26 Maret 2009

Salahkan Mereka?

Oleh Frans Anggal

Marianus Gaharpung, dosen Universitas Surabaya, memakai istilah "ideologi perut" untuk menamakan gejala ramai-ramainya orang ingin jadi calon legislatif (caleg) Pemilu 2009. Banyak politisi pindah partai demi mendapat nomor urut satu dalam daftar caleg. Partai diposisikan sebagai instrumen untuk mencari kekuasaan dan sesuap nasi. Politisi seperti ini adalah "politisi perut". Ideologi yang mereka perjuangkan bukan lagi ideologi partai, tapi ideologi perut.

Sejak rezim Soeharto tumbang 1998, peta politik di Indonesia berubah. Sistem kepartain yang baru telah melahirkan banyak politisi baru. Dulunya mereka itu biasa-biasa saja, sekarang mereka kaya-kaya. Kenapa? Karena mereka menjadi anggota legislatif! Masuk akal, gaji mereka besar, ditambah aneka tunjangan dan berbagai kemudahan. Profesi politisi telah membuat lompatan kesejahteraan, yang kecepatannya mengalahkan bisnis di bidang apa pun. Politisi menjadi profesi menggiurkan karena merupakan jalan pintas menjadi kaya. Kalau mau kaya, jadilah politisi.

Di hadapan kenyataan seperti ini, kita tak perlu terkejut kalau kini orang ramai-ramai ingin menjadi caleg. Sebagian (besar?) dari antara mereka ingin menjadi kaya. Supaya kaya, harus terpilih. Nomor urut pertama dalam pencalonan pun menjadi rebutan karena lebih memberi peluang menang. Karena itu, demi nomor urut, banyak politisi gonta-ganti partai. Ideologi partai tidak diperhatikan. Yang penting nomor urut. Yang penting bisa jadi anggota dewan, sehingga cepat menjadi kaya. Partai dan lembaga legislatif dijadikan instrumen untuk mencari kekuasaan dan sesuap nasi.

Memang begitukah dunia politisi? Sebetulnya tidak. Pada banyak negara bermartabat, politisi bukan profesi untuk mencari uang, tetapi justru untuk membelanjakan uang. Pada negara-negara itu, orang menjadi politisi ketika tidak lagi memikirkan perut. Mereka kaya duluan baru masuk ke dunia politik. Karena itu, yang mereka pikirkan adalah pengabdian kepada bangsa dan negara. Peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas. Di negeri kita, terutama saat ini, justru sebaliknya. Orang masuk dunia politik saat perut lapar. Akibatnya, mereka hanya memikirkan perutnya sendiri. Apa saja dimakan, tak peduli halal atau haram, yang penting bikin kenyang.

Yang mengkhawatirkan kita, jumlah penganut "ideologi perut" ini akan terus bertambah, sejalan dengan meningkatnya pengangguran. Krisis ekonomi telah memerosotkan strata berbagai kelas di masyarakat. Bahkan kelas menengah yang menurut teori politik merupakan agen-agen kemajuan, makin menipis jumlahnya karena jatuh melarat. Nah, kini mereka ingin memperbaiki ekonominya. Mereka memilih jalan yang terbukti cepat membikin orang menjadi kaya, yaitu menjadi anggota legislatif. Salahkan mereka?

"Bentara" FLORES POS, Jumat 24 Oktober 2008

Tidak ada komentar: