27 Februari 2011

Berkabung secara Kristiani!

Mengkritisi Rencana Aksi "Kupang Berkabung"

Oleh Frans Anggal

Gubernur NTT Frans Lebu Raya meminta masyarakat NTT tidak menggelar "Kupang Berkabung" terkait kasus di Temanggung, Jawa Tengah. Penyampaian solidaritas bisa dengan cara lain yang lebih santun dan bermoral. "Marilah kita belajar dari pengalaman tahun 1998 lalu. Akibat acara ‘Perkabungan Nasional’, terjadi kerusuhan," katanya (Flores Pos Jumat 25 Februari 2011).

Menurut rencana, "Kupang Berkabung" digelar di Kupang selama tiga hari 25-27 Februari 2011. Kegiatan ini sangat mengkhawatirkan. Selain karena pengalaman buruk 1998, juga karena mendahului rencana aksi ini telah marak beredar rumor SARA, baik lewat SMS maupun grafiti provokatif di tembok-tembok kota.

Gara-gara rumor SARA ini, kini sudah muncul rasa saling curiga di kalangan masyarakat. Bahkan sejumlah sekolah di kota Kupang diliburkan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Singkat kata, sebagian warga Kupang kini sudah hidup dalam suasana penuh ketakutan.

Keadaan ini seperti ini sudah cukup bagi negara untuk bertindak tegas. Negara tidak melarang atau menghalangi kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat. Namun, pada kondisi ekspresi kebebasan itu berpeluang menjadi tindakn kriminal, entah karena faktor internal ataupun faktor eksternal, negara harus bisa mencegah.

Belajarlah dari kerusuhan Kupang 30 Nopember 1998. Pagi itu digelar “Perkabungan Nasional” terkait peristiwa Ketapang (22 dan 23 November 1998). Awalnya bagi-bagi bunga di jalan-jalan protokol kepada setiap orang yang lewat. Kemudian berkembang jadi pemblokiran jalan-jalan raya. Lalu menyusuplah sekelompok provokatur dari luar kota. Massa pun bertindak anarkis. Kupang rusuh (www.dephan.go.id).

Apa narasi penting dari peristiwa ini? Kerusuhan Kupang 1998 bermula dari kegiatan “Perkabungan Nasional”, yang kemudian berubah menjadi kerusuhan massal, karena ada hasutan yang mengibas-ngibaskan sentimen SARA. Negara memang turun tangan, menindak para pelaku, namun, setelah terjadi begitu banyak kehancuran. Yang menderita luka berat (2), luka ringan (25), kerusakan masjid/mushola (9), rumah tinggal (44), kios/toko (45), rumah makan (30), gedung sekolah (3), kendaraan roda empat (14), roda dua (16), dan penduduk mengungsi (3.962).

Sekarang, terkait kasus Temanggung, warga Kupang mau bikin lagi “Kupang Berkabung”? Yang benar saja! Apa jaminan dari para penyelenggara bahwa aksi mereka tidak bakal rusuh? Apa pula jaminan dari negara, dalam hal ini Polda NTT, bahwa pihaknya bisa mencekal provokasi dan segala dampak ikutannya?

Kalau jaminan dari penyelnggara tidak ada, sebaiknya mereka berkabung dengan cara lain saja. “Cara lain yang lebih santun dan bermoral,” kata Gubernur Frans Lebu Raya. Demikian pula, kalau jaminan dari negara tidak ada, sebaiknya polda proaktif dan persuasif mencegah segala bentuk perkabungan yang dapat berpeluang rusuh. Sebab, kejahatan terjadi tidak hanya karena ada niat dari pelaku, tapi juga karena ada peluang.

Pada kerusuhan 1998, “Perkabungan Nasional” diselenggarakan oleh pemuda kristiani yang tergabung dalam panitia Gema Kristi. Kita meminta, kalau benar mau berkabung, berkabunglah secara kristiani! Menangislah! Koyakkan pakaianmu! Uraikan rambutmu! Potonglah tepi janggutmu!

Seruan biblis itu perlu dipahami secara metaforis. Berkabung berarti mawas diri. Menggeledah diri. Membenah diri. Sesal dan tobat. Perkabungan kristiani selalu berarti ziarah menuju Paska, menuju Kebangkitan, menuju Kehidupan. Berkabung berarti berupaya menyemaikan, menumbuhkan, dan memelihara budaya kehidupan. Bukan budaya kematian: perusakan, pembakaran, pembunuhan ….

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 26 Februari 2011

Di Balik Catut Nama Kajari

Kasus di Manggarai dan Manggarai Timur

Oleh Frans Anggal

Nama Kajari Ruteng Gembong Priyanto dicatut seorang penelepon gelap. Si penelepon meminta uang kepada para kepala satuan kerja pernagka daerah (SKPD) Kabupaten Manggarai. Jumlah yang diminta per kepala Rp70-an juta. Katanya, untuk biaya kunjungan kerja aparat Kejaksaan Agung ke Kabupaten Manggarai (Flores Pos Kamis 24 Februari 2011).

Dalam pernyataan persnya, Kajari Priyanto tegaskan, ia tidak pernah minta atau menyuruh orang lain minta sesuatu kepada para kepala SKPD. Ia telah mohon bantuan bupati mengumumkan penipuan ini saat apel pagi. Ia pun telah menyurati bupati Manggarai dan Manggarai Timur: meminta para kepala SKPD tidak melayani siapa pun penelepon yang mengatasnamakan dirinya.

Langkah Kajari Priyanto sangat tepat. Ia cepat lakukan klarifikasi, baik melalui pernyataan pers kepada publik maupun melalui surat kepada bupati dan para kepala SKPD. Mudah-mudahan, dari sekian banyak kepala SKPD yang sempat dihubungi si penipu, tak seorang yang tertipu dan berikan uang.

Apa yang manarik di sini? Pertama, sering dan berulang kalinya modus seperti ini terjadi. “Saya sudah bosan dengan yang begitu-begitu. Karena itu, saya tidak tanggapi,” kata Kadis PU Manggarai Sih Ketut Suastika. Kedua, sering dan berulang kalinya nama aparat penegak hukum dicatut. Ketiga, sering dan berulang kalinya kepala SKPD menjadi sasaran penipuan.

Ada apa di balik fenomena ini? Yang pasti, ada pengetahuan dan perhitungan si pencatut. Mungkin dia tahu, atau boleh jadi dia hanya menduga, para kepala SKPD sedang dalam kondisi psikologis kolektif yang tidak nyaman. Yaitu, merasa terancam karena kapan saja bisa di-tersangka-kan oleh jaksa dalam kasus apa saja yang dapat berpeluang terindikasi korupsi.

Si pencatut rupanya tahu, salah satu lahan korupsi paling subur di negeri ini adalah sektor pengadaan barang dan jasa. Itu tidak meleset. Data Indonesia Procurment Watch (IPW) sepanjang 2001- 2006 memperlihatkan, setiap tahun hampir 60% pengeluaran belanja negara digunakan untuk pengadaan barang dan jasa. IPW juga menemukan, tingkat “kebocoran” di sektor ini sekitar 10%-50%.

Apa iya Manggarai dan Manggarai Timur menjadi kekecualian di tengah kencenderungan umum yang tidak hanya sistemik tapi juga sudah endemic ini? Penelitian Kompas Juli 2008 menggambarkan, sebaran korupsi ada pada 23 dari 33 provinsi, dari Sabang sampai Merauke. Korupsi juga sudah lintas institusi. Semua lembaga pernah terkena.

Masa iya lembaga pemerintah di Manggarai dan Manggarai Timur luput ? Sudah ada kepala SKPD di Manggarai yang masuk penjara karena korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Juga kepala SKPD di Manggarai Timur. Padahal, Manggarai Timur itu kabupaten baru. Namanya juga sistemik dan endemik, korupsi tidak kenal lama dan baru. Kabupaten baru, ya, koruptor baru.

Tampaknya, si pencatut tahu dengan baik, tiap SKPD punya proyek pengadaan barang dan jasa. Ada proyek, berarti ada peluang salah urus. Betapa para kepala SKPD seakan-akan selalu terhantui oleh kekhawatiran ini. Sedikit saja keuangan negara dirugikan, si kepala terancam masuk bui, meski tidak sepeser pun makan duit.

Dalam suasana psikologis kolektif seperti ini, siapakah pihak yang paling mereka takuti? Jaksa! Maka, nama jaksa pun dicatut, untuk memeras kepala SKPD. Pertanyaan kita: seandainya yang terjadi itu bukan pencatutan, apakah para kepala SKPD berani menolak? Anda tahu jawabannya.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 25 Februari 2011

Rumor & Tugas Pemimpin

Aktifkan Akal Sehat Masyrakat

Oleh Frans Anggal

Kamis 17 Februari 2011, warga Waioti, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, melaporan: anak perempuan mereka (12 tahun) diculik tiga ninja, menggunakan mobil Kijang bernomor polisi 3838. Korban baru dilepaskan pada 19 Februari 2011 di terminal kota (Flores Pos Rabu 23 Februari 2011).

Polres Sikka lakukan penyelidikan. Hasilnya, “Dari keterangan korban diketahui, koran dibawa oleh pacarnya bernama Riki,” kata Humas Polres Saltial Rini. “Pekerjaan Riki adalah kondektur. Ia membawa korban ke salah satu rumah temannya di Nangahale. Mereka menginap di sana selama dua hari.”

Menurut korban, diperkuat oleh hasil visum, ia diperkosa sang pacar, dua kali. Untuk mengelabui orangtuanya, ia dipaksa sang pacar agar mengabarkan kepada orangtua bahwa ia diculik ninja.

Ini pembelajaran bagi masyarakjat. Jangan mengonsumsi rumor dan jangan mengambil keputusan berdasarkan rumor. Sudah hampir dua pekan masyarakat Sikka dan Flores diresahkan dengan rumor penggal kepala. Katanya, orang-orang asing sedang berkeliaran hendak menculik sekitar 400 anak untuk diambil organ tubuhnya.

Ini omong kosong belaka. Sama omong kosongnya dengan rumor 2008. Kata rumor kala itu, orang-orang tak dikenal sedang berkeliaran mencari 1.200 anak untuk dipenggal kepalanya demi meredakan amuk sumur Lapindo di Sidoarjo.

Berbeda dengan omong kosong 2008, omong kosong 2011 tidak sepenuhnya kosong. Masyarakat Sikka telah mengisi kekosongannya dengan sikap dan tindakan irasional. Jumat petang 18 Februari 2011, ribuan warga Kewapante menahan mobil Panther bernomor polisi L 1320 DA. Mobil berpelat Surabaya ini nyaris mereka bakar karena curiga membawa kepala manusia (Flores Pos Sabtu 19 Februari 2011).

Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau aksi anarkis itu tidak cepat dicegah polisi dan brimob. Tidak hanya mobil, mungkin pengemudi dan penumpangnya dibakar sekalian. Polisi telah mengcek isi mobil. Tidak ada kepala manusia di dalamnya. Yang ada hanya lampu, tas, dan boneka.

Ini contoh sekaligus bukti paling nyata tentang bahaya potensial sebuah rumor. Bahaya potensial itu menjadi bahaya aktual manakala disikapi secara salah. Sesuatu yang hanya “katanya” dianggap seakan-akan sudah “nyatanya”. Celakalah masyarakat yang mengonsumsi rumor dan mengambil keputusan berdasarkan rumor.

Sedangkan kasus pacar berlagak ninja merupakan contoh sekaligus bukti paling nyata tentang bahaya potensial mengail di air keruh. Masyaakat Sikka diresahkan rumor ninja pencari kepala. Mereka tampak teryakinkan. Sang “ninja lokal” menggunakan kesempatan dalam kesempitan ini. Orangtua korban pun tertipu bulat-bulat.

Dua kasus ini menunjukkan satu hal. Akal sehat masyarakat sedang lelap. Pepatah Itali mengingatkan, "Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah yang menguasai malam." Monster itulah yang kini mengganggu masyarakat Sikka dan Flores.

Hanya ada satu solusi. Akal sehat masyarakat harus segera diaktifkan. Dan itulah tugas para pemimpin. Sayangnya, banyak pemimpin justru tidak mencerdaskan, tapi sebaliknya membodohkan masyarakat. Pemilu, pilpres, pilgub, pemilukada terkesan sekadar melahirkan banyak medioker. Pemimpin serba-tanggung. Tidak punya visi, karena hanya memikirkan “gizi”.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 24 Februari 2011

Keluarga Langoday, Maju!

Kasasi Kasus Kematian Yoakim Langoday

Oleh Frans Anggal

Theresia Abon Manuk, Muhamad Kapitan, Lembertus Bedy Langoday, dan Mathias Bala dibebaskan dari Rutan Larantuka, Jumat 18 Februari 2011. Masa penahanan mereka telah berakhir. Keempatnya adalah terdakwa kasus pembunuhan Yoakim Langoday (Flores Pos Senin 21 Februari 2011).

Mendengar pembebasan ini, keluarga Yoakim Langoday datangi Pengadilan Negeri (PN) Lewoleba. Mereka kepung kantor itu. Situasi reda setelah mereka bertemu hakim. “Mereka (Erni Manuk cs) bebas bukan karena putusan Mahkamah Agung, tetapi karena masa penahanan telah selesai. Kalau nanti putusan (menyatakan mereka) bersalah, maka mereka dimasukkan kembali ke penjara,” kata jubir pengadilan Gustav Bless Kupa.

Penjelasan ini mudah dimengerti. Namun, soalnya bukan hanya itu. Keluarga pertanyakan, kenapa hanya dokumen terdakwa Bambang Trihantara yang ada di Mahkamah Agung (MA), sedangkan dokumen keempat terdawa lainnya tidak ada. Pertanyaan ini sulit dijawab oleh PN Lewoleba. Mereka harus kroscek ke Pengadilan Tinggi (PT) Kupang dan MA.

Menurut PN Lewoleba, semua berkas dikirim dalam satu paket, melalui titipan kilat. Namun, yang tiba di MA hanya berkas Bambang Trihantara. Sedangkan berkas Erni Manuk, Muhamad Kapitan, Lembertus Bedy Langoday, dan Mathias Bala belum. Kepastian ini diperoleh keluarga dari dari surat Kakan Dephum dan HAM NTT Agus Saryono.

Isi surat itu menyatakan, berdasarkan penjelasan dari MA melalui telepon kepada Rutan Kelas IIB, berkas perkara dari Theresia Abon Manuk, Muhamad Kapitan, Lembertus Bedy Langoday, dan Mathias Bala belum diterima MA. Pihak keluarga sudah melacak ke MA. Benar, dalam register MA hanya terdapat berkas Bambang Trihantara.

Rupanya, karena hanya berkas Bambang Trihantara yang ada di MA maka hanya putusan terhadap terdakwa inilah yang dikelurkan. Dalam putusannya MA menguatkan putusan PN Lewoleba dan PT Kupang. Bambang Trihantara divonis hukuman 17 tahun penjara. Sedangkan putusan bagi Erni Manuk, Muhamad Kapitan, Lembertus Bedy Langoday, dan Mathias Bala belum, karena berkasnya belum ada di MA.

Dalam “kebeluman” yang entah berkahir kapan inilah masa penahanan keempat terdakwa berakhir. Karena masa penahanan berakhir maka, demi hukum, keempatnya harus dibebaskan. Dasar yuridis formalnya kuat. Dengan dasar ini maka pembebasan mereka tepat. Karena tepat, pembebasan mereka pun ‘layak’ (fit) untuk diterima.

Yang menjadi soal---dan inilah substansi ketidakpuasan keluarga Langoday---meski ‘layak’ (fit) secara yuridis-formal, pembebasan itu tidak ‘patut’ (proper) secara etis-moral. Pembebasan demi hokum itu, atas dasar masa tahanan berakhir, terkesan telah diseting dengan cara tertentu, yang mengakibatkan berkas keempat terdakwa belum tiba atau tidak ada di MA.

Seandainya berkas mereka tiba bersamaan dengan berkas Bambang Trihantara, akan lain ceritanya. Mungkin mereka ‘bernasib’ seperti Bambang Trihantara. Vonisnya muncul sebelum masa penahanan berakhir. Dan vonisnya pun kurang lebh sama. MA menguatkan putusan PN Lewoleba dan PT Kupang.

Dengan ini kita mau katakan: bau tengik ‘pasar gelap keadilan’ (black market of justice) sangat terasa dalam kasus ini. Karena itu, kita mendukung dan mendorong keluarga Langoday. Maju terus! Jangan gentar membongkar yang cemar!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 23 Februari 2011

Segera Laporkan PADMA!

Kasus Pembunuhan Romo Faustin Sega Pr

Oleh Frans Anggal

Kapolres Ngada Moch Slamet akan membuat laporan polisi terhadap pemalsuan alat bukti yang dilakukan pengacara PADMA Indonesia dalam sidang banding putusan Pengadilan Negeri (PN) Bajawa terhadap terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja. Alat bukti dari ahli forensik Dokter Mun’im Idries telah dipalsukan di hadapan majelis hakim Pengadlan Tinggi (PT) Kupang (Flores Pos Senin 21 Februari 2011).

Oleh Pengadilan Negeri (PN) Bajawa, Theresia Tawa dan Anus Waja divonis penjara seumur hidup dalam kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr, imam Katolik dari Keuskupan Agung Ende. Putusan ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (Flores Pos Jumat 26 Maret 2010). Dalam sidang putusan tingkat banding oleh PT Kupang, kedua terdakwa divonis bebas (Flores Pos Sabtu 21 Agustus 2010).

Di hadapan majelis hakim PT Kupang , pengacara PADMA menyodorkan alat bukti berupa berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik terhadap ahli forenski Dokter Mun’im Idris tanggal 14 Februari 2009. Ini pemalsuan, kata Kapolres Moch Slamet. Sebab, pada tanggal itu tidak ada pemeriksaan terhadap Dokter Mun’im.

Yang terjadi pada 14 Febaruari 2009 adalah ini dan hanya ini: Dokter Mun’im melakukan autopsi terhadap jenazah Romo Faustin, di Pekuburan Misi Mataloko. Usai melakukan autopsi, Dokter Mun;im langsung kembali ke Jakarta. “Pertanyaannya, BAP penyidik itu diperoleh pengacara (PADMA) dari mana?” kata Kapolres Slamet.

Bedasarkan fakta ini, sangat jelas alat bukti yang digunakan pengacara PADMA pada tingkat banding adalah alat bukti palsu. Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang ada di berkas. Maka, demi hukum, putusan PT Kupang yang membebaskan Theresia Tawa dan Anus Waja harus gugur. Untuk itu, kapolres akan memmbuat laporan polisi. Kapan? Ini soal.

Untuk sementara, kata kapolres, ia masih menunggu putusan kasasi. Bila ternyata kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) ditolak Mahkamah Agung (MA) maka ia akan membuat laporan polisi kepada Polda NTT di Kupang, dan pengacara PADMA bisa diproses secara hukum.

Sikap dan rencana Kapolres Moch Slamet melaporkan pengacara PADMA kita dukung. Pemalsuan BAP masuk dalam delik pemalsuan surat. Bisa saja, asalnya palsu, seolah-olah dari penyidik Polres Ngada. Ini yang disebut pemalsuan meteriil (materiele valsheid). Bisa juga, benar bahwa BAP itu berasal dari penyidik Polres Ngada, namun isi dan/atau tanda tangan di dalamnya telah diubah tanpa izin pihak yang berhak.

Atas cara demikian, pemalsuan tersebut sesungguhnya sudah masuk dalam kategori kejahatan penipuan. Beberapa unsurnya terpenuhi. Pelaku mempunyai niat atau maksud agar orang lain percaya bahwa data yang disodorkannya adalah benar dan asli. Ini yang mengakitbkan orang atau pihak lain tertipu atau terpedaya.

Unsur niat atau maksud di sini tidak hanya mengandung hal menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tapi juga menimbulkan bahaya umum yang biasa dirumuskan sebagai ”kemungkinan kerugian” bagi kepentingan orang lain atau publik.

Dengan ini kita hendak menyatakan bahwa penipuan alat bukti yang menurut kapolres dilakukan pengacara PADMA tidak boleh dipersyaratkan lagi untuk perlu atau tidak perlu dilaporkan. Kalau itu penipuan, segera laporkan! Jangan tunggu putusan kasasi. Apa pun putusan MA, kejahatan penipuan tetap harus segera dilaporkan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 22 Februari 2011

Cerdaslah Tanggapi Rumor!

Rumor Penggal Kepala di Flores

Oleh Frans Anggal

Ribuan warga Kewapante, Kabupaten Sikka, menahan sebuah mobil Panther bernomor polisi L 1320 DA yang sedang parkir di salah satu ruas jalan di Kewapante, Jumat petang 18 Februari 2011. Mobil berpelat Surabaya ini nyaris dibakar massa karena diduga membawa kepala korban manusia, sebagaimana rumor sepekan terakhir (Flores Pos Sabtu 19 Februari 2011).

Atas kesigapan aparat Polsek Kewapante dan Brimob Kompi B, upaya pembakaran dapat dicegah. Mobil dan pengendaranya segera dilarikan ke markas Brimob. Benarkah ada kepala manusia hasil pemenggalan oleh para penculik, yang sepekan terakhir meresahkan warga Sikka dan warga Flores umumnya? Sama sekali tidak ada!

“Kami sudah cek, bahwa mobil yang diamankan di markas Brimob itu hanya membawa boneka dan barang jualan lainnya,” kata Kasat Intel Polres Sikka M Arif Sadikin. “Ternyata setelah dicek, mobil itu hanya membawa lampu, tas, dan boneka mainan,” kata Camat Kewapante Kasianus Key. “Saya sudah jelaskan kepada massa, namun mereka tatap ingin tahu apa yang ada dalam mobil.”

Aksi yang nyaris anarkis dan fatal ini tidak terjadi tiba-tiba. Ada presedennya. Selama sepekan, di Kabupateh Sikka, beredar rumor adanya orang-orang asing yang sedang mencari sekitar 400 anak untuk diambil organ tubuhnya. Sebagai “bukti”, kata rumor itu, telah terjadi dua kasus upaya penculikan anak di kampung Loang dan Hepang.

Benarkah peristiwa di Loang dan Hepang itu penculikan anak? Polisi sedang melacaknya. Kalau betul itu penculikan, benarkah tujuannya untuk memenggal kepala atau mengambil organ tubuh anak? Untuk apa? Dijual? Untuk dijadikan tumbal pereda atau penjinak sesuatu yang tidak bisa diatasi dengan iptek?

Mari menoleh ke peristiwa tiga tahun sebelumnya. Januari 2008, masyarakat Kabupaten Sikka diresahkan rumor serupa. Jumlah calon korbannya tidak main-main: tiga kali lipat. Katanya, orang-orang tak dikenal sedang berkeliaran mencari 1.200 anak untuk dipenggal kepalanya demi meredakan amuk sumur Lapindo. Benarkah itu? Tidak lebih daripada omong kosong!

Sebelum sampai di Sikka, rumor yang sama beredar di Kalimantan Tengah (Kalteng). Masyarakat Kalteng makin percaya karena ada “bukti”. Seorang wanita, Latifah, ditemukan dengan kepala terpenggal di Desa Mampai, Kecamatan Kapuas Murung. Bagaimana hasil penyelidikan polisi? Kepala Latifah benar terpenggal. Namun, tidak ada kaitan dengan sumur Lapindo. Motifnya, masalah pribadi belaka. Pelakunya telah ditangkap.

Bagaimana peristiwa yang satu dikaitkan dengan peristiwa yang lain, sehingga seakan-akan rasional sebagai “bukti”, ituah rasionalisasi sebuah rumor. Peristiwa di Loang dan Hepang di Kabupaten Sikka kurang lebih seperti itu juga. Rupanya “bukti” dari Loang dan Hepang-lah yang dipegang ribuan warga Kewapante ketika berupaya membakar mobil yang mereka curigai.

Ini bukan fenomena baru. Dulu, rumor penggal kepala sengaja diciptakan oleh masyarakat sendiri, sebagai alat pertahanan dan pemerkuat lokalitas. Sekarang, rumor yang sama ditebarkan pihak tertentu, untuk tujuan sebaliknya. Menghancurkan lokalitas. Caranya, menciptakan saling curiga, sehingga lahirlah konflik horizontal.

Pihak yang menebarkan rumor mengail di air keruh. Mereka memetik manfaat di dan dari daerah konflik. Konflik dijadikan proyek mendatangkan keuntungan politik atau ekonomi. Maka, cerdaslah menanggapi rumor! Jangan konyol!

“Bentara” FLORES POS, Senin 21 Februari 2011

Segera Periksa PT Kupang!

Kasus Pembunuhan Romo Faustin Sega Pr

Oleh Frans Anggal

Forum Rakyat Pencari Keadilan (RPEKAD) Bajawa meminta Mahkamah Agung (MA) memeriksa majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Kupang yang telah memutus bebas terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja dalam kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr, imam Katolik dari Keuskupan Agung Ende (Flores Pos Jumat 18 Februari 2011).

Oleh Pengadilan Negeri (PN) Bajawa, Theresia Tawa dan Anus Waja divonis penjara seumur hidup. Putusan ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (Flores Pos Jumat 26 Maret 2010). Dalam sidang putusan tingkat banding oleh PT Kupang, kedua terdakwa divonis bebas (Flores Pos Sabtu 21 Agustus 2010).

Menurut RPEKAD, majelas hakim PT Kupang telah salah menerapkan hukum pembuktian. Ini benar-benar memprihatinkan! Peraturan hukuam yang baik menjadi mubazir di tangan perilaku berhukum yang buruk.

Sosiologi hukum mengenal istilah ”mobiliasasi hukum”. Hukum perlu dimobiliasi agar dapat berfungsi. Tanpa mobilisasi, hukum hanyalah ‘huruf-huruf mati’ (black letter law). Karena harus dimobilisasi, hukum bergantung tidak hanya pada leges (peraturan) yang mengukuhkan legalitas, tapi juga pada mores (perilaku) yang menegakkan moralitas. Dua pilar itu sama pentingnya. Yang legal dan yang moral.

Di Indonesia, dua pilar ini sama-sama berdiri. Namun, yang satu tegak-kukuh, yang lain miring- goyah. Pilar peraturan kita banyak. Hitung saja jumlah UU di negeri ini. Sayang, pilar perilaku kita bernatakan. Pada tingkat kritis seperti ini, kalau harus memilih antara peraturan yang baik dan perilaku yang baik, kita tentu memilih yang kedua.

Taverne, profesor hukum berkebangsaan Belanda, pernah berucap. “Berikan kepada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik.” Kalau Taverne meminta itu dari negeri kita, ia bakal stres. Di negeri ini begitu banyak UU yang cacat, bahkan cacat sejak lahir. Cacatnya besar, sedang, dan kecil. Ada yang cacatnya kasatmata, ada pula yang baru diketahui saat UU-nya dijalankan. Kita memilki banyak peraturan yang buruk. Sudah buruk peraturannya, buruk pula perilaku aparatnya: polisi, jaksa, dan hakim. Payah!

Pada awal penyidikan kasus kematian Romo Faustin Sega Pr, perilaku buruk ditampakkan oleh kapolres Ngada kala itu. Kapolres berusaha mati-matian me-mati-wajar-kan Romo Faustin. Pasca-vonis PN Bajawa yang memutus penjara seumur hidup bagi Tawa dan Waja, perilaku buruk dipertontonkan oleh majelis hakim PT Kupang.

Dalam sidang putusan tingkat banding, PT Kupang memvonis bebas Waja dan Tawa. Putusan jungkir balik ini menghina akal sehat. Nalar hukum di baliknya menyedihkan. PT Kupang hanya mendengarkan keterangan dari sedikit saksi yang meringankan, dan mengabaikan keterangan dari begitu banyak saksi yang memberatkan. PT Kupang pun tidak mempertimbangkan semua alat bukti, termasuk hasil autopsi ahli forensik.

Ini contoh nyata betapa berbahayanya perilaku buruk. Putusan rasional di tingkat pengadilan negeri bisa dengan mudah dimentahkan oleh putusan irasional di tingkat banding. Putusan rasional bisa dengan gampangnya dikalahkan oleh putusan transaksional. Atas dasar: kepentingan bertemu kepentingan. Keinginan bersua kebutuhan.

Kita mendesak, majelis hakim PT Kupang harus segera diperiksa!

Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 Februari 2011

Yang Sesat Itu Siapa?

Kasus Pembunuhan Romo Faustin Sega Pr

Oleh Frans Anggal

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bajawa yang memeriksa perkara kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr pada 2008 akan diperiksa oleh tim pengawas Mahkamah Agung (MA). Pemeriksaan dilakukan berdasarkan adanya laporan dari pengacara PADMA Indonesia Gabriel Goa bahwa menjelis hakim PN Bajawa telah melakukan peradilan sesat (Flores Pos Kamis 17 Februari 2011).

Dalam sidang pembacaan putusan Kamis 25 Maret 2010, majelis hakim PN Bajawa menjatuhkan vonis penjara seumur hidup bagi Theresia Tawa dan Anus Waja, terdakwa otak pembunuhan Romo Faustin Sega Pr, imam Katolik dari Keuskupan Agung Ende. Putusan ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (Flores Pos Jumat 26 Maret 2010).

Dilihat dari pertimbangannya, ada kecenderungan hakim menjatuhkan hukuman mati. Namun, karena Gereja Katolik menolak hukuman mati, penjara seumur hiduplah yang paling tepat. Ini hasil maksimal. Putusan ini boleh bilang mencerminkan rasa keadilan masyarakat Katolik di Flores. Khusus bagi Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende, vonis ini adalah juga pemastian bahwa imamnya Romo Faustin Sega Pr. mati karena dibunuh. Bukan mati wajar sebagaimana diseting oleh pihak tertentu.

Apa yang terjadi kemudian, mengejutkan dan menyakitkan.Dalam sidang putusan tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) Kupang memvonis bebas Anus Waja dan Theresia Tawa dari hukuman penjara seumur hidup. Mulai Kamis 18 Agustus 2010, Waja-Tawa menghirup udara bebas (Flores Pos Sabtu 21 Agustus 2010).

Putusan ini mengejutkan, karena tidak sesuai dengan dugaan publik. Kejari Bajawa menuntut penjara seumur hidup. PN Bajawa memvonis penjara seumur hidup. Dugaan publik, vonis PT Kupang pun begitu. Meleset. Putusan ini pun menyakitkan. Melukai rasa keadilan masyarakat. Yang menyebabkan matinya binatang bisa dipenjara. Koq yang menyebabkan matinya manusia diputus bebas.

Semakin mengejutkan dan menyakitkan, karena keterangan pers Ketua PT Kupang A. Th. Pudjiwahono. Kata dia, PT mendasarkan putusan bebas Waja-Tawa pada dua hal. Pertama, “Tidak ada saksi yang melihat langsung dua terdakwa melakukan pembunuhan itu.” Kedua, “Bahkan ada saksi (10 orang) yang menerangkan terdakwa Anus Waja berada di tempat lain saat kejadian berlangsung” (Pos Kupang 21 Agustus 2010).

Dasar putusan PT ini sungguh menghina akal sehat. PT hanya dengarkan keterangan 10 saksi yang meringankan, dan mengabaikan keterangan 48 saksi yang memberatkan. PT pun tidak mempertimbangkan semua alat bukti, dan hanya bergantung pada “saksi yang melihat langsung”.

Pertanyaan kita: mana ada pembunuh yang tunggu disaksikan orang baru mau membunuh? Mana ada koruptor yang tunggu diintip orang baru mulai mencuri? Mana ada teroris yang tunggu dinonton massa baru melakukan peledakan?

Benar-benar menghina akal sehat. Ini sudah cukup sebagai indikasi bahwa yang lakukan peradilan sesat itu adalah PT Kupang, bukan PN Bajawa. Keterangan Kapolres Ngada Moch Slamet tentang BAP, dan klarifikasi Fakultas Kedokateran UI tentang autopsi jenazah Romo Faustin dapat dipandang sebagai konfirmasi bahwa PN Bajawa punya integritas yang tinggi.

Sekarang, majelis hakim PN Bajawa hendak diperiksa oleh tim pengawas MA? Berdasarkan laporan pengacara PADMA Indonesia Gabriel Goa? Tentang peradilan sesat? Yang benar saja! Yang sesat itu siapa? Laporan sesat bisa memunculkan pemeriksaan sesat, dan akhirnya melahirkan putusan sesat!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 18 Februari 2011

25 Februari 2011

Dan… Itu Ada di Flores!

Dari Kasus Penyalahgunaan Hosti di Maumere

Oleh Frans Anggal

Uskup Maumere Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD menyatakan memaafkan dua lelaki non-Katolik yang ikut menerima hosti pada misa di Gereja Katedral Maumere, Senin 14 Februari 2011. Umat yang tersulut kemarahan pun bisa menahan diri. Demi kemananan selanjutnya, proses hukum bagi pelaku penyalahgunaan hosti ini ditangani Polda NTT di Kupang (Flores Pos Rabu 16 Februari 2011).

Kalau boleh memuji, yang lebih pantas dipuji bukan ukskup, tapi umat. Sebagai orang terpilih oleh berbagai keutamaan yang dimilikinya, uskup selalu punya hati yang rela mengampuni. Berimankan Tuhan maha-pengampun, ia tidak menyimpan dendam. Dia pembawa damai. Dan damai hanya bisa tercipta oleh kerelaan mengampuni.

Umat? Mereka bukan uskup. Tidak semua mereka memiliki keutamaan yang sama. Dalam konteks peristiwa di Maaumere, mereka adalah audiens dan partisipan perayaan misa. Dalam terminologi psikologi massa, mereka bisa disebut ‘kerumunan’ (crowd). Mereka rentan menjadi ‘kerumunan yang beraksi’ (acting crowd) atau ‘kerumunan yang melakukan kerusuhan’ (rioting crowd).

Penyalahgunaan hosti itu melukai perasaan religius mereka. Ini sudah cukup sebagai pemicu amuk. Jika terjadi, sangat bisa dimengerti, meski tidak bisa dibenarkan. Yang mengagumkan kita, pemicu dan peluang itu ada, tapi umat bisa mengendalikan diri. Luar biasa.

Kasus ini terjadi dalam suasana psikologis umat kristiani yang tersakiti peristiwa Temanggung, Jawa Tengah. Selasa 8 Februari 2011. Tiga gereja dibakar massa yang tidak puas dengan tuntutan 5 tahun penjara untuk seorang terdakwa kasus penistaan agama. Penyalahgunaan hosti itu penistaan agama juga, bukan? Kalau umat mau balas dendam, bisa saja. Tapi, tidak. Mereka bisa kendalikan diri. Luar biasa.

Kita bangga. Orang di Flores bisa seperti ini. Bisa mengendalikan diri. Dan ini bukan yang pertama kali. Apa yang sesungguhnya ada di balik fenomena yang patut diacungi jempol ini?

Flores pulau Katolik. Namun bebas dari fundamentalisme menebar hegemoni moral mayoritas. Orang di Flores tahu dengan baik dan membedakan dengan baik pula mana urusan agama dan mana urusan negara. Karena itu, di pulau ini tidak lahir ormas vigilante yang seenak perut melakukan kekerasan atas nama menegakkan moralitas agama mayoritas.

Di pulau ini, tidak tak muncul cerita seperti dibeberkan filosof Rocky Gerung pada pengantar Pidato Kebudayaan 2010: “Memelihara Republik, Mengaktifkan Akal Sehat”. Ia membuka pidatonya dengan pelukisan ‘mengerikan’…. “Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral….. Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh….”

Yang begitu-begitu tak ada di Flores. Dalam hal satu ini, Flores memberikan teladan ber-Indonesia secara sejati. Sepertinya warga pulau ini sadar, kesepakatan rasional pertama kita dalam menyelenggarakan kehidupan sosial adalah mulai dengan menerima kemajemukan. Fakta kemajemukan inilah yang melahirkan Sumpah Pemuda, Pancasila, dan UUD 1945.

Sepertinya warga pulau ini sadar, perbedaan harus terus diingatkan, karena itulah satu-satunya alasan perlunya persatuan. Semua upaya menghilangkan perbedaan, dengan alasan apa pun, salah secara logis dan berbahaya secara sosiologis. Perbedaan adalah alasan fundamental ke-Indonesia-an kita. Persatuan adalah bahasa untuk saling mengerti perbedaan itu. Dan… itu ada di Flores!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 Februari 2011

Maulid & Indonesia Sejati

Di Tengah Intoleransi Kehidupan Beragama

Oleh Frans Anggal

Maulid Nabi Muhammad SAW 1432 H, Selasa 15 Februari 2011, dirayakan di tengah suasana Indonesia yang tidak toleran dalam hidup beragama. Jauh dari spirit sebuah negara kesatuan. Jauh dari hakikat sebuah republik. Jauh dari amanat Pancasila, UUD 1945, demokrasi, dan HAM.

Pekan sebelumnya, Minggu 6 Februari, terjadi bentrokan warga dengan jemaah Ahmadiyah di Banten, Jawa Barat. Massa hancurkan rumah pemimpin Muhamadiyah dan membakar kendaraan sekitarnya. Empat orang tewas, lainnya terluka. Selasa 8 Februari, terjadi kerusuhan di Temanggung, Jawa Tengah. Tiga gereja dibakar massa yang tidak puas dengan tuntutan 5 tahun penjara untuk seorang terdakwa kasus penistaan agama.

Diwawas dengan spirit Maulid Nabi Muhammad SAW, aksi warga atau massa dalam dua peristiwa itu sungguh jauh panggang dari api. Jauh pengikut dari suri teladannya. Muhammad Rasulullah SAW adalah pemimipn besar yang luar biasa dalam memberikan teladan bagi umatnya.

Rasulullah dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Makkah el Mukarramah, pada bulan Rabi’ul Awwal (musim bunga), pada Senin 12 Rabi’ul Awwal permulaan tahun dalam peristiwa gajah (al fiil), bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M, dan empat puluh tahun setelah berkuasanya Kisra Anusyirwan di Parsi. Walaupun ada juga sebagian ulama tarikh yang berpendapat beliau lahir pada subuh Senin 9 Rabi’ul Awwal tahun Fil pertama.

Beliau diberi nama Muhammad (yang terpuji). Ayahnya Abdullah (hamba Allah). Ibunya Aminah (yang memberi rasa aman). Kakeknya yang dipanggil Abdul Muthallib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana). Bidan yang menangani persalinan bernama Asy-Syifa’ (yang sempurna dan sehat). Perempuan yang menyusuinya adalah Halimah As-Sa’diyah (yang lapang dada dan mujur).

Makna nama-nama itu memiliki kaitan erat dengan keperibadian Rasulullah. Sekaligus mengisyaratkan keistimewaannya. Dialah sang suri telaudan. Dalam konteks ini, secara subtansial dan aktual, perayaan Maulid Nabi adalah upaya mengenang, mencintai, dan meneladani semua keutamaannya.

Dengan kata lain, Maulid perlu direfleksikan dan diaktualisasikan sebagai upaya transformasi diri umat. Mengobarkan semangat baru membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (civil society) yang merupakan bagian dari demokrasi. Yang ditandai humanism, pluralisme, toleransi, anti-kekerasan, berkesetaraan gender, cinta lingkungan, dan berkeadilan sosial.

Dasarnya sangat jelas. Dalam perspektif sosial-politik, Muhammad adalah negarawan dan politikus andal. Ia identik dengan sosok pemimpin yang tegas, adil, egaliter, toleran, humanis, non-diskriminatif, dan non-hegemonik. Dengan kualifikasi dirinya itu ia mampu membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu masyarakat yang sejahtera dan tenteram.

Indonesia justru sedang tidak memiliki sosok pemimpin seperti itu. Negeri ini sedang dipimpin para peragu. Tidak tegas, gamang, dan ngambang. Alhasil, merajalelalah para vigilante. Mereka bertindak anarkis seenak perut sendiri, karena mereka tahu baik, di bawah para peragu, negara ini sedang merosot menjadi sebuah ‘negara gagal’ (failed state).

Mudah-mudahan, perayaan Maulid menjadi momentum yang menyadarkan. Yang membangkitkan tekad. Dan, menggerakan transformasi menuju Indonesia sejati, seperti yang dicita-citakan para bapak bangsa pendiri republik (founding fathers).

“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Februari 2011

Tolak Dana dari Pusat?

Tanggapan atas Pernyataan Benny K Harman

Oleh Frans Anggal

Setiap tahun sekitar Rp10 triliun dana dari pusat masuk di NTT. Salah satu sumbernya adalah hasil tambang dari daerah lain. Sementara pendapatan asli daerah (PAD) NTT sangat kecil, hanya sekitar lima persen. Ini artinya, pejabat daerah harus meminta bantuan dan dukungan dari pusat. Jika ingin menolak tambang, daerah seharusnya juga menolak masuknya dana di NTT yang bersumber dari kegiatan tambang.

Demikian pernyataan Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman saat tampil sebagai pemateri dalam seminar nasional bertajuk “Masa Depan Pertambanagan NTT” yang diselenggarakan di Kupang, ibu kota Provinsi NTT, Kamis 10 Februari 2011 (Flores Pos Sabtu 12 Februari 2011).

Pernyatataan Benny Harman terkesan sangat logis. Jikalau mau tolak tambang, daerah juga harus menolak dana pusat yang bersumber dari tambang. Daerah mana di NTT yang notabene ber-PAD rendah ini yang pernah, sedang, dan akan mau menolak dana pusat, termasuk yang bersumber dari tambang? Tidak (akan) ada. Konsekuensinya ya harus terima tambang. Jangan coba-coba tolak tambang.

Logis, bukan? Mari kita mengujinya, dengan cara menerapkannya pada kasus lain. Pers menolak korupsi. Jika ingin konsisten dengan logika Benny Harman, maka kita harus dikatakan:kalau pers menolak korupsi maka pers juga harus menolak uang pelanggan dan pengiklan yang berasal dari korupsi. Bagaimana cara mengecek bahwa uang pelanggan ini dan pemasang iklan itu bersumber dari korupsi?

Contoh lain. Gereja tegas-tegas menolak segala bentuk korupsi. Jika merujuk konsisten pada logika Benny Harman, kita harus mengatakan: kalau gereja menolak korupsi, maka gereja juga harus menolak semua uang derma yang berasal dari korupsi, berapa pun banyaknya. Bagaimana caranya fungsionaris gereja mengecek asal-muasal semua uang itu? Apakah petugas bisa membedakan ini derma hasil korupsi, ini hasil prostitusi, ini hasil perjudian?

Dengan pertanyaan itu, kita hendak menyatakan bahwa pernyataan Benny Harman itu gampang secara logis dan teoritis, tapi sulit secara praktis dan empiris. Lebih daripada itu, pernyataan tersebut akan bermasalah jika diperhadapkan dengn asas subsidiaritas dan solidaritas dalam hidup bernegara kesatuan.

Subsidiaritas dan solidaritas harus berkeserasian. Subsidiaritas tanpa solidaritas berisiko melahirkan bentuk-bentuk lokalisme yang terpusat pada dirinya sendiri. Sebaliknya, solidaritas tanpa subsidiaritas dapat dengan mudah memerosotkan negara menjadi “negara kesejahteraan”. Demi menyerasikan kedua asas ini, campur tangan negara dalam lingkup ekonomi lokal tidak boleh invasif, tapi juga tidak boleh tidak ada. Campur tangan negara harus tetap ada, namun harus tetap berkesepadanan dengan kebutuhan riil masyarakat lokal.

Dengan kata lain, otonomi daerah seyogianya diletakkan pada tercipta dan membesarnya peluang dan kesempatan bagi segenap lapisan masyarakat local untuk menentukan pilihannya, baik di bidang ekonomi maupun di bidang sosial dan budaya. Model otonomi daerah seyogianya mengakomodasi prinsip pembangunan berwawasan kemandirian kokal yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM.

Dalam konteks inilah, tambang bisa dan boleh ditolak oleh sebuah daerah---jika kebutuhan riilnya memang begitu---tanpa harus kehilangan hak atas dana dari pusat. Campur tangan pusat tidak boleh tidak ada. Harus tetap ada. Namun harus tetap sepadan dengan kebutuhan riil daerah.

“Bentara” FLORES POS, Senin 14 Februari 2011

Kurikulum Kawarganegaraan!

Tindakan Anarkis Marak di Mana-Mana

Oleh Frans Anggal

Di Kabupaten Sikka, Rabu 9 Februari 2011, puluhan pelajar SMKN 2 Maumere menyerang SMAN 2 Maumere. Kaca jendela gedung sekolah pecah berantakan. Proses belajar-mengajar lumpuh total sejak pukul 09.30. Polisi turun tangan, menciduk 19 siswa dari kedua sekolah untuk dimintai keterangan. Motif tawuran Emasih dalam penyelidikan (Flores Pos Jumat 11 Februari 2011).

Sehari sebelumnya, di kabupaten lain, Kabupaten Manggarai, warga saling serang di persawahan wilayah Kecamatan Satar Mese. Dalam adu fisik sengketa tanah ini, seorang warga tewas di tempat (Flores Pos Kamis 10 Februari 2011). Polisi telah mengamankan 5 warga serta menyita parang dan tombak dari tempat kejadian perkara (Flores Pos Jumat 11 Februari 2011).

Itu di Flores. Di Jawa? Di Pandeglang, Banten, Jawa Barat, Minggu (6/2), terjadi bentrokan warga dengan jemaah Ahmadiyah. Sekitar seribu orang bersenjata tajam dan batu mengepung dan menyerang rumah seorang pemimpin Ahmadiyah. Di dalamnya terdapat 18 anggota Ahmadiyah yang tengah berkumpul. Massa menuntut mereka bubarkan diri. Massa hancurkan rumah dan kendaraan. Empat orang tewas, lainnya luka-luka.

Dua hari kemudian, Selasa 8 Februari 2011, terjadi kerusuhan terjadi di Temanggung, Jawa Tengah. Tiga gereja dibakar dan properti Pengadilan Negeri Temanggung dirusak oleh sekelompok massa yang tidak puas dengan tuntutan 5 tahun penjara untuk seorang terdakwa kasus penistaan agama.

Masing-masing kasus itu dengan motifnya. Berbeda-beda. Namun ketiganya berada dalam sebuah bingkai yang sama. Bingkai republik yang penuh ketakutan (republic of fear), bukan republik yang penuh harapan (republic of hope). Kita sedang hidup dalam sebuah republik di bawah sebuah negara yang lalai dan abai. Di republik ini tidak ada jaminan apakah warganya aman berada jalan, di pasar, di rumah ibadah. Negara lalai dan abai menjamin dan menjaga kebebasan warga (civil liberties).

Tawuran pelajar di Kabupaten Sikka, meski sifatnya kasuistik dan motifnya spesifik, toh turut dikondisikan oleh atomosfer negara yang lalai dan abai itu. KOndisi ini semakin diperkuat oleh sistem pendidikan kita yang tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik.

Konsep "masyarakat" di dalam kurikulum sekolah kita tidak diajarkan sebagai "tanggung jawab merawat hidup bersama", tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep "etika publik" tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan "bermasyarakat".

Dalam pandangan filosof Rocky Gerung, inilah salah satu akar masalahnya (Pidato Kebudyaan 2010: “Memelihara Republik, Mengaktifkan Ajal Sehat”). Yakni, tidak adanya kurikulum "kewarganegaraan" dalam semua jenjang pendidikan nasional. Amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan "akhlak" ketimbang "akal".

Konsekuensinya terhadap kehidupan republik sangatlah berbahaya. Sebab, warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Misi pendidikan seperti itu sangat bertentangan dengan imperatif konstitusi yang justru mewajibkan kita "melihat dunia" melalui "kecerdasan" dan "perdamaian". Filsafat publik kita pun semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik. Menyedihkan.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 Februari 2011

Nasionalisme Vote Komodo?

Nasib Komodo di Tangan Yayasan N7W

Oleh Frans Anggal

Lembaga New7Wonders (N7W) pada Senin malam 7 Februari 2011 mengumumkan keputusan resmi atas kepesertaan Komodo dalam kampanye N7W. Voting untuk Komodo tetap dilanjutkan sebagai finalis resmi kampanye N7W. Komodo akan melaju dalam 28 besar finalis untuk meraih posisi 7 besar pada 11 November 2011 (Flores Pos Rabu 9 Februari 2011).

Presiden & Founder N7W, Bernard Weber, dalam situs resminya www.new7wonders.com menyatakan, keputusan untuk mempertahankan Komodo dalam kampanye tersebut berdasarkan besarnya dukungan dari berbagai pihak.

Keputusan kedua, N7W mengeluarkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dari statusnya sebagai Komisi Pendukung Resmi (Official Supporting Committee) untuk Komodo di kampanye N7W. Menurut Bernard Weber, segala tindakan Kemenbudpar yang menolak membayar Rp450 miliar untuk menjadi sponsor dan tuan rumah membuatnya yakin harus mendepak Kemenbudpar dari sponsor.

Reaksi Menbudpar? "Kita akan lanjut, kita akan ikuti terus prosesnya setelah ini. Di mana pun nantinya acara final digelar, saya berencana untuk datang. Kalau perlu saya akan bawa komodo-komodoan untuk dipromosikan sekalian di sana." Menanggapi rekasi Jero Wacik, N7W mengambil sikap: semua urusan promosi resmi tentang Komodo sebagai finalis dalam New7Wonders harus seizin N7W.

'Perang’ ini mungkin akan berjanjut. Harapan kita, ini tidak berdampak pada pencoretan Komodo. Sebab, N7W memiliki wewenang untuk itu. Dalam perjanjian umum pada saat mendaftar, terdapat klausa yang menyatakan N7W berhak mengeliminasi peserta apabila tidak memenuhi ketentuan.

Mencoret Komodo dari nominasi hanya karena Indonesia tidak bersedia menjadi tuan rumah (hosting) deklarasi memang tidak adil. Mekanisme voting dilaksanakan sejak 2008, tidak hanya libatkan orang Indonesia, tetapi juga orang-orang dari negara lain. Betapa mubazirnya semua itu kalau Komodo dieliminasi hanya karena Indonesia tidak bersedia menjadi tuan rumah.

Di sisi lain, ini peluang emas. Sudah di ujung sukses. Sayang kalau semuanya berantakan. Sejak Komodo ditetapkan sebagai finalis 7 Kejaiban Alam Dunia, semestinya pemerintah sadar bahwa untuk bersaing dengan calon keajaiban alam dunia lainnya seperti Amazone, Great Barrier Reefs, Grand Canyon, Kilimanjaro dan Sundhaban yang memiliki dukungan miliaran masyarakatnya, tidaklah mudah. Dibutuhkan strategi khusus untuk tampil dan menang.

Salah satu strategi khusus itu adalah seni diplomasi. Bukan reaksi emosinoal member cap N7W sebagai LSM yang tidak jelas sembari bertameng di balik rasa nasionalisme. Ini ‘penyakit’ khas pejabat RI. Gemar menjadikan nasionalisme sebagai ‘mantra penangkal bala’. Ketika ada evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional, nasionalisme kita pasang sebagai tameng.

“Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, in-the-making, tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik,” kata filosof Rocky Gerung dalam Pidato Kebudayaan 2010, “Merawat Republik, Mengaktifkan Akal Sehat”. Ketakutan untuk masuk dalam percakapan global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Hmmm.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Februari 2011

24 Februari 2011

SKB: Surat Konyol Bersama

Penyerangan terhadap Warga Ahmadiyah

Oleh Frans Anggal

Menyusul bentrokan warga dengan pengikut Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, Minggu (6-2-2011), muncullah wacana merombak SKB Tiga Menteri: Surat Kebutusan Bersama Menteri Agama, Kejaksaan Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Ahmadiyah, 9 Juni 2008, perihal “Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat”.

SKB akan dievaluasi, kata Menko Polhukam Djoko Suyanto. Dengan demikian, kekerasan seperti di Banten itu tidak terjadi lagi. “Evaluasi dilakukan secara mendasar dan mendalam,” katanya mengutip instruksi Presiden SBY (Flores Pos Selasa 8 Februari 2011).

Pertanyaan kita: dengan merombak SKB, tidak akan ada lagikah kekerasan kerhadap jemaat Ahmadiyah? Belum tentu! Persoalannya bukan sempurna atau tidaknya SKB. Tapi, hadir atau tidaknya negara menjamin kebebasan warga (civil liberties).

Ini yang semakin hilang dari republik ini. Negara lemah bahkan absen, pemimpinnya ragu-ragu menghadapi praktik-praktik vigilantisme. vigilantisme adalah paham yang membenarkan tindak kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum. Contoh tipikalnya saat ini, sepak terjang Front Pembela Islam (FPI).

Dalam sejarah AS, seperti dirujuk The Lexicon Webster Dictionary (1971), pernah hidup vigilance committee. Yakni lembaga ekstralegal, berkeanggotaan sukarela dan terorganisasi, yang menjaga aturan dan menghukum pelanggar, dalam wilayah otoritas legal tidak bekerja baik atau mengecewakan. Anggotanya disebut vigilante.

Coba tanyakan ke FPI, mengapa mereka ‘bertindak’. Jawaban mereka selalu sama: karena negara tidak ‘bertindak’. Dalam penilaian FPI, otoritas legal sudah tidak bekerja baik. Karena itu, secara sukarela dan terorganisasi, mereka ‘mengambil alih’ fungsi negara. Negara absen, lahirlah FPI. Pemimpin ragu-ragu, ‘bertindak’-lah FPI.

Kita kecam ‘tindakan’ FPI. Namun, kita akui peniliannya tepat: otoritas legal republik ini lemah. Negara sering absen ketika kehadirannya dibutuhkan warga. Peristiwa di Banten itu tidak tiba-tiba. Ada presedennya. Koq polisi tidak cegah. Negara telah absen.

Kenyataan telanjang ini tidak dievaluasi. Yang mau dievaluasi malah SKB. Mengevaluasi SKB seribu kali pun tidak akan solutif. SKB itu sendiri konyol. Pantasnya bukan dievaluasi, tapi dibuang. Kenapa? Indonesia ini republik. Filosof Rocky Gerung menjelaskannya bagus dalam Pidato Kebudayaan 2010, “Merawat Republik, Mengaktifkan Akal Sehat”.

Dalam republik, status primer seseorang adalah warganegara (citizen). Ia tentu miliki status privat: agama, etnis, dll. Namun status privat tidak boleh diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara bukanlah urusan negara. Negara tidak boleh diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukanlah urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu.

Prinisp inilah yang dilanggar secara konyol oleh SKB Tiga Menteri. Maka jadilah SKB itu “surat konyol bersama”. Hmmm.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 10 Februari 2011

“Republik Ketakutan”

Penyerangan terhadap Warga Ahmadiyah

Oleh Frans Anggal
Pemimpin Redaksi Flores Pos

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Mendagri, Menteri Agama, dan Jaksa (SKB Tiga Menteri) dievaluasi, menyusul bentrok warga dan jemaah Ahmadiyah di Banten, Minggu 6 Februari 2011. “Evaluasi dilakukan secara mendasar dan mendalam,” kata Menko Polhukam Djoko Suyanto (Flores Pos Selasa 8 Februari 2011).

Bentrokan Minggu (6/2) menewaskan empat orang dan melukai sejumlah orang lain. Sekitar seribu orang bersenjata tajam dan batu mengepung dan menyerang rumah seorang pemimpin Ahmadiyah. Di dalamnya terdapat 18 anggota Ahmadiyah yang tengah berkumpul. Massa menuntut mereka membubarkan diri. Massa menghancurkan rumah itu dan kendaraan yang diparkir di sekitarnya.

Kecaman muncul dari mana-mana. INFID (International NGO Forum on Indonesia Development) menilai negara gagal melindungi warganya untuk beragama dan berkeyakinan. INFID mengecam ketidakberdayaan negara mengatasi kekerasan yang secara simultan dilakukan kelompok vandalis terhadap jemaah Ahmadiyah. Ini bentuk pembiaran, melanggar HAM. INFID menyerukan masyarakat terus menggalang solidaritas menentang vandalisme yang mengatasnamakan agama. Negara harus mengambil tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan (Liputan6.com).

Amnesti Internasional mendesak pemerintah menyelidiki kasus ini. Desakan disampaikan Deputi Direktur Asia-Pasifik Amnesti Internasional, Donna Guest. "Ini serangan brutal terhadap pengikut Ahmadiyah yang mencerminkan kegagalan pemerintah Indonesia untuk melindungi penganut agama minoritas dari pelecehan dan serangan para pelaku," kata Donna Guest (Antara).

Menurut Amensti Internasional. pelecehan dan serangan terhadap komunitas Ahmadiyah juga didorong oleh SKB Tiga Menteri 2008. Pemerintah Indonesia perlu membatalkan semua hukum dan peraturan yang membatasi hak untuk kebebasan beragama serta memulai penyelidikan independen dan tidak memihak dalam semua kasus intimidasi dan kekerasan terhadap minoritas agama di Indonesia.

Karena desakan inikah presiden menegaskan SKB Tiga Menteri perlu dievaluasi secara mendasar dan mendalam? Entahlah. Belum jelas, apa makna “mendasar” dan “mendalam” di sini. Yang pasti, selagi posisi negera tidak berubah, perubahan mendasar dan mendalam pun tidak akan terjadi.

Ada prinsip hakiki bernegara yang dilanggar dengan SKB itu. Yaitu prinsip demokrasi. “Di dalam konsep demokrasi, agama adalah hak. Artinya ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani,” kata filosof Rocky Gerung dalamPidato Kebudayaan 10 November 2010.

Dalam konteks mayoritas dan minoritas, negara tidak boleh diperalat untuk menjalankan moral mayoritas. Yang harus diselenggarakan negara adalah ‘politik pengakuan’ (politics of recognition). Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih. Kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang "minoritas" dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Di dalam diktum paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas.

Ini yang tidak kita temukan. Pemerintahan SBY, yang dipercaya menegakkan demokrasi, telah gagal melindungi HAM warga minoritas. Republik ini pun menjadi ‘Republik Ketakutan’ (Republic of Fear), bukan ‘Republik Harapan’ (Republic of Hope).

“Bentara” FLORES POS, Rabu 9 Februari 2011

Komodo: Minta Presiden

Nasib TNK di Tangan Yayasan N7W

Oleh Frans Anggal

Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula menyurati presiden, menanggapi ancaman dicoretnya Taman Nasinal Komodo (TNK) dari jejeran 28 finalis vote tujuh keajiban baru dunia oleh penyelenggara vote, Yayasan New Seven Wonders (N7W) yang bermarkas di Swiss. Bupati mengharapkan solusi dari presiden (Flores Pos Senin 7 Februari 2011).

“Kami mengharapkan kebijakan Bapak Presiden Republik Indonesia untuk memberikan petunjuk dalam mengatasi dan menemukan solusi terbaik supaya komodo sebagai kebanggaan bangsa Indonesia tetap diikutseratakan sebagai finalis New 7 Wonders of Nature. Demikian bunyi surat bertanggal 2 Februari 2011 itu.

Yayasan N7W mengancam mencoret komodo dengan alasan tidak bersedianya Indonesia menjadi tuan rumah penentuan akhir, lantaran tingginya biaya yang dibebakan penyelenggara, Rp400 miliar. Dalam laporan resminya di situs www.new7wonders.com, N7W menyatakan Indonesia “melanggar komitmen hukum dan perjanjian resmi” yang telah disepakti sebelumnya.

Menanggapi ancaman ini, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik membuat pernyataan pers yang sangat tidak bijaksana. Selain menolak menjadi tuan rumah oleh karena beban biaya yang dinilai terlalu tinggi, Jero Wacik mencap Yayasan N7W sebagai LSM yang tidak jelas. Di mata Jero Wacik, komodo tidak jadi finalis tidak apa-apa, kunjungan wisatawan sudah naik 400 pesen koq.

Kita akui, biaya Rp400 miliar itu mahal. Namun, mahal bukan berarti mustahil dicapai. Negara ini punya kekuatan untuk menggerakkan secara sah berbagai sumber daya, guna menghimpun dana yang dibutuhkan. “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Membiarkan diri dikeluarkan dari arena vote, ketika kaki sudah menapaki etape terakhir lomba, hanya karena duit yang sesungguhnya bisa diupayakan, tentu sangatlah mengecewakan kita semua.

Sebagai kontestan, Indonesia telah mengeluarkan uang negara USD600 untuk mendaftar atas nama negara. Dari beberapa taman nasional yang diikutsertakan Indonesia, hanya TNK yang menembus tahap demi tahap seleksi, bersaing ketat dengan banyak kontestan dari negara-negara lain. Ini hasil dari vote masyarakat sebagai perjuangan bersama.

Komodo sudah berada di etape terakhir. Sebentar lagi ia masuk dalam New Seven Wonders of the Nature. Luar biasa. Sangat prestisius. Biaya Rp400 miliar itu tidak akan sia-sia. Jumlah itu akan kembali dalam bentuk yang lain, dan mungkin secara lebih berlimpah. Kunjungan wisatawan, yang sudah naik 400 pesen, akan terus menanjak. Ini benefit. Jangan hanya pelototi cost.

Yang patut disesalkan, selain menolak menjadi tuan rumah dengan mengeluh-kesahkan cost yang sesunggunya bisa diakali secara proaktif, kreatif, dan inovatif, Jero Wacik memberikan cap, labeling, yang tidak punya dasar bagi sebuah lembaga internasional.

Yayasan N7W bisa salah, iya. Tapi, perlu disadari, mereka bukan kaum manipulator, tukang rekayasa, muka duit, atau berkebiasaan serba-subjektif like and dislike. Mereka punya integritas dan kredibilitas. Mengingkari kenyataan ini hanya menjadi senjata makan tuan. Kecewa dengan beban biaya Rp400 miliar boleh-oleh saja. Tapi, sudilah jangan menyerang sebuah lembaga kredibel dengan argumentasi emosional, apalagi menjurus ke fitnah.

Dalam konteks ini, surat bupati Manggarai Barat ke presiden sangat tepat. Presiden perlu turun tangan, agar nasib TNK tidak hancur di tangan menteri yang bikin blunder di etape terakhir sebuah lomba.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 8 Februari 2011

Ngada Di-gawat-darurat-kan?

Penggantian Direktris RSUD Bajawa

Oleh Frans Anggal

Menanggapi surat pernyataan sikap dr. Aty Due dan keluarga yang merasa diperlakuakn tidak baik berkenaan dengan pelantikan pejabat eselon III pada Selasa 25 Januari 2011, Bupati Ngada Marianus Sae angkat bicara. Dia mengatakan, apa yang dilakukannya telah sesuai dengan prosedur dan aturan hukum yang berlaku (Flores Pos Sabtu 5 Februari 2011).

Dokter Aty Due adalah direktris RSUD Bajawa yang diganti drg. Maria Wea Betu pada pelantikan itu. Saat pelantikan, ia hadir penuhi undangan sebagai kepala organisasi perangkat daerah. Dalam posisi masih sebagai direktris RSUD itulah ia menyaksikan pelantikan penggantinya, sementara ia sendiri belum mendapat surat pemberhentian dan penunjukan ke posisi yang aru (Flores Pos Selasa 1 Februari 2011).

Di mata dr. Aty dan keluarga, penggantian dan pelantikan seperti ini tidak procedural, dan seolah-olah sebagai hukumam berat untuk kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Cara seperti ini menghina martabat pribadi dan keluarga. Mereka merasa dipermalukan di depan publik. Ini pembunuhan karakter. Maka, mereka melayangkan surat pernyataan sikap kepada bupati.

Tanggapan Bupati Marianus Sae? Pertama, penggantian dan pelantikan itu sudah prosedural. Surat pemberhentian dr. Aty sudah diserahkan kepada yang bersangkutan pada Selasa 25 Januari 2011 di RSUD Bajawa, tempatnya bekerja.

Kedua, “Saya tidak sedang mencoreng keluarga, tetapi saya berurusan dengan PNS yang ada di bawah asuhan saya. Keluarga tidak pelru merasa dilecehkan, karena saya jadi bupati bukan untuk urusan keluarga. Saya jadi heran, mengapa keluarga merasa dilecehkan, padahal saya beruurusan dengan PNS yang ada di bawah asuhan dan tanggung jawab saya.”

Terkait alasan pertama. Jawaban bupati sangat informatif sekaligus korektif. Ternyata, SK pemberhentian dr. Aty sudah diserahkan kepada yang bersangkutan. Jadi, legal. Sayangnya, yang legal ini tidak klop dengan yang konvensional atau minimal yang sudah lazim berlaku. Dokter Aty menerima surat pemberhatian itu pada hari yang sama dengan hari pelantikan peggantinya, Selasa 25 Januari 2011.

Kebersamaan waktu ini mengesankan seolah-olah Kabupaten Ngada sedang dalam keadaan perang. Yang kaget-kaget seperti ini lazim untuk situasi gawat darurat yang mengharuskan kecepatan dan kecekatan mengambil keputusan yang tepat pada waktu yang tepat di tengah gejolak yang bia fluktuatif sulit tertebak arah dan dampaknya. Pertanyaan kita: situasi gawat darurat macama apa yang sedang melingkupi Pemkab Ngada saat itu?

Kalau situasi gawat darurat itu tidak ada, maka cara kaget-kaget tadi hanyalah mengada-ada. Dengan kata lain, tidak sepatutnya itu terjadi. Pada titik inilah dr. Aty dan keluarga---juga semua pihak yang cukup rasional---terkaget-kaget: ini koq ada apa, permainan apa, tujuannya apa, sampai harus meng-gawat-darurat-kan hal yang sebetulnya biasa saja dalam hajat kepemerintahan.

Jawaban atas pertanyaan ini tidak ada, bukan? Jawaban bupati sangat sandar. Jawaban legal. Dan itu sudah tepat. Namun, belum lengkap. Sebuah pertanyaan tetap menggantung: ada apa dengan bupati sampai bertindak tidak lazim untuk hal yang biasa? Apakah ia sedang balas jasa dan balas dendam politik pemilukada? Mudah-mudahan tidak. Tapi, kita khawatir, jangan-jangan iya.

“Bentara” FLORES POS, Senin 7 Februari 2011

Tinjau Kembali TNK!

Desakan Warga di Pulau Komodo

Oleh Frans Anggal

Warga Desa Komodo di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, meminta pengelolaan Taman Nasional Komodo (TNK) ditinjau kembali. Sebab, hingga kini sistem pengelolaan TNK tidak membawa keuntungan bagi warga sebagai bagian dari TNK. Permintaan itu disampaikan di hadapan DPRD di Labuan Bajo, Senin 31 Januari 2011 (Flores Pos Rabu 2 Februari 2011).

Menurut warga Komodo, ruang hidup mereka semakin dipersempit. Mereka semakin sulit mencari makan. Wilayah tangkapan di perairan TNK dibatasi tanpa ada solusi bagi mata pencaharian alternatif bagi warga. Balai TNK (BTNK) selaku pengelola hanya melarang dan melarang. Semuanya dilakukannya sepihak, tanpa urun rembuk dengan warga.

Ini kabar buruk bagi citra TNK yang “terlanjur” positif di mata dunia luar. Selama ini, TNK bersama TN Bunaken di Sulawesi Utara dikenal sebagai “taman nasional contoh” di Indonesia. Konon, pada kedua TN ini, pengelolaannya sudah lebih efektif, dengan melibatkan masyarakat secara resmi. Manfaatnya sudah nyata bagi kepentigan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, katanya.

Dengan munculnya desakan warga Komodo agar pengelolaan TNK ditinjau kembali maka jadi mafhumlah kita: kabar TNK memang kabar indah. Namun, indahnya hanya “indah kabar dari rupa”. Indah wartanya, buruk wataknya. Seburuk banyak wajah TN lain. Dari sejarah awalnya, TN ya seperti itu, di mana-mana di dunia.

Masyarakat dalam atau sekitar kawasan konservasi dianggap hanya sebagai gangguan. Ini menjadi masalah besar ketika ketergantungan masyarakat pada sumber daya alam di kawasan itu masih sangat tinggi. Entah berupa perburuan satwa liar, pengambilan tumbuhan, atau pengambilan hasil laut. Ini yang perlu diatur dengan baik, berupa win-win solution. Sehingga, konservasinya terjamin, masyarakatnya pun sejahtera.

Banyak TN di dunia yang melaksanakan pengelolaan yang lebih melibatkan masyarakat. Salah satu caranya adalah mengurangi ketergantungan masyarakat pada SDA di kawasan konservasi, dengan menaikkan tingkat ekonominya melalu mata pencaharian alternatif. Kalau tingkat ekonominya naik, mereka akan semakin mudah berperan dalam pengelolaan TN, bukan sebaliknya.

Sudah lama Indonesia menghargai keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi. Pada 1982, Kongres Dunia Taman Nasional (World Congress on National Parks) diadakan di Bali. Pentingnya partisipasi masyarakat diakui dengan semangat pada kongres tersebut. Pada Konferensi Anggota Konvensi Keragaman Hayati Kedua yang diadakan di Jakarta pada 1995, ada keputusan melibatkan masyarakat dalam penetapan rencana kerja.

Jadi, peran masyarakat diakui secara resmi. Sayang, dalam pelaksanaannya, keputusan yang bagus itu tidak mengejawantah. Inilah yang terjadi pada TNK, merujuk pernyataan warga Komodo: hingga kini sistem pengelolaan TNK tidak membawa keuntungan bagi warga sebagai bagian dari TNK. Mereka mendesak pengelolaan TNK ditinjau kembali.

Kita mendukung desakan itu. DPRD Manggarai Barat perlu segera mengambil langkah. Ada yang tidak beres dalam pengelolaan TNK, yang membuat masyarakat semakin dipinggirkan dan dimiskinkan. Jangan tempatkan biawak komodo lebih tinggi daripada harkat dan martabat manusia!

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 Februari 2011

Mananti Relanya Roworeke

Kasus Ekskomunikasi Adat di Ende

Oleh Frans Anggal

Usaha Pemkab Ende agar 80 warga korban kerusuhan berdarah Roworeke bisa kembali menetap di lokasi konflik mendapat reaksi keras dari masyarakat adat Roworeke. Masyarakat ini sudah bersepakat menolak mereka kembali ke Roworeke. Hingga kini para korban masih hidup dalam penampungan dinas nakertrans.

“Jangan buka kembali luka lama yang sudah sembuh. Kami tidak mau mereka kembali lagi ke lokasi sekarang,” kata Mochtar Wanda, mewakili Embu Wanda (Flores Pos Selasa 1 Februari 2011).

Kerusuhan berdarah Roworeke beberapa tahun silam dipicu oleh transaksi jual-beli tanah untuk terminal, antara pemkab selaku pembeli dan sekelompok masyarakat Roworeke selaku penjual, yang kala itu mengklaim diri sebagai pemilik tanah. Ini yang tidak bisa diterima oleh suku Oja dan suku Wanda, yang merasa sebagai pemilik sah atas tanah tersebut.

Pasca-kerusuhan berdarah, para mosalaki suku Oja dan suku Wanda meneguhkan kembali kepemilikannya atas tanah itu. Bersamaan dengan itu mereka bersepakat menolak kembalinya atau pemulangan 80 warga korban kerusuhan, yang sejak kasus meletus ditampung oleh pemkab di penampungan dinas nakertrans.

Suku Oja dan suku Wanda merasa dilecehkan dalam kasus jual beli tanah terminal Roworeke ini. Pemkab dinilai membeli tanah dari pihak yang tidak berhak. “Jual beli lokasi terminal itu tidak jelas, dijual oleh siapa,” kata Mochtar Wanda. Karena itu, Mochdar Wanda mengancam, jika upaya pemulangan 80 warga terus dipaksakan oleh pemkab, suku Oja dan suku Wanda---selaku pemilik sah atas tanah---akan menutup terminal Roworeke.

Hingga di sini, cukup jelas, suku Oja dan suku Wanda belum bersedia menerima kembali 80 warga korban kerusuhan. Dengan kata lain, ke-80 warga itu masih diekskomunikasikan oleh persekutuan masyarat Roworeke. Ekskomunikasi itu dilakukan melalui rius adat, sumpah adat. Maka, kalaupun mereka diterima kembali, tentu harus ada ritusnya, ritus rekonsiliasi. Dan itu hanya mungkin kalau dua suku itu rela. Ini soalnya. Kedua suku belum rela.

Disposisi ini perlu dicamkan oleh pemkab selaku mediator. Kalau orang belum rela, jangan dipaksakan. Namun upaya persuasi tetap perlu dilakukan. Kita yakin, suatu saat suku Oja dan suku Wanda akan rela. Bahwa mereka sudah melakukan ekskomunikasi secara adat, ya. Namun adat di mana pun tetap mengenal rehabilitasi dan rekonsiliasi. Juga adat Ende dan Lio. Kenapa?

Ekskomunikasi adat tidak hanya bertujuan untuk mengucilkan. Tapi juga menggerakkan si terkucil agar bertobat dan berbalik kembali ke jalan yang benar. Ekskomunikasi merupakan cara ampuh dalam adat untuk membantu si terkucil menyadari bahwa ia berada dalam bahaya. Ekskomunikasi adat tidak mengunci pintu selamanya bagi si terkucil. Ekskomunikasi adat selalu mengandung harapan, si tekucil akan bisa kembali dalam pangkuan persekututan.

Dalam konteks ini, upaya yang dilakukan pemkab itu sangat bagus. Bahwa suku Oja dan suku Wanda belum rela, kita maklumi. Untuk itu, pemkab jangan main paksa. Kedepankan cara-cara persuasi yang menyadarkan dan membuka cakrawala masa depan. Jangan gunakan pendekatan kekuasaan dan kedinasan. Gunakanlah pendekatan yang menyentuh rasa: pendekatan budaya. Pendekatan yang khas Ende-Lio.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 Februari 2011

21 Februari 2011

RSUD Bajawa: 2 Direktur?

Angkat yang Baru Tak Hentikan yang Lama

Oleh Frans Anggal

Merasa diperlakukan tidak baik oleh Bupati Ngada Marianus Sae, dr. Aty Due dan keluarga mengirim surat pernyataan sikap ke bupati. Ini terkait pelantikan Selasa 25 Januari 2011 yang dinilainya pembunuhan karakter terhadap diri dan keluarga (Flores Pos Selasa 1 Februari 2011).

Dokter Aty, direktris RSUD Bajawa. Saat pelantikan , ia hadir, penuhi undangan sebagai kepala organisasi perangkat daerah, sebagai direktris RSUD. Apa yang ia saksikan? Bupati melantik direktris baru RSUD, drg. Maria Wea Betu.

Pengangkatan dan pelantikan pejabat baru itu tidak didahului atau disertai pemberhentian pejabat lama. Tidak pula disertai penunjukan posisi baru bagi pejabat lama. Menurut dr. Aty, ini menyalahi peraturan, PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Di mata dia dan keluarga, pelantikan itu seolah-olah hukumam berat untuk kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Ia merasakan ini menghina martabat pribadi dan keluarga . Ia dan keluarga merasa dipermalukan di hadapan hadirin pelantikan dan publik. Ini pembunuhan karakter.

Siapa pun yang diperlakukan seperti dr. Aty akan berpendapat dan berperasaan seperti itu. Cara bupati itu tidak ‘layak’ (fit) dan tidak ‘patut’ (proper). Ke-‘layak’-an berkenaan dengan yang legal. Ke-‘patut’-an berkenaan dengan yang moral. Mengangkat pejabat baru tanpa memberhentikan pejabat lama tidaklah layak. Karena, menyalahi asas kepastian hukum. Kepastian selalu mengandung dua kualifikasi: jelas dan tegas (clara et distincta). Jelas: A adalah A. Tegas: A bisa dibedakan dari B, C, D, dst.

Dalam kasus di atas, asas ini tidak terpenuhi. Coba tanyakan: siapakah direktris RSUD Bajawa? Jawabannya akan tidak jelas-tegas. Jawaban 1: dr. Aty Due, karena belum diberhentikan, dan itu berarti masih direktris. Jawaban 2: drg. Maria Wea Betu, karena sudah di-SK-kan dan dilantik. Jawaban 3: dua-duanya. Dokter Aty, direktis senior, karena sudah lama. Dokter Maria, direktris yunior, karena masih baru. Jadi, RSUD Bajawa punya dua direktur!

Bupati mungkin berpikir “dengan sendirinya”. Kalau drg. Maria di-SK-kan dan dilantik, dengan sendirinya dr. Aty tidak lagi direktris meski tidak diberhentikan. Mungkin juga bupati berpikir “dianggap sudah”. Dengan di-SK-kan dan dilantiknya drg. Maria maka dr. Aty dianggap sudah diberhentikan.

Dalam hukum, prinsip itu memang ada, tapi konteksnya lain. Misalnya, begitu sebuah UU disahkan maka semua perbuatan melawan UU itu bisa dikenai sanksi, terlepas dari apakah pelaku sudah atau belum tahu isi UU itu. Pelaku tidak bisa berkilah, saya belum tahu. UU yang disahkan selalu mengandaikan sudah diketahui publik dan karena itu sudah bisa langsung diberlakukan.

Pada kasus direktris RSUD Bajawa, prinsip itu tidak pas. Pengangkatan pejabat baru tidak sama dengan pemberhentian pejabat lama. Pengangkatan itu satu hal, pemberhentian itu hal lain. Pengangkatan yang baru tanpa pemberhentian yang lama melahirkan dualisme. Sebalkinya, pemberhentian yang lama tanpa pengangkatan yang baru melahirkan vacuum.

Agar tidak terjadi dualisme, bupati perlu segera memberhentikan dr. Aty dan memberinya posisi baru. Apa yang telah terjadi, selain tidak layak secara legal, juga tidak patut secara moral. Kalau dr. Aty dinilai sebagai loyalis bupati terdahulu (incumbent), mutasikan saja secara sah. Itu sudah cukup. Dan itu hak prerogatif bupati. Tidak perlu lagi membunuh karakternya. Membunuh karakter itu kejahatan. Dan itu sudah di luar batas kewenangan seorang bupati.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 2 Februari 2011

Stop Laku Guru Algojo

Kasus Guru Pukul Murid di Nagekeo

Oleh Frans Anggal

Seorang guru SD di Kabupaten Nagekeo dipolisikan karena memukul murid. Orangtua 5 dari 10 anak yang dipukul melapor ke polisi, Jumat 28 Januari 2011. Ambros Ngeta, guru SDI Butata, Desa Renduwawo, Kecamatan Aesesa Selatan itu pun ditahan di Mapolsek Aesesa (Flores Pos Senin 31 Januari 2011).

Kamis sore 27 Januari, di luar jam sekolah, anak-anak ini bermain bola kaki di lapangan. Guru Ambros Ngeta bubarkan mereka agar bisa bantu orangtua. Setelah dibubarkan, mereka datang lagi, bermain bola. Guru Ambros tidak bereaksi. Keesokannya, Jumat 28 Januari, pada jam sekolah, saat istirahat, barulah ia bertindak memukul mereka.

Menurut Dokter Isakh yang melakukan visum terhadap 5 anak, sebanyak 3 anak menderita bekas bilahan bambu pada bagian belakang dan betis, 1 anak menderita luka bibir, dan 1 anak menderita bengkak pergelangan tangan. “Yang bengkak kemungkinan butuh satu minggu untuk sembuh,” katanya.

Guru Ambros mengakui perbuatannya sebagai kekhilafan karena tidak bisa mengendalikan emosi . “Saya larang (main bola) supaya mereka pulang untuk bantu orangtua. Saya tidak ada niat untuk menganiaya mereka. Mereka semua anak-anak saya. Saya emosi dan khilaf saja.”

Bermaksud baik tapi bertindak salah. Itulah yang terjadi pada Guru Ambros. Dia hanyalah salah satu dari banyak guru yang menganggap tindak kekerasan itu wajar bahkan seharusnya demi mendisiplinkan anak didik. Pendisiplinan seperti ini sering disebut corporal punishment. Berasal dari tradisi militer. Penghukuman terhadap corpus (tubuh) dan copral (pangkat rendah dalam struktur militer) yang melakukan pelanggaran.

Seluhur apa pun tujuannya, corporal punishment tidak dapat dibenarkan dalam pendidikan. Kita sudah memiliki UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini mengadopsi beberapa isi Konvensi Hak Anak yang telah kita ratifikasi pada 25 Agustus 1990 melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.

Pasal 54 UU Perlindungan Anak menegaskan: anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Sanksinya? Berat! Khusus tentang kekerasan fisik, ada pada pasal 80. (1) Penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta bagi yang lakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak. (2) Penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta bagi yang melakukan hingga anak menderita luka berat. (3) Penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta bagi yang melakukaan hingga anak meninggal dunia. (4) Pidana ditambah sepertiga dari semua ketentuan itu apabila yang melakukan penganiayaan adalah orangtua si anak.

Rupanya Guru Ambros dan banyak guru lain di sekolah-sekolah belum membaca UU ini. Atau belum menganggapnya penting untuk ditaati. Karena itu, hal yang mendesak dilakukan adalah diseminasi atau kampanye tentang hak-hak anak kepada para guru di sekolah-sekolah. Selain itu, dinas pendidikan setempat perlu membuat larangan khusus tentang penghukuman fisik di sekolah. Laku guru algojo harus segera dihentikan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 Februari 2011

Ketoprak Kasus Nurdin

Pembunuhan Di-gelar-perkara-kan sebagai Lakatantas

Oleh Frans Anggal

Gelar kasus kematian Nurdin bin Yusuf yang dilakukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT tidak sesuai dengan laporan yang disampaikan keluarga korban, sebagaimana tertuang dalam laporan polisi bernomor LP-B/155/VI/Ditreskrim. Laporan itu menerangkan, Nurdin mati dibunuh. Sedangkan dalam gelar kasus di kejati, kematiannya akibat kecelakaan lalu lintas (lakalantas), berdasarkan berkas ajuan Reskrim Polda NTT (Flores Pos Jumat 28 Januari 2011).

Dalam pertemuan dengan kuasa hukum keluarga Nurdin yang mempersoalkan gelar kasus itu, Wadir Reskrim Polda NTT Sugeng Kurniadji mengaku salah membuat surat. “Ironisnya, wadir melimpahkan kesalahan tersebut kepada staf yang membuat surat,” kata kuasa hukum Nyoman Rae (Flore Pos Sabtu 29 Januari 2011).

Ini kejutan yang menghina akal sehat. Bayangkan, bagian reskrim Polda NTT salah membuat surat tentang substansi sebuah kasus. Perihal dugaan kematian akibat “pembunuhan” koq bisa-bisanya ditulis sebagai dugaan kematian akibat “lakalantas”.

Persoalannya kemudian bukan hanya sebuah “surat” yang salah untuk sebuah gelar kasus, tapi juga sebuah “gelar kasus” yang salah berdasarkan sebuah surat yang salah. Jadinya, yang digelar kejati NTT itu bukan lagi “gelar kasus Nurdin”, tapi “ketoprak kasus Nurdin”.

Gelar kasus bertujuan mulia. Untuk mengetahui anatomi kasus (anatomy of case). Materinya meliputi peristiwanya, waktu terjadinya, tempat kejadian perkara, pasal yang dilanggar, sinopsis perkara, pelaku, korban, saksi, barang bukti, dan modus operandi atau motif perbutan pidana.

Dengan gelar kasus, berbagai masukan dapat membuat terang sebuah tindak pidana. Dengannya, penyidik dapat menemukan tersangkanya. Dapat mengukur hasil penyidikan sementara sampai batas gelar kasus itu dilakukan. Dapat memastikan posisi kasus, apakah benar sebagai tindak pidana atau bukan. Dengan demikian pula, dapat menentukan apakah penyidikan dilanjutkan atau tidak.

Semuanya itu menjadi sia-siap pada gelar kasus Nurdin yang dilakukan Kejati NTT. Sebab, substansi kasus yang anatominya hendak dibedah melenceng jauh. Dari dugan pembunuhan ke dugaan lakalantas. Kematian Nurdin akibat pembunuhan digelarkasuskan seolah-olah sebagai kematian akibat lakalantas.

Yang mencengangkan kita, kesalahan teknis perihal surat itu tidak segera disadari dan diperbaiki. Gelar kasus berdasarkan surat yang salah itu pun tidak segera dibatalkan. Mereka tancap terus, tanam kaki, dan tutup mata. Apakah mereka benar-benar tolol sehingga tidak mampu menyadari kesalahan ini?

Kita yakin, mereka tidak tolol. Mereka cerdas. Ah, bukan, mereka licik. Ini rekayasa kasus berlagak keliru. Ini kejahatan etis berdalihkan kesalahan teknis. Ini manipulasi substansial bekedok kealpaan prosedural. Kita yakini ini karena sudah ada presedennya sejak awal kasus Nurdin diproses hukum.

Bagi kita cukup jelas, yang sedang terjadi ini bukan ’penegakan hukum’ (law enforcement), tapi ’pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Gelar kasus pun tak lebih daripada sebuah ketoprak yang tidak lucu. Patut dapat diduga, ‘bedah’ kasusnya tidak lagi dalam debat publik, tapi dalam transaksi antar-rekening.

“Bentara” FLORES POS, Senin 31 Januari 2011

Bunuh Diri di Sikka

Ini Persoalan Negara Juga

Oleh Frans Anggal

Dua warga Kabupaten Sikka tewas gantung diri pada dua tempat berbeda, Kamis 27 Januari 2010. Frans Kalitus (38) dari Napungtaru, Desa Egon, Kecamatan Waigete, dan Sebas Nong (25) warga Jalan Brai, Kecamatan Alok Timur. Frans Kalitus diduga bunuh diri karena impitan ekonomi, sedangkan Sebas Nong karena sakit atau kelainan psikologis (Flores Pos Jumat 28 Januari 2011).

Menurut penuturan istri Frans Kalitus, sehari sebelum bunuh diri suaminya mengembalikan sepeda motor kredit ke dealer di kota Maumere karena tidak sanggup lagi mengangsur kredit Rp566.000 per bulan selam 34 bulan. Motor itu dikredit sejak September 2010. Usai kembalikan motor, suaminya mengambil raskin 15 kg di RT.

Keluarga ini tidak punya tanah. Rumah mereka 3 x 5 beratap pelepah bambu dibangun di atas tanah milik orang lain. Mereka diizinkan menanam jagung di pekarangan. Jagung belum berisi saat kejadian ini nenimpa keluarga. Sang istri menuturkan, ekonomi rumah tangga mereka sangat menyedihkan.

Psikologi menyebutkan, bunuh diri berakar pada depresi. Namun muncul pertanyaan: kenapa harus bunuh diri? Depresi, perasan menurun, muram, sedih, tertekan, bisa menimpa siapa saja. Afeksi manusia tidak stabil dari waktu ke waktu. Pada sementara orang, perasaan tersebut akan berlalu. Kenapa pada yang lain justru berujung dengan gantung diri atau menenggak racun?

Lahirlah simpulan: bunuh diri merupakan masalah kompleks, tanpa penyebab dan alasan tunggal. Bunuh diri merupakan hasil interaksi yang rumit antara faktor biologis, genetis, psikologis, sosial, kultural, dan lingkungan. Oleh karena itu, sulit dijelaskan mengapa sebagian orang bunuh diri sedangkan lainnya tidak.

Kendati demikian, disepakati, hilangnya harapan atau putus asa (hopeless) merupakan faktor terbesar yang melahirkan dorongan bunuh diri, terutama bagi penderita depresi berat. Karena itu pula, depresi merupakan diagnosis paling umum dalam tindak bunuh diri. Pada kasus di Sikka, tuturan sang istri cukup memadai bagi kita untuk yakin sang suami bunuh diri karena depresi akibat lilitan ekonomi.

Andalan utama keluarga ini adalah sepeda motor kredit. Untuk ojekan tentunya. Namun, pendapatan dari pekerjaan ini tidak cukup. Di satu sisi harus menghidupi keluarga, di lain sisi harus membayar kredit Rp566.000 per bulan. Pada titik harus memilih, kewajiban menghidupi keluargalah yang diutamakan, dengan risiko penyetoran kredit ke dealer macet. Karena kredit macet, motor dikembalikan. Sumber nafkah itu hilang. Putus asa.

Bagi kita, lebih jauh, persoalan bunuh diri ini bukan hanya persolan keluarga yang malang itu. Ini persoalan negara juga. Selama pemerintahan SBY, rakyat makin miskin. Ini mendorong mereka melakukan bunuh diri. Mereka sudah tidak mampu membeli beras dan membayar utang.

“Celakanya, meski kecenderungan bunuh diri karena kemiskinan dan kelaparan itu mulai meningkat, saya tidak melihat kebijakan SBY pro rakyat,” kata ekonom Rizal Ismail saat dihubungi Harian Terbit, Jumat 7 Januari 2011 (http://bumnwatch.com). “Lihat saja, semua kebijakan ekonominya tidak ada yang mengarah untuk membantu masyarakat bawah.”

Dalam konteks Sikka, peristiwa bunuh diri ini ‘memalukan’. Pemkab Sikka baru saja menyatakan, selama 2010 Sikka berhasil menurunkan angka kemiskinan, dari sebelumnya 35.979 rumah tangga miskin (RTM) pada 2009 menjadi 34.873 pada 2010. Penurunan mencapai 1.106 RTM (Flores Pos Rabu 19 Januari 2011).

Pemkab banggakan pertumbuhan ekonomi, tapi lupa meratapi dan mengatasi ketimpangan sosial, ketimpangan antar-desa, dan ketimpangan antar-sektor. Bunuh diri muncul dari sini.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 29 Januari 2011

Gubernur Takut Risiko

Penyelesaian Tapal Batas Ngada-Matim

Oleh Frans Anggal

Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengehendaki penyelesaian masalah perbatasan wilayah Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai Timur dilakukan dengan pola “persehatian batas”. Yakni dengan cara duduk bersama agar persaudaraan tidak tercederai.

Diakuinya, penyelesaian dengan pola ini membutuhkan banyak waktu. Tidak bisa pula dilakukan secara top-down ‘dari atas ke bawah’. Karena itu, ia mengharapkan semua pihak bersabar. Demikian kata anggota DPRD NTT Kornelis Soi saat sosialisasi perda Provinsi NTT di Bajawa (Flores Pos Rabu 26 Januari 2011).

Pernyataan Kornelis Soi ini menjawab pertanyaan seorang peserta sosialsiasi, Alfian, sekcam Soa. Kata Alfian, masalah tapal batas Ngada dan Manggarai Timur sudah berjalan 37 tahun lebih. Telah menjadi momok bagi masyarakat perbatasan. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaian. Pemprov hanya mengulangtahunkan janji penyelesaian.

Penilaian Alfian tepat. Pemprov, dalam hal ini gubernur, hanya mengulangtahunkan janjinya. Dan anggota DPRD Provinsi NTT Korenlis Soi pun hanya mengulangtuturkan janji gubernur. Mari kita toleh ke tahun terdekat, tahun 2010.

Pada Juli 2010, dalam rapat dengan Gubernur Frans Lebu Raya, anggota Fraksi Golkar DPRD NTT Emilianus Charles Lalung mengatakan, ”Kami minta pemerintah provinsi segera menyelesaikan masalah tapal batas di daerah tersebut karena kasusnya sudah sekian lama” (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).

Permintaan Charles Lalung berkenaan dengan fakta di wilayah tapal batas. Sejak 27 April 2010, ruas jalan provinsi di perbatasan Manggarai Timur dan Ngada diblokir sekelompok orang. Akibatnya, akses ekonomi dan transportasi di wilayah itu macet total.

Apa jawaban gubernur? Penyelesaian sudah dimulai. Masing-masing bupati sudah paparkan peta wilayah. Kini sedang dibentuk tim yang libatkan tokoh masyarakat dan elemen lain dari kedua kabupaten. Pemprov memilih pendekatan kesehatian. Bukan jalur hukum. Jalur hukum bisa membawa ekses buruk.

Saat itu, tentang pola penyelesaian sengketa tapal batas, gubernur menggunakan terminologi “kesehatian”. Sekarang, seperti dikutip Kornelis Soi, menjadi “persehatian batas”. Ini istilah apa lagi? Kata “persehatian”, kita paham, berasal dari kata dasar “hati”, lalu “sehati”, kemudian “bersehati”. Persehatian adalah perihal bersehati. Bersehati tentang tapal batas. Maka, lebih tepat, “persehatian tapal batas”, bukan “persehatian batas”.

Itu hanya soal istilah. Mudah dibetulkan. Yang jadi masalah: gubernur dan para jubirnya hanya berputar-putar dengan istilah, wacana, janji. NATO: no action, talk only. Tak ada tindakan, hanya pernyataan. Patut diduga, sikap inilah yang sesungguhnya diambil, sehingga lahirlah “kesehatian” dan “persehatian”.

Konsepnya seperti apa, rencana tindaknnya bagaimana, tidak jelas. Maka muncullah “harap maklum”: penyelesaian dengan pola ini membutuhkan banyak waktu. Tidak bisa top-down. Sampai di situ ya titik. Masalah tetap masalah, hingga gubenur diganti. Gubernur takut ambil risiko, lalu memilih posisi aman, sehingga tidak melakukan apa pun.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 28 Januari 2011

Tahanan Kota Saja!

Kasus Dugaan Korupsi PDAM Ende

Oleh Frans Anggal

Dua tersangka kasus dugaan korupsi pembelian mesin poma air PDAM Ende, Mohamad Kasim Djou dan Yasinta Asa, masih menjalani masa tahanan. Keduanya tetap dititipkan di LP Kelas II B Ende, setelah permohonan penangguhan penahanan ditolak jaksa (Flores Pos Rabu 26 Januari 2011).

Kuasa hukum tersangka mengajukan penangguhan penahanan atau pengalihan status penahanan dengan alasan kesehatan. Kasim Djou menderita asma. Yasinta Asa hamil tujuh bulan. Keterangan dokter menyebutkan, selama kehamilan kliennya membutuhkan perawatan khusus oleh dokter.

Dalam penangguhan penahanan, penahanan tetap sah dan resmi, namun pelaksanaan penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tersangka/terdakwa dari tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan yang harus dipenuhi oleh tersangka/terdakwa atau oleh orang lain yang menjamin penangguhan itu. Masa penangguhan penahanan tidak termasuk status masa penahanan.

Penangguhan penahanan dapat terjadi apabila ada permintaan dari tersangka/terdakwa. Permintaan itu disetujui instansi penahan. Juga disetujui tersangka/terdakwa dengan mematuhi syarat dan jaminan. Syaratnya: wajib lapor, tidak keluar rumah (tahanan rumah), tidak keluar kota (tahanan kota).

Melihat alasan yang diajukan kuasa hukum kedua tersangka, kita prihatin mengapa jaksa menolak pengajuan penangguhan penahanan. Untuk tersangka atau terdakwa yang sakit dan membutuhkan perawatan khusus, status yang pantas dan patut adalah tahanan kota.

Dengan status tahanan kota, si tersangka atau terdakwa sakit tetap menjalani status penahanan secara sah dan resmi di satu sisi, dan tetap dapat menjalani perawatan secara intensif di lain sisi. Dua sisi ini terpenuhi sekaligus. Sisi hukum dan sisi kemanusiaan. Keduanya tidak saling meniadakan. Hanya dengan demikianlah hukum bisa adil. Demi keadilanlah hukum ada.

Mungkin jaksa mempertimbangkan asas persamaan di depan hukum (equalitiy before the law). Katakanlah, tidak ada pengistimewaan. Semua tahanan diperlakukan sama. Secara prinsipal, itu tepat. Namun secara aktual, ketepatan tidak harus bersifat duplikatif. Sebab, tersangka atau terdakwa itu manusia, bukan barang. Tiap manusia itu khas dengan persoalannya. Perlakuan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa sehat tidak boleh diduplikatkan pada tersangka atau terdakwa sakit.

Pada kasus di atas, diuplikasi pelakukan itulah yang dilakukan jaksa. Kita mengerti, penahanan didasari alasan objektif dan alasan subjektif. Alasan objektif merujuk pada UU yang mengamanatkan penahanan bagi tersangka yang diancam pidana penjara di atas lima tahun. Sedangkan alasan subjektif didasarkan pada kekhawatiran bahwa tersangka dapat mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti, dan melarikan diri.

Menahan kedua tersangka dengan alasan objektif itu tepat. Namun alasan objektif tidak boleh menjadi satu-satunya alasan. Masih ada alasan subjektif. Yang dasarnya pun harus kuat, tidak semata-semata karena khawatir tersangka mengulangi perbuatan, menghilangkan barang bukti, atau melarikan diri.

Kasim Djou dan Yasinta Asa itu orang sakit. Ini perlu dipertimbangkan. Jangan gampang menduplikatkan perlakuan penahanan atas nama persamaan di depan hukum. Hukum harus melek kemanusiaan. Bagi keduanya, tahanan kota sudah cukup!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 27 Januari 2011

Pulang agar Tak Terulang

Kasus 72 TKI Ilegal asal Sikka

Oleh Frans Anggal

Sebanyak 13 dari 72 TKI ilegal asal Kabupaten Sikka yang dibatalkan pemberangkatannya telah tiba di Maumere, Senin 24 Januari 2011. Ke-13 orang ini perempuan dan anak dari total 22 orang. Sembilan lainnya masih di penampungan Pemprov Jawa Timur, siap dipulangkan (Flores Pos Selasa 25 Januari 2011).

Sebelumnya, 72 TKI ilegal asal Kabupaten Sikka yang diberangkatkan sebuah PJTKI dengan tujuan Kalimantan diamankan Polsek Pakal, Kota Surabaya, 10 Januari 2011. Sebanyak 22 dari antaranya perempuan dan anak-anak. Mereka tidak miliki dokumen lengkap. Diduga, mereka korban human trafficking ‘perdagangan manusia’ (Flores Pos Senin 24 Januari 2011).

Pemkab Sikka kecolongan. Semestinya pemberangkatan para TKI bisa dicegah di Maumere, lebih awal. Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRuK-F) telah informasikan kasus ini pada 13 Januari 2011. “Saya heran, informasi saya saat itu tidak ditanggapi. Kalau ditanggapi lebih awal, kasus ini tidak seperti sekarang,” kata Koorinator Divisi Perempuan TRUK-F Suster Eustochia SSpS.

Itulah “manajemen pemadam kebakaran” Pemkab Sikka. Mencegah, tidak. Saat api berkobar, baru panik dan hiruk-pikuk. Seringkali, menajemen seperti ini dilihat sebagai sesuatu yang teknis saja. Tidak tertanggap baiknya informasi TRUK-F pun dipandang sekadar masalah teknis birokratis, yang dari sononya begitu, maka harap dimaklumi dan dimaafkan.

Ini yang tidak betul. Tidak tertanggap baiknya informasi TRUK-F, itu bukan persoalan teknis. Itu persoalan etis. Pemkab lalai menunaikan tugas dan tanggung jawab. Informasi sudah diberikan, namun tidak ditanggapi pemkab. Jelas, pemkab membiarkan pelanggaran itu terjadi. Pemkab bermasa bodoh terhadap fakta perdagangan manusia di depan matanya sendiri.

Buruh migran---di Indonesia disebut TKI dan TKW---telah, masih, dan mungkin tetap jadi “warga negara aneh”. Di negeri orang mereka di-“perbudak”. Di negeri sendiri mereka di-”dipertuan”, dengan sebutan “pahlawan devisa”. Ini hanya gelar, tanpa kehormatan. Hanya hiburan, tanpa kegembiraan. “Pahlawan devisa” sekadar opium yang melenakan bahkan membetahkan buruh migran dikuras. Sebuah masokisme sosial yang hanya menguntungkan negara, baik negara pemasok maupun negara penerima tenaga kerja.

Yang terjadi pada Pemkab Sikka adalah cerminan sikap negara. “Buruh migran merupakan profesi yang paling berisiko menghadapi penganiayaan, tapi sekaligus merupakan kelompok yang paling tidak memiliki akses kepada pelayanan dan keadilan,” kata Nisha Varia, peneliti senior hak-hak perempuan di Human Rights Watch. “Banyak negara malah memperburuk keadaaan karena mengeluarkan kebijakan yang justru memicu perlakuan diskriminasi atau bahkan mempersulit buruh migran untuk minta bantuan hukum kepada pihak yang berwenang” (Hak di Ujung Tanduk: Tinjauan Human Rights Watch terhadap Penganiayaan Buruh Migran Tahun 2010).

Peraturan perundang-undangan kita belum sungguh-sungguh menjadikan buruh migran pahlawan devisa. Ini jalan masuk bagi sindikat untuk melakukan perekrutan dan pemberangkatan ilegal. Lebih banyak yang lolos ketimbang yang dibatalkan. Salah satu faktornya: sikap pemkab yang kurang tanggap.

Karena itu, imbauan Suster Eustochia sangat tepat. Pemkab perlu lebih proaktif dan cepat tanggap. Jangan tunggu api berkobar dulu baru panik dan hiruk-pikuk. Kasus 72 TKI ilegal kiranya menjadi pelajaran berharga. Kini mereka dipulangkan. Pulang agar tidak terulang.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 26 Januari 2011

Perdagangan Manusia Sikka

Perlu Perhatikan Beberapa Faktor

Oleh Frans Anggal

Sebanyak 72 TKI ilegal asal Kabupaten Sikka, NTT, yang diberangkatkan sebuah PJTKI dengan tujuan Kalimantan diamankan Polsek Pakal, Kota Surabaya, 10 Januari 2011. Sebanyak 22 dari antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Mereka tidak memiliki dokumen lengkap. Diduga, mereka korban human trafficking ‘perdagangan manusia’ (Flores Pos Senin 24 Januari 2011).

Anggota DPRD Sikka Siflan Angi meminta pemkab, dalam hal ini Dinas Sosnakertrans, melakukan penanganan yang cepat, tepat, dan proaktif menjemput para korban. “Komisi C DPRD Sikka sudah memanggil kadis dan stafnya pada Sabtu (22-1-2011). Komisi C juga sudah meminta dinas segera memulangkan para korban,” kata Angi.

Kadis Gregorius Rehi menyatakan tidak mengetahui adanya perekrutan dan pengiriman 72 TKI oleh PJTKI bersangkutan. “Dinas Sosnakertrans akan mengupayakan pemulangan TKI, serta mengecek keberadaan PT SM yang merekrut TKI asal Sikka.” Ia juga berjanji, pihaknya akan melakukan investigasi, agarpersoalan dan penanganannya menjadi jelas.

Kuat terkesan, ini kasus pedagangan manusia, terutama per definisi Protokol Palermo. Protokol Palermo adalah suatu perjanjian yang berisi sebuah perangkat hukum mengikat yang menciptakan kewajiban bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya untuk mencegah, menekan, dan menghukum penjualan (trafficking) manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak.

Menurut protokol ini , perdagangan manusia adalah segala transaksi jual beli terhadap manusia. Meliputi perekrutan, pengiriman, pemindah-tanganan, penampungan atau penerimaan orang. Dilakukan dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan, atau bentuk pemaksaan lainnya, seperti penculikan, muslihat atau tipu daya, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan posisi rawan, menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi.

Definisi Protokol Palermo menujukkan, praktik perdagangan manusia dilakukan secara terorganisir. Sedihnya, dalam proses hukum kita, pemidanaan praktik perdagangan manusia dalam UU yang ada, yakni KUHP dan UU Perlindungan Anak 2002, lebih fokus pada kejahatan perseorangan. Padahal, sangat nyata praktik perdagangan manusia dilakukan secara terorganisir.

Karena itu, secara teknis hukum semestinya penyelidikan dan penyidikan kejahatan perseorangan dan teorganisir berbeda. Demikian juga definisi hukum tentang kejahatan terorganisir harus diuraikan jelas, sebab kejahatan ini bisa berbasis pada hubungan perkomplotan yang kuat ataupun longgar. Umumnya organisasi kejahatan perdagangan manusia dilakukan sindikat dengan organisasi tanpa struktur, tetapi melibatkan beberapa orang, termasuk bekerja sama dengan aparat yang menyalahgunakan wewenangnya.

Khusus bagi Pemkab Sikka, upaya pemulangan para TKI tidaklah cukup. Investigasi kasus tidaklah cukup. Perlu langkah preventif daripada sekadar upaya kuratif atau represif. Fakta 1: perempuan dan anak putus sekolah cenderung mencari kerja. Fakta 2: kenyataan ini tidak diimbangi dengan informasi memadai tentang jenis pekerjaan yang tersedia dan bagaimana proses yang benar mendapatkannya. Fakta 3: aparat kelurahan atau dinas tenaga kerja hampir tidak pernah membantu perempuan dan anak mendapatkan informasi tersebut. Ini yang dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan manusia.

Sudah saatnya semua pemkab memperhatikan faktor putus sekolah, aspirasi bekerja, dan macetnya informasi ketenagakerjaan. Ini faktor penting perdagangan manusia. Sayang, selalu saja diabaikan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 25 Januari 2011