Oleh Frans Anggal
Standar nilai kelulusan ujian nasional (UN) tahun 2009 dinaikkan 0,25 dari tahun sebelumnya. Agar bisa lulus, peserta UN SMP dan SMA minimal meraih nilai rata-rata 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Adapun nilai minimalnya 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Untuk SMK, nilai mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN. Sedangkan kriteria kelulusan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) untuk sekolah dasar (SD) ditetapkan melalui rapat dewan guru. Penetapan mencakup nilai minimum setiap mata pelajaran yang diujikan serta nilai rata-rata tiga mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Bagi dunia pendidikan NTT, kenaikan standar nilai kelulusan UN ini merupakan tantangan berat. Pada tahun 2008, persentase kelulusan di provinsi ini hanya 62,75 persen atau hanya naik 0,67 persen dari tahun sebelumnya 62,08 persen. Jumlah yang tidak lulus 37,25 persen atau hampir tiga kali lipat dari persentase ketidaklulusan nasional sekitar 10 persen. Tantangan berat ini tentu membutuhkan kerja keras pihak sekolah. Kerja keras dalam ketakutan.
Bagi kebanyakan sekolah, UN sudah menjadi semacam hantu yang mengerikan. Hantu ini lahir dari kesewenang-wenangan pemerintah mencaplok otonomi sekolah dan kewenangan pendidik yang sudah memiliki landasan hukum yang kuat.
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan, guru dan dosen memiliki hak dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan. Yang terjadi, hak ini telah dirampas oleh pemerintah melalui sistem standar nilai kelulusan UN.
Sistem UN sendiri sangat pincang. UN hanya menilai aspek kemampuan intelektual, itu pun terbatas pada beberapa mata pelajaran saja, untuk menentukan nasib peserta didik. Padahal UU Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan, kompetensi kelulusan merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup tidak hanya pengetahuan, tapi juga sikap dan keterampilan.
Sejatinya, UN hanya pantas sebagai sarana akreditasi sekolah, bukan penentu kelulusan. Hak menentukan kelulusan harus tetap ada di tangan sekolah, bukan pada pemerintah. Tugas pemerintah yang lebih penting dan mendesak bukan menyelenggarakan UN, tapi membantu sekolah dengan sarana, prasarana, buku, dan pendidik yang bermutu. Tunaikan dulu kewajiban itu.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 16 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar