30 Maret 2009

Untuk Bupati Rotok

Pencabutan IzinTambang Mangan di Manggarai

Oleh Frans Anggal

Bupati Manggarai Christian Rotok mencabut izin operasi kuasa pertambangan PT Sumber Jaya Asia yang mengeksploitasi tambang mangan dalam kawasan hutan lindung RTK 103, hutan Soga 1 dan 2 di Kedindi, Reo. “Sikap kita tegas. Tak ada toleransi untuk perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam tambang dalam kawasan hutan lindung.”

Dalam kasus ini, kata Bupati Rotok, kuasa pertambangan tidak dapat dipersalahkan. Kuasa pertambangan mengantongi izin resmi yang diproses sejak 1990-an. Pemkab Manggarai juga tidak dapat dipersalahkan. Sebab, yang berwenang memberi izin kala itu adalah pemerintah pusat. Baru pada era otonomi daerah, kewenangan itu dilimpahkan ke tangan kepala daerah. Dengan kewenangan yang dimiliki itulah Bupati Rotok, kini, mencabut izin operasi kuasa pertambangan dimaksud.

Kita setuju dan dukung langkah tegas Bupati Rotok. Tetapi tidak untuk pernyataannya yang seolah-olah melemparkan kesalahan hanya kepada pemerintah pusat seraya ‘meluputkan’ kuasa pertambangan dan pemkab dari tanggung jawab.

Benarkah kuasa pertambangan tidak dapat dipersalahkan? Kalau dasarnya hanya selembar surat izin, itu sangat rapuh. Yang masih harus dilihat, bagaimana sampai surat izin operasi di kawasan hutan lindung itu bisa diterbitkan oleh pemerintah pusat. Apakah surat itu turun dari langit? Tanpa usaha sadar, terencana, dan sungguh-sungguh pihak kuasa pertambangan?

Seperti swasta lainnya, kuasa pertambangan merupakan kelompok yang mempunyai motif keuntungan sebagai nilai dan norma dominan dalam memerankan diri dalam pembangunan. Namun nilai dan norma itu harus tunduk di bawah dua hal: tujuan pembangunan dan peraturan perundang-undangan. Ketika dua hal ini tak dihiraukan hanya demi terbitnya selembar surat izin, kuasa pertambangan sudah bersalah dan karena itu patut dipersalahkan.

Atas cara yang lain, pemkab juga bersalah, meskipun bukan sebagai pihak yang kala itu berwenang menerbitkan surat izin. Kesalahan yang paling mungkin adalah pembiaran. Bupatilah yang empunya wilayah. Mengapa diam, takut, dan pasrah ketika hutan lindung di wilayahnya dihancurkan? Kesalahan menjadi lebih besar jikalau ia ikut bermain mata dan lalu mendapat ‘kehormatan’ yang dalam bahasa Inggris disebut honor.

Dalam eksploitasi tambang mangan di kawasan hutan lindung RTK 103, hutan Soga 1 dan 2 di Kedindi, Reo, semua pemangku kepentingan ikut bersalah. Pemerintah pusat, Pemkab Manggarai, dan kuasa pertambangan PT Sumber Jaya Asia.

Ini catatan kecil untuk Bupati Rotok. Catatan yang menyertai dukungan kita atas ketegasan sikapnya. Profisiat!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 31 Maret 2009

Kampanye Terbuka Masih Efektif

Oleh Frans Anggal

Tinggal beberapa hari lagi kampanye terbuka Pemilu 2009 yang dimulai 16 Maret akan segera berakhir. Hingga menjelang selesai, tampaknya kampanye terbuka tidak amat diandalkan oleh banyak kontestan pemilu. Di Ende, misalnya, partai sebesar PDI Perjuangan hanya memilih kampanye dialogis. Tidak demikian dengan partai besar lainnya, Partai Golkar, dan beberapa kontestan baru seperti Gerindra dan PKD Indonesia yang memecahkan rekor dalam pengumpulan massa.

Menggunakan dan tidak menggunakan kampanye terbuka pasti da alasannya. Bisa macam-macam. Bisa karena dana yang terbatas. Bisa pula karena adanya anggapan tertentu. Anggapan tentang efektif atau tidaknya kampenye itu.

Menurut anggapan yang satu, pengaruh kampanye terbuka relatif kecil. Anggapan ini didasari keyakinan bahwa jauh sebelum kampanye terbuka, para pemilih sudah mempunyai pilihan. Kampnye terbuka hanya meneguhkan apa yang sudah menjadi pilihan. Apalagi, sebelum jadwal kampanye terbuka dimulai, parpol dan caleg sudah berinteraksi dengan konstituennya selama delapan bulan. Sikap pemilih yang terbangun selama rentang waktu itu sulit berubah hanya oleh sebuah kampanye terbuka.

Anggapan yang lain memiliki dasar yang lain pula. Bahwa, kampanye terbuka punya potensi pengaruh, bahkan cukup besar. Potensi itu terletak pada diri para “pemilih mengambang” (floating voters atau swing voters). Di Indonesia, jumlah pemilih yang ‘belum punya sikap politik’ ini mencapai 30 persen. Kampanye terbuka dengan kemasan menarik, persuasif, dan meyakinkan berpeluang besar merebut suara kelompok ini, yang lazimnya ‘sana sini oke’.

Efeketivitas pengaruh kampanye terbuka menjadi semakin besar bila parpol dan caleg yang tampil dirasakan cocok dengan pola perilaku pemilih. Menurut Profesor Kacung Marijan dari FISIP Universitas Airlangga, di Indonesia, ada dua faktor penting yang mempengaruhi pilihan pemilih: faktor kepemimpinan dan faktor aliran atau ideologis.

Di dalam menentukan pilihan, para pemilih melihat siapa yang memimpin parpol. Pemilih PDIP, misalnya, lebih karena faktor Mega (Soekarno). Demikian pula pemilih PKDI di Flores, lebih karena faktor Johnny G Plate dan Ana Maria Soe yang notabene putra-putri Flores. PKDI digagas, didirikan, dan dikembangkan oleh putra-putri Flores di Jakarta, sebuah tonggak penting, pertama kali dalam sejarah NKRI.

Yang juga dilihat oleh pemilih Indonesia adalah aliran atau ideologi partai. Pemilih PAN banyak orang Muhammadiyah. Pemilih PKDI banyak orang Katolik dan Kristen. Kelompok minoritas ini mau menunjukkan hal penting kepada sesama saudaranya di negeri ini: “Kami juga ada. Kami pun berhak untuk tetap ada dan dihargai. Kami juga anak sah republik ini. Indonesia, rumah milik kita bersama.”

“Bentara” FLORES POS, Senin 30 Maret 2009

Kegagalan Satpol PP

Kasus Pembelian BBM Tanpa Izin di Manggarai

Oleh Frans Anggal

Di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, 5 orang dari berbagai kecamatan ditangkap polisi karena menjual solar dan bensin tanpa surat izin. Mereka tertangkap tangan di SPBU Carep dan SPBU Mbaumuku, dan telah ditetapkan jadi tersangka. Mereka dijerat pasal 16 ayat 1 dan 2 Perda No 8 Tahun 2008 tentang Usaha BBM. Ancaman hukuman 6 bulan penjara dan denda maksimal Rp5 juta.

Bagi yang mengenal kota Ruteng, penangkapan ini mengejutkan. Jangankan di pinggiran kota, di samping SPBU saja orang ramai menjual bensin dalam botol air mineral. Tak sedikit penjual botolan itu anak-anak di bawah umur. Apakah mereka mengantongi surat izin? Pasti tidak. Mengapa untuk pelanggaran sekasat mata seperti ini tidak ada penertiban? Aneh.

Mengharapkan semuanya dari polisi tidaklah realistis. Jumlah polisi terbatas. Pemerintah punya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tugas satuan ini rangkap dua. Ke dalam, menegakkan hukum di kalangan pamong praja atau PNS. Ke luar, membantu kepala daerah menegakkan perda dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Di Manggarai, soal usaha BBM, sudah ada perdanya. Dalam menegakkan perda ini, Satpol PP semestinya berada di lini terdepan. Demikian pula dalam pembinaan masyarakat. Dua-duanya harus seiring sejalan. Sayangnya, tidak seperti itu.

Satpol PP lebih mengedepankan fungsi penegakan aturan. Alhasil, citranya buruk. Aparat satuan ini kerap digambarkan sebagai sosok yang mengedepankan otot ketimbang otak dan hati. Citranya: kasar, angkuh, penindas orang kecil, dan kurang berperikemanusiaan.

Citra ini terbentuk karena salah Satpol PP sendiri. Terbangnya hanya pakai satu sayap. Sayap penegakan aturan. Padahal ia punya sayap lain. Sayap pembinaan masyarakat. Sayap ini mengepakkan usaha preventif agar masyarakat sadar hukum, sadar perda, dan paham akan pentingnya ketenteraman dan ketertiban. Kalau ia gunakan juga sayap ini, ia akan lebih humanis.

Dari sisi pandang ini, mari kita melihat tertangkapnya lima orang pembeli BBM tanpa surat izin itu. Dari sisi penegakan aturan, ini keberhasilan, keberhasilan polisi. Tapi dari sisi pembinaan masyarakat, ini kegagalan, kegagalan Satpol PP. Apa saja kerjanya sampai begitu banyak penjual BBM tanpa surat izin? Jangan-jangan perdanya disosialisasikan asal-asalan.

Menyedihkan, kalau orang-orang yang tertangkap itu tidak tahu bahwa mereka sedang melanggar perda. Kita mengecam instansi penegak perda yang hanya menunggu di tikungan (pelanggaran) dan lalai menempuh jalan panjang (pembinaan kesadaran masyarakat).

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 28 Maret 2009

Bukan Janji Tapi Bukti (?)

Slogan Kampanye Pemilu 2009

Oleh Frans Anggal

Ketua Dewan Pembina PKD Indonesia Johnny G Plate menyampaikan sesuatu yang menarik tentang “janji” dan “bukti” saat berkampanye terbuka di Lapangan Pancasila Ende, Selasa 24 Maret 2009. Di hadapan massa yang jumlahnya memecahkan rekor dalam pekan pertama masa kampanye, ia berkisah. Dalam perjalanan ke Ende ia melihat banyak poster dan spanduk berbunyi, “Bukan janji tapi bukti”.

Slogan itu sangat tepat, kata Johnny. Para empunya poster dan spanduk memang tidak membawa janji. Mereka membawa bukti. Bukti yang mereka bawa adalah: korupsi, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketertinggalan, dan ketertindasan yang masih merajalela. Itu yang mereka bawa, karena itulah yang mereka punyai dan mereka hasilkan selama ini.

Komentar Johnny merupakan cara membangkitkan dan mengasah sikap kritis masyarakat. Kritis terhadap slogan. Kritis terhadap bahasa. Sebab, dengan bahasa, orang bisa mengungkapkan sesuatu. Tapi dengan bahasa pula orang dapat menyembunyikan sesuatu. Dengan bahasa, orang bisa menyiramkan pencerahan. Dengan bahasa pula, orang bisa menularkan pembodohan. Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa juga menunjukkan bangsat.

“Bukan janji tapi bukti” sesungguhnya adalah janji juga. “Bukti” di sini cuma sebuah kata, bukan bukti itu sendiri. Bukti sebagai kata ini masih akan dibuktikan secara empiris, nanti, ‘kalau saya terpilih’. Kalau begitu, apa bedanya dengan janji? Tidak ada! Kepalsuan slogan inilah yang dibongkar Johnny Plate.

Mengkitisi slogan dan membongkar kepalsuan slogan ala Johnny G Plate merupakan salah satu bentuk pendidikan pemilih (voter education). Masyarakat perlu dimerdekakan dari belenggu bahasa yang membodohkan. Ini satu langkah penting agar pemilih bisa menjadi cerdas.

Pemilih cerdas selalu mengapiti para kandidat. Apit (amati, pilih, ikuti, dan tagih). AMATI para calon, termasuk slogan yang mereka gunakan. Perhatikan rekam jejaknya. Apakah ia orang bersih? Motivasinya apa? Jangan-jangan ia caleg penceker, bukan pejuang aspirasi rakyat. Kalau dapat dipercaya, PILIH! Kalau sudah terpilih, IKUTI! Kawal kinerjanya di lembaga legislatif. Kita tak inginkan calo proyek seperti banyak anggota dewan selama ini. Selanjutnya, TAGIH semua yang ia janjikan semasa kampanye. Mungkin ia salah satu pengusung slogan aneh “Bukan janji tapi bukti”. Nah, sekarang tagih, mana buktinya?

Dengan kecerdasan seperti ini, kita berharap para pemilih memanfaatkan hak mutlaknya di bilik suara dengan penuh tanggung jawab. Waktu di dalam bilik suara itu hanya 5 menit, dampaknya sangat dahsyat untuk 5 tahun ke depan.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 27 Maret 2009

Pemimpin dan Gajah Amuk

Bupati dan Ketua DPRD Manggarai Barat

Oleh Frans Anggal

Dalam dua pekan berturut-turut, kisah “nyaris baku hantam” mewarnai berita dari Manggarai Barat. Kamis 19 Maret 2009, koordinator demo warga tiga desa Yuven Maldi nyaris bentrok dengan Bupati Fidelis Pranda dalam dialog soal PLTA Wae Ngele yang tidak berfungsi. Selasa 17 Maret 2009, Ketua DPC PPDI Yohanes Bosco perang mulut dengan Ketua DPRD Mateus Hamsi soal PAW anggoda dewan yang menjadi caleg dari partai lain.

Yang satu petinggi eksekutif. Yang lain petinggi legislatif. Elite politik lokal. Seelite-elitenya, mereka juga manusia. Bisa marah. Bisa amuk. Sampai di sini, kita pahamlah. Lagi pula, “amuk” itu kata khas Melayu. Tak ada padanannya dalam bahasa Inggris sehingga diinggriskan saja menjadi amok dan to run amuk.

Wikipedia menjelaskan, kata amok digunakan di India pada masa penjajahan Inggris. Mulanya untuk melukiskan kemarahan gajah yang dipisahkan dari kawanannya dan menjadi liar serta merusak apa saja. Amok kemudian menjadi populer melalui kisah-kisah penjajahan karya Rudyard Kippling. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini diasosiaksikan dengan penyakit sosial dalam budaya Melayu. Bangsa Melayu dikonotasikan sebagai bangsa yang gampang amuk.

Fidelis Pranda yang bupati dan Mateus Hamsi yang ketua dewan berdarah Melayu juga. Apakah karena itu mereka berhak untuk mudah mengamuk? Pasti tidak. Persoalannya bukan Melayu-nya, tetapi jabatan dan fungsinya sebagai pemimpin.

Dalam budaya kita, suka atau tidak suka, pemimpin dianggap sebagai panutan. Orang Prancis bilang noblesse oblige, kebangsawanan itu mewajibkan. Status sosial lebih tinggi menurunkan kewajiban lebih banyak, termasuk dalam memberikan teladan. Padahal, pemimpin juga manusia seperti yang lain. Ini yang tidak adil: kalau berbuat baik dan benar, pemimpin dianggap biasa saja karena begitulah seharusnya seorang panutan. Seakan-akan keteladanannya bukan hasil perjuangan pribadinya. Sebaliknya, kalau berbuat salah, ia dikecam. Ia diperlakukan tidak sebagai manusia biasa. Ini tidak demokratis.

Demokrasi tidak mengandaikan pemimpin itu tidak punya kesalahan. Kesalahan harus diandaikan ada. Sikap yang dituntut hanyalah kesiapan dikoreksi. Berani mengakui kesalahan, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi.

Kembali ke soal dua elite politik Manggarai Barat, maka pertanyaan kita: setelah kejadian “nyaris baku hantam” itu, lalu apa? Tanpa kesediaan mengakui kesalahan dan memperbaikinya, apa bedanya mereka dengan gajah amuk?

“Bentara” FLORES POS, Rabu 25 Maret 2009

Kasus PLTU Ropa Selesai?

Oleh Frans Anggal

Setelah setahun lebih berjuang, akhirnya 11 pemilik tanah lokasi PLTU Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, mendapatkan hak ganti rugi. PLN Flores Bagian Barat membayar Rp900 juta. Ini pembayaran tambahan karena sebelumnya 7 pemilik tanah yang lain telah menerima sebagian ganti rugi Rp340-an juta. Dengan demikian, total pembayaran Rp1,24 miliar. Jumlah ini tidak sesuai dengan kesepakatan awal Rp2,8 miliar. Ke-11 pemilik tanah hanya menerima 43,315 persen. Mereka rela berkorban demi kepentingan umum.

Untuk NTT yang tingkat elektrifikasinya masih rendah, PLTU Ropa merupakan proyek terbesar dari yang pernah ada. Proyek yang didanai APBN ini merupakan satu dari empat proyek Engineering Procurement & Construction (EPC) PLTU program percepatan 10 ribu MW di luar Jawa. Dikerjakan oleh pengembang Konsorsium PT Rekadaya Elektrika dan Shangdong Machinery I&E Group Co. Nilai kontraknya ratusan miliar rupiah (19.768.025,22 dolar AS). PLTU ini membutuhkan batu bara 120 ribu ton per tahun, sehingga dapat menghemat BBM Rp242 milar per tahun.

Proyek mulai bermasalah ketika 11 dari 12 pemilik tanah menolak menandatangani berita acara pelepasan tanah. Alasan mereka, uang ganti rugi tidak diberikan penuh oleh Tim Sembilan, panitia pengadaan tanah bentukan Pemkab Ende. Padahal, PLN selaku pemilik proyek sudah menyerahkan semua ganti rugi Rp6 miliar melalui Tim Sembilan. Tim tidak menyetor langsung ganti rugi kepada masing-masing pemilik tanah. Uang diserahkan kepada seorang perantara. Dari perantara inilah ke-11 pemilik tanah menerima dana dalam jumlah tidak utuh.

Tim Sembilan bertanggung jawab. Setahun lewat, wujud tanggung jawabnya tidak jelas. Tim tidak berdaya menarik kembali uang dari tangan perantara untuk diteruskan kepada 11 pemilik tanah. Ini yang mencengangkan. Akhirnya, PLN mengeluarkan lagi dana Rp900 juta. Asisten I Setda Ende Hendrik Seni yang adalah Wakil Ketua Tim Sembilan mengatakan gembira karena persoalan sudah selesai.

Selesai? Belum! Ini baru soal ganti rugi. Masih ada tunggakan. Yaitu penarikan kembali dana PLN yang disalahserahkan Tim Sembilan kepada perantara. Ini dua kasus berbeda. Menyelesaikan yang satu tidak otomatis menyudahi yang lain.

Dana PLN yang disalahserahkan itu uang negara. Uang negara harus diselamatkan. Tidak boleh dibiarkan tidak jelas hanya karena ganti rugi sudah beres. Membiarkannya sama artinya dengan bersekongkol. PR buat PLN dan Tim Sembilan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 24 Maret 2009

Kapolres Pembohong dari Ngada

Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr

Oleh Frans Anggal

Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota kecewa dengan hasil kerja Polres Ngada dalam penanganan kasus kematian Romo Faustin Sega Pr. Dalam paparan kepada Kapolda NTT Antonius Bambang Suedi, Kapolres Edy Swahariyadi mengarahkan kasus Romo Faustin pada kematian wajar.

Kepada kapolda, kapolres tidak menunjukkan surat hasil autopsi jenazah yang dilakukan ahli forensik UI, Abdul Mun’im Idries. Selain tidak menunjukkan surat, ia juga memanipulasi isi surat. Hal ini diketahui dari pernyataan pers kapolda.

Kata kapolda, berdasarkan hasil autopsi, Romo Faustin meninggal secara wajar. Tidak ada tindak kekerasan. Tidak ada retak di kepala. Cuma memar, itu pun karena dipijat. Sedangkan gumpalan dan pembekuan darah di bagian belakang kepala terjadi karena belakang kepala menjadi tumpuan saat korban tidur. Karena tidak ada tindak kekerasan, sejumlah tersangka dibebaskan. Tinggal satu tersangka, Theresia Tawa. Ia bersalah ‘hanya’ karena meninggalkan korban saat meninggal dan tidak melaporkan kejadian.

Kapolda baru ‘kaget ‘ setelah bertemu uskup. Uskup menunjukkan surat hasil autopsi. Isinya sangat jauh dari isi paparan kapolres. Hasil autopsi jelas-jelas menyebutkan korban meninggal akibat tindak kekerasan dengan benda tumpul. Ada retak, pendarahan, dan pembengkakan pada kepala. Juga pembengkakan tulang rawan tenggorokan akibat tekanan benda tumpul dan pencekikan.

Setelah bertemu uskup, kapolda langsung mengambil sikap. Penanganan kasus diambil alih oleh polda. Ini langkah tepat. Polres Ngada tidak bisa dipercaya. Di mata publik, Edy Swahariyadi itu kapolres pembohong. Sudah tiga kali ia berbohong dalam kasus yang sama.

Pembohongan pertama. Ia mengaitkan kematian Romo Faustin dengan kasus amoral. Sasarannya: kasus didiamkan karena akan menjadi aib bila diekspose melalui proses hukum.

Pembohongan kedua. Ia memanipulasi hasil visum et repertum dokter RSUD Bajawa. Kata dia, menurut hasil visum, korban meninggal karena serangan jantung dan hipertensi. Pembuat visum sendiri tidak memberikan simpulan seperti itu. Dokter pembuat visum hanya melakukan pemeriksaan luar.

Pembohongan ketiga. Ia memanipulasi hasil autopsi jenazah. Pembohongan kali ini langsung ia tujukan telak-telak kepada atasannya sendiri, kapolda.

Sikap kapolda mengambil alih penanganan kasus ini sangat tepat. Tepat, tidak hanya untuk segera menemukan fakta dan menyingkapkan kebenaran demi tegaknya keadilan, tetapi juga untuk segera mengakhiri sepak terjang si pembohong yang notabene beratribut kapolres.

“Bentara” FLORES POS, Senin 23 Maret 2009

Sesat Pikir Kapolres Sikka

Kasus Kematian Andri Haryanto

Oleh Frans Anggal

Kapolres Sikka Agus Suryanto mengatakan, ia tidak mengeluarkan surat pengantar dan izin autopsi ulang jenazah Andri Haryanto karena autopsi ulang bertentangan dengan kode etik kedokteran.

“Sebelumnya autopsi sudah dilakukan dan sampelnya diteliti oleh dokter ahli forensik dari Labfor Polda. Hasil autopsi juga sudah diumumkan bahwa Andri murni bunuh diri. Sangat tidak etis apabila dilakukan autopsi ulang.”

Kalau kita bolak-balik Kode Etik Kedokteran Indonesia termasuk penjelasan dan pedoman pelaksanaannya, ihwal autopsi ulang tidak ditemukan. Mana dari 17 pasal kode etik itu yang secara tersurat menjadi rujukan Kapolres Sikka tidaklah jelas.

Yang sedikit mendekati konteks, itu pun kalau dipaksa-paksa, paling-paling pasal 15, soal kewajiban dokter terhadap teman sejawat. “Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.”

Seandainya pasal ini yang menjadi rujukan Kapolres Sikka, seyogianya ia tidak berhenti di situ. Baca penjelasan dan pedoman pelaksanaannya. Bunyinya begini: “Biasanya kalau seseorang sudah percaya pada seorang dokter maka dokter tersebut akan dicari terus walaupun jauh dari rumahnya.” Namun terjadi juga, karena diburu oleh keinginan untuk lebih efisien, ingin segera sembuh, “banyak pasien yang walau baru berobat satu hari tapi belum sembuh, pada hari kedua telah ke dokter yang lain. Dalam hal seperti ini, dokter kedua yang menerima tidak dapat dikatakan merebut pasien dari dokter pertama. Seseorang yang telah kehilangan kepercayaan pada seorang dokter, tidak dapat dipaksa untuk kembali mempercayainya.”

Kalau pedoman dan penjelasan ini dikontekskan pada autopsi ulang jenazah Andri, poinnya tetap sama. Yaitu, kepercayaan, dalam hal ini kepercayaan keluarga Andri. “Seseorang yang telah kehilangan kepercayaan pada seorang dokter, tidak dapat dipaksa untuk kembali mempercayainya.”

Keluarga Andri lebih mempercayai ahli forensik UI Abdul Mun’im Idries ketimbang tim forensik Polda Bali. Dokter Mun’im pun bersedia melakukan autopsi ulang. Karena dasarnya adalah kepercayaan keluarga korban maka Dokter Mun’im tidak dapat dikatakan merebut autopsi jenazah. Karena itu, tidak dapat pula dikatakan bahwa autopsi ulang jenazah Andari itu tidak etis atau melanggar kode etik kedokteran seperti dikatakan Kapolres Sikka.

Semakin jelas, alasan etis yang digunakan Kapolres Sikka sangatlah rapuh. Sepertinya dia sekadar omdo, omong doang. Omdo-nya pun tidak tahu diri. Penegak hukum koq mendasarkan putusan hukum pada kode etik kedokteran yang justru tidak masuk ranah hukum. Ia sedang sesat pikir. Semoga cepat sadar. Dia itu Kapolres Sikka, bukan Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 21 Maret 2009

Pujian buat Polres Ende

Tertangkapnya Seorang Penjambret

Oleh Frans Anggal

Setelah mengintai beberapa minggu, tim gabungan Polres Ende, Polsek Ende, dan Brimob Ende akhirnya menangkap seorang penjambret yang selama ini meresahkan warga Kota Ende. Pelaku adalah orang lokal. Dari tangannya diamankan barang bukti empat unit HP serta surat-surat. Ada rekening listrik, rekening air, KTP, kartu pegawai negeri, dan foto. Barang-barang ini merupakan isi tas para korban jambret.

“Bentara” Flores Pos edisi Jumat 27 Februari 2009 yang menyorot maraknya jambret di Kota Ende pernah menantang Polres Ende dengan sebuah judul, “Kapan Polres Ende Jadi Pemenang?” Pertanyaan itu kini terjawab. Polres Ende sudah jadi pemenang. Penjambret sudah ditangkap. Profisiat!

Langkah sigap Polres Ende telah memenuhi apa yang antara lain diharapkan Presiden SBY pada acara Program Reformasi Birokrasi Polri, di Mabes Polri, Jakarta, 30 Januari 2009. “Negara tidak boleh kalah sama kejahatan. Negara tidak boleh kalah sama premanisme. Risikonya ada, tapi hadapi bersama.”

Lebih daripada sekadar memenuhi harapan presiden, langkah ini merupakan penunaian tugas konstitusional Polri. Oleh UUD 1945, polisi diberi tugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat; melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat; serta menegakkan hukum.

Dalam konteks Program Reformasi Birokrasi Polri, langkah Polres Ende merupakan bentuk nyata penerapan Quick Wins. Yaitu, peningkatan layanan publik Polri terhadap masyarakat dalam bentuk quick respons atau respon cepat, tanggap terhadap permasalahan masyarakat, dan zero complain atau pengurangan keluhan masyarakat. Salah satu bagian dari Quick Wins adalah Call Center 112. Lewat call center, masyarakat bisa langsung menghubungi polisi bila ada kejahatan di jalanan. Tinggal tekan nomor 112 yang langsung diangkat polisi, pelaku kejahatan bisa langsung dilibas.

Sembari menyampaikan pujian, kita menitipkan harapan pada Polres Ende. Harapan dalam spirit Quick Wins. Selain sebagai abdi negara, polisi adalah abdi masyarakat. Kata kunci seorang abdi hanya satu: pelayanan bermutu. Cirinya ada empat: baik, cepat, murah, dan mudah. Pelayanan itu pun mesti semakin lama semakin bagus (better), semakin cepat (quicker), semakin murah (cheaper), dan makin mudah (easier).

Mampukah Polres Ende memenuhi harapan seperti ini? Harus! Tak boleh pake tapi-tapian. Ini bagian integral dari Program Reformasi Birokrasi Polri. Kalau tidak mampu, mendingan sekalian jangan jadi polisi, jangan jadi kasat, jangan jadi kapolres. Polres Ende harus semakin lama semakin baik, so far so good. Jangan seperti polres lain di Flores ini, so far so what gitu lho.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 20 Maret 2009

Deklarasi Tontonan

Kampanye Pemilu 2009

Oleh Frans Anggal

Bertempat di arena pameran Fatululi, Kota Kupang, Senin 16 Maret 2009, sebanyak 38 parpol peserta pemilu legislatif dan 40 caleg DPD RI secara bersama-sama menandatangani dan mendeklarasikan kampanye damai.

Kegiatan serupa dibuat di banyak tempat di Indonesia. Di pusat, KPU menyelenggarakanya Sabtu malam (12/7) di Ruang Sidang Utama Lt. II Gedung KPU, Jln. Imam Bonjol 29, Jakarta.

Isi deklarasi dari Sabang sampai Marauke sama saja. Seputar tekad agar kampanye berjalan damai, tertib, aman, lancar, sesuai dengan aturan. Kampanye ditekadkan edukatif, penuh tanggung jawab, demi terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa, serta tidak terkotak-kotaknya masyarakat oleh perbedaan ideologi dan aliran. Kampanye diharapkan mampu mengajak masyarakat menggunakan hak pilih. Juga memudahkan mereka mengenal parpol peserta pemilu sehingga bisa menentukan pilihan secara cerdas.

Isi yang sama dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pemilu ke pemilu lain, dengan tata cara yang itu-itu juga, bisa membuat deklarasi mengalami erosi makna. Semua pernyataan yang adalah ikrar bisa kehilangan daya gugahnya. Terdengar klise, hambar. Masuk di telinga kiri, keluar di telinga kanan.

Ambil contoh. Ikrar kampanye damai di Ende. Anak-anak di bawah umur diikutsertakan. Saat berpawai keliling kota, mereka mengibar-ngibarkan bendera parpol sambil berteriak-teriak. Parpol telah melibatkan atau lebih tepat memperalat anak-anak untuk tujuan politik. Ini jelas-jelas dilarang oleh aturan, tetapi jelas-jelas juga dilanggar dengan telanjang. Bayangkan, pada waktu yang sama, parpol yang berikrar, parpol juga yang ingkar.

Yang mencengangkan, mereka begitu bebas merdekanya. Di mana saja dan apa saja kerjanya lembaga yang dinamakan panitia pengawas pemilu atau panwaslu? Untuk pelanggaran kasatmata seperti ini saja mereka bungkam seribu bahasa, bagaimana mungkin mereka bisa menertibkan pelenggaran tersembunyi yang selama ini sudah marak dilakukan para caleg? Bagi-bagi uang, beras, kain, benang, semen, dll.

Sekarang, ketika musim kampanye resmi tiba, parpol dan caleg pelanggar aturan itu ikut serta mendeklarasikan kampanye damai. Di atas pentas, mereka seakan-akan tampil sebagai orang bersih sehingga merasa berhak mengimbau masyarakat calon pemilih agar menaati aturan kampanye.

Apa yang bisa dipercaya dari deklarasi oleh para badut politik ini? Tidak ada. Masyarakat tidak mudah percaya ucapan mulut. Mereka lebih suka lihat jejak kaki. Bagi mereka, di tangan para badut politik, deklarasi hanyalah tontonan, bukan tuntunan. Tanpa deklarasi-deklarasian, kampanye bisa damai, kalau semua ikut aturan.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 18 Maret 2009

Autopsi Ulang Itu Verifikasi

Kasus Kematian Andri Haryanto di Sikka

Oleh Frans Anggal

Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) akan berkoordinasi dengan Kapolri Bambang Hendarso Danuri untuk kepentingan autopsi ulang jenazah Andri Haryanto. Langkah ini ditempuh TPDI karena Kapolres Sikka Agus Suryatno menolak memberikan surat pengantar dan izin autopsi ulang.

Sejauh diberitakan Flores Pos, alasan penolakan Kapolres Sikka berubah-ubah. Sebelumnya ia mengatakan, autopsi ulang itu tidak etis. Pada kesempatan lain ia beralasan autopsi tidak diperlukan karena hasil autopsi yang dilakukan tim forensik Polda Bali sudah benar. Ia menilai tim forensik Polda Bali “sudah bekerja secara profesional dan independen.”

Kapolres Sikka menggunakan ‘etika’ dan ‘kebenaran’ sebagai alasan menolak mengeluarkan surat pengantar dan izin autopsi ulang. Kita tidak mendapat penjelasan, pelanggaran etika seperti apa yang dilakukan untuk suatu tindakan mencari kebenaran.

Tujuan autopsi ulang adalah mencari kebenaran. Kebenaran hakiki hanya bisa diperoleh malalui verifikasi atau pengujian dan pembuktian yang sering tidak cukup hanya sekali dilakukan. Tim forensik Polda Bali sudah melakukannya melalui autopsi. Hasilnya, korban meninggal gantung diri. Hasil autopsi cocok dengan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP), pemeriksaan saksi, dan visum dokter. Polres Sikka pun menutup kasus ini.

Katakanlah, gantung diri itu merupakan kebenaran menurut hasil kerja tim polda dan polres. Apakah lalu kebenaran itu hanya boleh diterima begitu saja? Sama sekali tidak! Setiap kebenaran harus terbuka terhadap pengujian. Kebenaran hanya boleh diterima sebagai kebenaran bila telah melewati verifikasi. Dalam hal sebab kematian Andri, autopsi ulang merupakan upaya verifikasi itu. Tujuannya agar sebab sebenarnya kematian Andri bisa ditemukan.

Hukum kita yang tahu dan menghargai apa itu kebenaran tidak melarang autopsi ulang sebagai sarana verifikasi. Karena itu, dasar penolakan kapolres Sikka memberikan surat pengantar dan izin autopsi ulang sangatlah rapuh. Rujukan hukum dan rujukan etikanya tidak jelas dan kemungkinan besar tidak ada. Karena itu, tidak berlebihan kalau kita mengatakan, penolakannya hanya dilandasi suka dan tidak suka saja.

Kita berharap Kapolri tidak memiliki sikap yang sama seperti kapolresnya. Permohonan autopsi ulang yang diajukan TPDI perlu dipertimbangkan urgensinya dalam konteks mencari kebenaran. Hanya atas dasar kebenaran, keadilan bisa ditegakkan. Tanpa kebenaran, keadilan itu absurd. Demikian juga sebaliknya.

Untuk Kapolres Agus Suryanto, sekali lagi kita menegaskan: semua upaya mencari kebenaran atas cara yang benar adalah etis. Yang tidak etis justru upaya penghindaran.

"Bentara" FLORES POS, Selasa 17 Maret 2009

Kadis Juit Tidak Sendirian

Kasus Korupsi Dinas PPO Manggarai

Oleh Frans Anggal

Kejaksaan Negeri Ruteng memeriksa 30-an kepala SD/SDI Manggarai terkait kasus dugaan korupsi dana alokasi khusus (DAK) untuk pengadaan buku dan alat peraga sekolah tahun 2007 senilai Rp600 juta. Jumlah sekolah penerima dana 78. Setiap sekolah mendapat Rp100 juta. Dengan demikian, total alokasi anggaran mencapai Rp7,8 miliar. Dalam kasus ini, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Tadeus Juit dan stafnya Yosef Labu telah ditetapkan menjadi tersangka.

Kinerja PPO Manggarai di bawah Tadeus Juit sudah lama menjadi sorotan publik. Ibu kota Ruteng yang temperaturnya dingin sering dibikin panas oleh dinas yang satu ini. Dari segi dana, dinas ini dinas ‘subur’. Kedudukan sebagai kepala dinas pun dianggap dan dirasakan sebagai kududukan ‘basah’. Maka sering menjadi rebutan. Diperebutkan, bukan karena niat luhur hendak memajukan pendikakan, tapi karena niat egoistik hendak memperkaya diri.

Sedikit filosofis, kita bisa mengatakan, dalam perebutan kedudukan dan jabatan di dinas ini (dan banyak dinas lain), orientasinya adalah to have and to have more (memiliki dan memiliki lebih banyak), bukan to be and to be better (menjadi dan menjadi lebih baik). Alhasil, mutu pendidikan menurun, kesejahteraan pejabat meningkat. Sekolah-sekolah jalan di tempat, pejabat jalan ke mana-mana.

Amat disayangkan jikalau dinas yang diandalkan sebagai garda terdepan penyiapan generasi penerus bangsa menjadi dinas sarang penyamun. Nilai adiluhung apa yang bisa ditawarkan kepada dunia pendidikan apabila hasratnya cuma ‘makan’: enaknya makan apa, makan di mana, dan makan siapa.

Kita patut bersyukur, sebelum lebih banyak lagi yang ‘dimakan’ di Dinas PPO Manggarai, BPKP akhirnya berhasil menemukan penyimpangan DAK senilai Rp600 juta. Ini baru dari satu butir mata anggaran. Entahlah kalau alokasi dana lain diperiksa secara cermat, serius, dan kebal sogokan.

Isu dugaan korupsi pada Dinas PPO Manggarai sudah cukup lama santer. Bocoran hasil pemeriksan BPKP juga sudah lama pula menjadi rahasia umum. Yang sering menjadi hambatan adalah keseriusan dan keberanian pihak kejaksaan, sebagaimana umumnya pada banyak daerah lain. Tapi khusus untuk Kejaksaan Negeri Ruteng saat ini, acungan jempol pantas kita berikan. Di bawah Kajari Timbul Tamba, Manggarai mulai dicuci. Langkahnya patut didukung dan dihargai.

Kita berharap, langkah kejaksaan ini menjadi awasan pula bagi bupati dan wakil bupati. Pilihlah kepala dinas yang becus. Cara ini akan segera mengakhiri isu lain, bahwa di Manggarai dinas-dinas sudah ‘dibagi’. Orang di Ruteng tahu, misalnya, dinas PPO itu ‘jatah’-nya siapa. Karena itu, dalam kasusnya, Kadis Juit tidak sendirian.

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 14 Maret 2009

Ketika Alex Longginus Ditahan

Kasus Dana Purnabakti DPRD Sikka

Oleh Frans Anggal

Puluhan orang mendatangi Kejaksaan Negeri Maumere. Mereka meminta penangguhan penahanan bagi mantan Bupati Sikka Alexander Longginus, tersangka kasus korupsi dana purnabakti DPRD Sikka periode 1999-2004. Dalam permohonan penangguhan penahanan, yang dijadikan jaminan adalah istri tersangka, penasihat hukum, DPC PDIP Kabupaten Sikka, dan anggota DPRD dari Fraksi PDIP. Alex Longginus adalah Ketua DPC PDIP Kabupaten Sikka.

Menurut Kajari Sudarman, khusus untuk kasus korupsi, narkoba, illegal logging, dan illegal fishing, penangguhan penahanan merupakan kewenangan kejaksaan tinggi. Oleh karena itu, surat permohonan itu akan ia teruskan ke Kejati NTT di Kupang.

Kasus korupsi dana purnabakti DPRD Sikka merugikan negara Rp 276,5 juta. Kasus ini melibatkan semua mantan anggota DPRD periode 1999-2004. Kasus displit dalam empat berkas perkara. Berkas pertama dengan tersangka tiga mantan pimpinan DPRD. Berkas kedua dengan 27 tersangka mantan anggota DPRD. Berkas ketiga dengan tersangka Bupati Sikka Alexander Longginus. Berkas keempat dengan tersangka mantan Sekab Sikka.

Sebelum Alex Longginus, tiga mantan pimpinan DPRD, AM Keupung, OLM Gudipung, dan Stefanus Wula, sudah diproses hukum hingga tingkat kasasi. Oleh Mahkamah Agung, ketiga terdakwa divonis bersalah. Putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Maumere dibatalkan. Selama proses hukum, ketiga orang ini tidak ditahan. Menjadi pertanyaan, mengapa perlakuan yang sama tidak dinikmati Alex Longginus?

Kajari Sudarman beralasan, “Memang waktu itu kebijakan pimpinan lama.Tapi mereka kan umurnya sudah 70 tahun. Sementara Pa Alex kan masih muda.”

Sangat jelas, alasan yang digunakan sangat subjektif dan merujuk pada “kebijakan pimpinan”. Ini bukan alasan yuridis formal. Alasan seperti ini tidak memberikan kepastian hukum dan tidak menjamin persamaan perlakuan di depan hukum. Ganti pimpinan, ganti kebijakan. Perlakuan hukumnya akan mudah tebang pilih, ikut ‘mau’-nya pimpinan yang disebut sebagai ‘kebijakan’ itu.

Kita memiliki KUHAP. Tentang perlu tidaknya seseorang ditahan telah diatur di sana. KUHAP-lah yang semestinya digunakan, bukan “kebijakan pimpinan”.

Pada masa Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, pernah keluar surat yang bertentangan dengan KUHAP. Kejari dan kejati dilarang memberikan penangguhan penahanan. Alasannya, penangguhan penahan sering dimanfaatkan koruptor untuk melarikan diri ke luar negeri. Aneh, “kebijakan pimpinan” dijadikan hukum.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 13 Maret 2009

Polda NTT Cuma Nonton?

Polisi Ngada Terlibat Kasus Cendana

Oleh Frans Anggal

Penyelundupan kayu cendana ilegal oleh dua oknum polisi di Ngada kembali digagalkan babinsa Wolomeze, Serka Nikolaus Nae Ria. Kayu ditemukan di rumah Purnomo di Watujaji, 68 batang, seberat 581 kg. Menurut Purnomo, kayu itu mau dibawa ke Jawa, milik dua oknum polisi, Agus dan Andi. Sebelumnya, kedua oknum ini tertangkap tangan saat mengangkut kayu cendana dari Desa Nginamanu menuju Bajawa. Ketika diinterogasi, keduanya mengatakan mereka hanya melaksanakan perintah Kapolres Ngada Erdy Swahariyadi. Keduanya sudah ditetapkan menjadi tersangka.

Mari sejenak perhatikan kronologinya. Polisi Agus dan Andi tertangkap tangan pada Februari 2009. Akhir Februari, keduanya ditetapkan menjadi tersangka. Awal Maret, kayu selundupan milik keduanya yang siap diangkut ke Jawa ditemukan di Watujaji.

Kronologi ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, kegiatan ilegal itu masih berlangsung kendati kedua oknum sudah menjadi tersangka dan dijebloskan ke ruang tahanan polres. Menurut penuturan Purnomo, kedua oknum mengangkut kayu ke rumahnya pada 26 dan 27 Februari, menggunakan sepeda motor. Dua tanggal ini berdekatan bahkan mungkin bersamaan dengan tanggal ditetapkannya kedua oknum menjadi tersangka. Koq biasa ya, tersangka masih memiliki keleluasaan melakukan perbuatan melawan hukum yang justru sedang disangkakan kepadanya.

Kedua, leluasanya kedua tersangka tetap melakukan perbuatan melawan hukum yang sedang disangkakan menunjukkan keduanya tidak bekerja sendirian. Mereka punya ‘rekan’ mungkin juga ‘atasan’ dalam lingkup Polres Ngada.

Ketiga, langsung atau tidak langsung, Polres Ngada patut dapat diduga terlibat. Minimal adanya pembiaran, sehingga kedua tersangka gampang-gampang saja pergi pulang Bajawa-Watujaji. Bahkan, kita patut dapat menduga, lebih daripada pembiaran, keleluasaan mereka merupakan hal yang “sudah diatur”. Terutama bila kita kaitkan dengan keterangan saat tertangkap tangan bahwa mereka hanya melaksanakan perintah Kapolres Ngada Erdy Swahariyadi.

Ketiga hal di atas semakin menggumpalkan pesimisme masyarakat akan tuntasnya kasus ini di tangan Polres Ngada. Karena itu, desakan publik agar kasus ini ditangani Polda NTT semakin memiliki dasar pembenarannya. Polres Ngada di bawah Kapolres Erdy Swahariyadi diyakini tidak bakal menyelesaikan masalah ini sampai ke akar-akarnya.

Kita berharap polda tanggap. Kasihan citra Polri. Polri sudah luncurkan program Quick Wins. Ingin raih keberhasilan dengan segera: raih kepercayaan dan kecintaan publik. Di Ngada, semuanya itu berantakan dan hancur-hancuran. Polda cuma nonton?

"Bentara" FLORES POS, Kamis 12 Maret 2009

Razia Pajak ala Manggarai

Oleh Frans Anggal

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dispenda Provinsi NTT di Manggarai berencana melakukan razia kendaraan bermotor dari rumah ke rumah, dimulai dari kota Ruteng. Langkah ini ditempuh karena memasuki bulan ketiga 2009, penerimaan dari pajak kendaraan bermotor baru mencapai 22 persen dari target Rp3miliar lebih.

“Kita kunjungi tiap rumah, entah yang memiliki kendaraan atau tidak. Operasi ini bertujuan untuk memotivasi pemilik kendaraan akan pentingnya membayar pajak,” kata kepala UPT Yoseph Ardis.

Tunggakan pajak kendaraan bermotor terjadi karena berbagai faktor. Faktor lingkungan, seperti krisis ekonomi, kendaraan bermotor pindah alamat, kendaraan telah dijual, kendaraan berada di luar kota, kesulitan persyaratan membayar pajak, kendaraan hilang, kendaraan rusak. Faktor manusia, antara lain terbatasnya operasi dinas luar. Faktor metode: sosialisasi yang kurang optimal. Faktor material: pemanfaatan kendaraan operasional yang belum optimal. Faktor mesin: gangguan komputer, dll.

Untuk daerah Manggarai, mana dari berbagai faktor ini yang menjadi faktor dominan perlu diketahui—lebih bagus melalui peneilitian—agar upaya mengatasinya pun bedaya guna dan berhasil guna. Tanpa mengetahu faktor dominan, cara melakukan razia dari rumah ke rumah belum tentu menjadi cara yang tepat.

Bayangkan, petugas mengunjungi setiap rumah, entah yang memiliki kendaraan bermotor atau tidak. Cara kerjanya tak beda dengan kerja petugas sensus penduduk yang mulai dari nol. Kerjanya seakan-akan tanpa data. Padahal, target penerimaan pajaknya jelas. Bagaimana mungkin jumlah target bisa dipatok kalau tidak memiliki data wajib pajak kendaraan bermotor?

Razia dari rumah ke rumah akan memakan banyak waktu, tenaga, dan sudah pasti biaya. Sangat tidak efisien. Adminstrasi perpajakan disebut efisien bila biaya untuk pengumpulan pajak sangat rendah. Razia dari rumah ke rumah jelas bukan cara yang tepat. Kendati begitu, tetap ada hikmahnya.

Hikmah yang paling menonjol adalah penyingkapan kepada publik bahwa UPT Dispenda Provinsi NTT di Manggarai memiliki administrasi perpajakan yang buruk. Dan, administrasi yang buruk selalu melahirkan hambatan atau perlawanan. Inilah persoalan pokoknya. Karena itu, jangan selalu mengkambinghitamkan masyarakat. Melakukan razia dari rumah ke rumah memberi kesan pengkambinghitaman itu, seolah-olah biang keroknya masyarakat. Razia pajak ala Manggarai ini perlu ditinjau kembali.

Masalah pajak di Indonesia dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Visinya luar biasa: "Menjadi model pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat". Ironis, bukan?

"Bentara" FLORES POS, Rabu 11 Maret 2009

Jangan Bikin Malu Polri

Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr

OLeh Frans Anggal

Berita acara pemeriksaan (BAP) kasus kematian Romo Faustin Sega Pr sebentar lagi dilimpahkan Polres Ngada kepada kejaksaan. Tersangka kasus pembunuhan ini hanya dua orang, Rogasianus (Nus) Waja dan Theresia Tawa. Ini sangat mencengangkan.

Dari modus operandi pembunuhan, berdasarkan hasil investigasi Tim Keuskupan Agung Ende, ini pembunuhan berencana yang melibatkan banyak orang. Pasti ada otak atau auktor intelektualnya. Ada pemberi perintah. Ada pelaksana. Ada juga yang ikut membantu. Jumlah mereka tidak mungkin hanya dua orang.

Hasil autopi menyebutkan, kepala korban dipukul dengan benda keras. Lehernya ditekan dengan benda tumpul. Hasil investigasi menceritakan korban dibunuh di sebuah kampung, lalu diangkut dengan traktor menuju tempat jauh. Sepeda motornya dikendarai orang lain menuju tempat itu. Ada beberapa tindakan di sini: memukul , mencekik, menaikkan tubuh korban ke atas traktor, menyetir traktor, mengendarai sepeda motor, dst. Mana mungkin tindakan yang serempak dan berentetan seperti ini dilakukan hanya oleh dua orang.

Tidak perlu otak seorang reserse kawakan untuk memahami hal sesederhana ini. Akal sehat orang normal sudah bisa mengkajinya dengan mudah. Karena itu, tidak masuk di akal sehat, tindakan Polres Ngada menetapkan hanya dua orang tersangka. Menetapkan hanya dua tersangka merupakan tindakan yang patut dipertanyakan motif dan tujuannya.

Belum hilang dari ingatan kita, ketika hasil autopsi menyebutkan Romo Faustin meninggal karena dibunuh, Tim Polda NTT yang mem-back up Polres Ngada kala itu langsung menangkap dua dari enam tersangka pelaku pembunuhan, yakni Nus Waja dan Theresia Tawa. Dalam perkembangan selanjutnya di tangan Polres Ngada, hanya kedua orang inilah yang ditetapkan menjadi tersangka. Empat lainnya lenggang kangkung. Padahal, indikasi keterlibatan empat orang itu sangat kuat menurut hasil investigasi tim keuskupan, yang oleh Ketua Tim Polda NTT Buang Sine dinilai sangat akurat sehingga menjadi acuan penyelidikan.

Dari jumlah tersangka, Polres Ngada terkesan berjalan di tempat. Dua orang yang kini ditetapkannya sebagai tersangka adalah dua orang yang sama yang tempo hari ditangkap tim polda. Yang ditangkap Polres Ngada sendiri tidak ada. Kita tidak tahu, ilmu kriminologi, daya nalar, pengalaman, dan kerangka kerja seperti apa yang dimiliki polres ini sehingga tak ada kemajuan sedikit pun yang berarti dalam penyelidikan dan penyidikan.

Kita minta Polres Ngada rendah hati. Kalau tak punya acuan, pakai saja hasil investigasi tim keuskupan. Atau, kalau tak mampu dan tak berani, mintalah bantuan polda. Jangan bikin malu Polri saja.

"Bentara" FLORES POS, Selasa 10 Maret 2009

Hidup Bersama ODHA

Kasus HIV/AIDS di Manggarai

Oleh Frans Anggal

Satu lagi penderita HIV/AIDS di Manggarai meninggal, Kamis 4 April 2009. Ia ayah empat anak, petani berusai 45 tahun yang pernah bekerja di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Dalam tiga bulan terakhir setelah jatuh sakit, ia dirawat intensif di RSUD Ruteng. Jiwanya tak tertolong. Dengan demikian, di Manggarai, sudah 14 yang meninggal karena HIV/AIDS dari total penderita 50 orang.

Di rumah duka, Bupati Christian Rotok menyampaikan pesan bagi semua yang hadir. Pertama, hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Hanya saja, setiap manusia diharapkan menjaga keselamatan hidup dengan perilaku baik dan sehat. Kedua, jangan menganggap setiap penderita HIV/AIDS sebagai orang buangan. “Mereka juga manusia, sehingga perlu mendapat hak dan perhatian yang sama.”

Pesan yang tepat. Pertama, menjadi ODHA (orang dengan HIV/AIDS) bukanlah pilihan seseorang. Setiap orang berusaha agar kehidupannya tidak terganggu. Setiap orang dambakan karunia berumur panjang. Namun, perjalanan hidup seringkali lain dari yang diharapkan. Hidup dan mati datang silih berganti dan tak kuasa dilawan oleh manusia meski dengan kemajuan teknologi kedokteran sekalipun. Agama mengatakan, hidup dan mati ada di tangan Tuhan.

Kedua, penyebab meninggalnya seseorang bisa bermacam-macam. Bisa karena serangan virus (TBC, SARS, hepatitis, dsb). Pada 1990-an, masyarakat dikejutkan dengan fenomena HIV/AIDS. Masyarakat disadarkan akan datangnya ancaman baru dari virus (HIV) yang mampu menggerogoti sistem kekebalan tubuh seseorang sampai berujung pada kematian. HIV/AIDS adalah fenomena klinis atau medis seperti kasus seseorang yang meninggal karena mengidap penyakit TBC, gagal jantung, tertular virus flu burung, dsb. Karena itu, tidak pantas memandang ODHA sebagai orang terkutuk, pendosa, najis, yang harus dikucilkan. ODHA adalah manusia dan tetap sebagai manusia bagaimanapun sakit dan penyakitnya.

Pesan Bupati Rotok mengena untuk masyarakat kita yang masih cenderung mengadili ketimbang memahami ODHA. Pesan ini mau membangkitkan empati masyarakat.

Empati berasal dari kata einfuhlung, yang secara harfiah berarti ‘merasa terlibat’ (feeling into). Masyarakat yang berempati terhadap ODHA adalah masyarakat yang rela menempatkan diri dalam posisi dan situasi ODHA. Melihat dari sudut pandangnya. Ikut tergetar oleh sedu-sedannya. Ikut tersayat oleh kepedihannya. Mendengar rintihannya yang tak terucapkan.

Dengan empati, kita akan sadar bahwa ODHA itu manusia biasa seperti kita juga. Bahkan, ODHA itu sebetulnya adalah kita dan kita adalah ODHA. Karena itu, ODHA tidak perlu dikhususkan, juga tidak perlu didiskriminasikan. Sudah saatnya kita belajar untuk bisa hidup bersama ODHA.

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 7 Maret 2009

Jaksa Rampas Kemerdekaan

Kasus Illegal Logging di Lembata

Oleh Frans Anggal

Pengadilan Tinggi Kupang membebaskan Goris Molan dkk, terdakwa kasus pembalakan liar (illegal logging) di Lembata. Sebelumnya, para terdakwa divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Lewoleba. Dalam putusannya, selain membebaskan terdakwa, pengadilan tinggi mengharuskan semua barang bukti yang disita dikembalikan kepada terdakwa. Hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya harus dipulihkan. Terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan. Biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dibebankan kepada negara.

Putusan pengadilan tinggi ini tidak dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Lewoleba. Ketika keluarga terdakwa meminta surat agar terdakwa dikeluarkan dari rumah tahanan, jaksa menolak. Alasan jaksa, pihaknya tidak tahu alasan mengapa sampai pengadilan tinggi membebaskan terdakwa.

Alasan yang digunakan jaksa ini tidak masuk akal. Putusan pengadilan tinggi itu berkekuatan hukum, yang olehnya terdakwa memiliki hak hukum untuk bebas dari tahanan. Hak hukum ini dijamin oleh UU. Hak ini harus dihormati.

UU No 16/2004 tentang Kejaksaan mengamanatkan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya” (pasal 8).

Sangat jelas, tugas jaksa adalah menjalankan UU, bukan menafsirkan UU. Yang berwenang melakukan penafsiran hanyalah hakim dalam proses persidangan.

Kalau jaksa Lewoleba mempersoalkan putusan Pengadilan Tinggi Kupang dan mempertanyakan alasan pembebasan para terdakwa, ada saluran yang telah diatur UU. Caranya, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, bukan tetap menahan para terdakwa yang sudah diputus bebas.

Keluarga terdakwa yang bukan profesional hukum tampaknya lebih cerdas dalam hal ini. Kata mereka, urusan tidak puas dengan putusan pengadilan tinggi itu urusan lain. Hak hukum terdakwa harus dihormati. Keluarkan mereka dari tahanan.

Kita jadi prihatin, ketika masyarakat semakin sadar hukum, masih ada jaksa yang tidak paham hukum. Yang tidak ia pahami adalah bahwa menahan terdakwa yang sudah diputus bebas sama artinya dengan menahan seseorang tanpa kejahatan. Penahanan seperti ini sama sekali tidak mempunyai legitimasi. Ini sudah masuk dalam delik perampasan kemerdekaan.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 6 Maret 2009

Janggal, Vonis PN Bajawa

Kasus Korupsi CPNSD Ngada

Oleh Frans Anggal

Dua terdakwa kasus korupsi di Ngada, Petrus Kanisius Noka (Dinas PPO) dan Hironimus Reba (BKD), divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Bajawa. Alasan majelis hakim, tidak semua unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan jaksa terpenuhi.

Noka dan Reba didakwa dengan pasal 11 UU No 31/1999. Pasal ini melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji karena ada hubungan kekuasaan dan kewenangan atau jabatan yang ada padanya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan atau kewenangannya.

Noka divonis bebas karena ia hanya staf biasa. Ia bukan pemangku kekuasaan dan kewenangan atau jabatan seperti yang disyaratkan UU. Meskipun benar, ia menerima uang dari 13 tenaga honorer agar nama mereka dimasukkan ke dalam data base ke BKN untuk diangkat menjadi PNS.

Akan halnya Reba, ia divonis bebas karena perbuatannya belum dapat dipandang sebagai perbuatan menerima hadiah atau janji. Ia memang menerima Rp50 juta dari Noka, namun kemudian uang itu ia kembalikan kepada Noka karena ia beralasan pengurusan data base ke BKN tidak menuntut biaya. Uang yang dikembalikan ini diteruskan Noka kepada para tenaga honorer.

Kalau disimak secara cermat, bunyi pasal yang didakwakan jaksa mempersyaratkan dua hal secara alternatif, yaitu syarat objektif dan syarat subjektif. Syarat objektif: “...ada hubungan kekuasaan dan kewenangan atau jabatan yang ada padanya.” Sedangkan syarat subjektif: “...menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan atau kewenangannya.” Karena sifanya alternatif maka bila salah satu saja dari dua syarat ini terpenuhi, si terdakwa sudah harus divonis bersalah.

Untuk terdakwa Petrus Kanisius Noka, hal yang dipertimbangkan majelis hakim hanya syarat objektif. Terdakwa divonis bebas hanya karena secara objektif ia tak ada hubungan dengan kekuasaan dan kewenangan atau jabatan yang ada padanya. Dengan kata lain, ia cuma staf biasa. Majelis hakim lalai mempertimbangkan syarat subjektif, yaitu pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji, dalam hal ini pikiran para tenaga honorer yang menyetor uang kepada terdakwa. Dalam pikiran mereka, perbuatan terdakwa menerima dan meneruskan uang ada hubungannya dengan jabatan atau kewenangannya.

Vonis majelis hakim PN Bajawa sangat janggal. Jaksa harus naik banding. Ini bisa menjadi presedan buruk ke depan. Majelis hakim seakan-akan mengesahkan praktik percaloan CPNSD. Seakan-akan, setiap PNS boleh menjadi calo CPNSD asalkan sebagai staf biasa.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 5 Maret 2009

“Quo Vadis” Polda NTT?

Polisi Ngada Terlibat Kasus Cendana

Oleh Frans Anggal

Dua anggota polisi ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik Polres Ngada. Keduanya tertangkap tangan oleh aparat TNI dan staf Kecamatan Wolomeze saat sedang mengangkut dua ton lebih kayu cendana tanpa surat izin di Desa Nginamanu. Saat ditangkap, keduanya menyatakan mereka hanya menjalankan perintah Kapolres Erdy Swaharyadi.

Sejak kasus ini mencuat Februari 2009, masyarakat mempertanyakan nasib kasus ini di tangan Polres Ngada. Ada semacam ketidakpercayaan publik. Kalau benar dua polisi itu hanya menjalankan perintah kapolres, patut dapat diduga si pemberi perintah akan luput karena diluputkan oleh penyidik polisi yang notabene bawahannya sendiri. Sebagai penyidik, dapatkah kasat reskrim memeriksa kapolresnya? Beranikah ia menetapkan atasannya menjadi tersangka?

Publik tahu jawabannya. Karena itu, muncul desakan kuat agar kasus ini ditangani Polda NTT. Harapan publik tidak terpenuhi. Polda tidak mengambil alih penanganan kasus ini. Dapat dikatakan, polda ‘membiarkan’ penanganannya di tangan Polres Ngada. Sama artinya dengan membiarkan kasus ini tidak dibongkar sampai ke akar-akarnya. Ujungnya hanya pada dua polisi itu sebagai pelaksana perintah. Sedangkan si pemberi perintah luput karena diluputkan.

Model penanganan seperti ini mencederai program yang sedang hangat-hangatnya di tubuh Polri: Program Reformasi Birokrasi Polri. Menanggapi program ini, dalam sambutannya di Mabes Polri, 30 Januari 2009, Presiden SBY menyampaikan pesan dalam bentuk sebuah matafora.

Kata presiden, lebih baik kita bersihkan sendiri rumah kita daripada dibersihkan orang lain. Gunakan sapu yang bersih. Kalau sapunya kotor maka lantai yang sudah bersih malah ikut kotor. Penyapunya juga harus bersih. Menyapunya pun tidak cukup hanya sekali, harus berkali-kali, terus-menerus.

Kalau diibaratkan dengan rumah, Polres Ngada dalam kasus cendana ilegal perlu segera dibersihkan. Supaya bersih, sapu dan tukang sapunya mesti bersih. Untuk sementara, khususnya dalam kasus ini, Polres Ngada tidak punya itu. Dalam kepercayaan publik, sapunya mesti sapunya polda. Tukang sapunya juga mesti tukang sapunya polda.

Disayangkan, polda tidak tanggap. Padahal, kasus ini mempertaruhkan citra Polri di mata masyarakat. Disayangkan, bila citra Polri dibiarkan terconteng hanya demi meluputkan seseorang yang semestinya paling bertanggung jawab dalam sebuah perbuatan melawan hukum. Keseriusan Polda NTT patut kita pertanyakan. Quo vadis? Anda sedang berlangkah ke mana?

"Bentara" FLORES POS, Rabu 4 Maret 2009

Santa Ursula Itu Ikon

HUT Ke-45 SDK St Ursula Ende

Oleh Frans Anggal

Dalam sambutan pada HUT ke-45 SDK Santa Ursula Ende, Sabtu 28 Februari 2009, Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota menyoroti keteladanan St Ursula sebagai pelindung sekolah. Menurut Uskup Sensi, warisan berharga St Ursula adalah kepahlawanan yang telah turut memotivasi Gereja menciptakan perubahan, kemajuan, dan pertumbuhan dalam dunia pendidikan. “Santa Ursula tak cuma nama, tapi ikon yang memotivasi semangat kepahlawanan dan pengorbanan.”

Apa itu “ikon”? Kamus American Heritage Dictionary mengartikan icon sebagai a religious image painted on a panel. Hassan Shadili menerjemahkannya sebagai “patung atau gambar orang suci”. Ikon memiliki konotasi keagamaan, konotasi penghormatan yang sangat tinggi, pengagungan, bahkan penyembahan atau ibadah.

Penekanan Uskup Sensi bahwa St Ursula tak cuma nama, tapi ikon, mengandung makna bahwa sang santa harus dihormati. Bentuk penghormtan yang tepat adalah meneladani keutamaan yang dimilikinya. Keutamaan St Ursula adalah kepahlawanan. Pahlawan adalah ‘PAHALA-wan’, si pemberi pahala, melalui jalan pengorbanan.

Nama “Ursula” berarti beruang kecil. Ursula adalah putri Raja Britania. Ia pantas menyandang nama itu. Ia memadukan keberanian seorang laki-laki dengan kehalusan seorang perempuan. Ia meninggal sebagai martir di dekat kota Koln-Jerman. Relikwi berupa tulang dan prasasti dari abad ke-5 tersimpan di Koln dan dihormati orang sampai sekarang.

Santa Angela Merici (1474–1540), pendiri kongregasi Ursulin, mengambil Santa Ursula sebagai pelindung tarekat. Pada abad pertengahan, St Ursula adalah pelindung pendidikan tertinggi yang dihormati sebagai pemimpin para wanita serta teladan martir dan keperawanan Kristen.

Dari latar belakang ini, penekanan Uskup Sensi bahwa St Ursula adalah ikon kepahlawanan dan pengorbanan sangatlah tepat. Sebagai ikon, ia teladan sekaligus motivator bagi semangat kepahlawanan dan pengorbanan itu.

Penekanan Uskup Sensi patut ditujukan tidak hanya kepada SDK St Ursula Ende yang berulang tahun dan menyandang nama seorang santa. Setiap sekolah Katolik, yang menjadikan santo atau santa nama atau pelindung sekolah, hendaknya tidak memperlakukan santo atau santa hanya sekadar nama. Santo dan santa adalah ikon. Karena itu, keteladanan mereka harus diwujudnyatakan dalam praksis pendidikan.

Dalam hal ini, SDK St Ursula Ende pantas menjadi model. Ia SD Katolik, tetapi Katolik-nya bukan ‘Katolik papan nama’. St Ursula sungguh dijadikan ikon. Sekolah ini benar-benar Katolik, dan bermutu. Di usia ke-45, ia menjadi SD berstandar nasional. Profisiat.

"Bentara" FLORES POS, Selasa 3 Maret 2009

Polres Sikka Berbenahlah

Tindak Kekerasan Polisi

OLeh Frans Anggal

Seorang aparat Polres Sikka mencekik wartawan Sun TV Robby Mooy saat sedang meliput kedatanganTKI di Pelabuahan Sadang Bui Maumere, Kamis 26 Februari 2009. Korban mengalami luka gores di bagian kanan leher. Sehari sebelumnya, tindak kekerasan penganiayaan dilakukan aparat Polres Sikka terhadap seorang pelajar. Kasus paling menghebohkan terjadi tahun 2008. Andri Haryanto dianiaya aparat Polres Sikka. Dua hari kemudian, 14 Oktober 2008, korban ditemukan tewas tergantung di kosnya.

Kasus beruntun seperti ini mengesankan polisi di Sikka masih jauh dari citra polisi moderen dan profesional sebagaimana digariskan UUD 1945. Polisi adalah penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat; pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat; serta penegak hukum.

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi ini, polisi moderen dan profesional menerapkan beberapa strategi.

Pertama, stretegi deteksi dini (early warning detection). Langkah awal memperoleh informasi, keterangan, dan data untuk kemudian diolah menjadi prediksi intelijen terhadap setiap kemungkinan.

Kedua, strategi pre-emptif. Upaya proaktif dan interaktif merebut simpati rakyat (to win the heart of the people) melalui pembinaan, penataan, dan pemanfaatan potensi masyarakat.

Ketiga, strategi preventif. Pencegahan dan pengurangan setiap bentuk ancaman gangguan kamtibmas dengan memberikan pengayoman, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat. Prinsipnya, mencegah lebih baik daripada mengobati (prevention is better than cure).

Keempat, stratgei represif. Upaya yang bersifat penegakan hukum dengan menjamin tegaknya hukum dan tertib hukum yang dilaksanakan secara tegas, profesional, dan tuntas dengan tetap menjunjung tinggi HAM. Prinsipnya, memerangi kejahatan, mencintai kemanusiaan dan menolong pelaku kejahatan (fight the crime, love humanity and help delinquent).

Kelima, strategi rehabilitasi. Memulihkan dampak dari suatu peristiwa atau dampak dari pelaksanaan strategi lain. Prinsipnya, hukum ada untuk warga negara (law abides citizen).

Dari kelima strategi itu, strategi represif pada dasarnya merupakan strategi terakhir setelah strategi pre-emtif dan preventif didahulukan. Yang dilakukan aparat Polres Sikka dalam tiga kasus di atas justru sebaliknya. Selain tindakan represif mereka dahulukan, cara tindakan represif itu pun melanggar HAM. Yang mereka perangi bukan lagi kejahatan, tetapi kemanusiaan.

Polres Sikka segeralah berbenah. Masyarakat butuhkan polisi moderen dan profesional, bukan para algojo berseragam polisi.

"Bentara" FLORES POS, Senin 2 Maret 2009

29 Maret 2009

Autopsi Ulang Itu Etis

Kasus Kematian Andri Haryanto di Sikka

Oleh Frans Anggal

Dokter ahli forensik dari Universitas Indonesia (UI) Abdul Mun’im Idries, sedang menganalisis pelbagai foto jenazah Andri Haryanto di Laboratorium Forensik (Labfor) UI. Oleh penyidik Polres Sikka, Andri disebutkan tewas gantung diri di dapur kosnya 14 Oktober 2008. Pernyataan polisi ini didasarkan pada hasil olah tempat kejadian perkara (TKP), pemeriksaan saksi, visum dokter, dan hasil tim forensik Polda Bali. Karena korban meninggal gantung diri, kasus ini pun tidak dilanjutkan alias ditutup.

Keluarga korban dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) meragukan simpulan polisi. Banyak kejanggalan. Antara lain, tak ada ciri-ciri sebagaimana biasanya pada orang mati gantung diri. Lidahnya tidak menjulur, matanya tidak membelalak. Sebaliknya, pada jenazah korban ditemukan tanda-tanda tindak kekerasan. Luka lebam di sekujur tubuh, satu gigi patah. Dua hari sebelumnya, korban dianiaya oleh seorang oknum Polres Sikka.

Foto jenazah korban itulah yang kini sedang dianalisis di Labfor UI. Hasilnya sedang dinanti-nantikan. Sebelumnya, berdasarkan pengamatan mata telanjang atas foto jenazah korban, Abdul Mun’im Idries menemukan ada kejanggalan. Pemastian tentangnya baru akan diperoleh setelah melalui penelitian labfor. Ini langkah awal sang ahli forensik sebelum mengautopsi ulang jenazah seturut permintaan keluarga dan TPDI.

Keluarga dan TPDI ‘terinspirasi’ meminta autopsi ulang jenazah Andri setelah mengetahui hasil autopsi jenazah Romo Faustis Rega Pr. Dalam kasus kematian Romo Faustin, penyidik Polres Ngada menyatakan korban mati secara wajar, mati karena serangan jantung dan hipertensi. Sama seperti simpulan Polres Sikka atas kematian Andri, simpulan Polres Ngada atas kematian Romo Faustin juga didasarkan pada hasil olah TKP, pemeriksaan saksi, dan visum dokter. Simpulan ini terbukti melenceng jauh dari hasil autopsi yang dilakukan ahli forensik Abdul Mun’im Idries. Romo Faustin mati karena tindak kekerasan, bukan karena serangan penyakit.

Apakah Andri Haryanto juga mati karena tindak kekerasan? Patut dapat diduga, ya. Indikasinya sudah terlihat, baik secara langsung oleh keluarga saat jenazah dimandikan maupun secara tidak langsung oleh ahli forensik melalui foto jenazah.

Semuanya akan menjadi jelas nanti dari hasil analisis foto, pemeriksaan ulang sampel otak, dan autopsi ulang jenazah. Sebagai tindakan ilmiah mencari kebenaran dan tindakan pro iustitia demi penegakan hukum dan keadilan, autopsi ulang sama sekali tidak melanggar etika.

Dengan ini kita menolak pernyataan Kapolres Sikka Agus Suryanto bahwa autopsi ulang itu tidak etis. Semua upaya mencari kebenaran atas cara yang benar adalah etis. Yang tidak etis justru upaya penghindaran.

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 28 Februari 2009

Kapan Polres Jadi Pemenang?

Kasus Penjambretan di Ende

Oleh Frans Anggal

Beberapa kasus penjambretan di Kota Ende, termasuk yang baru saja menimpa seorang ibu guru SD, sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Polisi harus terdorong segera bertindak lebih proaktif, kreatif, dan inovatif memberantas kejahatan jalanan ini.

Dalam sambutan lisan pada acara Program Reformasi Birokrasi Polri, di Mabes Polri, Jakarta, 30 Januari 2009, Presiden SBY memberikan penekanan khusus pada perang melawan kejahatan jalanan. Ia mengistruksikan Polri agar tidak ragu-ragu. “Negara tidak boleh kalah sama kejahatan. Negara tidak boleh kalah sama premanisme. Risikonya ada, tapi hadapi bersama.”

Tentang kejahatan jalanan, Indonesia punya citra buruk. Iseng-iseng, orang membuat kepanjangan nama negara dan kota di dunia. ITALY (I trust and love you/Saya percaya dan cintai padamu). LIBYA (Love is beautiful, you also/Cinta itu indah, Anda juga). CHINA (Come here, I need affection/Kemarilah, saya butuh kasih sayang). MANILA (May all nights inspire love always/Semoga semua malam selalu memberi ilham bagi cinta). Dan... JAKARTA (Jambret Ada, Koruptor Ada, Rampok Tentu Ada).

Buruknya citra Jakarta dalam hal keamanan dan kenyamanan di jalan mendorong Presiden SBY berujar penuh harap. Dan harapan itu realistis. Harapan yang bisa terwujud, sebagaimana bisa nyata pada banyak kota di dunia.

“Kalau orang bilang jalan di tengah kota Tokyo, Tokyo down town, di tengah malam hari aman, mestinya jalan di Senen, jalan di Tanah Abang malam hari, jalan di Kampung Rambutan, di mana pun, harus juga aman. Buktikan kepada rakyat, kepolisian kita, kita semua, bisa bikin aman jalan-jalan di Jakarta jam berapa pun, pagi, siang, sore, malam, dan dini hari. Bukan sesuatu yang mustahil dilakukan, bisa.”

Harapan ini tidak berlebihan untuk diletakkan ke atas pundak Polri. Ini tugas konstitusionalnya Polri. Amanat UUD 1945 menyatakan , Polri mengemban tiga tugas utama. Pertama, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Ketiga, menegakkan hukum.

Tantangan bagi Polri tidak ringan. Perkembangan global telah mempengaruhi sikap dan perilaku warga negara, termasuk dalam hal kejahatan. Kini kejahatan sudah tidak mengenal dimensi wilayah (borderless), tidak mengenal dimensi waktu (terjadi sangat
cepat dan menghindar sangat cepat/escape), dan tidak mengenal dimensi masalah (bentuk, modus operandi, dan pelaku kejahatan semakin kompleks/complicated).

Negara tidak boleh kalah. Polisi pengemban tugas negara harus menang. Termasuk di Kota Ende, tempat aksi penjambretan mulai marak. Kapan Polres Ende jadi pemenang?

"Bentara" FLORES POS, Jumat 27 Februari 2009

Mencegah Jambret

Kasus Penjambretan di Ende

OLeh Frans Anggal

Seorang ibu guru SD di Kota Ende menjadi korban penjambretan saat sedang mengendarai sepeda motor sepulang dari pasar. Ia dibuntuti seorang pengendara sepeda motor lain. Di tempat sepi, pelaku beraksi, menjambret tas korban dan lalu kebut dengan kecepatan tinggi. Tas korban berisi kartu pegawai negeri, STNK, SIM, dan sepasang anting. Sedangkan uang dan HP luput karena disimpan dalam saku baju.

Kasus ini sudah dilaporkan ke polisi. Menurut polisi, awal tahun 2009 ini aksi penjembretan mulai marak di Kota Ende. Kebanyakan korbannya perempuan.

Pada kebanyakan kasus di kota-kota lain, kaum wanita selalu menjadi sasaran empuk. Terutama yang membawa tas dan melintas di jalan sepi. Tampaknya, para pelaku memahami psikologi perempuan. Saat dijambret, perempuan cenderung shok dan tidak langsung bereaksi. Berbeda dengan laki-laki yang bisa melawan atau memburu pelaku.

Cara para penjambret beraksi macam-macam. Mulai dari berpura-pura menanyakan alamat lalu merampas tas, sampai aksi brutal menarik tas dari bahu pengendara motor. Kekerasan juga bisa mereka tempuh untuk melumpuhkan korban, seperti memukul, menendang, dan mengancam membunuh. Bermodalkan sepeda motor plus sedikit nyali nekat, mereka biasanya beraksi tidak sendirian. Ada semacam sindikat. Patut diduga, sindikat seperti inilah yang kini mulai beraksi di Ende dan kota-kota lain di Flores-Lembata.

Menghadapi kejahatan jalanan seperti ini, masyarakat dan polisi perlu bahu-membahu. Yang patut menjadi perhatian masyarakat, kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat dari pelaku, tapi juga karena adanya peluang, entah berupa lingkungan yang sepi atau ketidakhati-hatian korban sendiri. Hampir semua korban memperlihatkan barang miliknya secara terbuka, terutama tas dan HP serta perhiasan mencolok. Dengan adanya peluang, pelaku akan mengintai dan membuntuti untuk selanjutnya beraksi di lokasi yang sepi. Pelaku selalu memanfaatkan kelengahan korban, apalagi kalau korban berjalan seorang diri.

Mengharapkan kewaspadaan masyarakat tidaklah cukup. Polisi perlu lebih proaktif. Jangan hanya menunggu laporan dari korban. Strategi represif saja (menangkap dan memproses hukum pelaku) tak akan mempan. Strategi deteksi dini harus segera dikembangkan. Dapatkan informasi sebanyak-banyaknya untuk diolah menjadi prediksi intelijen terhadap setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Strategi preventif pun mendesak dikedepankan. Mencegah lebih baik daripada mengatasi. Polisi perlu menyebar ke titik-titik rawan. Bila perlu dirikan pos polisi yang dilengkapi peralatan memadai.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 26 Februari 2009

Bunuh Diri dan Empati (Kasus Bunuh Diri di Sikka)

Oleh Frans Anggal

Di Kabupaten Sikka, seorang pria 62 tahun tewas gantung diri di pohon asam dekat rumahnya. Menurut anak kandungnya, sudah puluhan tahun korban mengidap tumor pada lengan, kaki, dan badan. Ia mengalami penderitaan berkepanjangan. Beberapa hari sebelumnya, juga di Kabupaten Sikka, pria 50 tahun tewas gantung diri di pohon jambu mete di kebun. Ia mengalami depresi karena ulah anak kandungnya. Masih pada pekan yang sama, seorang penumpang kapal feri Rokatenda jurusan Kupang-Lewoleba bunuh diri dengan cara melompat ke dalam laut. Dari buku catatannya terungkap ia menderita tekanan batin.

Ilmu sosiologi menggolongkan bunuh diri (suicide) ke dalam tiga kategori. Bunuh diri karena dan demi kepentingan diri (egoistic suicide). Bunuh diri karena dan demi kepentingan orang lain (altruistic suicide). Bunuh diri karena hilangan pegangan nilai dalam masyarakat (anomic suicide).

Kasus gantung diri di Sikka dan kasus bunuh diri dari atas kapal feri dapat dimasukkan dalam kategri egoistic suicide dan anomic suicide. Korban mengakhiri hidup karena dan demi berakhirnya derita. Juga karena tak ada pegangan nilai yang membuatnya tabah dan ulet.

Sejauh diberitakan Flores Pos, kasus bunuh diri yang terjadi di Flores dikarenakan oleh macam-macam hal. Keputuasaan dan depresi, cobaan hidup dan tekanan lingkungan, impitan ekonomi dan kemiskinan, gangguan kejiwaan, serta penderitaan karena penyakit.

Melihat sifat permasalahan seperti ini, kita perlu mengambil sikap yang tepat. Bukan dengan mengutuk sok moralis bahwa bunuh diri itu dosa, tapi dengan sikap seorang sahabat yang rela menempatkan diri dalam posisi dan situasi si pelaku. Melihat dari sudut pandangnya. Ikut tergetar oleh sedu-sedannya. Ikut tersayat oleh kepedihannya. Mendengar rintihannya yang tak terucapkan.

Dengan sikap seperti ini, kita akan sadar bahwa bunuh diri selalu terjadi dalam konteks dan realitas kehidupan yang tidak sehat, tidak wajar, dan tidak ideal. Dalam situasi normal, sikap yang wajar tentu saja adalah berusaha mempertahankan, memelihara, bahkan mengembangkan kehidupan. Bukan justru dengan sengaja menghilangkannya.

Yang kita tekankan di sini bukan soal benar-tidaknya atau boleh-tidaknya bunuh diri. Ini sudah jelas. Yang jauh lebih penting adalah sikap kita ketika mengatakannya. Apakah dengan cemooh? Ataukah dengan empati?

Tak ada kesempatan lain di mana kasih begitu dibutuhkan daripada ketika saudara kita sedang berada di ambang bunuh diri. Sayang sekali, yang sering terjadi, mereka sendirian, tanpa teman sepenanggungan. Persis seperti ketika di Taman Getsemani, Yesus membutuhkan teman berjaga, tapi lalu harus kecewa.

"Bentara" FLORES POS, Rabu 25 Februari 2009

Mereka Putra-Putri Gereja (Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr)

Oleh Frans Anggal

Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus mengatakan, dari caranya, pembunuhan terhadap Romo Faustin Rega Pr tergolong pembunuhan berencana. Ancaman hukuman bagi para pelaku sangat tinggi. Karena itu, para tersangka perlu didampingi penasihat hukum. TPDI dan Yayasan Bina Bantuan Hukum (YBBH) Veritas siap memberikan bantuan cuma-cuma bila diminta oleh tersangka, polisi, jaksa, atau hakim.

Mengapa bantuan hukum (legal aid) diperlukan? Aturan hukum berlaku bagi semua orang. Ancaman hukuman pun berlaku bagi siapa pun yang melanggar hukum, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak aturan hukum. Tidak dibenarkan, seseorang bebas dari ancaman hukuman hanya karena dia belum atau tidak tahu aturan hukum. Sementara, dalam kenyataan, tidak semua orang tahu aturan hukum. Maka, diperlukan orang khusus yang mendalami hukum yang berfungsi sebagai pendamping atau penasihat. Secara profesional mereka disebut ahli hukum, advokat, atau penasihat hukum (lawyer).

Bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana, bantuan hukum diperlukan bukan untuk membela perbuatan mereka. Bukan untuk mengubah yang salah menjadi benar atau sebaliknya. Yang dibela bukan perbuatan mereka, tetapi hak-hak hukum mereka yang tidak boleh dikurangi atau ditiadakan hanya karena mereka berstatus tersangka, terdakwa, atau terpidana.

Negara kita telah memberikan jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum itu. Jaminan atas hak itu termuat dalam konstitusi UUD 1945, UU, dan peraturan pelaksanaannya.

Dalam KUHAP, selain berhak mendapat bantuan hukum, tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili. Hak untuk mengetahui dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas. Hak untuk mendapat juru bahasa. Hak untuk mengubungi dokter. Hak untuk memberi tahu keluarga. Hak untuk dikunjungi keluarga. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan kerohanian.

Hak-hak yang dijamin hukum dan perundang-undangan inilah yang dibela oleh penasihat hukum. Karena itu, kita menghargai panggilan luhur TPDI dan YBBH Veritas yang menyatakan siap memberikan bantuan hukum cuma-cuma bagi para tersangka pelaku pembunuhan Romo Faustin.

Anjuran Petrus Salestinus juga tepat. Gereja perlu memberikan pendampingan rohani bagi para tersangka. Bukan hanya karena mereka mempunyai hak hukum untuk menghubungi dan menerima kunjungan kerohanian, tetapi juga dan terutama karena mereka putra-putri Gereja yang perlu dituntun ke jalan yang benar.

"Bentara" FLORES POS, Selasa 24 Februari 2009

Harus Dihukum Mati? (Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr)

Oleh Frans Anggal

Paguyuban Ngada Utara di Maumere meminta aparat penegak hukum menghukum mati para pelaku pembunuhan Romo Faustin Rega Pr. “Perbuatan para tersangka telah mencoreng umat Katolik, baik yang ada di Soa dan Boawae maupun Gereja universal. Apalagi perbuatan pelaku menghilangkan nyawa seorang gembala umat dan para pelaku adalah umat Katolik.” Kata paguyuban ini, hukuman mati itu setimpal, dibenarkan oleh hukum positif dan cocok dengan ungkapan adat Le teo le bedhi.

Mari menoleh ke tahun 2006. Ketika negara hendak mengeksekusi mati tiga perantau asal Flores dalam kasus Posos III, masyarakat dan umat Katolik Flores menolaknya secara tegas. Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva akhirnya dieksekusi juga. Hidup mereka berakhir. Namun perjuangan menyelamatkan kehidupan berlangsung terus.

Dalam surat pastoralnya, Uskup Maumere kala itu Mgr. Vincentius Sensi Potokota menyerukan, “Perjuangan kita demi kehidupan, kebenaran, dan keadilan tetap kita pertahankan, juga apabila negara tetap berketetapan mengeksekusi ketiga saudara kita. Dalam memberikan reaksi atas pelaksanaan eksekusi mati atas ketiga saudara kita, kami menegaskan agar kita tetap konsisten dengan keseluruhan isi perjuangan kita.”

Isi perjuangan itu adalah menyelamatakan kehidupan manusia, pemberian Tuhan yang tidak boleh dicabut oleh siapa pun termasuk negara, kapan pun, di mana pun, dan dengan alasan apa pun. Kalau kita bereaksi dengan melakukan anarki dan membunuh, kita mengkhinati perjuangan kita sendiri. Dengan menuntut kematian dibalas kematian, apa bedanya kita dari para pembunuh? Perjuangan menyelamatkan kehidupan mesti tetap dalam koridor budaya kehidupan. Darah tidak bisa dibersihkan dengan darah.

Seruan Mgr. Vincentius Sensi Potokota yang kini menjadi Uskup Agung Ende tetap relevan, termasuk dalam kasus kematian seorang imamnya, Romo Faustin Rega Pr. “Perjuangan kita demi kehidupan, kebenaran, dan keadilan ....” Uskup menyebut tiga kata itu berurutan: kehidupan, kebenaran, keadilan.

Kita menuntut hukuman seadil-adilnya bagi pelaku pembunuhan Romo Faustin, namun tetap dalam koridor menyelamatkan kehidupan. Hukuman mati tidak dapat dibenarkan.

Hukuman mati melanggar ajaran Katolik. Yang berhak mengakhiri hidup hanyalah Tuhan. Hukuman mati juga melanggar hukum tertinggi, konstitusi UUD 1945 yang sudah diamandemen. Konstitusi (pasal 28 I) menyatakan, hak untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 21 Februari 2009

Dokter RSUD Bajawa (Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr)

Oleh Frans Anggal

Keluarga Romo Faustin Sega Pr dan Tim Pencari Fakta (TPF) menuntut pertanggungjawaban Kapolres Ngada Erdy Swahariyadi dan dokter RSUD Bajawa atas pembohongan publik yang menyatakan Romo Faustin mati secara wajar karena penyakit. Kebenaran pernyataan kapolres dan visum et repertum dokter tidak terbukti. Hasil autopsi ahli forensik menyimpulkan korban meninggal akibat tindak kekerasan. Keluarga dan TPF mendesak Erdy Swahariyadi dicopot. Demikian pula dokter yang menerbitkan visum et repertum harus dicabut izin praktiknya.

Tanpa mengurangi bobot kesalahannya, kapolres mendasarkan penyataannya antara lain pada visum et repertum dari dokter RSUD Bajawa. Mengutip kapolres, visum et repertum menyebutkan korban meninggal karena serangan jantung dan darah tinggi (hipertensi). Keterangan ini berlainan sekali dengan hasil autopsi yang memastikan korban meninggal karena kepalanya dihantam benda tumpul tiga kali dan lehernya dicekik.

Bagaimana mungkin dokter pembuat visum et repertum tidak melihat tanda-tanda fisis itu? Pada kasus kematian karena rudapaksa (violent death) seperti ini, jenisnya, cara kejadian, dan sifat jejas (kerusakan tubuh) sangat mudah diidentifikasi. Anehnya, tanda-tanda kasatmata disingkirkan. Yang diterangkan malah serangan jantung dan hipertensi yang justru jauh dari ciri aktual jenazah.

Mengapa sampai muncul visum et repertum seperti ini? Apakah karena dokternya tidak cermat? Kalau ini penyebabnya, dokter tetap bersalah. Kode Etik Kedokteran Indonesia mengharuskan setiap dokter senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Artinya, harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia, etika umum, hukum, dan agama.

Kalau atas ketetidakcermatannya dokter bersalah, apalagi atas pembohongan dalam memberi surat keterangan. Dalam memberikan visum et repertum, terdapat dua kewajiban etik dokter. Visum harus dibuat dengan teliti dan mudah dipahami berdasarkan apa yang dilihat. Visum et repertum haruslah objektif tanpa pengaruh dari yang berkepentingan dalam perkara.

Kode etik juga mewajibkan setiap dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. Sebab, ia harus dapat membuktikan kebenaran keterangannya itu apabila diminta.

Kita sepakat, dokter harus dimintai pertanggungjawabannya. Kalau terbukti bersalah karena tidak cermat atau berbohong, izin praktiknya harus dicabut. Untuk membuktikannya, ia harus diproses hukum. KUHP pasal 267 mengancam dengan pidana 4- 8,5 tahun penjara.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 20 Februari 2009

Bertobatlah Polres Ngada (Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr)

Oleh Frans Anggal

Setelah ahli forensik independen dari Universitas Indonesia, Mun’im Idries, mengautopsi jenazah Romo Faustin Rega Pr dan mengumumkan hasilnya bahwa korban meninggal akibat tindak kekerasan, Tim Polda NTT langsung menangkap dua dari enam tersangka pelaku pembunuhan.

Begitu cepatnya kerja tim ini. Penyelidikan dilakukan hanya dalam tiga hari sebelum hasil autopsi diumumkan. Apa kunci sukses tim yang mengambil alih fungsi Polres Ngada ini? Kuncinya adalah hasil investigasi yang dilakukan Tim Investigasi dan Advokasi Keuskupan Agung Ende (KAE). Hasil ini menjadi acuan penyelidikan.

Kata Ketua Tim Polda NTT Buang Sine, hasil investigasi Tim KAE sangat membantu kelancaran penyelidikan. Fakta temuan Tim KAE sangat akurat. Sedemikian akuratnya sehingga dua tersangka yang ditangkap tidak bisa berkelit. Mereka mengakui perbuatannya.

Kinerja Tim Polda NTT berbeda seratus persen dengan kinerja Tim Polres Ngada. Tim Polda menghargai investigasi Tim KAE sebagai bentuk partisipasi masyarakat membantu tugas kepolisian. Tim Polres, sebaliknya, menganggap partisipasi ini sebagai bentuk intervensi terhadap tugas kepolisian. Kata “intervensi” keluar dari mulut Kapolres Erdy Swahariyadi. Sikap sang Kapolres menyalahi salah satu butir doktrin hakiki Polri yang memandang masyarakat sebagai mitra dan menghargai partispasinya sebagai wujud dukungan.

Tim Polda menggunakan hasil investigasi Tim KAE sebagai acuan penyelidikan karena tujuan keduanya sama: menemukan fakta dan mengungkapkan kebenaran. Tim Polres, sebaliknya, menyingkirkan hasil investigasi karena mungkin---patut dapat diduga—memiliki tujuan lain. Dalam skenario seperti ini, hasil investigasi yang telah menemukan (sebagian) fakta dan kebenaran akan dipandang sebagai “intervensi” yang mengganggu bahkan mengancam.

Apa yang dilakukan Tim Polda NTT merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap insan Polri. Dalam menyelidik dan menyidik , tujuan polisi hanyalah menemukan fakta dan mengungkapkan kebenaran. Ketika tujuan ini diganti dengan tujuan lain, polisi selaku penyidik pasti akan melakukan pembohongan. Pembohongan selalu beranak pinak jika tidak segera diakhiri. Sebab, untuk menyembunyikan pembohongan pertama, orang harus melakukan pembohongan kedua. Begitu seterusnya .

Turun tangannya Tim Polda NTT menghambil alih tugas Polres Ngada dalam penyelidikan kasus Romo Faustin merupakan upaya polisi, tidak hanya untuk segera menemukan fakta dan mengungkapkan kebenaran, tetapi juga untuk mengakhiri pembohongan yang dilakukan Polres Ngada. Kita berharap, Polres Ngada bertobat. Bekerjalah lebih profesional.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 19 Februari 2009

Hikmah Romo Faustin (Kasus Kematian Andri Haryanto di Sikka)

Oleh Frans Anggal

Hasil autopsi jenazah Romo Faustin Sega Pr yang dilakukan ahli forensik independen dari Universitas Indonesia membuka mata masyarakat Flores dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Romo Faustin meninggal karena tindak kekerasan. Hasil autopsi ini mematahkan “simpulan sementara” Polres Ngada yang menyebutkan korban mati secara wajar. “Simpulan sementara” itu patut dapat diduga akan menjadi “simpulan final” juga bila autopsi dilakukan tim bentukan polres.

Hasil autopsi sangat bergantung dari siapa yang melakukannya. Kalau orangnya ahli atau berpengalaman namun tidak independen, hasil tidak akan mengungkapkan kebenaran. Hasilnya hanya akan mengukuhkan “simpulan sementara” pihak penyidik. Sebab, dasar kegiatannya adalah pesan sponsor, bukan profesionalitas yang mewajibkan sikap tidak berpihak.

Berangkat dari kesadaran seperti inilah, untuk menyingkap sebab sebenarnya kematian Romo Faustin, pihak Keuskupan Agung Ende (KAE) dan keluarga korban meminta autopsi dilakukan ahli forensik dari Universtas Indonesia, Mun’im Idris. Ahli ini terpercaya. Ia selalu mengungkapkan kebenaran. Tumpuannya hanyalah keahlian, ilmu, dan moralitas keilmuan.

Langkah KAE dan keluarga Romo Faustin kini menyadarkan masyarakat untuk lebih cerdas, cermat, dan berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam proses hukum. Tidak boleh percaya dan pasrah begitu saja pada kesewenang-wenangan lembaga atau aparat penegak hukum. Mereka perlu dikontrol karena mereka memiliki kekuasaan dan setiap kekuasaan cenderung merusak. Mereka perlu dikritisi karena kritik akan menguji kebenaran laksana emas dalam tanur api. Dan apabila mereka tetap bersikukuh dalam kesalahan, mereka harus dilawan atas cara yang dapat dibenarkan secara hukum dan moral.

Langkah KAE dan keluarga Romo Faustin juga menginspirasi para pencari keadilan. Di Kabupaten Sikka, jenazah Andri Haryanto direncanakan diautopsi ulang. Pihak keluarga dan TPDI menginginkan ahli forensik yang sama, Mun’im Idries, yang melakukannya. Mereka meragukan hasil autopsi yang dilakukan tim forensik Polda Bali. Hasil autopsi tim ini menyebutkan korban mati gantung diri, sama persis seperti simpulan Polres Sikka. Padahal, tak ada ciri-ciri sebagaimana biasanya pada orang mati gantung diri. Lidahnya tidak menjulur, matanya tidak membelalak. Sebaliknya, tanda-tanda tindak kekerasan terlihat jelas. Luka lebam di sekujur tubuh, satu gigi patah. Dua hari sebelumnya, korban dianiaya oleh seorang oknum Polres Sikka.

Patut dapat diduga, seperti pada kasus Romo Faustin, Andri Haryanto mati karena tindak kekerasan. Perlu, autopsi ulang.

"Bentara" FLORES POS, Rabu 18 Februari 2009

Terbakarnya Jejak Flores (Kebekaran Bekas Kantor Bupati Flores)

Oleh Frans Anggal

Bekas Kantor Bupati Flores yang terletak di Jalan Soekarno, Ende, hangus terbakar Sabtu 14 Februari 2009. Saat dilalap jago merah, bangunan ini digunakan sebagai Kantor Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Kabupaten Ende. Sebelumnya, berturut-turut merupakan Kantor Bupati Ende dan Kampus Universitas Flores.

Kerugian akibat kebakaran ini tak ternilai. Dokumen-dokumen penting musnah. Taksasi dalam rupiah bisa mencapai miliaran. Namun semua ini tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hilangnya sebuah jejak sejarah.

Dokumen kantor bisa diadakan kembali meski harus dimulai dari nol. Uang miliaran rupiah bisa dicari lagi meski tahap demi tahap. Tidak demikian halnya dengan nilai bangunan itu sendiri sebaga jejak dan saksi sebuah sejarah.

Ketika Flores disatukan dalam sebuah entitas administrasi kepemerintahan bernama Daerah Flores tahun 1946, bangunan inilah saksinya. Jejak Daerah Flores terpatri kuat pada arsitekturnya, bentuknya, bahannya yang serba-kayu, dan aneka ornamennya. Semuannya itu lenyap seketika akibat kebakaran, peristiwa keempat di awal 2009 di sebuah kota yang sering disebut-sebut sebagai kota bernilai sejarah. Yang tertinggal hanya puing-puing gosong. Namun puing-puing itu sebentar lagi digusur. Maka yang akhirnya tersisa di sana hanyalah cerita tentang sesuatu yang pernah ada.

Ende kehilangan sebuah bangunan tua. Flores kehilangan sebuah bangunan bersejarah. “City without old buildings is like a man without memory,” kata Konrad Smiglisky. Kota tanpa bangunan tua tak bedanya dengan manusia tanpa kenangan.

Terbakarnya bekas Kantor Bupati Flores kiranya membangkitkan kesadaran perlunya perlindungan bagi bangunan lama bersejarah. Untuk itu, dibutuhkan perangkat yang dapat mengatur. Pada zaman Belanda, Monumenten Ordonantie yang diterbitkan 1931 mengatur tentang benda-benda cagar budaya. Pada 1992, Monumenten Ordonantie diganti dengan UU RI No 5 tentang Benda Cagar Budaya, bergerak dan tidak bergerak (mencakup bangunan dan kawasan/subkawasan).

Secara umum UU RI ini mengatur perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan benda-benda yang telah berumur 50 tahun atau lebih. Sifatnya masih sangat umum, berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia yang majemuk dan belum dapat diterapkan dalam kegiatan nyata. UU ini perlu ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan yang lebih khusus sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan masing-masing daerah atau kota.

Kabupaten Ende sudah harus memikirkannya. Perlu, peraturan daerah (perda) tentang perlindungan dan pemanfaatan bangunan dan kawasan/subkawasan bersejarah.

"Bentara" FLORES POS, Selasa 17 Februari 2009

Oh, Polres Ngada (Kasus Kematian Rm Faustin Sega Pr)

Oleh Frans Anggal

Tim forensik independen dari Universitas Indonesia yang didatangkan oleh Keuskupan Agung Ende (KAE) dengan persetujuan Kapolri dan Kapolda NTT telah mengautopsi jenazah Romo Faustin Sega Pr. Hasil autopsi menyimpulkan korban meninggal akibat tindak kekerasan.

Simpulan tim forensik sangat cocok dengan hasil kerja Tim Investigasi KAE yang menemukan adanya indikasi ketidakwajaran dalam kematian. Indikasi itu terlihat dari keterangan para saksi, tempat jenazah ditemukan, posisi jenazah, cara berpakaian, sisa muntahan, lokasi parkir motor, letak helem dan sandal, dll.

Sebaliknya, simpulan ini tidak cocok dengan “simpulan sementara” Polres Ngada. Dari olah tempat kejadian perkara (TKP), visum et repertum, dan pengambilan keterangan 12 saksi, polisi tidak menemukan indikasi tindak kekerasan. Karena itu pula, polisi belum menetapkan satu pun tersangka.

Diperhadapkan dengan temuan Tim Investigasi KAE, keseriusan Polres Ngada mengusut tuntas sebab kematian Romo Faustin dipertanyakan. Polres lalu bereaksi mencari bukti lebih lanjut. Untuk tujuan itu, anehnya, Polres tidak memperhatikan simpulan dan saran Tim Investigasi KAE yang sangat membantu tugas kepolisian. Polres malah mau yang lebih jauh: autopsi. Keuskupan dan keluarga korban pun disurati minta izin, dua kali, namun tak ada jawaban.

Pihak keuskupan dan keluarga bukan tidak menyadari pentingnya autopsi. Autopsi bisa menyingkap penyebab kematian. Persoalannya, pertama, Polres Ngada belum bekerja serius. Kalau serius, tak perlu autopsi. Indikasi ketidakwajaran dalam kematian sudah sangat jelas.

Pertimbangan kedua, independensi tim autopsi. Kalau tim didatangkan oleh Polres Ngada, patut dapat diduga hasilnya hanya akan membenarkan simpulan polisi . Autopsi hanya dijadikan gong pamungkas bahwa Romo Faustin meninggal secara wajar dan karena itu kasusnya ditutup.

Di republik sialan ini, tempat hukum mudah diperjualbelikan, tempat aparat penegak hukum leluasa memperdagangkan perkara, cara pembuktian melalui autopsi mudah diselewengkan. Analog dengan bahasa, autopsi bisa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu, tetapi juga untuk menyembunyikan sesuatu. Yang terakhir ini dikhawatirkan terjadi pada autopsi jenazah Romo Faustin kalau timnya didatangkan oleh Polres Ngada.

Syukurlah, usulan KAE mendatangkan tim forensik independen disetujui Kapolri dan Kapolda NTT. Hasilnya sangat cocok dengan temuan Tim Investigasi KAE. Sebaliknya, sangat jauh dari “simpulan sementara” Polres Ngada. Ini sebuah hasil yang tidak hanya menyingkap sebab kematian, tetapi juga menunjukkan seperti apa Polres Ngada saat ini. Oh, Polres Ngada.

"Bentara" FLORES POS, Senin 16 Februari 2009

Untuk Bupati & Wabup Manggarai Timur

Oleh Frans Anggal

Hari ini, Sabtu 14 Februari 2009, Yosef Tote dan Andreas Agas dilantik menjadi Bupati dan Wabup Manggarai Timur. Kita mengajak keduanya merenungkan sejenak mutiara indah yang dipersembahkan Presiden AS Barack Obama pada pelantikannya di Capitol Hill, Washington DC, Selasa 20 Januari 2009.

Setelah membeberkan semua krisis yang sedang dihadapi bangsanya, di bagian awal pidatonya Barack Obama berujar penuh harapan: Ketahuilah, semua tantangan ini akan kita hadapi!

“Pada hari ini, kita berkumpul karena kita lebih memilih harapan daripada ketakutan, kesatuan tujuan daripada konflik dan pertentangan. Pada hari ini, kita berkumpul untuk menyatakan berakhirnya keluhan-keluhan kecil dan janji-janji palsu, saling tuduh dan berbagai dogma lusuh yang terlalu lama mencekik politik kita.”

Dengan cara apa harapan itu bisa terwujud, Barack Obama mengemukakannya dengan jelas di bagian tengah pidatonya.

“Kebesaran tak pernah diberikan begitu saja. Mencapai kebesaran harus dengan kerja keras. Perjalanan yang kita tempuh tak pernah mengambil jalan pintas. Perjalanan kita bukanlah bagi mereka yang tidak tabah, bukan pula bagi mereka yang suka bermalas-malas, atau bagi yang hanya mengejar kekayaan dan menjadi terkenal. Perjalanan kita adalah perjalanan bagi mereka yang berani mengambil risiko, mereka yang melakukan hal-hal baru dan membuat terobosan baru.”

Dalam mencapai kebesaran itu, tandas Barack Obama jelang akhir pidatonya, nilai-nilai lama warisan leluhur tetap menjadi dasar pijak.

“Tantangan kita mungkin baru. Sarana yang kita gunakan untuk mengatasinya mungkin baru. Tetapi tetaplah pada nilai-nilai inilah keberhasilan kita bergantung, yaitu kerja keras dan kejujuran, ketabahan dan bertindak adil, toleransi dan rasa ingin tahu, kesetiaan dan patriotisme. Semua itu sudah lama ada. Semua itu telah menjadi kekuatan kemajuan sepanjang sejarah. Jadi, yang dituntut sekarang adalah kembali ke nilai-nilai ini. Apa yang diperlukan dari kita sekarang ini adalah pertanggungjawaban yang baru, suatu pengakuan dari tiap orang bahwa kita mempunyai kewajiban bagi diri kita sendiri, bagi negara kita, dan bagi dunia. Kewajiban yang kita lakukan dengan senang hati, bukan dengan bersungut-sungut. Sebab, kita tahu tak ada yang lebih memuaskan bagi jiwa kita daripada memberikan segalanya untuk menyelesaikan tugas yang sulit. Inilah pengorbanan dan janji kewarganegaraan. Inilah yang menjadi sumber keyakinan kita. Tuhan meminta kita untuk memperbaiki keadaan yang tidak pasti.”

Teguh dalam harapan, ulet dalam kerja, kukuh dalam nilai-nilai luhur. Itulah tiga mutiara indah pidato Barack Obama. Kita jadikan kado buat Pak Yosef dan Pak Andreas. Selamat bertugas!

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 14 Februari 2009

Kepala Telkom Lewoleba (Kasus Perbuatan Tak Menyenangkan)

Oleh Frans Anggal

Kepala Kantor Telkom Lewoleba Jefta Loak melakukan tindak kekerasan terhadap wartawan Flores Pos Maxi Gantung di Lewoleba, Lembata, pada Senin 10 Februari 2009. Jefta Loak melarang Maxi Gantung menggunakan lagi jasa internet kantor Telkom dengan alasan bahwa yang bersangkutan menggunakan internet terlalu lama. Karena larangan ini ditanggapi, Jefta Loak meramas krah baju korban sambil mengepalkan tinju. Kasus ini dilaporkan ke polisi.

Ada dua tindakan pelaku yang pantas dipersoalkan. Pertama, tindak kekerasan itu sendiri. Meramas krah baju sambil mengepalkan tinju sudah merupakan tindak kekerasan fisik meski tidak menimbulkan akibat fisik-biologis. Meski demikian, akibat non-fisiknya jelas ada, sekurang-kurangnya telah menimbulkan rasa tidak menyenangkan pada diri korban.

Terlepas dari besar kecilnya akibat yang ditimbulkan, tindak kekerasan apa pun tidak dapat dibenarkan. Tindakan seperti ini lahir dari agresivitas, dorongan naluri yang juga ada pada binatang. Yang membedakan manusia dari binatang bukan hanya adanya akal budi, tetapi juga bagaimana akal budi bisa mengontrol naluri.

Untuk manusia yang didaulat menjadi pemimpin, salah satu ukuran kepatutan adalah kemampuan mengontrol naluri, mengendalikan emosi. Tanpa kemampuan ini, ia hanya sukses untuk menghancurkan, tidak untuk membangun. Kata-kata Presiden AS Barack Obama dalam pidato pelantikannya sangat tepat ketika memberikan seruan kepada segenap pemimpin dunia. “...your people will judge you on what you can build, not what you destroy” (rakyat akan menilai kalian berdasarkan apa yang dapat kalian bangun, bukan apa yang kalian hancurkan).

]Dalam skala yang kecil, nun di Lewoleba, seorang Kepala Telkom justru melakoni habitus merusak itu. Ia tidak bisa mengendalikan naluri agresi dan gagal mengontrol emosi. Ia melakukan kekerasan fisik, juga kekerasan non-fisik. Ia melarang seorang konsumen menggunakan lagi jasa internet di kantornya. Ia merusak salah satu hak dasar konsumen: hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Dengan tindak kekerasan yang ia lakukan, sang Kepala Telkom sesungguhnya juga merusak budaya dan citra perusahaan tempat ia berkarya. Telkom memilki good corporate culture (budaya perusahaan yang baik). Credonya sangat terkenal, “Committed 2 U”. Telkom memberikan komitmen pelayanan dan hasil serta citra terbaik kepada para pemangku kepentingan, terutama pelanggan.

Di hadapan credo seelegan itu, apa yang dapat kita katakan tentang kekerasan yang dilakukan Kepala Telkom Lewoleba? Ia telah menghancurkan semuanya. Ia pantas tidak hanya untuk dihukum, tetapi juga untuk tidak menempati lagi posisi terhormat itu.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 13 Februari 2009

Dishut Ngada Tebang Pilih? (Kasus Kayu Cendana di Ngada)

Oleh Frans Anggal

Dua warga Desa Nganamanu, Kecamatan Wolomeze, Kabupaten Ngada dilaporkan ke polisi oleh Dinas Kehutanan (Dishut) setempat karena menebang kayu cendana secara liar (ilegal). Kedua warga menebang kayu cendana milik mereka sendiri dalam kebun sendiri, yang ditanam puluhan tahun lalu. Bibit kayu diperolah dari Dishut. Mereka dinilai bersalah karena menebang tak seizin Dishut, kata Kepala Dinas Ben Pollo Maing. Mereka melanggar Perda NTT No 17/1993 tentang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu pada Hutan Milik dan Hutan Lainnya.

Anggota DPRD Ngada, Moses Mogo dan Lorensius Bengu, mengkritik langkah Dishut karena tidak turut melaporkan oknum polisi yang terlibat. Padahal, warga menebang karena ada permintaan dari oknum polisi yang mau membeli dengan harga murah meriah Rp15 ribu per kg. Oknum polisi tidak dilaporkan oleh Dishut dengan alasan kayu-kayu itu belum diangkut. Dinas ini berprinsip, kalau benar oknum polisi terlibat, itu akan terungkap kemudian dalam penyelidikan dan penyidikan. Benarkah itu?

Alasan Dishut tidak melaporkan oknum polisi dan hanya melaporkan dua warga dapat dibenarkan kalau memang hanya tentang pelanggaran dua warga itu mereka memiliki bukti awal yang cukup. Melaporkan begitu saja tanpa memiliki bukti awal yang cukup bisa terkena delik pencemaran nama baik.

Di sisi lain, kritik dua anggota dewan dapat dibenarkan kalau Dishut tidak melaporkan oknum polisi hanya karena kayu yang telah ditebang belum diangkut. Sebab, pengangkutan hanyalah tindak lanjutan dari penebangan. Penebangan terjadi karena ada permintaan dari oknum polisi sebagai pembeli. Semestinya yang dilaporkan bukan hanya penebang dan penjual (dua warga), tetapi juga pembeli (oknum polisi), terlepas dari kapan kayu itu diangkut.

Kapan kayu diangkut, itu hanya soal peluang. Patut dapat diduga, kayu tidak jadi diangkut karena beberapa hari sebelumnya dua oknum polisi tertangkap tangan di Kurubhoko saat mengangkut satu ton lebih kayu cendana ilegal asal Malafai-Wolomeze dan Riung. Saat ditangkap, keduanya mengatakan mereka hanya melaksanakan perintah Kapolres Ngada Erdy Swahariyadi.

Apakah karena nama kapolres disebut-sebut, Dishut lantas berhati-hati secara berlebihan sampai harus melakukan ‘tebang pilih’ dalam menegakkan aturan? Kita mendukung sikap kritis dua anggota dewan dengan tujuan agar Dishut tidak menerapkan standar ganda ‘tebang pilih’.

Sejauh memiliki bukti awal yang cukup, oknum polisi yang terlibat harus dilaporkan. Jangan hanya mengharapkan semuanya akan terungkap dalam penyelidikan dan penyidikan. Sebab, yang menyelidik dan menyidik polisi juga. Salah satu sifat dasar manusia adalah non self incriminating, tidak mau menyakiti diri sendiri. Apalagi kalau kapolresnya terlibat.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 12 Februari 2009