yang secara jelas dan tegas menyuratkan tugas itu: “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ….”

Penyuratan tugas tersebut tidak menafikan peran komponen lain dari negara, yakni masyarakat. Namun peran masyarakat tetap berlandaskan asas subsidiaritas. Maksudnya: apa yang bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat, tidak usah ditangani oleh pemerintah. Tapi, tidak berhenti di situ. Ketika masyarakat tidak bisa melakukannya sendiri, pemerintah berkewajiban turun tangan.

Kalau asas ini sungguh-sungguh diterapkan, kasus Panti Santa Dymphma tidak perlu terjadi. Panti tidak perlu menjual rumah di Ruteng ’hanya’ untuk membiayai makan minum 153 anak cacat. Pemkab Sikka berkewajiban turun tangan. Pemkab harus merasa malu. Harus merasa tertampar. Untuk apa Pemkab Sikka ada kalau bukan untuk menjalankan amanat konstitusi tadi: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Kita jadi sedih ketika dari penuturan Suster Lucia kita tahu bahwa perhatian Pemkb Sikka ternyata sangat minim. ”Selama ini, seluruh pembiayaan panti diusahakan sendiri oleh pengelola panti. Kami hampir tidak mendapat bantuan lagi dari pemerintah.” Sungguh, ini sebuah skandal bagi Kabupaten Sikka!

Skandal ini terjadi karena Pemkab Sikka tidak melakukan apa yang merupakan kewajibannya. Yaitu: kewajiban menghormati, kewajiban melindungi, kewajiban memenuhi, dan kewajiban memajukan karya kemanusiaan yang sedang dijalankan oleh sebuah lembaga non-pemerintah.

Semestinya pemerintah bersyukur atas partisipasi masyarakat ini. Jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia 5-8 ribu. Mengasuh sekitar setengah juta anak. Mungkin terbesar di dunia. Pemerintah sendiri hanya selenggarakan sedikit. Lebih dari 99% diselenggarakan oleh masyarakat, terutama organisasi keagamaan. Harapan kita: pemerintah harus tahu bersyukurlah!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 20 Januari 2010

18 Januari 2010

Bangga dengan Indonesia

Kontroversi Kata "Allah" di Malaysia

Oleh Frans Anggal

Beberapa gereja di Malaysia dibakar. Ini terjadi di tengah kontroversi penggunaan kata ”Allah” oleh mingguan Katolik The Herald. Demikian warta Flores Pos Senin 11 Januari 2010.

Kontroversi sudah lama. Sejak 2007, pemerintah Malaysia melarang penerbitan Kristen gunakan kata “Allah”. Sebab, kata itu khusus milik umat Islam. Umat lain dilarang gunakannya sebagai sebutan untuk Tuhan mereka. The Herald bawa kasus ini ke pengadilan. Menang. Pembakaran gereja ada kaitan dengan ini.

Kita prihatin. Tidak hanya oleh pembakaran rumah ibadah itu, tempat Allah disembah. Tapi juga oleh kebijakan pemerintah Malaysia yang tidak benar.

Menurut Ulil Abshar-Abdalla (islamlib.com), pandangan bahwa kata “Allah” milik eksklusif umat Islam tidak ada presedennya dalam sejarah Islam. Sejak pra-Islam, masyarakat Arab sudah memakai nama Allah sebagai sebutan untuk salah satu Tuhan yang mereka sembah. Kata Allah sudah ada jauh sebelum Islam lahir di tanah Arab. Begitu juga, umat Kristen dan Yahudi yang tinggal di jazirah Arab dan sekitarnya memakai kata Allah sebagai sebutan untuk Tuhan. Semua Bibel versi Arab memakai kata Allah sebagai nama untuk Tuhan. Tak seorang pun sarjana Islam, yang pakai bahasa Arab sebagai bahasa ibu mereka, berkeberatan terhadap praktik yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun itu.

Selain itu, saling pinjam antara Islam, Kristen, dan Yahudi sudah berlangsung dari dulu. Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama dari rahim yang sama: tradisi Ibrahim. Karena asal-usulnya sama, lumrah jika terjadi pinjam-meminjam antara ketiganya. Berabad-abad, ketiga agama itu juga hidup berdampingan di jazirah Arab dan sekitarnya. Tak heran jika terjadi proses saling mempengaruhi.

Jadi, ini fenomena biasa dalam sejarah. Termasuk dalam sejarah di Indonesia. “Ketika agama Hindu-Budha masuk ke sini, bangsa Indonesia menyerap kata bahasa Sanskerta, ‘budaya’ dan ‘susila’ …. Ketika agama Islam masuk ke sini, bangsa Indonesia menyerap kata bahasa Arab, ‘adab’ dan ‘akhlak’ …. Ketika agama Serani masuk ke sini, bangsa Indonesia menyerap kata bahasa Latin, ‘etika’ dan ‘moral’….” Demikian Myrna, tokoh utama dalam novel Kerudung Merah Kirmizi, karya Remy Sylado (2002).

Semua kata itu kita terima sebagai pemerkaya bahasa. Begitu pula kata “Allah”, kita gunakan bersama. Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri mengartikan “Allah” secara inklusif. Tidak eksklusif milik umat Islam. “Allah: nama Tuhan dalam bahasa Arab; zat yang mahasempurna yang menciptakan alam semesta; Tuhan Yang Mahaesa yang disembah oleh orang yang beriman.”

Kalau berpikiran seperti Malaysia, Indonesia bisa berantakan. Orang Hindu dan Budha bisa saja larang orang lain gunakan kata ‘budaya’ dan ‘susila’. Orang Islam bisa saja larang orang lain gunakan kata ‘adab’ dan ‘akhlak’. Orang Kristen bisa saja larang orang lain gunakan kata ‘etika’ dan ‘moral’. Dunia juga bisa kacau-balau. Orang Yahudi bisa saja bilang, sebagian besar nabi dalam Alkitab dan Quran itu milik bangsa Yahudi. Maka, orang Serani dan Islam tak boleh menyebut nabi-nabi itu dalam semua terbitan.

Untung, kita tidak berpikiran seperti Malaysia. Kita lebih cerdas. Kesamaan istilah dalam agama bukanlah penyamaan dogma atau aqidah. Kesamaan istilah bukanlah sinkretisme. Ini yang kita banggakan. Karena itu, meskipun Taufiq Ismail dalam puisinya masih berkata malu menjadi orang Indonesia, kita tidak. Kita bangga. Indonesia masih menjadi rumah milik kita bersama.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 19 Januari 2010

17 Januari 2010

Romo John Jonga Pr

Penerima Yap Thiam Hien Award 2009

Oleh Frans Anggal

Seorang imam asal Manggarai, Flores, yang berkarya di tanah Papua, menerima Yap Thiam Hien Award Tahun 2009. Dia, Romo Johanes Jonga Pr, 51 tahun. Demikian warta Flores Pos Sabtu 16 Januari 2010.

Anugerah Yap Thiam Hien diberikan tiap tahun. Yang jadi patokan utama untuk dapat ikut dinilai atau dipertimbangkan sebagai calon penerima adalah: sang calon harus punya prestasi sebagai seorang pejuang di bidang hukum, kemanusiaan, HAM, kebenaran, dan keadilan, yang dirasakan telah ikut menjadi penerus perjuangan Yap Thiam Hien.

Yap Thiam Hien lahir di Aceh 25 Mei 1913 dan meninggal di Brusel, Belgia, 25 April 1989 pada usia 75 tahun. Dia seorang pengacara. Dia mengabdikan seluruh hidupnya demi menegakkan HAM, hukum, kebenaran, dan keadilan di Indonesia. Ia nasionalis sejati. Dan kesejatian nasionalisme itu tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang. Karena itu, ia tidak mengganti nama Tionghoa-nya, meski diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru.

Romo John Jonga menerima anugerah ini di Jakarta, 10 Desember 2009. Bertepatan dengan Hari HAM Sedunia. Ia dinilai layak. Dia pejuang HAM di Papua. Dia miliki dedikasi, komitmen, dan kredibilitas luar biasa dalam pembelaan dan perlindungan HAM masyarakat di provinsi tersebut.

Kendati penuhi kriteria kelas wahid itu, Romo John tetap merendah. Meski unggul sisihkan banyak kandidat kelas kakap, ia tidak jadi angkuh. Ia melihat apa yang dilakukannya itu hal yang biasa saja. “Aktivitas saya adalah hal biasa. Tetapi karena setiap kegiatan kecil direkam wartawan dan diwartakan ke publik, maka ada lembaga lain yang tahu dan memilih saya untuk menerima anugerah ini.”

Bahwa publikasi itu besar dampaknya, ya. Tapi, kenapa hal luar biasa menurut Panitia Yap Thiam Hien dan kebanyakan orang, justru dipandang Romo John sebagai hal biasa saja? Jawabannya sudah lama ada. Bahkan sudah sejak ia ditahbiskan 14 Oktober 2001 oleh Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM.

Menurut Romo John, apa yang dilakukannya merupakan hal yang sudah seharusnya dilakukan oleh semua kaum tertahbis. Jadi, tidak luar biasa. Itu tunaian tugas. Sebagai imam, ia dipanggil untuk berkarya bagi semua orang, tanpa sekat imajiner yang diciptakan oleh berbagai kepentingan. Dalam berkarya, persoalan sosial harus jadi yang terdepan. ”Karya pastoral tidak terbatas pada perayaan ekaristi,” katanya suatu ketika. ”Imam harus turut terlibat dalam keprihatinan dasar manusia.” Altar imam adalah altar kehidupan masyarakat. Tidak sekadar altar di gedung-gedung gereja.

Dengan penghayatan dan komitmen seperti ini, selaku gembala umat, Romo John sedang berjuang menjejaki kepemimpinan Yesus. Seperti diulas Fritz Loebinger (1999), Yesus miliki visi kepemimpinan sangat jelas: terwujudnya Kerajaan Allah, yang merupakan pelaksanaan kehendak Bapa yang mengutus-Nya. Yesus berkomitmen sangat kuat melaksanakannya bahkan sampai rela menderita dan wafat di salib. Yesus tak biarkan keadaan manusia sebagaimana adanya. Yesus serentak memimpin dan melayani. Yesus menolak godaan setan. Yesus jadikan diri-Nya sederajat di antara para murid. Yesus membasuh kaki orang-orang yang dipimpin-Nya. Yesus memimpin dan mengajar para murid-Nya untuk tidak menguasai orang lain.

Seperti Papua, Flores dan pulau se-Nusantara butuhkan kepemimpinan seperti ini. Tidak untuk meraih Yap Thiam Hien Award. Tidak. Lebih daripada itu. Untuk tegaknya kebenaran, keadilan, kedamaian, dan keutuhan ciptaan.

“Bentara” FLORES POS, Senin 18 Januari 2010

Kasihan Hanura Manggarai

Menyoal Kriteria Pilkada 2010

Oleh Frans Anggal

Pasangan Christian Rotok dan Deno Kamilus (Credo) mendapat juklak dan juknis dari Partai Hanura untuk diusung dalam pilkada Manggarai 2010. Padahal, pasangan incumbent ini tidak berencana lamar ke Hanura karena dipastikan, Hanura Manggarai mengusung paket lain. Kendati demikian, Credo akan manfaatkan peluang ini. Demikian warta Flores Pos Rabu 13 Januari 2010.

Juklak dan juknis itu langsung dari DPP pusat, tidak dari atau melalui DPC Manggarai. Ini janggal. Sekaligus menunjukkan, Credo berkenan di mata DPP, tapi tidak di mata DPC. Mau berkenan bagaimana, DPC pasang kriteria sedemikian rupa sehingga menutup pintu bagi Credo.

Apa kriteria itu? ”Yang harus diusung, putra asli Manggarai,” kata Priani Mbaut, Ketua Bapilu. ”Hal ini sudah dipertimbangkan secara matang dengan mempertimbangkan aspek politik, budaya, sosiologi, dan sebagainya.”

Bagi Credo, kriteria ini kriteria ’maut’. Sebab, Chris Rotok keturunan Manggarai Timur. Kita tidak harus dukung Rotok atau Credo untuk tandaskan kriteria ini sesat. Sebab, yang tersingkir olehnya bukan hanya Rotok dan Credo, tapi juga dan terutama rasionalitas demokrasi, rasionalitas pluralisme, rasionalitas multikulturalisme. Dengan kriteria ’putra asli’, Hanura Manggarai mundur ke zaman batu. Tidak siap berkiprah sebagai partai modern. Kasihan!

Mari berandai-andai. Dalam hidup menggereja, sekadar analogi. Kalau harus ’putra asli’, Mgr Gabriel Manek SVD (alm) tidak akan pernah jadi uskup di Flores, karena dia putra Timor keturunan Tionghoa. Atas cara yang sama, Mgr Donatus Djagom tidak akan pernah jadi Uskup Agung Ende, karena dia kelahiran Manggarai. Mgr Petrus Turang tidak akan jadi Uskup Agung Kupang, karena dia asal Manado. Mgr Silvester San tidak akan jadi Uskup Denpasar karena dia orang Flores berdarah Tionghoa.

Dalam hidup bernegara. Kalau Partai Demokrat di Amerika Serikat gunakan kriteria ’putra asli’, Barack Obama tidak akan dicalonkan sebagai kandidat presiden. Kalau rakyat Amerika ngotot dengan kriteria itu, Obama tidak akan keluar sebagai pemenang. Sebab, dia keturunan Afrika, bukan Amerika totok. Yang diandaikan ini tidak terjadi. Kenapa? Amerika sudah tinggalkan kriteria picik ’putra asli’. Kemenangan Obama adalah kemenangan demokrasi, kemenangan pluralisme, kemenangan multikulturalisme.

Kriteria Hanura Manggarai sangat jauh dari kiblat demokrasi moderen, di dalamnya Amerika tampil sebagai kampiun. Sebaliknya, sangat dekat dengan rasialisme ala Nazi Jerman, di dalamnya Hitler muncul sebagai pembunuh. Demi kemurnian ras Aria yang menurutnya ’asli Jerman’ dan paling unggul sedunia, Hitler membasmi semua yang ’tidak asli’, terutama keturunan Yahudi. Peristiwa ini dikenal sebagai holocaust, ’bencana’, tapi sebenarnya kejahatan luar biasa, sistemik, dan sistematis terhadap kemanusiaan.

Yang dilakukan Hanura Manggarai tidak sekeji itu, tentu. Tapi ada yang sama, pada tataran persepsi. Persepsi pengkotak-kotakan. Diskriminasi. Stereotip. Juga demonisasi atau penjelek-jelekan. ”Dia bukan putra asli Manggarai, tidak pantas pimpin Manggarai. Masa kita orang asli dipimpin pendatang,” dst. Yang dilihat bukan kewargaan, tapi keturunan. Cara melihatnya ’Hitler banget’.

Kita berharap parpol di Manggarai tidak ikut-ikutan latah. Lihatlah kewargaan seseorang, bukan keturunannya. Lihatlah dalam bingkai NKRI: Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan ’NKRI’: Negara Kesatuan Rasialis Indonesia. Cukup Hitler yang rasialis. Cukup Hitler yang dikotomikan ’asli’ dan ’pendatang’. Hanura Manggarai bukan Nazi, bukan? Ketua Bapilu-nya bukan Hitler, bukan?

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 Januari 2010

Tahbisan Uskup Ruteng

Masukan Forum Dosen STFK Ledalero

Oleh Frans Anggal

Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng akan ditahbiskan 14 April 2010. Forum dosen STFK Ledalero berikan masukan. Berupa surat, ditujukan kepada Administrator Keuskupan Ruteng dan Mgr Hubertus Leteng. Sebagaimana diwartakan Flores Pos Senin 11 Januari 2010, forum ini anjurkan agar perayaan tahbisan lebih bercorak liturgis dan sesederhana mungkin.

Mengapa sederhana? Menurut forum, tahbisan uskup adalah perayaan umat juga. Dibuat oleh umat berdasarkan keberadaan umat. Karena itu, panitianya perangkat pastoral dan dewan umat, bukan pemerintah atau pejabat pemerintah. Perayaan umat juga mengandung pengertian: dibiayai umat. Maka, besar kecilnya perayaan bergantung pada kemampuan umat, bukan pada kemampuan pemerintah atau pejabat pemerintah.

Kalau berdasarkan kemampuan umat, sudah sepatutnya perayaan itu sederhana. Mayoritas umat masih miskin. Sederhana tidak berarti tidak meriah. Meriah bisa, tanpa harus mewah. Meriah dalam kesederhanaan. Sederhana dalam kemeriahan. Kenapa tidak.

Bila setiap paroki bawa makanannya sendiri untuk disantap bersama pada resepsi syukuran, sudah pasti itu meriah tanpa harus mewah. Tahun 1980-an, Paroki Nita di Kabupaten Sikka di bawah kegembalaan Pater Tarsi Djuang Udjan SVD pernah lakukan cara begini saat pemberkatan gereja baru mereka. Paroki Onekore, Ende, tahun 2009, juga di bawah kegembalaan Pater Tarsi, juga pake cara yang sama saat rayakan emas paroki. Dalam kesederhanaan, perayaan itu bisa khidmat dan meriah.

Cara seperti ini cara tepat menunjukkan perayaan oleh umat berdasarkan kemampuan umat. Dan sesungguhnya, ini praksis Yesus sendiri. Bahwa itu bisa timbulkan ketidakenakan pada diri pejabat pemerintah, Injil sudah punya kisahnya. Ketika Yesus duduk makan di rumah Lewi seorang pemungut cukai, para pemimpin bangsa yakni orang-orang Farisi terperangah dan mengeluh kepada para murid Yesus. ”Mengapa Gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (Mrk 2:15).

Santo Paulus ’menjawab’ gugatan ini dengan tepat. Ekaristi merupakan panggilan kepada kesederajatan dan persekutuan, menjembatani perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi serta menemukan kesatuan kita sebagai tubuh Kristus (1 Kor 11-13.).

Demi nilai tersebut, panitia tahbisan uskup Ruteng perlu bersaksi. Meskipun, itu bisa timbulkan ketidakenakan pada diri para pejabat pemerintah. Termasuk soal tempat tahbisan. Tempat yang tepat adalah halaman Katedral, bukan lapangan Motang Rua. Lapangan Motang Rua itu diapiti kantor bupati (selatan), rujab bupati (timur), mapolres (barat), pertokoan (utara). Dengan kata lain, ’dikepung’ oleh simbol-simbol kekuasan politik dan ekonomi.

Panitia tahbisan perlu peka dengan hal-hal begini. Kepekaan perlu dipertajam mengingat Manggarai dan Mabar kini sedang ramai dengan isu pilkada dan pertarungan kandidat. Hal biasa bisa dibaca dan dimanipulasi secara luar biasa. Dan ini bisa rugikan Gereja Keuskupan Ruteng ke depan.

Kita harapkan tahbisan uskup jadi titik star peneguhan jatidiri Gereja Keuskupan Ruteng. Gereja yang mengemban tugas kenabian. Tugas kritik profetik. Kenapa? Seperti diingatkan forum dosen Ledalero, sering upacara penahbisan uskup di Flores dibuat dalam kerja sama dengan pemerintah demi kemudahan dalam pengorganisasian dan pembiayaan. Dampaknya? Sebagai bagian dari masyarakat sipil, gereja akan sulit menjalankan fungsi kontrol. Jasa pemerintah ternyata bukan gelang emas di tangan gereja, tapi borgol!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 12 Januari 2010

Pangan Lokal Masuk Hotel

Peresmian Grand Wisata Hotel di Ende

Oleh Frans Anggal

Grand Wisata Hotel, Ende, resmi beroperasi setelah diresmikan Kamis 7 Januari 2010. Peresmian ditandai dengan pengguntingan pita oleh Bupati Don Bosco M Wangge. Lalu, pencurahan berkat oleh Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota.

Banyak apresiasi, harapan, dan tekad disampaikan pada kesempatan itu, sebagaimana diwartakan Flores Pos Sabtu 9 Januari 2010. Apresiasi dan harapan dikemukakan oleh bupati dan uskup. Sedangkan tekad dilontarkan oleh pemilik hotel, Dionisius A Siu Go. Salah satu tekadnya adalah mendukung program pengembangan pangan lokal yang digaungkan pemerintah.

”Manajemen hotel bersedia bekerja sama dengan berbagai pihak untuk selalu menyiapkan menu pangan lokal. Juga akan dikembangkan produk-produk khas Ende dari pangan lokal, seperti keripik pisang, ubi, dan lainnya, yang dapat dipasarkan di minimarket Grand Wisata Hotel,” kata A Siu.

Yang dikatakan A Siu ini masih bersifat ”akan”. Pada peresmian hotel bintang tiga ini, menu pangan lokal sendiri belum menonjol, untuk tidak mengatakan belum kelihatan. Sentuhan lokal ke-ende-lio-an hanya mencuat pada dekorasi ruangan, busana pelayan, dan lagu dendangan Golgota Voice. Seandainya pangan lokal turut disuguhkan dalam jenis, tampilan, dan citarasa laik hotel saat itu, ke-ende-lio-an tentu akan terasa semakin kental.

Tapi, tak apalah. ”Mulanya biasa saja,” seperti kata lagu Pance F Pondaag, dengan harapan: pangan lokal ”akhirnya datang jua”, suatu ketika, nanti. Dan itu bisa, kenapa tidak. Sudah ada buktinya koq. Bukti itu ditunjukkan bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh bupati sendiri bersama ibu, di rumah jabatan, saat open house Natal 2009 dan Tahun Baru 2010. Dari jenis, tampilan, dan citarasanya, menu pangan lokal yang disajikan saat itu sungguh mengagumkan.

Tersaji, antara lain, emping jagung. Ternyata bisa ya, emping dari jagung. Selama ini, biasanya, emping itu dari melinjo, dan seolah-olah ’harus’ dari melinjo, sehingga kalau bukan dari melinjo bukan emping namanya. Ini salah kaprah. Dan salah kaprah ini sudah dikoreksi di rumah jabatan bupati. Emping jagung ternyata setara nikmatnya dengan emping melinjo.

Sajian lain, dodol rumput laut. Ini pruduk dinas perikanan. Bentuk, warna, kemasan, dan empuknya mirip dodol Garut yang terkenal itu. Rasanya pun tidak kalah nikmatnya. Kandungan gizinya tak usah diragukan. Demikian pula dengan stik dari jagung, yang mematahkan salah kaprah seolah-olah stik hanya ’boleh’ dari gandum (terigu). Belum lagi sajian pencuci mulut: es krim dari keladi.

Singkat cerita, open house di rumah jabatan bupati saat itu merupakan bukti tak terbantahkan bahwa pangan lokal adalah pangan terhormat. Pengelolaan yang kreatif dan inovatif terbukti mampu menyejajarkan pangan lokal dengan pangan pabrikan, bahkan dengan pangan imporan. Maka, kenapa tidak, pangan lokal bisa masuk minimarket Grand Wisata Hotel. Pangan lokal layak menempati meja hidangan tamu eksekutif. Dijamin, akan diminati tamu mancanegara. Sebab, selain karena jenis, tampilan, dan citarasanya pantas, pangan lokal kita adalah pangan organik.

Rumah jabatan bupati sudah tunjukkan bukti. Grand Wisata Hotel sudah lontarkan janji. Sebuah awal yang bagus. Terbayangkan di sini, satu kemungkinan kerja sama antara hotel dan berbagai pihak. Pemkab melalui dinas terkait dan PKK kabupaten bisa mainkan peran lebih terbuka. Kepengurusan PKK, misalnya, tidak harus hanya barisan istri pejabat. Banyak ibu bukan istri pejabat yang justru lebih terampil, kreatif, dan inovatif. Untuk mengelola pangan lokal, mereka perlu dirangkul, dilibatkan, dan ditampilkan. Profisiat!

“Bentara” FLORES POS, Senin 11 Januari 2010

Lembata: Jadilah Humus

Lembata Miliki Tiga Kantor Bupati

Oleh Frans Anggal

Pembangunan kantor bupati Lembata di Lamahora belum rampung. Pembangunannya dimulai sejak 2007. Dan, sudah menelan Rp23 miliar. Ini kantor ketiga. Maka, dalam hal jumlah kantor bupati, Lembata ’hebat’, sebagaimana diwartakan Flores Pos Jumat 8 Januari 2010.

Betapa tidak, usia kabupaten ini baru sepuluh tahun, tapi sudah miliki tiga kantor bupati. Satu di tengah kota Lewoleba. Dua lainnya di Lamahora dan Lusikawak. Berbeda dengan yang di Lamahora yang masih terus dikerjakan karena belum rampung namun sudah habiskan Rp23 miliar, kantor bupati di Lusikawak praktis sudah tidak diteruskan pembangunannya. Mandek. Tapi sudah habiskan hampir Rp8 miliar.

Bukan hanya mandek, kantor yang dibangun sejak 2000 itu juga terlantar. Bangunannya dikelilingi rumput liar. Jadi tempat peristirahatan kambing pula. Benar-benar ’hebat’. Sebuah kabupaten muda usia sudah demikian ’kaya raya’-nya, sehingga ’menghamburkan’ hampir Rp8 miliar hanya untuk sebuah ’kandang kambing mewah’. Dan ’kemewahan’ itu ’dipamerkan’ di tengah kemiskinan masyarakat, di tengah PAD yang masih miskin pula.

Semua ini hasil sebuah kebijakan. Kebijakan itu hasil sebuah pilihan. Pilihan itu lahir dari interese pemimpin. Dan interese itu sudah jelas jauh dari interese rakyat. Dengan interese yang jauh bahkan terpisah dari interese rakyatnya, sang pemimpin tidak membiarkan penderitaan masyarakat masuk di dalam hatinya. Dengan demikian, ia juga tidak ikut merasakannya bersama mereka. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Yaitu: humilitas atau kerendahan hati.

Anthony Bloom (1971) menjelaskan humilitas dengan sangat bagus. Humilitas itu kata Latin yang ada hubungannya dengan ”humus”, lapisan tanah yang subur. Tanah subur ada, tidak kentara, dianggap biasa untuk diinjak-injak. Sifatnya tidak menonjol, diam, hitam, tetapi selalu sedia menampung benih. Sedia menumbuhkannya dan memberinya hidup. Semakin rendah, semakin subur. Karena, kesuburan diperoleh dengan menerima semua buangan dari bumi. Karena rendahnya, ia tidak dapat dikotori, direndahkan, dihinakan. Tempat paling rendah sudah menjadi pilihannya. Maka ia tidak dapat direndahkan lagi.

Tak adanya humilitas. Ini salah satu ’penyakit kekuasaan’ yang melanda banyak pemimpin. Mereka tidak jadi humus yang menyuburkan, tapi eukaliptus yang menguruskan tanah. Mereka enggan menampung aspirasi, tapi lebih suka memberi instruksi. Mereka tidak bersedia ’direndahkan’, tapi menuntut ’ditinggikan’. Di tangan mereka, kekuasaan yang mengandung banyak ’penyakit’ itu tidak dianggap sebagai ’borgol’. Sebaliknya, dipandang dan diperlakukan sebagai ’gelang emas”: indanya, mahalnya, nikmatnya!

Yang menyedihkan, ’penyakit’ ini pun diidap para pengontrol kekuasaan. Para wakil rakyat. Alih-alih jadi humus, mereka ikut-ikutan jadi eukaliptus. Dalam kasus di Lembata: kenapa dalam sepuluh tahun usianya, kabupaten belia itu punya tiga kantor bupati? Salah satu penyebabnya adalah lemahnya kontrol para wakil rakyat.

Para wakil rakyat biarkan eukaliptus menyedot kesuburan Lembata. Sebagiannya mungkin ikut jadi eukaliptus dan tak rela jejaki kesejatian panggilan sebagi humus bagi rumput-rumput kecil. Akibatnya, humus hanya suburkan eukaliptus. Yang tersisa bagi rumput-rumput kecil hanyalah kegersangan.

Kita berharap DPRD Lembata yang baru, banting setir. Jadilah humus. Suburkan rumput-rumput kecil. Bukan tinggi julangkan eukaliptus. Apalagi kalau sampai ikut-ikutan jadi eukaliptus, yang tentu menyedot habis kesuburan Lembata. Kasihan rumput-rumput kecil, hanya kebagian kegersangan.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 9 Januari 2010

Laode Ida dan Skandal Itu

Mobil Dinas Mewah Pejabat RI

Oleh Frans Anggal

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Laode Ida kembalikan mobil dinas dengan alasan terlalu mewah. Ia rasa tak pantas gunakan mobil Rp1,3 miliar itu di tengah banyaknya persoalan dalam masyarakat. Menurutnya, sepantasnya pejabat cukup diberi mobil dinas Rp200 juta hingga Rp300 juta.

”Pejabat di pemerintahan Malaysia hanya menggunakan kendaraan dinas yang harganya sekitar Rp190 juta. Bahkan untuk Perdana Menteri Malaysia, kendaraan dinasnya seharga Rp200 juta,” katanya, diwartakan Flores Pos Selasa 5 Januari 2009.

Dalam era reformasi, Laode Ida orang kedua. Sebelum dia , ada Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR 2004-2009. Ia tolak mobil dinas mewah, dengan alasan yang sama. Pertontonkan kemewahan di tengah kemiskinan masyarakat. Pamerkan pemborosan di tengah utang luar negeri yang menumpuk. Ini melanggar etika kepatutan. Paus Paulus VI dalam ensiklik Populorum Progressio menyebut fenomena seperti ini sebagai skandal.

”Ketika begitu banyak orang lapar, ketika begitu banyak keluarga menderita kemiskinan, ketika begitu banyak orang tetap tinggal dalam kebodohan, ketika begitu banyak sekolah, rumah sakit, dan rumah hunian yang layak mesti dibangun, penghamburan kekayaan baik umum maupun pribadi, seluruh perbelanjaan yang didorong oleh motif-motif kemewahan nasional atau pribadi ... merupakan satu skandal yang tidak dapat ditolerir.” (No. 53)

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ”skandal” sebagai (1) ”perbuatan yang memalukan”, (2) ”perbuatan yang menurunkan martabat seseorang”. Urutan pengartian kamus ini kurang tepat. Kamus dahulukan arti psikologis ketimbang arti moral. Kamus dahulukan ”perbuatan yang memalukan” ketimbang ”perbuatan yang menurunkan martabat”. Padahal, sifat moral lebih penting. Sifat moral itu tetap, mutlak, umum. Sifat psikolgis berubah-ubah, nisbi, individual.

Pada pengadaan dan penggunaan mobil dinas mewah di Indonesia, skandal dalam arti pertama itu tidak pas. Salah-salah dianggap bukan skandal. Mengapa? Kalau skandal diartikan sebagai perbuatan memalukan, pertanyaan kita: memalukan siapa? Siapa yang malu? Pejabat? Justru tidak. Mereka tidak malu koq. Saraf malunya sudah putus. Yang malu cuma Hidayat Nur Wahid dan Laode Ida.

Yang tepat bagi pejabat kita adalah skandal dalam arti kedua: perbuatan yang menurunkan martabat. Pejabat yang adakan dan gunakan mobil dinas mewah di tengah kemiskinan masyarakat, di tengah utang luar negeri yang menumpuk, adalah pejabat yang tidak peka, tidak solider. Tingkatan harkat kemanusiaannya rendah. Dengan kata lain, kurang bermartabat. Ditambah dengan tidak adanya perasaan malu, mereka semakin tidak bermartabat.

Anehnya, tidak bermartabat, tapi percaya diri. Kepekaan psikologis dan kepekaan moralnya lenyap. Mungkin ini yang disebut ’penyakit kekuasaan’. Semakin berkuasa, semakin tidak sensitif. Penyair Dylan Thomas pernah ingatkan lewat puisinya yang dikagumi Presiden AS Jimmy Carter. Hands have no tears to flow. Tangan tak punya airmata yang akan mengalir.

”Bagi saya, itu berarti bahwa seorang kuat dapat bersifat tak sensitif. Terpisahnya kekuasaan dari rakyat kadang tak diketahui oleh para pemimpin yang kuat. Dan sifat tidak peka, yang memang sudah terkandung dalam tiap kekuasaan, seharusnya merupakan peringatan bagi kita,” kata Carter, dikutip Goenawan Mohamad dalam ”Catatan Pinggir” TEMPO 11 Februari 1978.

Paus Paulus VI lewat ensikliknya, Dylan Thomas lewat puisinya, telah berikan peringatan. Sayang, hanya sedikit yang punya hati untuk ’mendengarkan’. Di antaranya, Hidayat Nur Wahid dan Laode Ida. Lainnya: masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Januari 2010

Bandara Frans Seda

Usul Penggantian Nama Bandara Waioti

Oleh Frans Anggal

Ketua Forum Peduli atas Situasi Negara (Petasan) Maumere Siflan Angi dan anggota DPRD Sikka Simon Subandi punya usul ke Pemkab Sikka. Nama Bandara Waioti perlu diganti jadi Bandara Frans Seda. Demikian warta Flores Pos Selasa 5 Januari 2010.

Frans Seda, kelahiran Lekebai, Kabupaten Sikka, 4 Oktober 1926. Berpulang 31 Desember 2009, dalam usia 83 tahun. Ia dikenal sebagai politikus, menteri, tokoh gereja, pengamat politik, dan pengusaha nasional. Pada masa pemerintahan Soekarno, ia Menteri Perkebunan (1963-1964). Pada masa Soeharto, ia Menteri Keuangan (1966-1968) serta Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973). Pada masa BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, ia penasihat ekonomi.

Di bidang perhubungan, ia berjasa membuka isolasi. ”Frans berperan menyatukan Indonesia Barat dan Indonesia Timur dengan penerbangan dan pelayaran perintis,” kata Prof Emil Salim, mantan Meneg Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup 1983-1993 (Flores Pos, Senin 4 Januari 2010). Untuk NTT dan Sikka? ”Jasa Almarhum sangat besar dalam upaya peningkatan bandar udara dan pelabuhan di NTT, khususnya Bandara Waioti,” kata Simon Subandi.

Nama Frans Seda memang pantas diabadikan. Di tingkat nasioanl dia pantas, apalagi di daerah kelahirannya sendiri. Dia sangat berjasa bagi peningkatan Bandara Waoti. Maka, namanya layak diabadikan di sana. Mengabadikan nama tokoh dengan menjadikannya nama bandara bukan hal baru di dunia.

Di luar negeri, ada banyak contoh. Di Tel Aviv, Israel, ada Bandara Ben Gurion: bapak bangsa. Di Paris, Prancis, ada Bandara Charles De Gaulle: presiden ketiga. Di Taipe, Taiwan, ada Bandara Chiang Kai Shek: bapak bangsa. Di New York, Amerika Serikat, ada Bandara John F. Kennedy: presiden ke-35. Di Roma, Italia, ada Bandara Leonardo da Vinci: seniman besar.

Di dalam negeri juga begitu. Beberapa di antaranya malah merupakan nama ’babtisan’ baru, menggantikan nama awal, sebagai tanda penghormatan bagi sang tokoh. Di Jakarta, nama awal bandara internasonal itu Cengkareng, lalu diubah jadi Bandara Soekarno-Hatta: bapak bangsa. Di Kupang, nama awalnya Penfui, lalu diubah jadi El Tari: gubernur kedua NTT. Di Ruteng, nama awalnya Satar Tacik, lalu diubah jadi Frans Sales Lega: bupati kedua Manggarai.

Pengubahan nama itu ada dasarnya, tentu. Di Manggarai, misalnya, Frans Sales Lega dikenal sebagai bupati visioner, tegas, dan mampu gerakkan masyarakat. Modalnya swadaya masyarakat. Ia bukan ’bupati DAU’ atau ’bupati DAK’ seperti bupati-bupati sekarang. Ia buka isolasi wilayah. Di bidang perhubungan udara, ia gagas dan bangun Bandara Satar Tacik. Untuk mengenang dan menghormati jasanya, namanya diabdikan. Bandara Satar Tacik pun beganti nama jadi Bandara Frans Sales Lega.

Kalau seorang bupati saja bisa diabadikan namanya, kenapa tidak bagi salah seorang putra terbaik Indonesia, putra terbaik NTT, putra terbaik Flores, putra terbaik Sikka, bernama Frans Seda? ”Frans berperan menyatukan Indonesia Barat dan Indonesia Timur dengan penerbangan dan pelayaran perintis,” kata Prof Emil Salim. ”Jasa Almarhum sangat besar dalam upaya peningkatan bandar udara dan pelabuhan di NTT, khususnya Bandara Waoti,” kata Simon Subandi.

Nah. Tak ada alasan untuk tidak mengabadikan namanya. Pemkab Sikka perlu tanggapi positif usul Siflan Angi dan Simon Subandi. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama ’impian’ itu terwujud. Bandara Waioti bersalin nama menjadi Bandara Frans Seda.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Januari 2010

Kenapa Merusak Rumah?

Tindak Kekerasan di Manggarai

Oleh Frans Anggal

Warga Desa Bulan dan Wangkung, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, mengawali 2010 dengan tindak kekerasan. Mulanya pekelahian antar-pemuda kedua desa. Ujungnya perusakan rumah seorang warga Desa Bulan. Rumah itu diduga sebagai kediaman salah seorang pemuda yang terlibat pekelahian. Demikian laporan Flores Pos Senin 4 Januari 2010.

Rumah jadi sasaran. Hampir selalu begitu pada banyak amuk massa. Seolah-olah berlaku ‘hukum’: kau tak kudapat, rumahmu kusikat. Aneh. Yang bermasalah manusia, yang jadi sasaran koq rumah. Kenapa? Psikologi punya jawaban. Boleh jadi ini semacam pelampiasan rasa agresi kepada sasaran pengganti karena sasaran utama tidak ditemukan.

Rasa agresi itu semacam ketegangan. Ketegangan harus dilepaskan. Kalau tidak, ia berbalik ke diri orang itu sendiri dan tertanam dalam sistem ototnya. Risikonya, orang itu bisa stres, pingsan, dll. Maka, kalau sasaran utama tidak ditemukan, diperlukan sasaran pengganti. Dalam konflik warga Desa Bulan dan Wangkung, sasaran pengganti itu rumah si pemuda. Pemudanya lolos, rumahnya dirusakkan.

Secara psikologis, mengalihkan sasaran, bisa dimengerti. Malah perlu sebagai cara melepaskan ketegangan. Yang sering jadi masalah, sasaran pengganti itu tidak pas. Asal habok saja. Maka, dampaknya sering lebih besar daripada persoalan pokoknya. Kalau pelampiasan kemarahan itu tindak pidana, urusannya akan panjang. Tidak jarang berujung dengan penjara.

Dalam melampiaskan kemarahan, ada baiknya kita belajar dari para demonstran. Ketika marah pada presiden, mereka tidak menjadikan rumah presiden sasaran pengganti. Mereka bikin orang-orangan pengganti presiden, lalu orang-orangan itu mereka teriaki, mereka injak, mereka bakar, dst. Rasa agresi mereka tersalurkan. Dampak hukumnya kurang bahkan tidak ada, dibandingkan kalau mereka menyerbu kediaman presien dan merusaknya seperti dilakukan warga Desa Wangkung.

Ada perbedaan sikon, tentu, yang membuat aksi warga Desa Wangkung tidak mirip aksi para demonstran. Kendati demikian, pertanyaan kita tidak berhenti. Kenapa, hampir selalu, rumah yang jadi sasaran pengganti? Ini mungkin tidak bisa dijawab oleh psikologi. Coba kita serahkan ke ilmu lain: fenomenologi.

O.F.Bollnow, yang meneliti dan menulis buku tentang manusia dan ruang (1963) memberikan analisis fenomenologis tentang permukiman dan perumahan. Rumah atau tempat kediaman adalah pusat. Sejak bumi tidak lagi jadi pusat universum dan tidak ada negara yang bisa menganggap diri sebagai pusat dunia, tinggal hanya satu pusat dalam dunia luas, yaitu rumah.

Rumah ialah unsur yang memberi kemungkinan untuk dinamika dasar dari eksistensi manusia, yaitu pergi dan pulang. Pergi artinya masuk ke hal lain atau asing. Pulang artinya berada kembali dalam hal yang dialami sebagai milik kita sendiri (M.A.W. Brouwer, 1983). Milik di sini ialah tempat-diam. Bertempat-diam tidak terjadi otomatis. Mempunyai rumah belum tentu berarti mempunyai pusat yang menarik saat kita pulang. A house is not a home. Maka, manusia harus belajar jadikan rumah (house) sebagai habitat (home). Yaitu: tempat kita bisa berakar, ada perlindungan dan keamanan, yang membuat kita betah (at home).

Dari sisi tilik fenomenologis ini, merusak rumah sama dengan mencerabut seseorang dari tempatnya berakar. Demikian pula, menjadikan rumah sasaran pengganti pelampian kemarahan merupakan tindakan biadab. Para pelaku perusakan harus ditindak tegas.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Januari 2010

Frans Seda dan Gus Dur

Berpulangnya Dua Tokoh

Oleh Frans Anggal

Frans Seda dan Gus Dur berpulang. Frans Seda: putra Flores, Katolik, mantan menteri era Soekarno dan Soeharto. Gus Dur: putra Jawa, Islam, mantan presiden RI. Oleh atribut itu, keduanya berbeda. Oleh atribut lain, keduanya justru sama.

Sebagi tokoh nasional, keduanya terbuka dan percaya pada pluralisme dan multikulturalisme. Pluralisme titik beratkan keragaman dunia manusia pada tingkat individu. Sedangkan multikulturalisme tekankan keragaman dunia manusia pada tingkat puak, kaum, golongan. Seda dan Gus Dur pencinta pluralisme. Keduanya juga penutur, bukan penghancur, dunia multikultur.

Bagi puak, kaum, dan golongannya, Seda dan Gus Dur adalah duta yang mampu lakukan tawar-menawar bermartabat dengan puak, kaum, dan golongan lain. Mereka terpanggil lakukan itu demi harmoni sosial dalam Indonesia yang bineka. Meski, karenanya, mereka terkadang disalahmengerti, bahkan oleh puak, kaum, dan golongannya sendiri.

Keduanya saksikan sendiri, betapa sulitnya harmoni sosial itu terwujud. Konflik horizontal, itulah ancaman seriusnya. Olehnya, Indonesia tidak hanya hampir pecah berkeping-keping, tapi juga seperti kehilangan alasan untuk hidup bersama tanpa saling menghancurkan. Khusus bagi Gus Dur, konflik horizontal pernah begitu menyakitkan.

Dalam opininya, Majalah TEMPO (17-23 Juli 2000) menyatakan: hampir semua pengamat sepakat, Gus Dur tokoh sangat cerdas. Ia miliki visi kenegaraan cemerlang. Kredibilitasnya tinggi dalam perjuangan menegakkan demokrasi dan HAM. Ia pribadi yang melahirkan harapan tinggi ketika terpilih menjadi presiden. Dan harapan itu bukan tanpa dasar.

Sebagai seorang visioner, Gus Dur dianggap sebagai pilihan tepat untuk selamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi. Perjuangannya untuk menyuburkan semangat toleransi antarumat berbeda agama, puak, golongan, ras, bahkan ideologi boleh dikata mendekati legenda. Ia tak hanya teruskan jasa ayahnya mempersatukan kalangan Islam dan nasionalis dalam membentuk negara Indonesia, tapi juga mencerdaskan dan mempersiapkan bangsa menjadi anggota komunitas dunia yang diperhitungkan.

Betapa menyakitkan ketika konflik horizontal paling berdarah dan paling panjang justru terjadi pada masa pemerintahannya. Konflik Maluku, dst, dst. Selain menyakitkan, kenyataan ini menunjukkan satu hal. Konflik itu selalu ada, siapa pun presiden. Karena itu, pilihan realistis bukanlah bagaimana menghilangkan konflik, tapi bagaimana mengelola konflik. Huruf Cina untuk kata “krisis” terdiri dari dua huruf yang berarti ‘bahaya’ dan ‘peluang’.

Bila dikelola tepat, konflik berpeluang produktif. Berpeluang ciptakan perubahan positif. Konflik bisa bawa kita pada klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk cari penyelesaian. Tentu, dengan syarat: mengacu pada permasalahan, nilai, dan prosedur. Bukan pada stereotip, informasi sesat, dan komunikasi emosional.

Mengelola konflik menjadi peluang produktif, itulah kepiawaian Seda dan Gus Dur. Keduanya telah tunjukkan jalan. Jalan di sini bukan terutama soal cara, tapi pilihan sikap. Keduanya pencinta pluralisme serta penutur dan bukannya penghancur dunia multikultur. Itulah pilihan sikap. Pilihan tepat. Sebab, tanpa sikap seperti ini, cara apa pun hanya akan menjuruskan konflik menjadi ’bahaya’, bukan lagi ‘peluang’ harmoni sosial.

Tentang jalan itu, kita belajar banyak dari mereka. Kita pantas berterima kasih. Bersama pilihan sikap mereka, kita terus berlangkah sebagai bangsa. Dan, untuk keselamatan jiwa mereka, kita patut panjatkan doa. Requiescant in pace!

“Bentara” FLORES POS, Senin 4 Januari 2010