Kasus Kematian Nurdin bin Yusuf di Sikka
Oleh Frans Anggal
Kematian Nurdin bin Yusuf di Kabupaten Sikka tetap gelap. Keluarga hakulyakin, Nurdin mati karena dibunuh. Dasarnya: rangkaian bukti, plus keterangan saksi Markus Wara. Ini cokok dengan hasil visum et repertum ahli forensik Mun’im Idries yang lakukan autopsi jenazah korban.
Polres Sikka sebaliknya. Bergeming pada simpulan awal. Nurdin tewas karena lakalantas tunggal. Dasarnya sama: rangkaian bukti, yang juga cocok dengan hasil autopsi Mun’im Idries. Tentang saksi Markus Wara, keterangannya berubah-ubah. Saksi ini dinyatakan menghilang.
Dengan simpulan lakalantas tunggal, bagi Polres Sikka kasus Nurdin sudah selesai. Namun tidak bagi keluarga. Keluarga sedang perjuangkan penanganannya diambil alih Mabes Polri. Tentang saksi Markus Wara, keterangannya tidak konsisten karena ia ditekan dan diancam kapolres dan kesat reskrim. Karena itu pula ia menghilang.
Kalau ditanyai, percaya yang mana, boleh jadi kita ragu menjawab. Percaya keluarga? Masalahnya, mereka bukan penyidik. Meski benar, simpulan mereka bukan simpulan yang sah. Kalau ngotot, mereka malah dicap merekayasa kasus. Maka, pada banyak kasus, keluarga sering mengalah, tapi bukan berarti mengaku salah.
Percaya polisi? Ini pun bukan tanpa masalah. Dari pengalaman, polisi kurang bisa dipercaya. Meski sah, simpulan mereka belum tentu simpulan yang benar. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Kasus kematian Romo Faustin Sega Pr di Ngada. Simpulan awal dan ngotot dari polisi: romo ini mati wajar. Vonis pengadilan kemudian memastikan, ia mati dibunuh.
Pemastian itu tidak turun dari langit. JPIC Keuskupan Agung Ende dan keluarga bekerja keras. Tantangan terbesarnya bukan setan dari neraka. Tapi, kapolres Ngada. Setelah kapolres diganti, setelah penyidikan diambil alih Polda NTT, setelah jenazah Romo Faustin diautopsi ahli forensik independen Mun’im Idries, barulah alurnya lurus.
Kalau contoh ini ditarik ke skop praktik umum penegakan hukum di Indonesia, konteksnya menjadi jelas. Bahwa, ’penegakan hukum’ (law enforcement) sama dan sebangun dengan ’pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Keseluruhan praktiknya berlangsung dalam oportunisme total. Jual-beli kasus. Sogok-menyogok perkara. Bahkan jual-beli RUU antara parlemen dan eksekutif.
Yang terakhir itu menunjukkan apa? Pasar gelap keadilan sudah jadi acuan utama semua transaksi sosial. Dari urusan hukum dan keadilan hingga urusan politik, ekonomi, dll. Urusan politik, misalnya, tidak lagi diselesaikan dalam debat publik, tetapi dalam transaksi antar-rekening. Yang menyedihkan, dunia pendidikan pun tidak luput. Terang-benderang, sekolah dan kampus telah menjadi komoditas bisnis.
Kalau pasar gelap keadilan sudah demikian menyeluruh dan mendarah daging di Indonesia, apakah Polres Sikka menjadi satu kekecualian di dalamnya? Apakah dalam penanganan kasus Nurdin, polres ini bersih diri dari godaan yang sulit ditolak itu? Kalau jawabannya “ya”, kita patut acungkan jempol. Terpujilah engkau di antara segala polres!
Kita berharap begitu. Tapi, kita tidak bisa percaya begitu saja. Karena itu, kita dukung langkah keluarga Nurdin. Bersama mereka yang berduka ini, kita bertanya-tanya: benarkah Nurdin tewas karena lakalantas tunggal? Ataukah, dia tewas dibunuh, lalu di-lakalantas-kan?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 1 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar