Oleh Frans Anggal
Paguyuban Ngada Utara di Maumere meminta aparat penegak hukum menghukum mati para pelaku pembunuhan Romo Faustin Rega Pr. “Perbuatan para tersangka telah mencoreng umat Katolik, baik yang ada di Soa dan Boawae maupun Gereja universal. Apalagi perbuatan pelaku menghilangkan nyawa seorang gembala umat dan para pelaku adalah umat Katolik.” Kata paguyuban ini, hukuman mati itu setimpal, dibenarkan oleh hukum positif dan cocok dengan ungkapan adat Le teo le bedhi.
Mari menoleh ke tahun 2006. Ketika negara hendak mengeksekusi mati tiga perantau asal Flores dalam kasus Posos III, masyarakat dan umat Katolik Flores menolaknya secara tegas. Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva akhirnya dieksekusi juga. Hidup mereka berakhir. Namun perjuangan menyelamatkan kehidupan berlangsung terus.
Dalam surat pastoralnya, Uskup Maumere kala itu Mgr. Vincentius Sensi Potokota menyerukan, “Perjuangan kita demi kehidupan, kebenaran, dan keadilan tetap kita pertahankan, juga apabila negara tetap berketetapan mengeksekusi ketiga saudara kita. Dalam memberikan reaksi atas pelaksanaan eksekusi mati atas ketiga saudara kita, kami menegaskan agar kita tetap konsisten dengan keseluruhan isi perjuangan kita.”
Isi perjuangan itu adalah menyelamatakan kehidupan manusia, pemberian Tuhan yang tidak boleh dicabut oleh siapa pun termasuk negara, kapan pun, di mana pun, dan dengan alasan apa pun. Kalau kita bereaksi dengan melakukan anarki dan membunuh, kita mengkhinati perjuangan kita sendiri. Dengan menuntut kematian dibalas kematian, apa bedanya kita dari para pembunuh? Perjuangan menyelamatkan kehidupan mesti tetap dalam koridor budaya kehidupan. Darah tidak bisa dibersihkan dengan darah.
Seruan Mgr. Vincentius Sensi Potokota yang kini menjadi Uskup Agung Ende tetap relevan, termasuk dalam kasus kematian seorang imamnya, Romo Faustin Rega Pr. “Perjuangan kita demi kehidupan, kebenaran, dan keadilan ....” Uskup menyebut tiga kata itu berurutan: kehidupan, kebenaran, keadilan.
Kita menuntut hukuman seadil-adilnya bagi pelaku pembunuhan Romo Faustin, namun tetap dalam koridor menyelamatkan kehidupan. Hukuman mati tidak dapat dibenarkan.
Hukuman mati melanggar ajaran Katolik. Yang berhak mengakhiri hidup hanyalah Tuhan. Hukuman mati juga melanggar hukum tertinggi, konstitusi UUD 1945 yang sudah diamandemen. Konstitusi (pasal 28 I) menyatakan, hak untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 21 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar