29 Mei 2010

Janggalnya KPU NTT

Kemelut Pemilukada Flotim 2010

Oleh Frans Anggal

Di Ngada, Manggarai, dan Manggarai Barat, pemilukada memasuki masa kampanye. Sedangkan di Flotim, tetap bermasalah. Masih buntu pada penetapan paket. KPU Flotim tetap tidak mangakomodasi paket Mondial (Simon Hayon dan Fransiskus Diaz Alffi). Sementara KPU NTT, selaku mandataris KPU Pusat, tidak tegas dalam bersikap.

Ketidaktegasan sikap KPU NTT tampak dari pernyataan ketuanya Djidon de Haan. Dia bilang, jika KPU Flotim tetap tidak mengakomodasi paket Mondial maka KPU NTT tetap pada pendirian membentuk dewan kohormatan. Dewan kehormatan bisa dibubarkan kalau KPU Flotim sudah mengakomodasi paket Mondial (Flores Pos Kamis 27 Mei 2010).

De facto, sekurang-kurangnya hingga pernyataan itu diucapkan Djidon de Haan, KPU Flotim tetap belum mengakomodasi paket Mondial. Kita tidak tahu berapa lama ke-belum-an ini berlangsung. Kita pun tidak tahu kapan toleransi terhadapnya disudahi. Yang jelas, KPU Flotim tetap belum mengakomodasi paket Mondial. Dan, KPU NTT tetap belum membentuk dewan kehormatan.

Dari sisi pencitraan diri, siapa yang menang dalam ’permainan’ ke-belum-an ini? Untuk sementara, KPU Flotim! Dia tetap pada pendiriannya. Bergeming dengan sikap awal, menolak paket Mondial. Citra yang bisa memberkas di mata publik: KPU Flotim benar, maka ia tanam kaki. Citra sebaliknya, menimpa KPU NTT. Merasa diri salah, ia gamang mengambil sikap.

Kalau sampai citra KPU NTT seperti itu, jangan heran. Salahnya sendiri. Dengan belum dibentuknya dewan kehormatan, KPU NTT mencitrakan diri sebagai macan ompong. Tampak menakutkan, tapi tidak menggigit. Macan yang tidak menggigit tidak pantas ditakuti. Pantasnya ditunggang. Pantas, KPU Flotim terkesan tidak ciut nyalinya. Pembentukan dewan kehormatan seakan cuma auman kosong macan ompong. Sebagai ancaman, ia tidak menakutkan. Sebagai daya tawar, ia hambar.

Semestinya KPU NTT sudah membentuk dewan kehormatan. Sebagaimana pada berbagai lembaga dan ikatan profesi. Dasarnya filosofisnya, falibilitas manusia. Yakni potensi manusia untuk berbuat salah: melanggar hukum dan mengangkangi kode etik. Yang melanggar hukum berurusan dengan penegak hukum. Yang melanggar kode etik berurusan dengan dewan kehormatan.

Karena itulah, Ikatan Dokter Indonesia, misalnya, punya dewan kehormatan. DPR(D) punya dewan kehormatan. Dst, dst. Semestinya KPU juga punya. Sebab, potensi pelanggaran kode etik itu melekat pada falibilitas manusia. Karena itu, jangan tunggu ada pelanggaran kode etik dulu baru runggu-rangga bentuk dewan kehormatan.

Yang terjadi pada KPU NTT, janggalnya minta ampun. Kejanggalan pertama: KPU Flotim sudah lakukan pelanggaran kode etik, bahkan secara berulang, tapi KPU NTT masih tunggu pelanggaran berikutnya sebagai persyaratan pembentukan dewan kehormatan. Ia tidak mendasarkan pembentukan dewan kehormatan pada filosofi falibilitas manusia.

Kejanggalan kedua: rencana pembentukan dewan kehormatan ia komoditaskan sebagai ancaman atau daya tawar kepada KPU Flotim. Formulanya: jika paket Mondial tidak diakomodasi, dewan kehormatan dibentuk. Jika paket Mondial diakomodasi, dewan kehormatan bisa dibubarkan. Ini apa-apaan?

Dengan persyaratan janggalnya itu, KPU NTT merendahkan eksistensi dewan kehormatan yang akan dibentuknya. Itu berarti, ia merendahkan martabatnya sendiri. Mencitrakan dirinya naif. Dan, secara tidak langsung, memantaskan dirinya diremehkan oleh KPU Flotim.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 29 Mei 2010

28 Mei 2010

Ketika Anak Itu Bunuh Diri

Gantung Diri di Ruteng Manggarai

Oleh Frans Anggal

Seorang anak 12 tahun, kelas enam SD, tewas gantung diri di rumahnya di Ruteng, Manggarai. Motifnya masih diselidiki polisi. Sebelumnya, ia bertengkar dengan kakaknya soal HP. Usai bertengkar, sang kakak keluar dengan sepeda motor. Saat kembali, ia temukan adiknya dalam kamar, tergantung dengan tali rafia di leher. Ia bawa ke rumah sakit karena tubuhnya masih hangat. Ternyata sang adik sudah meninggal (Flores Pos Rabu 26 Mei 2010).

Apakah pertengkaran itu yang menyebabkan anak ini bunuh diri? Merujuk kajian tentang bunuh diri yang dilakukan E. Ringel (1953), kita pastikan: tidak. Salah satu tesis pokok Ringel menyebutkan, faktor situasi saja tidak dapat mengakibatkan perbuatan bunuh diri. Betapapun sulitnya situasi itu.

Dalam kasus di atas, peristiwa pertengkaran hanyalah sebuah situasi. Sama halnya dengan peristiwa murid tidak naik kelas, remaja putus cinta, orang dewasa putus hubungan kerja, dll. Menurut Ringel, situasi tidak dapat melumpuhkan sikap dan keputusan pribadi seseorang.

Kalaupun ada kaitannya dengan bunuh diri, situasi itu hanyalah faktor pencetus. Bukan penyebab. Ia hanyalah percikan api, kecil, tapi mengobarkan nyala besar dan menghanguskan, justru karena sudah ada bensinnya. Yakni, pengalaman dalam masa kanak-kanak dan perkembangan kepribadian sang anak. Sayang, bensin ini sering tersembunyi dalam tangki, sehingga luput dari perhatian.

Bensin itu dinamakan Ringel ’gejala awal bunuh diri’ (presuicidal syndrom). Ada tiga gejala. Pertama, penyempitan: kurang semangat, lesu, malas, picik. Hubungan dengan dunia luar terputus. Hanya perhatikan diri sendiri. Kedua, agresivitas: terhadap orang lain dan apa saja. Jika agresi tersalur, keinginan bunuh diri hiang. Jika tidak, agresi akan mengarah ke diri sendiri, menghancurkan diri sendiri, bunuh diri. Ketiga, pelarian ke fantasi: makin lama, fantasi makin dianggap nyata. Akhirnya, tindakan ditentukan oleh fantasi.

Dengan presuicidal syndrom, situasi apa pun bisa memicu bunuh diri. Karena, bensin dalam diri sudah ada, tinggal disulut percikan api dari luar. Dengan presuicidal syndrom, pertengkaran soal HP bisa menjadi pencetus pengarahan nafsu agresi terhadap diri sendiri. Dalam kasus di atas, sang adik yang masih kecil tentu tidak bisa mengalahkan sang kakak yang sudah besar. Nafsu agresinya tidak tersalur. Ini titik kritisnya, sekaligus yang membedakanya dari anak normal.

Pada anak normal, agresi tidak diarahkan ke diri sendiri, tapi ke objek yang dilawan. Atau, kalau tidak bisa, ke objek penggantinya. Kalau mengalahkan kakak secara fisik tidak bisa, barang-barang milik kakak dibuang, dirusakkan, dll. Itu pada anak normal.

Pada kasus di atas, yang terjadi tidak demikian. Ganti kakak sang lawan bertengkarnya, si adik menjadikan dirinya sendiri objek nafsu agresinya. Ia menghancurkan dirinya sendiri. Ia bunuh diri dengan cara gantung diri.

Kita sedih. Semestinya ia bisa ditolong, kalau orangtua dan guru mengenal kepribadiannya dan peduli. Bagi anak pengidap presuicidal syndrom, saat usai pertengkaran seperti itu adalah saat kritis. Ada keinginan mengakhiri hidup, tapi juga sesungguhnya kerinduan diperhatikan, ditolong, dibimbing. Ini yang tidak ia dapatkan. Ia akhirnya memilih jalannya, dalam kesendirian.

Kasus ini kasus pertama yang diberitakan Flores Pos sejak hadirnya koran ini sebelas tahun silam. Kasus langka. Kita khawair, mungkin ini juga sebuah fenomena gunung es. Itu tidak mustahil. Sebab, dunia semakin tidak ramah anak. Anak diterlantarkan, secara psikologis dan sosial. Di sekolah, di rumah, mereka diajar dan dihajar, tapi tidak dididik. Menyedihkan.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 27 Mei 2010

26 Mei 2010

”Uwi Ndota Seleraku”

Peresmian Pusat Pangan Lokal di Ende

Oleh Frans Anggal

SMKK Muctyaca Ende bikin terobosan. Sekolah Yayasan Bina Wirawan milik kongregasi CIJ ini dirikan Pusat Pangan Lokal. Dikelola unit usaha sekolah, Sint Revill, di Jalan Melati. Diresmikan bupati Ende, Selasa 25 Maret 2010.

Usaha ini ungkapan kepedulian sekaligus penghargaan terhadap budaya Ende Lio yang diwariskan nenek moyang, kata Suster Martini CIJ, pimpinan Sint Revill. ”Kebiasaan nenek moyang sudah mulai hilang. Generasi masa kini lebih menyukai makanan instan dengan peralatan mewah tanpa peduli dampaknya” (Flores Pos Selasa 25 Maret 2010).

Justru di situlah tantangannya. Pangan lokal vs makanan instan! Ini bukan sekadar perang selera, tapi perang bisnis. Bukan sekadar bisnis lokal, tapi bisnis global. Dalam bisnis global makanan, gandum belum terkalahkan. Dan dari semua turunan gandum, mi instan terdepan. Ia telah jadi makanan dunia. Dari New York sampai kampung terpencil di Ende.

Kenapa bisa begitu? Banyak faktornya. Salah satunya, strategi pasar. Dan salah satu strategi pasar adalah upaya pe-lokal-an dengan cara mengusung simbol-simbol nasionalis. Simaklah ”jingle” (lagu) iklan salah satu produk mi instan di Indonesia. Kata-kata awalnya pakai lirik lagu nasional: ”Dari Sabang sampai Marauke ...” Akhirnya: ”... (mi instan) seleraku.”

Menurut Monika Eviandaru (2001), bukan ”jingle” atau kemasan yang seolah-olah nasionalis itulah yang akan membentuk simbol kebersamaan dan solidaritas aksi. Melainkan, pengalaman, pemahaman, dan penilaian atas konsumsi populer. Adapun ”jingle” hanyalah bagian kecil dari sebuah usaha besar, bernama strategi pasar.

Tantangan bagi Pusat Pangan Lokal justru di sini. Strategi pasar macam apa yang akan ditempuh agar pangan lokal benar-benar menyentuh pada pengalaman, pemahaman, dan penilaian masyarakat konsumen. Dengannya, pangan lokal bisa menjadi konsumsi populer di Kabupaten Ende.

Ini tidak gampang. Selain strategi pasar yang dituntut tidak bisa asal-asalan, pesaing utama pangan lokal justru sudah duluan menasional. ”Dari Sabang sampai Marauke .... (mi instan) seleraku.” Bahkan sudah lama mengglobal. Berterima oleh masyarakat dunia, dari New York sampai kampung terpencil di Kabupaten Ende.

Di hadapan tantangan sedahsyat ini, penyebutan oleh anggota DPRD Ende Yustinus Sani tidak meleset. Pusat Pangan Lokal merupakan rencana dan karya besar CIJ, demi Ende Lio Sare Pawe. Karena itu, Sint Revill, SMKK Muctyaca, CIJ tidak boleh sendirian. Dan tidak boleh dibiarkan sebatang kara. Mereka perlu didukung. Oleh masyarakat dan pemerintah.

Tepat! Lagi pula, Pusat Pangan Lokal merupakan respon cepat dan tepat dari lembaga pendidikan terhadap program Pemkab Ende: Gerakan Swasembada Pangan (GSP) 2012. Respon lainnya, berupa lagu. Diciptakan Amatus Peta, kepala SMA Negeri 1 Ende: ”Nua Ola Iwa Lowa Moa”. Ajakan berswasembada pangan: tanam dan konsumsi pangan lokal, jangan bergantung pada bantuan luar. Lagu ini sudah di-lomba-pop-singer-kan.

Respon seperti ini sudah bagus. Pertanyaan kita: apa respon balik pemerintah? ”Pemerintah perlu menopangnya dengan promosi dan dana,” kata Yustinus Sani. Tepat! Ini bagian penting dari strategi pasar. Strategi pasar yang kuat akan menjadikan (kembali) pangan lokal tuan rumah di daerah sendiri. Kita impikan, suatu saat nanti, anak-anak Ende menyanyikan ”jingle” iklan tadi dengan lirik baru. ”Dari Sabang sampai Marauke ... Uwi ndota seleraku.”

“Bentara” FLORES POS, Rabu 26 Mei 2010

Rakyat Sekarat, DPRD Nikmat

DPRD NTT Pinjam Uang APBD Beli Mobil

Oleh Frans Anggal

GMNI Cabang Kupang datangi DPRD NTT. Mereka mendesak, peminjaman dana APBD provinsi kepada anggota DPRD NTT untuk membeli mobil dibatalkan. Uang APBD itu uang rakyat. Untuk pembangunan, pelayanan masyarakat, dan pengadaan fasilitas umum. Bukan untuk kepentingan pribadi anggota dewan (Flores Pos Senin 24 Mei 2010).

Dana APBD 2009/2010 yang siap dipijamkan itu miliaran rupiah. Untuk beli mobil 55 anggota dewan. Masing-masing dapat jatah Rp200 juta. Jenis mobilnya tinggal pilih: Toyota Avansa, Toyota Rush, Toyota Inova, Izuzu Panther. Pengembaliannya pakai cicil, potong gaji Rp5 juta per bulan, selama 48 bulan.

”Ironis. Pada saat masyarakat NTT mengalami masalah sosial yang membutuhkan dukungan dana, DPRD mengambil uang rakyat untuk membeli mobil. Wakil rakyat lebih sibuk memperjuangkan kepentingan pribadi, dan melupakan tugasnya sebagai wakil rakyat,” kata Blasius Timba, ketua GMNI.

Tanggapan DPRD NTT? Tidak nyambung! Lain sorotan GMNI, lain tangkisan DPRD. GMNI menyorotnya sebagai persoalan etis. DPRD menangkisnya dengan argumentasi yuridis dan ekonomis. Argumentasi yang sama digunakan pemerintah, partner DPRD dalam mengerat uang rakyat.

Argumentasi yuridis: meminjamkan uang APBD kepada anggota dewan tidak menyalahi aturan. Begitu kata Ketua DPRD NTT Ibrahim Medah. Sebab, dana itu diambil dari pos anggaran untuk membantu PNS yang mau meminjam uang untuk membeli kendaraan bermotor. Dewan diberi kesempatan yang sama.

Argumentasi ekonomis: kebijakan ini menguntungkan pemerintah, kata Medah. Sebab, kepemilikan mobil atas nama pribadi anggota dewan. Maka, bahan bakar, pemeliharaan, dan sopir tidak lagi menjadi tanggungan pemerintah. Sebaliknya kalau pakai kendaraan dinas.

Pertanyaan kita: di manakah tempat rakyat dalam kedua argumentasi itu? Tidak ada! Rakyat sudah dicoret! Para anggota dewan yang, katanya, terhormat itu kini sedang tidak mewakili siapa-siapa selain diri mereka sendiri. Karena mewakili diri sendiri, kepentingan dirilah yang mereka perjuangkan. Demi kepentingan diri itulah, argumentasi tadi mereka ulangtuturkan. Meskipun, rapuh!

Dalam argumentasi yuridis, Ibrahim Medah menyebutkan, ada pos anggaran bagi PNS yang mau pinjam uang APBD provinsi untuk beli kendaraan pribadi. Ini pos apa-apaan? Kenapa harus pinjam uang APBD untuk urusan pribadi? Kenapa tidak pinjam uang di bank? Semestinya pos seperti ini dipersoalkan oleh DPRD NTT. Eh, tidak. DPRD malah ikut memanfaatkannya dengan penuh sukacita. Mumpung ada posnya, sikat!

Dalam argumentasi ekonomis, Ibrahim Medah katakan, kebijakan ini menguntungkan pemerintah. Benar. Pemerintah pasti untung. Tapi, itu tidak cukup bagi wakil rakyat. Semestinya ditanyakan juga: apa untungnya bagi rakyat? Ketika pemerintah bikin pos anggaran bagi PNS yang mau pinjam uang APBD untuk beli kendaraan pribadi, apa untungnya bagi rakyat? Ketika DPRD memanfaatkan pos yang sama untuk beli mobil pribadi, apa untungnya bagi rakyat? Tidak ada! Malah rugi. Potensi hak rakyat atas anggaran berkurang.

Sisi inilah yang dilihat tepat oleh GMNI. Tapi dijawab gagap oleh DPRD. Ini persoalan etis! ”Pada saat masyarakat NTT mengalami masalah sosial yang membutuhkan dukungan dana, DPRD mengambil uang rakyat untuk membeli mobil.” Rakyat sekarat, DPRD nikmat!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 25 Mei 2010

Demi Kepentingan Rakyat?

DPRD NTT Pinjam Uang APBD Beli Mobil

Oleh Frans Anggal

Berita Flores Pos Jumat 21 Mei 2010. Halaman depan, dari Sikka: ”Satu Pasien Busung Lapar Meninggal”. Halaman dalam, dari Kupang: ”Anggota DPRD NTT Pinjam Uang APBD Beli Mobil”. Dua peristiwa, pada satu provinsi. Rakyatnya mati kelaparan. Wakil rakyatnya beli mobil. Kontras!

Yang kontras begini tidak baru di NTT. NTT itu, miskin rakyatnya, kaya pejabatnya. Reyot rumah masyarakatnya, megah gedung pemerintahnya. Rusak jalan daerahnya, mewah mobil dinasnya. Rendah pendapatannya, tinggi korupsinya. Dst.

Pada berita Flores Pos tersebut terkesan: DPRD NTT sudah jadi bagian dari kontras itu. Bahkan, mereka pemain pentingnya. Bersama eksekutif, mereka tentukan mau diapakan dana APBD 2009/2010. Mau dipinjamkan, boleh. Miliaran rupiah, boleh. Dipinjamkan kepada diri sendiri, boleh. Mereka yang tentukan koq. Dan, sah.

Maka, terjadilah. Dana APBD 2009/2010 siap dipinjamkan kepada 55 anggota DPRD NTT. Masing-masing Rp200 juta. Untuk beli mobil. Tinggal pilih: Toyota Avansa, Toyota Rush, Toyota Inova, Izuzu Panther. Pengembaliannya? Gampang! Mereka yang atur koq! Potong gaji Rp5 juta per bulan, selama 48 bulan. Selesai.

Kenapa harus mobil? Syahlan Kamahi, anggota dewan dapil Alor, Lembata, Flotim, kasih alasan. DPRD itu pejabat negara. Mereka berhak dapat fasilitas dari negara. Agar, memperlancar dan mempermudah pelaksanaan tugas, demi kepentingan rakyat.

Demi kepentingan rakyat! Luhurnya! Tapi, mari letakkan itu dalam kontras tadi. ”Satu Pasien Busung Lapar Meninggal”, ”Anggota DPRD NTT Pinjam Uang APBD Beli Mobil”. Demi kepentingan rakyat! Rakyat yang mana? Seluruhnya! Termasuk, yang busung lapar. Dengan mobil itu, nanti, busung lapar berkurang.

Kalau benar begitu, kita dukung seratus persen anggota DPRD miliki mobil. Jangan hanya satu per orang. Bila perlu lima. Mengingat, tujuannya: memperlancar dan mempermudah pelaksanaan tugas, demi kepentingan rakyat. Semakin banyak mobil, semakin lancar dan mudah pelaksanaan tugas. Karena pelaksanaan tugas itu demi kepentingan rakyat, termasuk yang busung lapar, maka semakin banyak mobil, semakin berkurang busung lapar.

Itu hanya mimpi. Demi kepentingan rakyat itu hanya slogan. Kepentingan rakyat diumbar, kepentingan diri dibungkus. Kebiasaan NTT. Melihatnya, gampang. Dari kontras itu tadi. Dana pusat diterima berlimpah, katanya demi kepentingan rakyat, nyatanya yang meningkat bukan kesejahteraan rakyat tapi korupsi pejabat. Yang meningkat bukan ke-laik-huni-an rumah masyarakat tapi kemegahan gedung pemerintah. Yang meningkat bukan kualitas jalan raya tapi kemewah mobil dinas. Dst.

Mobil DPRD NTT berada dalam kontras itu. Tak ada preseden sebaliknya. Karena itu, jangan suka umbar kepentingan rakyat. Jangan bertindak seperti burung unta. Sembunyikan kepala dalam pasir, badannya tetap kelihatan. Open-open saja, apa salahnya. Ingin miliki mobil, titik. Secara etis, itu jauh lebih baik ketimbang menguarkan tujuan luhur tapi bohong. Kejujuran akan mengukuhkan legitimasi etis legislatif. Tanpa legitimasi etis, pertanggungjawaban publik kehilangan makna. Publik jadi muak.

Kalau benar beli mobil itu demi kepentingan rakyat, kenapa tidak pinjam uang di bank saja? Kenapa harus pinjam uang APBD? Meminjam uang APBD sama dengan ’merampas’ potensi hak rakyat atas anggaran. Di mana letak demi kepentingan rakyat-nya?

“Bentara” FLORES POS, Senin 24 Mei 2010

Terlantar di RSUD Bajawa

Nasib Seorang Pasien Lakalantas

Oleh Frans Anggal

Seorang korban lakalantas asal Soa, Yohanes Sawo (35), diterlantarkan di UGD RSUD Bajawa. Selama tiga jam ia tidak dihiraukan oleh petugas medis UGD. ”Sejak tadi korban tiba, mereka hanya datang lihat dan tidak mengobati luka yang ada,” kata Yosep Lado, yang membantu mengantar korban ke RSUD (Flores Pos Jumat 21 Mei 2010).

Berulang kali Yosep Lado minta petugas UGD agar berikan pertolongan. Namun permintaannya ditanggapi emosional oleh petugas. Bahkan petugas minta agar korban di bawa pulang. ”Bagaimana kami mau bawa korban pulang, sementara belum mendapat perawatan dan tidak bisa bergerak karena belakang dan rusuknya sakit.”

Lakalantas menimpa Yohanes Sawo di Mataloko. Sepeda motornya menabrak anjing. Dalam keadaan sakit ia menuju RSUD. Belum sampai di RSUD, ia pusing dan terjatuh. Ia ditolong oleh Yosep Lado, yang kemudian mengantarnya ke RSUD. Pukul 11.00 ia masuk. Hingga pukul 14.00 petugas belum berikan pertolongan. ”Saya sudah dari tadi terbaring di sini,” katanya.

Tiga jam tanpa pertolongan medis! Di UGD lagi! UGD itu singkatan dari ”unit gawat darurat”. Nama menjukkan makna. Dari namanya, jelas, yang masuk ke sana adalah pasien yang kondisinya ”gawat”. Karena kondisinya gawat maka pertolongan yang diberikan harus ”darurat”. Artinya, secepatnya, meski sementara, sebelum tindakan medis selanjutnya.

Makna UGD itu tidak berlaku dalam kasus di atas. Kita jadi ragu. Jangan-jangan si korban salah masuk. Mungkin tempat dia terbaring itu bukan ”unit gawat darurat”, tapi ”unit peristirahatan sebelum pulang”. Mungkin karena itulah para petugas emosional ketika didesak memberi pertolongan. Mungkin karena itu pula mereka minta korban dibawa pulang saja.

Atau, boleh jadi, korban masuk ke ruang yang tepat: UGD. Namun, dia dan si pengantar tidak tahu perkembangan di RSUD Bajawa. Siapa tahu, makna UGD di sana sudah berubah. UGD bukan lagi tempat pertolongan pertama yang mengharuskan tindak medis segera. Tapi, katakanlah, sudah menjadi seperti bengkel.

Di bengkel, sepeda motor rusak yang diantar masuk tidak harus ditangani ”darurat”, betapapun ”gawat” kerusakannya. Bisa diparkir dulu berjam-jam, bahkan berhari-hari, sebelum montir lakukan tindakan mekanik. Karena itulah, bengkel, secanggih apa pun, tidak pernah diembel-embeli ”gawat” dan ”darurat” di belakangnya sehingga menjadi ”bengkel gawat darurat”.

Hanya rumah sakit yang punya ”unit gawat darurat”. Karena, rumah sakit merawat manusia sakit, bukan mesin rusak. Di rumah sakit, merawat tidak sebatas diagnosis dan terapi. Merawat adalah juga memperhatikan si pasien. Meringakan deritanya. Membuka kembali hatinya. Memberikan pengaharapan baru dan gairah hidup kepadanya. Membebaskannya dari cengkeraman keputusasaan.

Jadi, pelayanan kesehatan tidak ditujukan semata-mata pada aspek fisik-biologis. Tidak pula identik sebagai pelayanan medis saja. Tapi, pelayanan yang tepadu dan menyeluruh. Karena itu pula, hubungan antara petugas rumah sakit dan pasien tidak hanya merupakan hubungan antara si petugas dan penyakit si pasien. Tapi juga hubungan personal antar si petugas dan si pasien itu sendiri.

Dalam kasus di UGD RSUD Bajawa, hubungan seperti ini tidak tampak. Si korban lakalantas diperlakukan seperti motor rusak. Diparkir berjam-jam. Malah diminta dibawa pulang. Wala, UGD itu bengkel atau apa?

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 22 Mei 2010

Jangan Tunggu Gubernur

Persoaaln Batas Ngada dan Manggarai Timur

Oleh Frans Anggal

Ketegangan di Rio Minsi, wilayah perbatasan Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur, belum reda. Terutama di tiga titik. Bakit, Paan Dalo, dan Marutauk. Warga di perbatasan Maritauk memblokir jalan lintas utara dengan melubanginya selebar dua meter (Flores Pos Kamis 20 Mei 2010).

Dampaknya, transportasi kandas, masyarakat tidak bisa pasarkan hasil. ”Ekonomi warga lumpuh total,” kata Jemain Utsman, anggota DPRD Manggarai Timur, yang baru kembali meninjau. Jangankan kendaraan, pejalan kaki pun dilarang melintas oleh warga. ”Kami terpaksa lewat jalan tikus saja ke Bajawa (ibu kota Ngada),” kata Ferdi Danse, aktivis LSM.

Ketegangan sudah satu bulan. Dimulai akhir April saat warga Rio Minsi lakukan pemblokiran. Aksi mereka dipicu tindakan seorang kontraktor asal Manggarai Timur yang turunkan material di jembatan Ngangas. Menurut warga, wilayah itu termasuk yang di-status quo-kan Gubernur NTT. Artinya, tak boleh ada kegiatan pembangunan apa pun di sana sebelum persoalan titik batas diselesaikan pemprov (Flores Pos Kamis 29 April 2010).

Pen-status quo-an tertuang dalam surat gubernur NTT 30 Juli 2007. Di dalamnya termaktub’janji’, penyelesaian rampung paling lambat dalam tiga tahun. Kenyataannya, tiga tahun mau habis, janji tinggal janji, persoalan tetap persoalan. Yang tanggung akibat? Bukan si pemberi janji. Tapi, masyarakat di wilayah perbatasan.

Oleh pen-status quo-an itu, semua kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan dihentikan. Artinya, terhenti pula pemenuhan hak warga negara. Pada batas tertentu, ini bisa diterima. Pen-status quo-an sekadar pengondisian sementara guna mempermudah dan memperlancar penyelesaian masalah. Itu berarti, penyelesaian harus sesegera mungkin.

Yang terjadi, sebaliknya. Penyelesaian lamban dan tidak jelas. Tiga tahun tanpa hasil, selain berlarutnya derita masyarakat akibat kehilangan hak atas pembangunan. Ketika ketegangan kembali terjadi, kita berharap gubernur segera bertindak. Eh, tidak juga. Ia hanya mendaur ulang janji yang belum terpenuhi itu.

Dia bilang, wilayah perbatasan itu tetap sebagai wilayah status quo. Itu disampaikannya saat bupati dari kedua kabupaten presentasikan materi soal perbatasan (Flores Pos Selasa 18 Mei 2010). Tetap sebagai wilayah status quo, artinya apa? Kegiatan pembangunan tetap tidak ada. Hak warga negara atas pembangunan tetap diabaikan. Derita masyarakat di wilayah perbatasan tetap diperpanjang. Diperpanjang oleh gubernur!

Kalau cuma men-status quo-an kembali wilayah perbatasan untuk lagi-lagi tidak melakukan apa-apa, celaka besar. Ini menyuburkan anarki di wilayah perbatasan. Akibat langsungnya tidak menimpa sang gubernur yang nun jauh di Kupang sana. Tetap saja warga perbatasan itu sendiri yang menanggungnya. Warga Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur. Warga dari dua bupati.

Maka, kedua bupati jangan tunggu gubernur. Lakukan apa yang bisa dilakukan dalam batas kewenangan yang dimiliki. Penyelesaian tapal batas, itu urusan gubernur. Sedangkan soal kamtibmas, masa tunggu gubernur. Bongkar pemblokiran jalan, masa tunggu gubernur. Tertibkan warga yang melarang warga lain melintas di perbatasan, masa tunggu gubernur. Kalau semuanya tunggu gubernur, sekalian saja tidak usah jadi bupati.

Cukup gubernur yang lamban. Bupati kedua kabupaten, jangan. Segera tertibkan anarki di perbatasan. Jangan jadikan rakyat tameng dan tumbal politik.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 21 Mei 2010

Rekomendasi Balas Dendam?

DPRD Sikka vs Kadishub Roby Lameng

Oleh Frans Anggal

Pansus DPRD Sikka rekomendasikan Kadishubkominfo Robertus (Roby) Lameng dinonaktifkan sementara. Agar, ia fokus pada penyelesaian hukum kasus pengadaan alat angkut darat Rp1,8 miliar. Rekomendasi disampaikan ke Bupati Sosimus Mitang. Tanggapan bupati? ”Pemerintah akan mempelajari dan menyikapi rekomendasi ini dengan cermat” (Flores Pos Rabu 19 Mei 2010).

Menurut hasil kerja pansus, dugaan kerugian negara Rp638 juta. Jumlah alat angkut yang seharusnya diadakan 7 unit: 6 bus dan 1 pick up. Kenyataan pengadaan cuma 6 unit: 5 bus dan 1 pick up. Alasan Roby Lameng bahwa jumlah dikurangi karena harga naik tidak terbukti dalam investigasi pansus. Demikian pula ’dalih’ bahwa anggota DPRD mengintervensi proyek itu.

Bagaimana tanggapan Roby Lameng? Soal rekomendasi penonaktifan, ia siap terima apa pun sikap bupati. Sedangkan perihal kerja pansus, ia tempuh jalur hukum. Anggota pansus ia laporkan ke polisi. Mereka terindikasi lakukan tindak pidana penipuan, penggelapan, dan pemalsuan BAP pansus.

Menurut Roby, dalam berita acara pemeriksaan pansus, keterangan yang ia berikan tidak dimuat lengkap. Berita acara itu hanya memojokkan dirinya. Ia menilai berita acara itu cacat hukum. Ia tidak bersedia bubuhkan tanda tangan.

Roby dan DPRD sedang ”berperang”. Awalnya, pandangan umum fraksi di DPRD Maret 2010, yang soroti proyek pengadaan alat angkut darat tahun 2009. Menanggapai sorotan ini, Roby buka suara. Proyek ini diintervensi anggota dewan untuk golkan kontraktor tertentu. Malah ada yang minta jatah dua mobil.

“Bentara” Flores Pos Jumat 12 Maret 2010 menilai pernyataan Roby ini mekanisme bela diri dan peng-kambing-hitam-an. Seakan-akan, proyek itu bermasalah karena intervensi anggota dewan. Kalau itu benar, kenapa ia ikut saja? Intervensi itu salah. Takluk pada yang salah jelas salah. Sesuatu yang salah tidak patut dijadikan pembenaran tindakan yang salah. Intervensi dewan tidak patut dijadikan dalih bermasalahnya proyek.

Roby boleh salah berargumentasi, namun ia jujur dan berani membongkar praktik lazim yang selalu ditutup-tutupi. Apa itu? Anggota dewan jadi calo proyek. Ini praktik umum di Indonesia. Dan karena itu, pantas untuk dinyanyikan, tidak dengan khidmat, tapi dengan sedih! ”Dari Sabang sampai Marauke, berjajar calo-calo. Sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia ....”

Dengan ini, kita harapkan bupati bijak. Pada kasus alat angkut darat, Roby mungkin patut disalahkan. Tapi pada kejujuran dan keberaniannya membongkar praktik percaloan, ia patut dipuji. Mengapa? Percaloan sudah sistemik. Yang dimunculkan Roby itu hanya puncak gunung es. Kita tidak harus menunggu seluruh gunung es itu tersembul baru mau percaya.

Rekomendasi penonaktifan oleh pansus itu, silakan saja. Bupati punya hak untuk tidak penuhi. Apalagi, tujuannya agar Roby fokus pada penyelesaian kasus. Fokus apanya? Yang harus fokus pada penyelesaian kasus ini adalah polisi, jaksa, hakim. Itu tugas mereka. Sedangkan Roby harus tetap fokus pada tupoksinya sebagai kadis. Lagi pula, kini ia sedang gencar membersihkan instansinya. Kenapa ia harus dinonaktifkan?

Penegakan hukum itu harus, ya. Tapi, jangan abaikan kondisi empirik. Kalau semua kepala SKPD di Sikka berkasus, apakah semuanya harus dinonaktifkan? Bukankah mesin birokrasi akan macet dan pelayanan publik akan kandas? Rekomendasi pansus itu berlebihan. Rekomendasi balas dendam? Sikap kita: Roby Lameng tidak perlu dinonaktifkan!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 20 Mei 2010

Ende Kota Sampah?

Ketika Petugas Kebersihan Mogok

Oleh Frans Anggal

Sejumlah ruas jalan di kota Ende penuh sampah. Karung sampah rumah tangga menumpuk di pinggir jalan. Sampah di bak-bak penampungan meluber hingga ke bibir jalan. Lalat berseliweran. Bau busuk menyengat. Dua minggu terakhir, Ende seperti kota sampah saja.

”Ini sampah sudah satu minggu lebih belum diangkut. Sebelum-sebelumnya lancar. Petugas datang angkut. Biasanya seminggu sekali. Tapi kali ini sudah terlambat. Alasan apa, kita tidak tahu. Mungkin otonya macet,” kata seorang warga (Flores Pos Selasa 18 Mei 2010).

Mobil pengakut sampah macet, benar. Diakui Kakan Pertamanan dan Kebersihan, Ari MS Ambuwaru. Mobil ada delapan. Tiga rusak parah. Satu sedang diperbaiki. Yang baik tinggal empat. Itu baru mobil. Belum bahan bakar. Belum honor petugas. Belum dibayar, petugas mogok. Sampah menumpuk.

Akumulasi dari semua itulah Ende jadi seperti kota sampah. Tampak, masalahnya, duit. Tak ada duit, mobil rusak tak diperbaiki. Bahan bakar mobil tak dibeli. Honor petugas tak dibayar. Koq bisa ya, sebuah kantor pemerintahan tak punya duit. Ada apa?

Si kepala kantor punya cerita. ”Sejak Januari, dimutasinya bendahara pengeluaran kami ke Kecamatan Lio Timur, kami mengalami kevakuman bendahara. Beberapa minggu ini, bendahara yang baru sudah ada, maka kami baru memulai mangajukan SPM (surat pengajuan membayar) ke PPKAD untuk dua persoalan ini: BBM dan honor petugas.”

Kalau begitu, masalahnya bukan duit, tapi mutasi. Model mutasi macam apa sampai bendahara di sebuah kantor bisa lowong berbulan-bulan? Selama bendahara lowong, duit ikut ’lowong’. Bagaimana bisa beli bahan bakar dan bayar honor petugas? Kepala kantor punya kiat. Ia bersama staf berpatungan kumpul duit. Tapi, mau kuat sampai di mana?

Akhirnya, ia angkat tangan. ”Sekarang ini saya sudah kewalahan. Mau pakai cara apa lagi. Saya berharap PPKAD bisa memahami hal ini dan segera merealisasikan honor petugas.”

Apa yang tidak beres di sini? Pengaturan mutasi! Dari dampaknya bagi kantor tersebut (duit), yang ujung-ujungnya menimpa kepentingan umum (sampah), mutasi itu kurang memperhitungkan salah satu ’gaya kognitif kesadaran birokratis’. Yakni, ’sifat-dapat-diramalkan’. Padahal, ini sudah jadi asumsi umum. Orang menganggap, birokrasi selalu berjalan dengan tata langkah tetap tertentu. Tata langkah itu diketahui publik, dan karena itu selalu dapat diramalkan.

Konkretnya. Kalau ada kantor pertamanan dan kebersihan, maka—sudah dapat diramalkan—tentu ada kepala yang memimpin, bendahara yang urus duit, petugas yang angkut sampah, mobil, dll. Kalau bendahara dimutasi, maka—sudah dapat diramalkan—tentu segera ada penggati. Sebab, kalau tidak, tak ada yang membayar honor petugas, bahan bakar, dll.

Pada kasus di atas, ’sifat-dapat-diramalkan’ itu justru tidak muncul. Lima bulan bendahara vakum. Ujung-ujungnya, sampah menumpuk. Masyarakat terheran-heran. Kenapa? Karena, sesuatu yang sebelumnya selalu dapat mereka ramalkan, kini tidak terjadi lagi. Biasanya, petugas datang angkut sampah seminggu sekali. ”Tapi kali ini sudah terlambat. Alasan apa, kita tidak tahu.”

Saran kita. Pertama, menyangkut sampah. PPKAD segera penuhi permohonan kantor pertamanan dan kebersihan. Kedua, menyangkut mutasi. Jangan isi sini, kosong sana. Tutup sana, lubang sini. Perlu matang dan cermat. Perhitungkan juga salah satu gaya kognitif kesadaran birokratis: sifat-dapat-diramalkan.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 19 Mei 2010

”Ada yang Suruh Kami”

Kasus Bom Molotov di KPU Manggarai

Oleh Frans Anggal

Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai geger, Jumat 14 Mei 2010. Bersamaan dengan demo LPPMD ke KPU, dua orang tertangkap tangan oleh polisi ketika memanjat tembok timur kantor KPU dengan dua bom molotov di tangan. Polisi lepaskan tembakan peringatan. Keduanya langsung dibekuk. Belasan lainnya kabur. Polisi amankan sepuluh bom (Flores Pos Sabtu 15 Mei 2010).

Kedua orang itu sudah jadi tersangka. Dalam keterangan kepada polisi, mereka ungkapkan banyak hal. Soal pertemuan-pertemuan awal, pembuatan bom, hingga rencana eksekusi. ”Ada yang suruh kami,” kata salah seorang tersangka (Flores Pos Senin 17 Mei 2010).

Kedua tersangka itu warga Kecamatan Wae Rii. Orang kebanyakan. Masuk akal, mereka hanyalah orang suruhan. Siapa yang menyuruh? Dilihat dari sasaran aksinya (kantor KPU), momen aksinya (demo LPPMD), dan atmosfer politiknya (pemilukada 2010), otaknya pasti bukanlah orang kebanyakan. Pasti elite, dalam pengertian luas.

Siapa pun otak di balik kasus ini, satu hal tidak terbantahkan. Pemilukada di Manggarai ternoda. Penodaan tidak hanya oleh kasus bom itu sendiri, yang jelas-jelas melanggar hukum, tapi juga oleh manipulasi terhadap warga, yang nyata-nyata melanggar etika.

Seperti umumnya di Indonesia, pemilukada di Manggarai pun ditandai penyingkiran terhadap warga. Warga dipasifkan ketika elite politik mulai jual-beli partai untuk meloloskan atau mengandaskan paket tertentu. Tidak ada konsultasi publik guna menentukan kandidat mana yang akan diusung parpol. Kadaulatan warga dimatikan oleh kedaulatan uang.

Warga baru akan diaktifkan saat ’diperlukan’. Misalnya, saat elite politik ingin menekan KPU. Saat elite politik mulai kampanye. Dan akhirnya saat warga menuju tempat pemungutan suara. Sesudah itu? Selamat tinggal warga, sampai jumpa di lain kesempatan. Kesempatan lain itu pun banyak: pemilukada berikut, pilgub, pilpres, pemilu legislatif.

Pada semua kesempatan itu, perlakukan terhadap warga tidak berubah. Demi kepentingan para elite politik, warga dipasifkan. Demi kepentingan para elite politik pula, warga diaktifkan. Pengaktifannya pun manipulatif. Jadi, sesungguhnya, warga diperalat, ditunggang. Kasus bom molotov di Ruteng cukup terang menggambarkan itu. ”Ada yang suruh kami,” kata salah seorang tersangka.

Siapa yang suruh? Itu tugas polisi, mencari tahu, menegakkan hukum. Tugas elemen lain adalah menegakkan kewargaan. Kewargaan, menurut Dominique Leydet (2007), mengandung tiga kualifikasi. Pertama, adanya kebebasan bertindak sesuai dengan hukum dan adanya hak mengklaim perlindungan hukum. Kedua, adanya partisipasi pada lembaga politik. Ketiga, adanya keanggotaan pada komunitas politik dengan identitas jelas.

Di negara kita, ketiga kualifikasi itu sangat lemah. Tidak heran, mengutip filosof Rocky Gerung (www.kompas.com), dari luar, Indonesia tidak terlihat seperti negara. “Kita tidak bertemu warga negara. Yang ada kumpulan umat, yakni komunitas dengan ikatan-ikatan keyakinan dan primordial dan kumpulan massa yang bergerak cair ke sana kemari, tanpa arah, dan biasanya menunggu diperintah.”

Kasus bom molotov di Ruteng menggambarkannya cukup gamblang. ”Ada yang suruh kami,” kata salah seorang tersangka. Kasihan. Para tersangka ini bukan warga negara. Mereka hanya bagian dari massa yang bergerak tanpa arah, menunggu perintah elite politik.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 18 Mei 2010

NTT yang Semrawut

Persoalan Batas Ngada dan Manggarai Timur

Oleh Frans Anggal

Situasi daerah perbatasan Ngada dan Manggarai Timur (dulu Manggarai) semakin memburuk. Sejak Kamis 13 Mei 2010, warga Morotauk memblokir jalan dengan cara menggali (membikin got) dan memagarinya. Urat nadi ekonomi lintas utara pun putus. Masyarakat dua kabupaten tidak bisa pasarkan komoditas mereka seperti kopi, cokelat, dan kemiri (Flores Pos Sabtu 15 Mei 2010).

Ini pemblokiran kedua. Tiga pekan sebelumnya, pemblokiran dilakukan warga Rio Minsi. Ini dipicu tindakan seorang kontraktor yang menurunkan material di jembatan Ngangas. Wilayah itu sudah di-status quo-kan oleh Gubernur NTT sejak 2007. Tak boleh ada kegiatan pembangunan oleh kedua pemkab sebelum persoalan titik batas diselesaikan pemprov (Flores Pos Kamis 29 April 2010).

Sejak 2007! Pertanyaan kita: apa yang sudah dilakukan pemprov? Tidak ada! Melalui suratnya pada tahun itu, gubernur hanya lakukan dua hal. Men-status quo-an wilayah perbatasan dan memberi janji. Janjinya: paling lama dalam tiga tahun, masalah sudah diselesaikan. Dua bulan lagi, tenggat itu berakhir. Tanda-tanda penyelesaian tidak tampak. Gubernur belum lakukan apa pun.

Bahwa kemudian anggota DPRD provinsi turun ke lokasi, itu setelah dan karena adanya kasus pemblokiran. Bahwa kemudian dua bupati dipanggil gubernur untuk presentasikan dokumen dan lain-lain, itu juga setelah dan karena adanya kasus pemblokiran. Seandainya tidak terjadi pemblokiran? Pemprov tetap ’aman-aman’ saja. Seakan-akan tak ada masalah dan tak pernah janjikan sesuatu.

Sudahlah. Betapapun terkesan reaktif, langkah pemprov itu tetap kita hargai. Yang kita harapkan, sekalipun reaktif, langkah tersebut solutif. Dan, bisa solutif kalau penyelesaiannya utuh-menyeluruh. Tidak sepotong-sepotong. Tidak setengah-setengah. Sayangnya, justru kesan sepotong-sepotong dan setengah-setengah inilah yang kita lihat.

Simak saja, apa yang dilakukan pemprov sejak terjadinya pemblokiran itu. Pengarus-utamaan penyelesaian hanya berlangsung di tingkat atas. Di tingkat bawahnya tidak. Di tingkat atas: anggota DPRD provinsi turun ke lokasi, lalu balik lagi ke Kupang untuk ’melapor’ ke guberur. Demikian pula, dua bupati dipanggil ke Kupang menghadap gubernur untuk presentasikan dokumen dll.

Itu di tingkat atas. Di tingkat bawah? Sementara para elite tadi sibuk pergi dan pulang, dengan menggunakan uang negara tentunya, masyarakat di daerah perbatasan hidup dalam kondisi semakin memburuk. Konfliknya sudah mencuat, terbuka, dan meningkat. Diperlukan hanya satu percikan api, pertumpahan darah pasti terjadi.

Yang mencengangkan, potensi ke arah ekplosi itu sepertinya dimasabodohkan. Apa tindakan aparatur negara terhadap warga yang memblokir jalan raya? Apa tindakan aparatur negara terhadap mereka yang menguasai dan merusak fasilitas publik sebagai cara untuk menekan gubenur agar turun ke lokasi?

Kita akui, gubernur tidak tepat janji. Kita paham, warga kecewa karenanya. Kita maklum, sebagai warga negara mereka berhak menuntut apa yang menurut mereka merupakan klaimnya. Tapi, cara menyatakan kekecewaan dan menuntut hak tidak boleh seenak perut.

Yang dilakukan warga di perbatasan itu jelas-jelas sudah melawan hukum. Apa tindakan pemprov dan pemkab? Biarkan? Sungguh, kita sedang menyaksikan NTT yang semrawut. Ada pemerintahan. Tapi, pemerintahannya tidak memerintah, hanya berkuasa. Padahal, memerintah itu menegakkan tata tertib. Ini yang tidak kita lihat.

“Bentara” FLORES POS, Senin 17 Mei 2010

Si Tuyul dari Nagekeo

Irasionalitas Korupsi

Oleh Frans Anggal

Bendahara Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Setda Nagekeo, Yohanes Wilhelmus Deminggo, diancam hukuman penjara 20 tahun dalam kasus dugaan korupsi dana Rp440 juta. Ia ditetapkan jadi tersangka sejak menyerahkan diri ke Kejari Bajawa, 30 Maret 2010 (Flores Pos Jumat 14 Mei 2010).

Dana yang diduga dikorupsi adalah dana di Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Setda Nagekeo tahun 2008. Totalnya Rp1 miliar lebih. Disimpan di bank. Sebagiannya sudah digunakan untuk kepentingan kedinasan. Sisanya di bank Rp440 juta. Dana ’sisa’ ini kemudian ditarik oleh yang bersangkutan. Ia simpan di rumah. Dan, habis!

Apakah ia gunakan semua uang itu? Gunakan semua, tidak. Gunakan sebagian kecil, ya. Dalam penuturannya, ia hanya pakai Rp30 juta. Itu berarti, masih tersisa Rp410 juta. Apakah yang tersisa ini ia pinjamkan kepada pihak lain? Tidak, katanya. Lalu, kenapa habis? ”Saya sendiri tidak tahu siapa yang mengambilnya. Namun, dugaan saya, uang itu diambil oleh tuyul.”

Diambil oleh tuyul! Ini betul-betul kejutan. Si tuyul dari Nagekeo. Dari kabupatennya Bupati Nani Aoh dan Wabup Paulus Kadju. Betapa tidak, sejauh yang kita tahu selama ini, ’tudingan’ terhadap tuyul hanya sebatas sebagai gaya bahasa untuk mengkritik pemberantasan korupsi yang tidak becus di NTT.

Kata orang, NTT itu ’hebat’. Juara miskin, tapi juga juara korupsi. Lebih ’hebat’ lagi, korupsinya banyak dan besar tapi tak ada koruptornya. Sebab, tak ada yang masuk penjara. Kalau tak ada koruptor, lalu siapa yang mencuri uang-uang itu? Siapa lagi kalau bukan tuyul. Sebab, tuyul tidak bisa diproses hukum.

Itu cuma gaya bahasa! Yang terjadi di Nagekeo? Bukan sekadar gaya bahasa, tapi keterangan resmi si tersangka di hadapan penyidik. Keterangan itu ia ulangi ketika ia dimintai konfirmasi oleh wartawan. ”Saya sendiri tidak tahu siapa yang mengambilnya. Namun, dugaan saya, uang itu diambil oleh tuyul.”

Mari berandai-andai sejenak. Kalau benar tuyul yang ambil uang itu, betapa beratnya tugas Kejari Bajawa. Harus minta kesaksian dari tuyul. Kalau sulit, terpaksa membayar jasa paranormal. Tugas kejari akan semakin berat kalau si tuyul bilang ia mengambil uang itu bersama suanggi, kuntil anak, dll. Apa jadinya? Semua roh halus di Nagekeo harus dimintai keterangan. Pusing!

Sayangnya, hukum positif mana pun di dunia ini tidak mengenal roh halus. Begitu pula hukum positif dalam wilayah yurisdiksi Kejari Bajawa. Karena itulah, seperti di tempat lain di seluruh dunia, di Ngada dan Nagekeo pun tidak ada akta kelahiran, akta perkawinan, dan akta kematian bagi tuyul. Tidak ada KTP bagi tuyul. Tidak ada peradilan bagi tuyul. Tidak ada penjara bagi tuyul.

Di mata hukum positif: malaikat, arwah, tuyul, kuntil anak, polo wera, poti wolo, bukanlah subjek hukum. Sebab, semua itu tidak empirik. Di sisi lain, ada yang empirik--binatang misalnya--namun tidak dijadikan subjek hukum juga. Sebab, subjek hukum mengandaikan pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban mengandaikan akal budi dan kehendak bebas. Ini tidak ada pada binatang. Karena itulah, anjing yang menggigit mati manusia tidak diproses hukum. Dijadikan barang bukti, ya, tapi bukan saksi. Dibunuh, ya, tapi bukan dihukum.

Kembali ke kasus Nagekeo. Tuyul dituding sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Selain merasa lucu, kita patut bertanya-tanya. Apakah si tersangka sedang berbohong? Kalau ya, kita mengerti. Ia mau cari selamat, meski tetap kiamat. Yang jadi soal, bagaimana kalau ia jujur dengan keyakinannya? Bahwa tuyullah yang mengambil uang itu? Kita tidak mengerti lagi. Mungkin ini gejala baru. Irasionalitas korupsi. Klenik korupsi. Atau apalah namanya.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 15 Mei 2010

Anarki Para Pengusung Mumi

Kemelut Pemilukada Flotim 2010

Oleh Frans Anggal

Massa pendukung lima paket cabup-cawabup Flotim berdemo di Larantuka. Mereka datangi kantor KPU, kantor bupati, dan kantor DPRD. Mereka tolak paket Mondial (Simon Hayon dan Fransiskus Diaz Alffi) menjadi kontestan pemilukada 2010. Paket ini dinilai sudah tidak penuhi syarat administrasi menurut Paraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 (Flores Pos Rabu 12 Mei 2010).

Sebatas berorasi dan beryel-ria, okelah. Yang mengkhawatirkan, demo mulai menjurus ke anarki. Mereka sweeping semua kendaraan yang masuk Larantuka. Mereka incar mobil KPU NTT dan KPU Pusat. Dua KPU ini dinilai telah mengintervensi pemilukada dan merongrong otonomi KPU Flotim. Dua KPU ini tidak boleh masuk Larantuka.

Di tingkat KPU, persoalannya sudah selesai. Paket Mondial yang sebelumnya digugurkan akhirnya diakomodasi oleh KPU Flotim dalam rapat pleno dengan KPU NTT di Kupang. Rapat ini diselenggarakan setelah KPU NTT ditugaskan oleh KPU Pusat untuk mengambil alih pemilukada dan membentuk dewan kehormatan guna menindak pelanggaran kode etik yang dilakukan KPU Flotim.

Dengan diakomodasinya paket Mondial oleh KPU Flotim maka di tingkat KPU, persoalannya sudah selesai. Karena itulah, pengambilalihan pemilukada dan pembentukan dewan kehormatan dibatalkan. Pemilukada Flotim siap dilanjutkan, dengan jumlah kontestan dari lima menjadi enam paket.

Apa yang sudah selesai di tingkat KPU, ternyata belum di tingkat pendukung lima paket. Mereka ngotot dengan argumentasi yang notabene sudah mati di hadapan dua otoritas. Pertama, otoritas UU Nomor 12 Tahun 1999 yang, menurut hierarki perundang-undangan, lebih tinggi daripada Paraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009. Kedua, otoritas KPU Pusat, pihak yang menghasilkan Paraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 dan karenanya paling berkompeten menilai tepat atau tidaknya setiap penafsiran terhadap peraturan tersebut.

Apa penilaian KPU Pusat? KPU Flotim keliru menafsir Paraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 yang mengakibatkan gugurnya paket Mondial. Penafsiran itu pun menyalahi amanat UU Nomor 12 Tahun 1999. Karena itu, KPU Pusat meminta KPU Flotim mengakomodasi paket Mondial. Dalam rapat pleno dengan KPU NTT di Kupang, KPU Flotim akhirnya mengakomodasi paket Mondial. Selesai!

Dengan selesainya di tingkat KPU, semestinya selesai pula masalahnya di tingkat pendukung lima paket. Sebab, argumentasi yang digunakan pendukung lima paket itu sama dengan argumentasi KPU Flotim ketika menggugurkan paket Mondial.Sekarang argumentasi itu sudah mati di hadapan dua otoritas tadi. Anehnya, argumentasi mati ini kini dipaksa-paksa dihidupkan kembali oleh pendukung lima paket.

Dengan argumentasi mati itulah mereka berdemo ke kantor KPU, kantor bupati, dan kantor DPRD. Dengan argumentasi mati itulah mereka sweeping semua kendaraan yang masuk Larantuka. Dengan argumentasi mati tulah mereka melarang KPU NTT dan KPU Pusat masuk Flotim.

Ini benar-benar anarki dalam irasionalitas total. Mereka melakukan kekerasan tidak hanya pada tataran tindakan tapi juga pada tataran pemikiran. Mereka memaksa agar argumentasi yang sudah mati itu diterima sebagai kebenaran. Ibaratnya, mereka menodong orang agar mengakui bahwa mumi yang mereka usung benar-benar makhluk yang masih hidup. Ini namanya anarki para pengusung mumi.

Kita mendesak Polres Flotim bertindak tegas. Jangan pasif. Polisi bukan mumi. Jangan pula rela di-mumi-kan, oleh siapa pun, dengan bayaran berapa pun.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 14 Mei 2010

Rumah Itu Dilelang?

Kasus Perceraian di Sikka

Oleh Frans Anggal

Dua bersaudara, Linda Puspita Rahmadani (19) dan Muhamad Sidik Budianto (16), menolak tegas rencana pelelangan rumah milik ayah dan ibu mereka yang sudah bercerai. Pelelangan akan dilakukan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kupang melalui Pengadilan Agama Maumere (Flores Pos Jumat 7 Mei 2010).

Rumah itu hasil keringat sang ibu, Siti Jamiatun (tergugat). Namun, sertifikatnya atas nama sang ayah, Supardi (penggugat). Sejak kecil, kedua anak mereka diurus ibu seorang diri. ”Ayah tidak membiaya hidup dan pendidikan saya dan adik saya,” kata Linda. Demi membiaya hidup dan pendidikan anak-anak inilah sang ibu menjadikan rumah itu salon.

Kalau rumah itu dilelang, hasilnya dibagi dua. Setengahnya untuk sang ayah, yang tidak berkeringat menghasilkan rumah, yang tidak menafkahi keluarga, dan tidak membiaya pendidikan anak-anak. Sisanya untuk sang ibu, ’pemilik’ rumah sesungguhnya, yang membiaya hidup dan pendidikan anak-anak, justru dengan mengandalkan rumah itu sebagai salon.

Apa jadinya nasib kedua anak dengan pembagian seperti ini? Itu bukan urusan hukum, kata Panitera Pengadilan Agama Maumere, Zaitun. ”Menurut hukum Islam, harta gono gini bagi dua, bukan bagi tiga.” Jadi, ”jangan dicampuradukkan dengan urusan lain seperti menafkahi anak dan pendidikan anak. Sepanjang orangtua masih hidup, yang namanya nafkah, pendidikan, menjadi tanggung jawab orangtua.”

Masalahnya justru di situ. Kedua orangtua masih hidup. Maka, semestinya kedua orangtua bertanggung jawab atas nafkah dan pendidikan anak. Namun, de facto, yang bertanggung jawab hanya sang ibu. Andalannya menunaikan tanggung jawab itu adalah rumah itu tadi. Akibat perceraian, andalan ini harus dibagi dua. Bagi dua itu melipatduakan beban tanggung jawab sang ibu. Ibaratnya, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Bukan hanya dia. Kedua anak itu pun ikut terjatuh dan tertimpa tangga.

Jadi, sebenarnya, tidak hanya secara empirik, secara logis sekalipun pelelangan rumah itu tidak bisa dipisahkan dari dampaknya bagi kedua anak. Karena itu, tidak mungkinlah untuk tidak ’mencampuradukkan’ kedua hal itu. Kalau dari segi hukum mungkin tidak, dari segi keadilan tidak mungkin tidak. Hukum mungkin tidak mempertimbangkan nasib anak-anak itu. Akan tetapi, keadilan pasti akan mendiskusikannya sebagai masalah etis.

Sisi etis inilah yang kita lihat, apa pun agama yang kita anut. Pandangan dari sisi ini pulalah yang mendorong Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sikka, Tim Relewan untuk Kemanusiaan Flores (TRuK-F), dll sehati dan sesuara. Bersama kedua anak, mereka yang notabene berbeda-beda agama ini menyerukan: batalkan rencana pelelangan rumah.

Pesan apa yang ada di balik spirit mereka? Pesan yang sangat indah. Dalam keberbedaan agama, kita tetap dipersatukan oleh kemanusiaan. Agama kita boleh berlainan, kemanusiaan kita tidak. Kemanusiaan kita tetap satu: Kemanusiaan Yang Maha Esa! Dengannya, penghayatan dan pengamalan ketuhanan kita pun menjadi tepat: Ketuhanan Yang Adil dan Beradab!

Dengan pesan ini, kita menitipkan harapan untuk Pengadilan Agama Maumere. Putusan hukum dan eksekusi hendaknya benar-benar berkeadilan dan berperikemanusiaan. Dengan kata lain, yang diperlukan adalah perlengkapan melebihi apa yang disediakan oleh hukum. Kalau memang bisa, kenapa tidak.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 12 Mei 2010

Sesatnya KPU Pusat

Kemelut Pemilukada Flotim 2010

Oleh Frans Anggal

Akhirnya, KPU Flotim mengakomodasi paket Mondial (Simon Hayon dan Fransiskus Diaz Alffi) sebagai kontestan pemilukada Flotim 2010. Keputusan ini diambil dalam rapat pleno KPU Flotim dan KPU Provinsi NTT di Kupang (Flores Pos Senin 10 Mei 2010).

Sebelumnya, paket Mondial tidak diakomodasi karena tidak penuhi syarat administrasi. Berupa, surat keputusan parpol atau gabungan parpol yang mengatur mekanisme penjaringan bakal calon, sebagaimana dipersyaratkan Paraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009. Paket Mondial tidak masukkan ”surat keputusan parpol”, tapi ”kesepakatan bersama parpol”.

Persoalan ini dibawa ke pusat. KPU Pusat menilai KPU Flotim keliru menafsir peraturan. Secara substansial, ”kesepakatan bersama parpol” itu merupakan ”keputusan parpol”. Ini jelas dalam UU (Nomor 12/1999) yang statusnya lebih tinggi daripada peraturan. Jadi, paket Mondial penuhi syarat. Harus diakomodasi.

KPU Flotim tetap tanam kaki. Maka, KPU Pusat perintahkan KPU NTT: ambil alih penanganan pemilukada Flotim dan bentuk dewan kehormatan. Reaksi KPU Flotim? ”Yang pasti KPU Flotim masih tetap bertahan dengan keputusan ... itu,” kata jubir Kosmas Kopong Liat Ladoangin. Bahkan, ”KPU Flotim tidak akan mengubah keputusan ... sepanjang ketua dan anggota belum dinonaktifkan oleh KPU Pusat” (Flores Pos Sabtu 8 Mei 2010).

Hanya berselang sehari, sikap KPU Flotim sudah berubah. Mereka akhirnya mengakomodasi paket Mondial. Dengan demikian, pengambilalihan penanganan pemilukada dan pembentukan dewan kehormatan pun dibatalkan.

Kenapa KPU Flotim berubah sikap? Gentar dengan pengambilalihan penanganan pemilukada dan pembentukan dewan kehormatan yang bakal berujung penonaktifan? Bukankah jubirnya sudah berkoar-koar? Dia bilang, ”... kami aman. Kan tidak mati juga kalau tidak kerja di KPU.”

Sejauh diberitakan, alasan perubahan sikap ini belum dijelaskan oleh KPU Flotim. Yang jelaskan malah KPU NTT. ”Ada prinsip-prinsip yang kami sepakati bersama, yakni untuk kepentingan umum dan keutuhan KPU secara hierarki mulai dari pusat hingga daerah,” kata jubir Djidon de Haan.

Kepentingan umum! Pertanyaan kita: kalau sekarang kepentingan umumlah yang jadi alasan KPU Flotim berubah sikap, lantas sebelum itu kepentingan siapakah yang mereka perjuangkan, dengan cara begitu harfiahnya menafsir peraturan, serta begitu arogan dan nekatnya ’melawan’ KPU Pusat? Kepentingan siapakah di balik tidak diakomodasinya paket Mondial?

Ini perlu dicari tahu. Sebab, dalam politik, slogan “kepentingan umum” selalu diumbar, sedangkan kepentingan picik selalu ditutup rapat. Karena itu, konsekuensi pertama diakomodasinya paket Mondial oleh KPU Flotim itu tepat: batalnnya pengambilalihan penanganan pemilukada oleh KPU NTT. Sedangkan konsekuensi keduanya justru sesat: batalnya pembentukan dewan kehormatan.

Semestinya, dewan kehormatan tetap dibentuk, meski KPU Flotim sudah mengakomodasi paket Mondial. Logikanya analog dengan logika hukum pidana. Perbuatan pidana tidak hilang atau dianggap tak ada hanya karena akibatnya dipulihkan. Tindak pidana korupsi tidak hilang atau dianggap tak ada hanya karena uang negara dikembalikan. Pengembalian uang ke kas negara tidak menghentikan proses hukum.

Demikian pula dengan pelanggaran kode etik. Pelanggaran kode etik tidak hilang atau dianggap tidak ada hanya karena KPU Flotim sudah mengakomodasi paket Mondial. Di sinilah sesatnya KPU Pusat. Juga, KPU NTT selaku mandataris.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 11 Mei 2010

Kalkulasi Perut KPU Flotim

Kemelut Pemilukada Flotim 2010

Oleh Frans Anggal

KPU Pusat perintahkan KPU Provinsi NTT mengambil alih penanganan pemilukada Flotim 2010. Alasannya, KPU Flotim melanggar kode etik KPU. Sikap KPU Flotim? Tunggu dan lihat. ”Yang pasti KPU Flotim masih tetap bertahan dengan keputusan penetapan 5 calon bupati dan wakil bupati Flotim itu,” kata jubir Kosmas Kopong Liat Ladoangin (Flores Pos Sabtu 8 Mei 2010).

Dalam keputusannya, KPU Flotim tidak mengakomodasi paket Mondial (Simon Hayon dan Fransiskus Diaz Alffi). Dasarnya, Paraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009. Menurut KPU Pusat, KPU Flotim salah menafsir peraturan tersebut. KPU Flotim diminta mengakomodasi paket Mondial. KPU Flotim bergeming. Maka, turunlah perintah pengambilalihan pemilukada Flotim.

Langkah KPU Pusat tepat. Selain terlalu harfiah menafsir peraturan, KPU Flotim arogan. Dan ini merupakan pengangkangan serius terhadap etika berdemokrasi. Dengan menolak permintaan KPU Pusat, sebenarnya KPU Flotim menolak apa yang oleh demokrasi disebut konsensus. Mengapa menolak konsensus sama dengan mengangkangi etika?

Filosofi di balik konsensus adalah falibilitas manusia. Yakni, penerimaan rendah hati terhadap kemungkinan dapat salahnya manusia. Dengan dasar ini, demokrasi tidak boleh memfinalkan kebenaran politik. Dengan dasar ini pula, setiap obsesi absolutis memfinalkan politik harus disingkirkan.

Etika inilah yang dilanggar KPU Flotim. Dengan tahu dan mau! Simak saja pernyataan jubirnya. ”KPU Flotim tidak akan mengubah keputusan penetapan 5 paket tersebut sepanjang ketua dan anggota belum dinonaktifkan oleh KPU Pusat.” Bahasa populernya: langgar dulu mayat kami, kalau berani! Kalau kami sudah jadi mayat (dinonaktifkan), barulah paket Mondial bisa diakomodasi!

Dengan ini, KPU Flotim pertontonkan tiga kualifikasi diri. Tidak hanya harfiah menafsir peraturan dan arogan, mereka juga nekat. Tampaknya, sikap ini telah mereka bangun dengan kalkulasi tertentu. Simak pernyataan sang jubir. ”Dampak hukum dari penonaktifan ini sangat besar. Tetapi, kami aman. Kan tidak mati juga kalau tidak kerja di KPU.”

Sangat jelas, kalkulasinya kalkulasi bagi diri sendiri: ”... kami aman.” Aman di sini pun tidak dalam pengertian hukum dan moral, tapi dalam pengertian ekonomi dan bisnis: ”Kan tidak mati juga kalau tidak kerja di KPU.” Ini mengerikan! Tanggung jawab kenegaraan menyukseskan demokrasi pemilukada diredukasikan ke kalkulasi perut.

Dengan kalkulasi perut, yang mereka perhitungkan adalah keuntungan diri sendiri, bukan keuntungan warga negara. Padahal, dalam demokrasi, status ontologi warganegara lebih tinggi, bahkan lebih tinggi dari keanggotaan partai politik. Kenapa? Kerena, politik dapat diselenggarakan tanpa partai politik, tapi tidak mungkin tanpa warga negara. Tidak ada demokrasi tanpa warga negara.

Atas dasar itulah, politik perwakilan, termasuk dalam pemilukada, tidak boleh menghilangkan kedaulatan warga negara. Ini prinsip dasarnya. Demokrasi haruslah tetap berdasarkan kedaulatan warga negara, bukan kedaulatan parpol, kedaulatan parlemen, kedaulatan KPU, dll. Semua yang lain ini hanya alat bagi warga negara untuk menjalankan demokrasi.

Ini yang tidak dilihat oleh KPU Flotim ketika mereka harfiah, arogan, dan nekat. Lebih-lebih lagi ketika mereka muarakan semuanya itu ke kalkulasi perut. ”... kami aman. Kan tidak mati juga kalau tidak kerja di KPU.” Secara moral, ”KPU perut” seperti ini terlalu pantas untuk dipecat!

“Bentara” FLORES POS, Senin 10 Mei 2010

Voluntarisme Warga Ende

Saat Duka dan Derita Datang

Oleh Frans Anggal

Seorang bocah lima tahun, Taufik, dipanggil Uik, hilang terseret banjir drainase Jalan Gatot Subroto, Ende, Rabu 5 Mei 2010. Hari itu Ende diguyur hujan. Uik dan empat temannya bermain. Main ban ban sepeda motor. Ban Uik masuk got yang airnya deras. Uik turun ambil. Saat itulah ia terhanyut (Flores Pos Kamis 6 Mei 2010).

Pencarian hingga hari kedua. Saluran air disusuri hingga muara Pantai Bitta. Genangan air muara disedot guna memudahkan pancarian. Gundukan pasir dan sampah dikeruk dengan alat berat. Uik belum juga ditemukan. (Flores Pos Jumat 7 Mei 2010).

Baru pada pencarian hari ketiga, Jumat 7 Mei, usaha itu berhasil. Jenazah Uik terapung jauh di perairan Arubara. Ditemukan oleh nelayan.

Kita turut berduka. Semoga keluarganya diteguhkan. Semoga kita dapat memetik hikmahnya. Sebagai orangtua, anggota masyarakat, aparat pemerintah. Hilangnya Uik, kelengahan kita. Pengawasan kita lemah. Drainase kota kita tidak aman.

Di balik dukacita ini, ada mutiara indah berkilau. Begitu tanggapnya dan begitu cepat tergeraknya hati masyarat dan pemerintah. Mereka bahu-membahu melakukan pencarian. Warga bergandeng tangan dengan personel Polisi, Brimob, Tagana, dan KP3 Laut. Hari pertama, Wabup Achmad Mochdar turun ke lokasi. Hari kedua, Kapolres Bambang Sugiarto.

Voluntarisme. Itulah mutiara indah milik masyarakat kota Ende. Kesukarelaan membantu sesama, khususnya yang kecil, lemah, menderita, dan berduka. Voluntarisme dalam kasus Uik hanyalah satu contoh. Masih banyak contoh lain. Di antaranya, setiap kali Flores Pos membuka dompet amal, masyarakat kota Ende-lah yang paling cepat tanggap dan paling banyak menyumbang.

Mengapa? Secara umum, mungkin karena gotong royong itu ciri khas bangsa kita, dan perikemanusiaan salah satu falsafah negara kita, Pancasila. Secara khusus, mungkin karena masyarakat kota Ende paling majemuk di Flores. Dalam kemajemukannya, mereka berjuang keras untuk hidup. Tumbuhlah rasa saling membutuhkan, melindungi, menolong. Dari sinilah voluntarisme itu lahir.

Bagi Ende yang lebih baik, voluntarsime merupakan modal sosial yang sangat berharga. Tidak hanya demi kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi juga demi pengembangan demokrasi yang sehat. Masyarakat demokratis yang sehat bukanlah sekadar masyarakat yang individunya mengejar tujuan pribadi. Tapi, masyarakat yang individunya menggunakan kebebasannya untuk berpartisipasi dalam seluruh aspek kehidupan bersama.

Bertolak dari pemahaman demokrasi inilah voluntarisme perlu dikembangkan. Tujuannya, menjaga agar kebebasan masyarakat tidak diambil alih oleh negara. Sebab, sejarah banyak negara membuktikan, ketika masyarakat menyerahkan pengelolaan semua urusannya kepada negara, maka pada saat itu pula negara sewenang-wenang. Negara sesukanya menetapkan persyaratan yang memberatkan masyarakat, bahkan meniadakan kebebasan masyarakat.

Ende, kota kelahiran Pancasila, punya Lapangan Pancasila, punya Monumen Pancasila, kiranya tetap mencirikhasi dirinya dengan voluntarisme yang jelas-jelas pancasialis. Jangan ia pudar oleh gesekan SARA. Biarkan ia tetap berkilau, seindah mutiara yang tampak ketika warga bahu-membahu mencari Uik.

Uik akhirnya ditemukan tak bernyawa. Menyedihkan. Namun, pencariannya telah menyingkapkan kecerlangan sebuah voluntarisme. Bahwa, warga kota ini masih seperti dulu. Cepat tanggap dan tergerak hati membantu sesama, khususnya yang kecil, lemah, menderita, dan berduka.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 8 Mei 2010

07 Mei 2010

Ruteng Kota Judi

Fenomena Defisit Moral

Oleh Frans Anggal

”Polisi Kembali Tangkap Penjudi Kartu”. Demikian judul berita utama (headline) Flores Pos edisi Rabu 5 Mei 2010. Kejadiannya di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Pelaku yang tertangkap enam orang. Satu melarikan diri. Barang bukti yang dikumpulkan, kartu dua pak dan uang Rp370 ribu. Pelaku dijerat pasal 303 KUHP dengan ancaman maksimal sepuluh tahun penjara.

Penggunaan kata ”kembali” pada judul berita itu menunjukkan adanya perulangan tindakan. Tindakan berjudi. Dan tindakan menangkap penjudi. Jadi, judi belum lenyap. Polisi belum nyenyak. Ruteng masih menjadi kota judi. Dari yang miskin sampai yang kaya. Dari bapak-bapak sampai ibu-ibu. Dari pengusaha sampai penguasa.

Masih segar dalam ingatan publik Manggarai heboh beberapa tahun silam. Anggota DPRD 2004-2009 tertangkap tangan berjudi kartu. Ada yang sampai masuk penjara. Itu kelas beratnya. Kelas ringannya lebih banyak lagi. Yang mencengangkan: penangkapan sudah berulang-ulang, pemenjaraan sudah berkali-kali, publikasi sudah bertubi-tubi, namun judi belum hilang-hilang.

Belasan tahun lalu, pada masa kegembalaan Mgr Eduardus Sangsun SVD (almarhum), Gereja Keuskupan Ruteng pernah mencurahkan perhatian khusus pada pemberantasan judi. Macam-macam kegiatan. Ada lokakarya. Ada rekoleksi. Ada katekese. Bahkan ada doa khusus. Yang mencengangkan: semuanya itu sudah dilakukan, judi belum hilang-hilang.

Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Menyentuh banyak hal. Menyangkut banyak pihak. Semuanya berjalin berkelindan. Sedemikian ruwetnya mungkin, membuat kita seakan tak mampu lagi mengurainya. Kalau mengurainya sulit, kita toh masih bisa merasakannya. Pada kisah tertangkapnya enam penjudi kartu, perasaan kita dapat menangkap sesuatu yang tidak beres.

Dalam berita tersebut terdapat kutipan singkat. Kutipan tidak langsung, berupa pernyataan salah seorang pelaku. Di hadapan keluarga dan kerabat di ruang pemeriksaan polres, dia mengatakan: kejadian ini tidak disangka-sangka. Artinya apa? Mereka lagi sial! Mereka tidak menyangka polisi tahu. Mereka tidak menyangka polisi incar. Mereka tidak menyangka polisi menggerebek. Sebelum-sebelumnya mereka luput. Kali ini betul-betul sial.

Dari kisah itu, nuansa apa yang tertangkap oleh perasan kita? Judi sudah dianggap sekadar masalah teknis: soal tertangkap atau tidak, luput atau sial. Tidak lagi dilihat sebagai masalah etis: baik atau buruk. Nuansa cerita di balik banyak kasus penangkapan penjudi di Manggarai rata-rata seperti itu.

Tidak terkecuali pada penangkapan beberapa anggota DPRD 2004-2009. Kalau yang ini, malah dicampur bumbu politik. Bahwa, penangkapan mereka permainan lawan politik. Karena itu, tidak ada beban etis pada pundak mereka. Tidak heran, meski pernah tertangkap tangan sebagai penjudi, mereka tetap maju tak malu menjadi caleg periode berikut.

Inilah sesuatu yang tidak beres itu. Yang menyentuh banyak hal. Menyangkut banyak pihak. Berjalin berkelindan sedemikian ruwetnya, membuat kita seakan tak mampu lagi mengurainya. Namun toh kita bisa merasakannya. Apakah itu? Defisit moral!

Para penjudi tahu, judi tidak baik. Namun, itu tetap mereka lakukan. Dengan sengaja dan bebas. Jadi, syarat penilaian etis terhadap perbuatan mereka terpenuhi. Ketika mereka ditangkap polisi, yang etis itu tidak muncul. Yang muncul malah yang teknis. Bahwa, mereka sedang sial sehingga tertangkap. Bukan karena sedang melakukan perbuatan tidak baik. Defisit moral!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 7 Mei 2010

Mental Instan Pelajar Ende

Anjloknya Persentase Kelulusan UN 2010

Oleh Frans Anggal

Sehari jelang Hardiknas 2 Mei 2010, Dinas PPO Kabupaten Ende menggelar ceramah ilmiah di aula SMAK St Petrus. Salah satu rekomendasinya: pemkab dan DPRD perlu membuat perda tentang pendidikan. Rekomendasi ini lahir dari masukan para pembicara dan peserta (Flores Pos Rabu 5 Mei 2010).

Selain menghasilkan rekomendasi penting itu, kegiatan ini menarik. Salah satu pembicaranya seorang siswa. Yustina Nona, dari SMAK Syuradikara. Ia disandingkan dengan pembicara lain: wakil pemerintah, DPRD, PGRI, dan guru.

Di hadapan peserta yakni para guru dan siswa utusan sekolah-sekolah, Yustina tidak menyalahkan pihak lain sebagai penyebab utama anjloknya persentase kelulusan ujian nasional di Kabupaten Ende. Penyebab utamanya bukan siapa-siapa, tapi siswa sendiri. Bermental instan. Mau gampangnya saja. ”Siswa hanya bermimpi untuk lulus, tapi tidak pernah belajar.”

Yustina jujur. Kejujuran yang sama ada pada diri hampir semua siswa. Bedanya, Yustina jujur dalam forum resmi. Lainnya jujur dalam forum tidak resmi. Forum obrolan di pinggir jalan. Forum face book di internet. Forum SMS di HP. Sekadar menangkap kejujuran mereka, simaklah bunyi SMS berikut, yang mungkin juga ada dalam kotak masuk HP anak Anda.

”PRASETIA PELAJAR. HobBy nyA NgEgOSip. SOrGa nyA hIbUran. NraKa nyA uLaNgan. BaHaGiA nyA pAcArAn. No Woman, nO cRy.... No schOol, nOnGKrOnG.... No mON3y, nOdhOnG.... No mOtOr, nebenG.... No sTuDy, BOLOZ....”

Kata mereka, SMS gaul ya harus begitu. Huruf besar kecil dicampur aduk. Makin sulit dibaca, semakin keren. Pokoknya, harus langgar pedoman EYD. Harus langgar arahan guru bahasa Indonesia. Itu baru cara tulisnya. Isinya? Alamak! Gosip jadi hobi. Hiburan jadi surga. Ulangan dianggap neraka. Pacaran, itu yang bikin bahagia. Sebab, tanpa wanita, tak ada airmata, sepi. Kalau tidak ke sekolah ya nongkrong. Kalau tak punya duit ya todong. Kalau tak punya motor ya nebeng. Kalau tidak studi ya bolos.

Bapak ibu guru yang terkecoh oleh sopannya anak didik bisa terjengkang karena kaget. Orangtua jantung lemah yang mengira anaknya manis-manis saja bisa menggelepar di tempat. Bayangkan kalau isi SMS itu benar-benar cerminan anutan para pelajar. Bayangkan kalau semua penjungkirbalikan nilai itu sungguh-sungguh menjadi prasetia mereka. Ancor sudah kita punya anak-anak.

Kekhawatiran seperti itu mungkin berlebihan. Sebab, SMS itu cuma humor antar-pelajar. Kendati demikian, tidak boleh dianggap remeh juga. Sebab, humor tidak lahir dari kehampaan. Meski tidak seluruhnya, sebagian isi SMS itu mencerminkan cara berpikir, bersikap, dan bertindak mereka. Minimal, yang berkenaan dengan sekolah.

Bandingkan saja isi SMS itu dengan pernyataan Yustina dalam forum resmi tadi. Sejauh menyangkut sekolah, isinya sama, meski formulasinya berbeda. Yustina mengaku jujur: siswa bermental instan. Mau gampangnya saja. Hanya bermimpi untuk lulus, tapi tidak pernah belajar. Isinya sama dengan isi SMS, bukan? Ulangan dianggap neraka. Kalau tidak ke sekolah ya nongkrong. Kalau tidak ada studi ya bolos.

Memprihatinkan, memang. Namun, kita tetap acungkan jempol. Merela telah jujur tentang diri mereka sendiri. Karena itu, jangan sia-siakan kejujuran mereka. Dalam kaitan dengan desakan agar pemkab dan DPRD Ende membuat perda tentang pendidikan, pertanyaan berikut menjadi penting. Apa yang bisa dilakukan perda tersebut untuk mencegah dan mengatasi mental instan para pelajar?

“Bentara” FLORES POS, Kamis 6 Mei 2010

05 Mei 2010

Surat Gembala Uskup Hubert

Jangan Gadaikan Persaudaraan demi Pemilukada

Oleh Frans Anggal

Dua pekan setelah ditahbiskan, Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng keluarkan surat gembala. Isinya antara lain tekankan persaudaraan dalam pemilukada. Persaudaraan tidak boleh digadaikan (Flores Pos Selasa 4 Mei 2010).

Surat gembala perdana ini tepat waktu dan tepat konteks. Dua dari tiga kabupaten, dalam wilayah kegembalan sang uskup, tengah demam pemilukada. Manggarai dan Manggarai Barat. Menuju hari-H 3 Juni 2010, suasana makin panas. Suhunya terasa hingga Manggarai Timur.

Yang hadiri beberapa kali sang uskup angkat bicara pasti menangkap, selain rusaknya lingkungan hidup, rusaknya persaudaraan oleh politik kekuasaan merupakan keprihatinan sang uskup. Surat gembala ini merupakan penekanan, penyempurnaan, dan penyebarluasan pesan yang pernah ia sampaikan.

Sebagian intisari sudah ia sampaikan pada khotbah misa pontifikal di Katedral Ruteng (Kamis 15 April 2010), sehari setelah penahbisannya di Lapangan Motang Rua (Rabu 14 April). Kala itu, ia berpesan dalam bahasa ”Manggarnesia” (Manggarai campur Indonesia). Sebuah cara melekatkan pesan ke hati umat.

Toe di’an agu nangki laing cemoln, eme ite behas neho kena, koas neho kota, gara-gara jabatan dan kuasa,” tandasnya. Tidak baik dan akan sangat buruk akibatnya kelak, kalau kita mudah dibongkar seperti pagar, dan gampang diruntuhkan seperti susunan bebatuan, hanya karena jabatan dan kuasa.

Pada audiensi dengan Pemred Flores Pos di Istana Keuskupan Ruteng, Sabtu 17 April 2010, Uskup Hubert menyatakan, pesan tersebut akan terus ia suarakan. Ini menunjukkan, betapa ia prihatian dengan apa yang sudah dan khawatir dengan apa yang akan terjadi. Ia tidak ingin umatnya terpecah belah karena jabatan dan kuasa yang diperebutkan dalam pemilukada.

”Jabatan itu cuma 5-10 tahun,” urainya lebih praktis. ”Kalau jabatan itu hilang, sementara ase-ka’e (adik-kakak) pecah belah, kita lari ke mana? Kalau keluarga tetap bersatu, biarpun jabatan hilang, kita tetap aman.” Jabatan dan kuasa itu sementara. Persaudaraan, kekeluargaan, dan kekerabatan itu abadi. Maka, jangan korbankan yang abadi untuk sesuatu yang sementara. Jangan gadaikan persaudaraan demi kepentingan pemilukada.

Dalam surat gembalanya, Uskup Hubert mengalamatkan juga pesan kepada hierarki Gereja. Semua kegiatan pastoral harus bersih dari propaganda calon tertentu. Mimbar gereja hanya untuk pewartaan sabda Allah. Tampak, ia meneruskan kebijakan pendahulunya Mgr Eduardus Sangsun SVD (almarhum) beberapa tahun terakhir.

Ada kebiasan lama di Manggarai Raya. Bupati berkunjung ke kecamatan atau desa pada Jumat atau Sabtu, dan bermalam. Pada Minggu, sebelum berkat penutup atau seusai misa, bupati tampil bicara di mimbar gereja. Kebiasaan ini diakhiri dengan adanya larangan dari Uskup Edu. Anehnya, dua pekan jelang penahbisan Uskup Hubert, terjadi pelanggaran di gereja Paroki Kumba, Ruteng.

Hari itu Minggu Palma, 28 Maret 2010. Bupati Manggarai Chris Rotok, incumbent pemilukada, diperkenankan bicara di mimbar gereja. Entah apa dasar dan tujuannya. Mungkin karena ia sudah menyumbang bagi rehabilitasi gereja. Apa yang terjadi? Saat ia dipersilakan naik mimbar, seorang umat dari arah belakang berteriak, sambil meninggalkan gereja: ”Hidup kampanye!”

Ini hanya satu contoh dari banyak pelanggaran lain, dalam aneka modus, di tempat lain. Karena itu, surat gembala Uskup Hubert tidak hanya tepat waktu dan tepat konteks, tapi juga tepat sasaran. Profisiat!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 5 Mei 2010

04 Mei 2010

Ketika Vera Tewas Tenggelam

Kurangnya Informasi dan Kontrol

Oleh Frans Anggal

Seorang murid TK Stella Maris Maropokot, Kabupaten Negekeo, tewas tenggelam di muara pantai Maropokot, Jumat 30 April 2010. Olivera Embu Sia (Vera), 6 tahun. Usai nonton televisi, ia bersama tiga temannya ke muara. Berbeda dengan yang lain, baru kali itu Vera ke sana dan mandi. Teman-temannya pulang, Vera tidak. Ia ditemukan sudah tidak bernyawa, di kedalaman air setinggi lutut (Flores Pos Senin 3 Mei 2010).

Ayah dan ibu, Silvester Embu dan Modesta Nona, sangat berduka. Demikian pula anggota keluarga dan para guru. Di TK, Vera kreatif dan cerdas. Ia peserta lomba upacara bendera antar-TK di Nagekeo. ”Dalam lomba itu kami juara,” kenang ibu gurunya, Bibiana Dede.

Yang berduka ini pasti masih diliputi perasaan ”ditinggalkan”. Y. Spiegel melukiskan fase ini dengan tepat (B. Kieser SJ, 1984). ”Orang berdukacita itu sendiri meninggal dan mati demi dirinya sendiri. Dia mati bagi dunia, dan dunia mati bagi dia. Kepribadiannya kosong, seakan-akan ia tidak lagi hadir. Orang berdukacita merasa diri dilalaikan dan minder. Sebab cinta kasih dan harga diri yang teguh telah diganggu oleh hilangnya orang tercinta. Dengan demikian, seluruh lingkungan seakan-akan runtuh bagi dia.”

Dengan empati sebagai saudara dalam kemanusiaan, kita berdoa dan berharap: mereka yang ”ditinggalkan” ini dapat segera mengambil ”keputusan untuk hidup”, setelah ”memberi ruang bagi rasa duka” dan ”mengakui realitas kematian” itu sendiri. Bagi mereka dan juga bagi kita, ”keputusan untuk hidup” mencakup pemetikan hikmah. Minimal ada dua hikmah dalam peristiwa ini.

Pertama, Vera adalah korban kesebelas di lokasi yang sama. Dari sebelas yang tenggelam, hanya dua yang bisa diselamatkan. Dalam dua tiga tahun terakhir, lokasi pantai Maropokot, dari dermaga feri hingga dermaga TPI, selalu makan korban. Begitu kesaksian masyarakat.

Karena itu, kita mendukung desakan masyarakat agar pemerintah segera mengambil langkah. Tandai lokasi itu sebagai lokasi berbahaya. Tancapkan pengumuman. Bila perlu nyatakan sebagai lokasi terlarang. Tancapkan tanda larang. Sosialisasikan kepada masyarakat. Dan, awasi.

Kedua, selain sebagai korban kesebelas di lokasi itu, Vera adalah anak-anak. Telaah psikologi menegaskan: anak-anak tidak pernah takut akan kematian. Anak-anak juga tidak mengerti arti kematian. Mereka hanya takut pada kesunyian dan takut ditinggalkan oleh orang yang dekat.

Kisah tenggelamnya Vera mengukuhkan kebenaran tersebut. ”Habis mandi, anak-anak itu pulang. Tapi mereka tidak pernah cerita kepada orangtua korban bahwa Vera sudah tenggelam. Baru pada pukul 17.00, Aris (temannya) cerita bahwa Vera masih ada di laut.”

Perhatikan. Tentang keberadaan Vera temannya, si pencerita gunakan frasa ”masih ada di laut”, bukan ”tenggelam”. Ini menunjukkan anak-anak tidak tahu dan juga tidak takut akan risiko, bahaya, dan maut. Karena itu, khusus bagi anak-anak, menjadikan pantai Maropokot lokasi terlarang tidakah cukup. Anak-anak perlu diberi infomasi sebanyak mungkin, sesuai dengan umurnya. Sebab, meski tidak tahu apa-apa, mereka dapat merasakan segala sesuatu. ”The child does not know anything but senses everything,” kata Mauger dan Wischoff (1982).

Diberi infomasi sebanyak mungkin, tidaklah cukup. Anak-anak perlu diawasi. Kapan, di mana, dan dengan siapa dia bermain. Ini tanggung jawab guru di sekolah dan orangtua di rumah. Tewas tenggelamnya Vera tentu bukan hanya karena berbahayanya pantai Maropokot, tapi juga karena kurangnya informasi dan kontrol. Ini yang kita sesalkan. Ini pula yang perlu kita petik hikmahnya.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 4 Mei 2010

Masjid Agung di Bajawa

Dipersoalkan Karena Salah Tempat

Oleh Frans Anggal

Tokoh masyarakat Ngada, yang tergabung dalam Forum Peduli Kerukunan Masyarakat Ngada (FPKMN), permasalahkan pembangunan Masjid Al Ghuraba Baitturahman di Jalan Imam Bonjol, Bajawa. Pembangunannya dinilai cacat hukum. FPKMN mendesak bupati dan DPRD segera hentikan pembangunannya (Flores Pos Sabtu 1 Mei 2010).

Tanah di atasnya masjid agung hendak dibangun merupakan hibah masyarakat kepada negara. Tanah itu dikuasai Polri. Ketika di atasnya polisi membangun musola untuk kepentingan internal, masyarakat tidak persoalkan. Tidak demikian halnya ketika di atas tanah itu dewan masjid hendak membangun masjid agung, untuk kepentingan lebih luas.

Dasar keberatan masyarakat. Dari segi peruntukan hibah. Tanah di Jalan Imam Bonjol itu dihibahkan kepada negara, dalam hal ini Polri, untuk kepentingan lembaga kepolisian. Bukan untuk kepentingan lembaga keagamaan. Karena itu, pembangunan musolanya diterima, sedangkan pembangunan masjidnya tidak. Sebab, pembangunan masjid sudah merupakan ranah lembaga keagamaan. Dan, tempatnya sudah ada, sudah dihibahkan, tapi bukan di situ.

Jadi, poinnya jelas. Yang dipermasalahkan adalah ”tempat”-nya, bukan ”pembangunan masjid”-nya. Dalam dialog dengan DPRD, tokoh FPKMN Geradus Siwemole tegas menyatakan itu. Mereka sangat mendukung pembangunan Masjid Al Ghuraba Baitturahman. Sayang, tempatnya salah. Salah tempat inilah yang tidak mereka setujui.

Pada 1984, pemerintah bersama masyarakat telah menghibahkan tanah di Jalan Boulivard, khusus untuk pembangunan masjid. Di mata FPKMN, inilah tempat yang tepat bagi pembangunan Masjid Al Ghuraba Baitturahman.

Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa masjid agung tersebut tidak dibangun di Jalan Boulivard itu, tapi di Jalan Imam Bonjol? Kenapa dibangun di tempat yang diperuntukkan bagi polisi dan bukan di tempat yang diperuntukkan bagi masjid?

Pemerintah dan DPRD Ngada harus bisa menjawab ini. Diandaikan, mereka tahu jawabannya. Sebab, mereka inilah yang meletakkan batu pertama pembangunan masjid tersebut pada 15 April 2010. Meletakkan batu pertama bukanlah tindakan ritual tanpa makna. Ini tindakan simbolik bermuatan moral. Di atas batu yang mereka letakkan itulah, batu-batu lain tersusun membangun masjid agung. Maka, selaku peletak batu pertama, secara moral mereka menjadi pihak pertama pula yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat.

Karena itu, FPKMN sangat tepat ketika mengalamatkan aspirasinya kepada bupati dan DPRD. FPKMN mendesak bupati dan DPRD segera hentikan pembangunan itu. Tindakan menghentikan, apakah sementara atau tetap, merupakan pilihan terbaik agar persoalan ini tidak eskalatif. Untuk sementara status quo-kan dulu, lalu duduk berembuk.

Yang perlu diingat: tidak mungkin dewan masjid mengklaim tanah itu kalau tidak ada dasarnya. Patut dapat diduga, telah terjadi pengalihkuasaan tanah dari institusi negara kepada institusi agama. Pengalihkuasaan bisa saja dilakukan oleh pemkab, bisa pula oleh kepolisian, dengan atau tanpa sepengetahuan atau sepersetujuan pemkab. Ini perlu dicek. Kalau ini yang terjadi, FPKMN sudah ambil sikap. Kembalikan tanah itu kepada masyarakat adat Bajawa.

Kita berharap persoalannya diselesaikan dengan baik. Kalau masyarakat adat Bajawa rela, kenapa tidak, pembangunan masjid agung dilanjutkan di Jalan Imam Bonjol. Kalau tidak, tentu lebih baik ’dilanjutkan’ di Jalan Boulivard.

“Bentara” FLORES POS, Senin 3 Mei 2010

02 Mei 2010

Nurdin Di-lakalantas-kan?

Kasus Kematian Nurdin bin Yusuf di Sikka

Oleh Frans Anggal

Kematian Nurdin bin Yusuf di Kabupaten Sikka tetap gelap. Keluarga hakulyakin, Nurdin mati karena dibunuh. Dasarnya: rangkaian bukti, plus keterangan saksi Markus Wara. Ini cokok dengan hasil visum et repertum ahli forensik Mun’im Idries yang lakukan autopsi jenazah korban.

Polres Sikka sebaliknya. Bergeming pada simpulan awal. Nurdin tewas karena lakalantas tunggal. Dasarnya sama: rangkaian bukti, yang juga cocok dengan hasil autopsi Mun’im Idries. Tentang saksi Markus Wara, keterangannya berubah-ubah. Saksi ini dinyatakan menghilang.

Dengan simpulan lakalantas tunggal, bagi Polres Sikka kasus Nurdin sudah selesai. Namun tidak bagi keluarga. Keluarga sedang perjuangkan penanganannya diambil alih Mabes Polri. Tentang saksi Markus Wara, keterangannya tidak konsisten karena ia ditekan dan diancam kapolres dan kesat reskrim. Karena itu pula ia menghilang.

Kalau ditanyai, percaya yang mana, boleh jadi kita ragu menjawab. Percaya keluarga? Masalahnya, mereka bukan penyidik. Meski benar, simpulan mereka bukan simpulan yang sah. Kalau ngotot, mereka malah dicap merekayasa kasus. Maka, pada banyak kasus, keluarga sering mengalah, tapi bukan berarti mengaku salah.

Percaya polisi? Ini pun bukan tanpa masalah. Dari pengalaman, polisi kurang bisa dipercaya. Meski sah, simpulan mereka belum tentu simpulan yang benar. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Kasus kematian Romo Faustin Sega Pr di Ngada. Simpulan awal dan ngotot dari polisi: romo ini mati wajar. Vonis pengadilan kemudian memastikan, ia mati dibunuh.

Pemastian itu tidak turun dari langit. JPIC Keuskupan Agung Ende dan keluarga bekerja keras. Tantangan terbesarnya bukan setan dari neraka. Tapi, kapolres Ngada. Setelah kapolres diganti, setelah penyidikan diambil alih Polda NTT, setelah jenazah Romo Faustin diautopsi ahli forensik independen Mun’im Idries, barulah alurnya lurus.

Kalau contoh ini ditarik ke skop praktik umum penegakan hukum di Indonesia, konteksnya menjadi jelas. Bahwa, ’penegakan hukum’ (law enforcement) sama dan sebangun dengan ’pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Keseluruhan praktiknya berlangsung dalam oportunisme total. Jual-beli kasus. Sogok-menyogok perkara. Bahkan jual-beli RUU antara parlemen dan eksekutif.

Yang terakhir itu menunjukkan apa? Pasar gelap keadilan sudah jadi acuan utama semua transaksi sosial. Dari urusan hukum dan keadilan hingga urusan politik, ekonomi, dll. Urusan politik, misalnya, tidak lagi diselesaikan dalam debat publik, tetapi dalam transaksi antar-rekening. Yang menyedihkan, dunia pendidikan pun tidak luput. Terang-benderang, sekolah dan kampus telah menjadi komoditas bisnis.

Kalau pasar gelap keadilan sudah demikian menyeluruh dan mendarah daging di Indonesia, apakah Polres Sikka menjadi satu kekecualian di dalamnya? Apakah dalam penanganan kasus Nurdin, polres ini bersih diri dari godaan yang sulit ditolak itu? Kalau jawabannya “ya”, kita patut acungkan jempol. Terpujilah engkau di antara segala polres!

Kita berharap begitu. Tapi, kita tidak bisa percaya begitu saja. Karena itu, kita dukung langkah keluarga Nurdin. Bersama mereka yang berduka ini, kita bertanya-tanya: benarkah Nurdin tewas karena lakalantas tunggal? Ataukah, dia tewas dibunuh, lalu di-lakalantas-kan?

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 1 Mei 2010

Kasus Rio Minsi: Awas!

Titik Batas Wilayah Ngada-Manggarai

Oleh Frans Anggal

Warga Rio Minsi, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, memblokir jalan di perbatasan Ngada-Manggarai. Pemblokiran dipicu tindakan seorang kontraktor Manggarai yang merintis jalan dan menurunkan material di jembatan Ngangas. Padahal, wilayah itu sudah di-status quo-kan oleh Gubernur NTT sejak 2007. Tidak boleh ada kegiatan pembangunan oleh kedua pemkab sebelum persoalan titik batas diselesaikan pemprov (Flores Pos Kamis 29 April 2010).

Tindakan sang kontraktor hanyalah pemantik penyulut api. Bensinnya, kekecewaan warga Rio Minsi terhadap ’janji’ surat gubernur 30 Juli 2007. Isinya, antara lain, penyelesaian batas wilayah itu difasilitas pemprov paling lama dalam tiga tahun. Tiga bulan lagi, ’janji’ itu genap tiga tahun. Realisasinya? Nol. Warga kecewa. Bensin ini pun mengobarkan api begitu ’dikacik’ pemantik sang kontraktor.

Beberapa hal cukup jelas di sini. Pertama, tindakan warga memblokir jalan itu salah. Maka, langkah pengamanan oleh Pemkab Ngada sangat tepat. Yang penting, kedepankan persuasi. Kedua, kekecewaan warga bisa dimengerti. Demikian juga, tuntutan mereka agar gubernur datang ke lokasi. Itu ungkapan kekecewaan saat hati panas. Maka, persuasi dengan kepala dingin sangat diperlukan.

Yang perlu diingat, langkah pengamanan hanyalah pengkondisian. Bukan penyelesaian persoalan. Penyelesaian tetaplah di tangan gubernur. Karena itu, gubernur jangan memperpanjang dan memperdalam kekecewaan warga. Tepati ’janji’. Tiga bulan lagi, tenggat penyelesaian berakhir. Kepepet memang, tapi masih ada waktu. Manfaatkan, kalau tidak ingin dicap pembohong.

Penyelesaiannya seperti apa, itu urusan gubernur. Kendati demikian, kita perlu awaskan beberapa hal. Penyelesaian di Rio Minsi akan menjadi preseden. Bisa mengakhiri tapi bisa juga membuka peluang dipersoalkan kembalinya banyak titik batas kabupaten di NTT. Sebagiannya masih tersembunyi. Tidak mustahil, semua yang tersembunyi itu akan mencuat, terbuka, dan meningkat seperti di Rio Minsi kalau kasus Rio Minsi salah urus dan salah putus.

Dalam kasus Rio Minsi, kita heran sekaligus cemas. Titik batas dua kabupaten, yang notabene sudah lama disepakati, koq dipersoalkan kembali. Tidak oleh pemerintah, tapi oleh masyarakat, atas dasar ikatan primordial. Ini tidak boleh dibiarkan kalau kita sudah bersepakat hidup bernegara.

Dalam hidup bernegara, kita adalah warga negara, bukan kumpulan umat. Batas saya dan Anda adalah ayat konstitusi. Bukan ayat Kitab Suci. Bukan pula warna kulit dan jenis rambut.

Dalam konteks ini, warga Ngada berarti warga negara Indonesia ber-KTP Ngada. Bukan warga suku Ngada ber-KTP Indonesia. Demikian pula, warga Manggarai berarti warga negara Indonesia ber-KTP Manggarai. Bukan warga suku Manggarai ber-KTP Indonesia.

Jadi, semuanya warga negara Indonesia. Kalaupun ada pembedaan, maka hanya ada dua jenis warga negara. Yang taat hukum dan yang tidak taat hukum. Kenapa? Karena, negara hanya boleh membedakan warga negaranya atas satu alasan: bertindak kriminal atau tidak.

Perspektif ini sangat penting. Termasuk, dalam menyelesaikan titik batas Ngada-Manggarai pada kasus Rio Minsi. Tanpa perpektif ini, kasus Rio Minsi akan salah urus dan salah putus. Dan bila itu terjadi, maka banyak titik batas kabupaten di NTT akan dipersoalkan kembali. Bukan oleh pemerintah, tapi oleh masyarakat, atas dasar ikatan primordial. Ini yang tidak boleh terjadi.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 30 April 2010

Ada Apa KPU Flotim?

Tidak Akomodasinya Paket Mondial

Oleh Frans Anggal

Paket calon bupati dan wakil bupati Flotim, Simon Hayon dan Fransiskus Diaz Alffi, alias paket Mondial, tidak diakomodasi oleh KPU Flotim. Dalam rapat pleno Selasa 27 April 2010, KPU Flotim tetap pada keputusan awal. Hanya menetapkan lima paket, minus Mondial yang diusung Partai Golkar, PKPB, dan Gerindra. Rapat ini menyikapi surat KPU Pusat yang meminta Mondial diakomodasi (Flores Pos Rabu 28 April 2010).

Mondial tidak dikomodasi karena tidak penuhi syarat administrasi hingga tenggat yang ditentukan. Syarat itu berupa surat keputusan parpol atau gabungan parpol yang mengatur mekanisme penjaringan bakal calon, dilengkapi berita acara proses penjaringan, sebagaimana dipersyaratkan Paraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 pasal 13 ayat 2 huruf l. Mondial tidak memasukkan ”surat keputusan parpol”, tapi ”kesepakatan bersama parpol”.

Bagi Mondial, ”kesepakatan bersama parpol” sama esensinya dengan ”surat keputusan parpol”. Bagi KPU Flotim, tidak. Sebab, peraturan KPU hanya sebutkan ”surat keputusan parpol”, bukan ”kesepakatan bersama parpol”. Menurut KPU Pusat? KPU Flotim keliru menafsir. KPU Flotim diminta mengakomodasi Mondial. KPU Flotim bergeming. Mondial tidak diakomodasi.

Ceritanya pasti berlanjut. Bisa berupa proses hukum oleh Mondial. Bisa berupa tindakan oleh KPU Pusat. Kita tunggu dan lihat. Namun, apa pun kelanjutannya, satu hal jadi jelas. Dalam memedomani hukum, dalam hal ini Peraturan KPU 68/2009, KPU Flotim begitu harfiah. Memelototi ”kulit”, tidak menyimak ”isi”. Berhenti pada ”huruf”, tidak menyelami ”roh”.

Isi atau roh peraturan dapat ditangkap dari konteksnya. Bisa dari bagian penjelasan peraturan itu. Bisa dari risalah rapat lahirnya peraturan itu. Bisa pula dari pihak atau otoritas yang melahirkan peraturan itu. Pada Peraturan KPU 68/ 2009 yang dirujuk KPU Flotim, otoritas yang melahirkan peraturan itu sangat jelas: KPU Pusat. KPU Pusat tahu baik isi dan roh peraturan yang keluarkannya.

KPU Pusat, melalui suratnya, meminta KPU Flotim mengakomodasi paket Mondial. Dengan permintaan itu, secara tersirat KPU Pusat mengingatkan KPU Flotim agar menangkap isi dan roh peraturan. Tidak terpaku mati pada kulit atau huruf. Artinya, ”surat keputusan parpol” yang tercantum dalam peraturan itu perlu dipahami secara esensial dan substansial. Secara demikian, ”surat keputusan parpol” sama dengan ”kesepakatan bersama parpol”. Dengan demikian, tidak ada alasan paket Mondial tidak diakomodasi.

Anehnya, permintaan KPU Pusat tidak dihiraukan KPU Flotim. KPU Flotim tetap tidak mengakomodasi paket Mondial. Dasarnya, Peraturan KPU 68/2009, yang notabene tidak mereka susun, selain hanya mereka baca dan maknai secara harfiah. Dengan dasar itu, mereka lalu mengambil sikap seolah-olah lebih tahu dari KPU Pusat yang notabene menghasilkan peraturan itu.

Ini namanya, sudah harfiah, arogan pula. Pertanyaan kita: ada apa dengan KPU Flotim sehingga begitu ngotot dalam keharfiahannya? Pertanyaan ini bisa melahirkan berbagai jawaban spekulatif. Apa pun jawabannya, semuanya berintikan satu hal. Banalitas! Mendangkalnya fungsi KPU Flotim sebagai lembaga negara penyelenggara demokrasi pemilu kada.

Kita berharap, dengan kewenangan yang dimilikinya, KPU Pusat bertindak tegas. Kalau dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan, segera ambil alih penyelanggaraan pemilukada Flotim. Mandatkan ke KPU Provinsi. Jadwal ulang prosesnya. Kita inginkan pemilukada yang bermutu. Bukan yang asal-asal.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 29 April 2010