Jaringan Aspirasi Masyarakat itu Ilegal dan Irasional
Oleh Frans Anggal
DPRD Nagekeo mendapat jatah dana Jamara: Jaringan Aspirasi Masyarakat. Jumlahnya Rp21,5 miliar. Diberikan kepada para wakil rakyat dengan rincian: ketua dan dua wakil masing-masing Rp1,25 miliar. Ketua komisi B Rp1 miliar. Tiap anggota Rp800 juta. Dana berasal dari APBD Nagekeo 2011 (Flores Pos Rabu 19 Januari 2011).
“Para anggota dewan akan alokasikan dana tersebut kepada kelompok-kelompok masyarakat saat penjaringan aspirasi masyarakat,” kata Kadis Pendapatan, Keuangan, dan Aset Daerah Laurens Pone. “Mereka tidak pegang uangnya, tetapi melalui SKPD. Kalau mau biaya pendidikan S2 berarti ke dinas PPO, jalan di dinas PU, beli sapi ke dinas pertanian.”
Berbeda dengan ketua dan anggota dewan yang menyambut dana ini penuh sukacita, Kapolres Ngada Moch Slamet justru mempertanyakannya. “Yang saya tahu DPR RI pernah berniat seperti itu tatapi gagal, lantas Nagekeo pakai aturan yang mana?” Ia juga mengigatkan dampaknya. “… kalau dewan seperti itu, siapa yang melakukan pengawasan?”
Seperti sang kapolres, kita juga terkaget-kaget. Rujukan UU mana yang digunakan Nagekeo? Pasal 12 ayat (2) UU No 17/2003 menyatakan, RAPBN (tentu juga RAPBD) disusun berpedomankan rencana kerja eksekutif. Tidak berdasarkan rencana kerja legislatif. Secara khusus, tidak berdasarkan daerah pemilihan atau dapil. Kenapa? Karena legislatif tidak miliki instrumen perencanaan. Ini ranahnya eksekutif, bukan ranahnya legislatif.
Mungkin ada yang berdalih, legislatif punya hak budget. Itu tidak benar. Itu hanya salah kaprah. UUD 1945 dan UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPR tidak mengenal “hak budget DPR”. DPR, demikian juga DPRD, hanya memiliki “fungsi anggaran”. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU atau ranperda ajuan eksekutif. Tidak ada hak DPR(D) minta jatah dana Jamara.
Jadi, sangat jelas, Jamara tidak memiliki landasan hukum. Karena itu, dana Jamara adalah dana ilegal. Pertanyaan yang dilontarkan kapolres merupakan awasan. Selaku mantan Kepala Satuan (Kasat) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Polda NTT, ia mungkin sudah menengarai ujung akhir kisah Jamara ini. Rame-rame kembalikan duit. Kita mau tidak hanya itu. Rame-rame masuk bui.
Tampaknya, awasan kapolres tidak mempan bagi DPRD yang terlanjur bersukacita. Sejauh yang dikemukakan Ketua DPRD Gaspar Batu Bata, poin bela diri mereka hanya dua. Pertama, “uang Jamara bukan kami yang pegang”. Kedua, Jamara sangat membantu masyarakat. Pemanfaatannya langsung dirasakan masyarakat.
Benar, bukan kamu yang pegang. Tapi, kamu yang tentukan pemanfaatannya. Kamu telah jadi eksekutor, bukan lagi legislator. Kamu menyerobot domain eksekutif. Benar, manfaatnya langsung dirasakan masyarakat. Tapi, ingat, asas kemanfaatan tidak boleh melangkahi asas keabsahan. Ini namanya tujuan menghalalkan cara.
Demikian pula dengan dalih anggota DPRD Markus Gu Wea. Jamara mengakomodasi beberapa usulan yang tercecer di musrenbang. O ya? Masuk rumah, bisa lewat apa saja? Tidak harus lewat pintu? Bisa lewat jendela, lewat kisi-kisi, lewat lubang kunci? Bila perlu lewat atap, dengan membongkar seng atau genteng? Kenapa tidak memperlebar pintu musrenbang agar tidak perlu membongkar atap rumah?
Semua alasan itu tidak rasional. Kita mendesak: batalkan segera dana Jamara!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 21 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar