Kontroversi Kata "Allah" di Malaysia
Oleh Frans Anggal
Beberapa gereja di Malaysia dibakar. Ini terjadi di tengah kontroversi penggunaan kata ”Allah” oleh mingguan Katolik The Herald. Demikian warta Flores Pos Senin 11 Januari 2010.
Kontroversi sudah lama. Sejak 2007, pemerintah Malaysia melarang penerbitan Kristen gunakan kata “Allah”. Sebab, kata itu khusus milik umat Islam. Umat lain dilarang gunakannya sebagai sebutan untuk Tuhan mereka. The Herald bawa kasus ini ke pengadilan. Menang. Pembakaran gereja ada kaitan dengan ini.
Kita prihatin. Tidak hanya oleh pembakaran rumah ibadah itu, tempat Allah disembah. Tapi juga oleh kebijakan pemerintah Malaysia yang tidak benar.
Menurut Ulil Abshar-Abdalla (islamlib.com), pandangan bahwa kata “Allah” milik eksklusif umat Islam tidak ada presedennya dalam sejarah Islam. Sejak pra-Islam, masyarakat Arab sudah memakai nama Allah sebagai sebutan untuk salah satu Tuhan yang mereka sembah. Kata Allah sudah ada jauh sebelum Islam lahir di tanah Arab. Begitu juga, umat Kristen dan Yahudi yang tinggal di jazirah Arab dan sekitarnya memakai kata Allah sebagai sebutan untuk Tuhan. Semua Bibel versi Arab memakai kata Allah sebagai nama untuk Tuhan. Tak seorang pun sarjana Islam, yang pakai bahasa Arab sebagai bahasa ibu mereka, berkeberatan terhadap praktik yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun itu.
Selain itu, saling pinjam antara Islam, Kristen, dan Yahudi sudah berlangsung dari dulu. Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama dari rahim yang sama: tradisi Ibrahim. Karena asal-usulnya sama, lumrah jika terjadi pinjam-meminjam antara ketiganya. Berabad-abad, ketiga agama itu juga hidup berdampingan di jazirah Arab dan sekitarnya. Tak heran jika terjadi proses saling mempengaruhi.
Jadi, ini fenomena biasa dalam sejarah. Termasuk dalam sejarah di Indonesia. “Ketika agama Hindu-Budha masuk ke sini, bangsa Indonesia menyerap kata bahasa Sanskerta, ‘budaya’ dan ‘susila’ …. Ketika agama Islam masuk ke sini, bangsa Indonesia menyerap kata bahasa Arab, ‘adab’ dan ‘akhlak’ …. Ketika agama Serani masuk ke sini, bangsa Indonesia menyerap kata bahasa Latin, ‘etika’ dan ‘moral’….” Demikian Myrna, tokoh utama dalam novel Kerudung Merah Kirmizi, karya Remy Sylado (2002).
Semua kata itu kita terima sebagai pemerkaya bahasa. Begitu pula kata “Allah”, kita gunakan bersama. Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri mengartikan “Allah” secara inklusif. Tidak eksklusif milik umat Islam. “Allah: nama Tuhan dalam bahasa Arab; zat yang mahasempurna yang menciptakan alam semesta; Tuhan Yang Mahaesa yang disembah oleh orang yang beriman.”
Kalau berpikiran seperti Malaysia, Indonesia bisa berantakan. Orang Hindu dan Budha bisa saja larang orang lain gunakan kata ‘budaya’ dan ‘susila’. Orang Islam bisa saja larang orang lain gunakan kata ‘adab’ dan ‘akhlak’. Orang Kristen bisa saja larang orang lain gunakan kata ‘etika’ dan ‘moral’. Dunia juga bisa kacau-balau. Orang Yahudi bisa saja bilang, sebagian besar nabi dalam Alkitab dan Quran itu milik bangsa Yahudi. Maka, orang Serani dan Islam tak boleh menyebut nabi-nabi itu dalam semua terbitan.
Untung, kita tidak berpikiran seperti Malaysia. Kita lebih cerdas. Kesamaan istilah dalam agama bukanlah penyamaan dogma atau aqidah. Kesamaan istilah bukanlah sinkretisme. Ini yang kita banggakan. Karena itu, meskipun Taufiq Ismail dalam puisinya masih berkata malu menjadi orang Indonesia, kita tidak. Kita bangga. Indonesia masih menjadi rumah milik kita bersama.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 19 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar