Bupati dan Ketua DPRD Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Dalam dua pekan berturut-turut, kisah “nyaris baku hantam” mewarnai berita dari Manggarai Barat. Kamis 19 Maret 2009, koordinator demo warga tiga desa Yuven Maldi nyaris bentrok dengan Bupati Fidelis Pranda dalam dialog soal PLTA Wae Ngele yang tidak berfungsi. Selasa 17 Maret 2009, Ketua DPC PPDI Yohanes Bosco perang mulut dengan Ketua DPRD Mateus Hamsi soal PAW anggoda dewan yang menjadi caleg dari partai lain.
Yang satu petinggi eksekutif. Yang lain petinggi legislatif. Elite politik lokal. Seelite-elitenya, mereka juga manusia. Bisa marah. Bisa amuk. Sampai di sini, kita pahamlah. Lagi pula, “amuk” itu kata khas Melayu. Tak ada padanannya dalam bahasa Inggris sehingga diinggriskan saja menjadi amok dan to run amuk.
Wikipedia menjelaskan, kata amok digunakan di India pada masa penjajahan Inggris. Mulanya untuk melukiskan kemarahan gajah yang dipisahkan dari kawanannya dan menjadi liar serta merusak apa saja. Amok kemudian menjadi populer melalui kisah-kisah penjajahan karya Rudyard Kippling. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini diasosiaksikan dengan penyakit sosial dalam budaya Melayu. Bangsa Melayu dikonotasikan sebagai bangsa yang gampang amuk.
Fidelis Pranda yang bupati dan Mateus Hamsi yang ketua dewan berdarah Melayu juga. Apakah karena itu mereka berhak untuk mudah mengamuk? Pasti tidak. Persoalannya bukan Melayu-nya, tetapi jabatan dan fungsinya sebagai pemimpin.
Dalam budaya kita, suka atau tidak suka, pemimpin dianggap sebagai panutan. Orang Prancis bilang noblesse oblige, kebangsawanan itu mewajibkan. Status sosial lebih tinggi menurunkan kewajiban lebih banyak, termasuk dalam memberikan teladan. Padahal, pemimpin juga manusia seperti yang lain. Ini yang tidak adil: kalau berbuat baik dan benar, pemimpin dianggap biasa saja karena begitulah seharusnya seorang panutan. Seakan-akan keteladanannya bukan hasil perjuangan pribadinya. Sebaliknya, kalau berbuat salah, ia dikecam. Ia diperlakukan tidak sebagai manusia biasa. Ini tidak demokratis.
Demokrasi tidak mengandaikan pemimpin itu tidak punya kesalahan. Kesalahan harus diandaikan ada. Sikap yang dituntut hanyalah kesiapan dikoreksi. Berani mengakui kesalahan, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi.
Kembali ke soal dua elite politik Manggarai Barat, maka pertanyaan kita: setelah kejadian “nyaris baku hantam” itu, lalu apa? Tanpa kesediaan mengakui kesalahan dan memperbaikinya, apa bedanya mereka dengan gajah amuk?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 25 Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar