Boroknya Birokrasi Pendidikan di NTT
Oleh Frans Anggal
Status kelulusan murid tamatan SDI Woang di Ruteng, Kabupaten Manggarai, tahun 2009, sungguh membingungkan. Bayangkan saja, mula-mula kelulusannya nol persen. Lalu berbalik 180 derajat menjadi seratus persen. Kemudian turun derajat menjadi 62 persen (Flores Pos Selasa 26 Januari 2010).
.
Pada pengumuman hasil UASBN reguler Juni 2009, kelulusannya dinyatakan nol persen. Orangtua mengamuk. Jalan keluar pun disepakati. Semua anak, 45 orang itu, ikut ujian paket A. Hasilnya luar biasa. Lulus semua, seratus persen. Hingga di sini, persoalannya dianggap sudah selesai.
Yang dianggap sudah selesai ini ternyata belum selesai. Lima bulan berselang, November 2009, muncul surat keterangan hasil UASBN reguler dari Kupang. Kelulusan UASBN reguler SDI Woang 2009 ternyata bukan nol persen seperti yang ’terlanjur’ diumumkan Juni 2009. Kelulusan ’versi’ baru menyebutkan kelulusannya 62 persen. Lulus 28, tidak lulus 17.
Secara teknis, dalam hal melanjutkan pendidikan, boleh dibilang tidak ada masalah. Kelulusan paket A itu sah. Dan karena semuanya lulus ujian paket A, ke-45 anak pun berhak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. De facto, jika tak ada halangan lain, semua mereka kini duduk di bangku kelas satu SLTP dan sebentar lagi akan naik ke kelas dua.
Apa yang oke secara teknis ini, belum tentu oke secara psikologis. Kelulusan nol persen itu pukulan berat. Tidak hanya bagi anak, tapi juga bagi guru dan orangtua. Ada perasaan gagal, sia-sia, dan sudah pasti kecewa. Terlebih kalau orientasi utamanya hasil, bukan proses. Terlebih kalau orientasi utamanya ijazah, bukan pengetahuan. Cepek-capek belajar, mengajar, dan ongkos enam tahun, hasil akhirnya nol koma nol. Kurang lebih begitu.
Dalam kegalauan seperti ini, ujian paket A tidak hanya menyelamatkan nasib anak, tapi juga melegakan baik anak maupun guru dan orangtua. Apalagi ketika hasilnya menakjubkan. Berbalik 180 derajat dari hasil UASBN reguler. Dari semula nol persen, ’tiba-tiba’ jadi seratus persen. Sayang, rasa plong ini cuma lima bulan. Anak yang sudah tenang dengan status lulus paket A, kini dirongrong kembali perasaannya oleh vonis tidak lulus November 2009.
Grafik emosi mereka sepertinya dipermainkan. Down-ups-down. Terempas-terangkat-terempas lagi. Beda dengan grafik emosi anak yang divonis lulus. Down-ups-ups. Malah, mereka yang lulus ini boleh bangga. Mereka menyandang dua status kelulusan sekaligus. Lulus UASBN reguler, juga lulus paket A. Jarang lho yang seperti ini. Mungkin hanya di NTT.
Apa yang mungkin membanggakan anak yang divonis lulus, dengannya mereka bisa menyandang dua status kelulusan sekaligus, sebenarnya sangat memprihatinkan kita. Kasus ini memperlihatkan betapa bobroknya birokrasi pendidikan di NTT, khususnya dalam penyelenggaraan ujian nasional.
Kita maklum, errare humanum est. Keliru itu manusiawi. Tapi kita juga tahu, tiap kekelirun mengharuskan perbaikan sesegera mungkin. Kenapa pembetulan pengumuman kelulusan UASBN SDI Woang baru muncul setelah lima bulan?
Kalau lima bulan itu ada alasannya, pemerintah wajib menjelaskannya secara transparan. Penyelenggaraan pendidikan, termasuk ujian nasonal, berada dalam ranah publik. Apalagi menggunakan dana publik pula. Karena itu, publik berhak untuk tahu. Dengan demikian, transpransi merupakan keharusan. Kita perlu tahu duduk soalnya. Daripadanya kita belajar dan berbenah. Agar tidak menjadi seperti keledai. Selalu terantuk pada batu yang sama.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 27 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar