5 Tahun 822 Kasus Kekerasan Seksual
Oleh Frans Anggal
Koordinator Divisi Perempuan TRUK-F, Suster Eustochia SSpS mengatakan, dari 822 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan yang ditangani lima tahun terakhir, ada lima kasus yang melibatkan pejabat publik Kabupaten Sikka.
”Saat ini, TRUK-F sementara tangani kasus pemerkosaan yang melibatkan salah satu anggota DPRD Sikka. Kami juga sedang tangani kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual oleh empat kepala desa. Para pelaku termasuk kategori pejabat publik,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Kamis 21 Januari 2010.
Kalau mau jujur, kita harus katakan tidak hanya 822 kasus. Yang 822 itu jadi ’kasus’ karena tersingkap. Lainnya, jauh lebih banyak, tersembunyi. Yang tersingkap itu hanya puncak gunung es. Yang tersembunyi, selain banyak, juga bervariasi. Kekerasan dan pelecehan seksual hanyalah salah satu dari aneka bentuk yang lahir dari relasi asimetri antara laki-laki dan perempuan.
Relasi asimetri sudah berlangsung lama. Juga sudah melembaga: dalam keluarga, masyarakat, bahkan negara. Di dalamnya, perempuan dan anak-anak selalu jadi korban. Bentuknya macam-macam.
Pertama, peminggiran (marjinalisasi). Banyak perempuan dapat pekerjaan tidak sebagus pekerjaan laki-laki. Ini karena perempuan tidak diberi peluang pendidikan seperti yang diperoleh laki-laki. Peminggiran bisa terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, negara, yang bersumber dari keyakinan dan tradisi.
Kedua, penomorduaan (subordinasi). Ada anggapan, perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng, dll. Ini mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki: di rumah, tempat kerja, masyarakat, dll.
Ketiga, pencitraan buruk (stereotip). Perempuan yang pulang larut malam dianggap sebagai pelacur, jalang, dll. Kalau laki-laki, tidak. Laki-laki yang pulang malam malah dianggap macho, pemberani.
Keempat, kekerasan (violence). Berupa serangan fisik dan psikis. Akibat dari marjinalisasi, subordinasi, dan stereotip tadi, perempuan rentan mengalami kekerasan. Perkosaan, pelecehan seksual, penjambretan paling banyak dialami perempuan.
Kelima, beban kerja berlebihan. Tugas dan tanggung jawab perempuan berat dan terus-menerus. Selain layani suami, perempuan hamil, melahirkan, menyusui, juga harus jaga rumah. Kadang merangkap mencari nafkah.
Anehnya, semua ini dianggap ‘wajar’. Kenapa? Relasi asimetri itu sesungguhnya relasi kekuasaan. Kekuasaan cenderung menormalisasinya: menganggapnya wajar. Kuatnya dominasi pihak menguasai terhadap yang dikuasai mengakibatkan relasi asimetri ‘diterima’ sebagai ‘kewajaran’.
Menurut filosof Michael Foucault, kekuasaan di sini bukan institusi, bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki, tetapi nama untuk situasi strategis kompleks dalam masyarakat. Di dalamnya, terjadi institusionalisasi kekuasaan yang melembaga dalam seluruh struktur hukum, politik, dan aturan sosial yang langgengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan.
Dalam konteks ini, kekerasan dan pelecehan seksual di Sikka harus disikapi serius. Khususnya oleh polisi, jaksa, dan hakim. Tidak menindak pelaku sama artinya dengan memandang perbuatannya wajar. Itu berarti polisi, jaksa, dan hakim melanggengkan relasi asimetri tadi. Kita berharap, mereka tidak begitu. Bersama TRUK-F dll, mereka harus jadi bagian terpadu kekuatan reformasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 22 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar