Persoalan Batas Ngada dan Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Situasi daerah perbatasan Ngada dan Manggarai Timur (dulu Manggarai) semakin memburuk. Sejak Kamis 13 Mei 2010, warga Morotauk memblokir jalan dengan cara menggali (membikin got) dan memagarinya. Urat nadi ekonomi lintas utara pun putus. Masyarakat dua kabupaten tidak bisa pasarkan komoditas mereka seperti kopi, cokelat, dan kemiri (Flores Pos Sabtu 15 Mei 2010).
Ini pemblokiran kedua. Tiga pekan sebelumnya, pemblokiran dilakukan warga Rio Minsi. Ini dipicu tindakan seorang kontraktor yang menurunkan material di jembatan Ngangas. Wilayah itu sudah di-status quo-kan oleh Gubernur NTT sejak 2007. Tak boleh ada kegiatan pembangunan oleh kedua pemkab sebelum persoalan titik batas diselesaikan pemprov (Flores Pos Kamis 29 April 2010).
Sejak 2007! Pertanyaan kita: apa yang sudah dilakukan pemprov? Tidak ada! Melalui suratnya pada tahun itu, gubernur hanya lakukan dua hal. Men-status quo-an wilayah perbatasan dan memberi janji. Janjinya: paling lama dalam tiga tahun, masalah sudah diselesaikan. Dua bulan lagi, tenggat itu berakhir. Tanda-tanda penyelesaian tidak tampak. Gubernur belum lakukan apa pun.
Bahwa kemudian anggota DPRD provinsi turun ke lokasi, itu setelah dan karena adanya kasus pemblokiran. Bahwa kemudian dua bupati dipanggil gubernur untuk presentasikan dokumen dan lain-lain, itu juga setelah dan karena adanya kasus pemblokiran. Seandainya tidak terjadi pemblokiran? Pemprov tetap ’aman-aman’ saja. Seakan-akan tak ada masalah dan tak pernah janjikan sesuatu.
Sudahlah. Betapapun terkesan reaktif, langkah pemprov itu tetap kita hargai. Yang kita harapkan, sekalipun reaktif, langkah tersebut solutif. Dan, bisa solutif kalau penyelesaiannya utuh-menyeluruh. Tidak sepotong-sepotong. Tidak setengah-setengah. Sayangnya, justru kesan sepotong-sepotong dan setengah-setengah inilah yang kita lihat.
Simak saja, apa yang dilakukan pemprov sejak terjadinya pemblokiran itu. Pengarus-utamaan penyelesaian hanya berlangsung di tingkat atas. Di tingkat bawahnya tidak. Di tingkat atas: anggota DPRD provinsi turun ke lokasi, lalu balik lagi ke Kupang untuk ’melapor’ ke guberur. Demikian pula, dua bupati dipanggil ke Kupang menghadap gubernur untuk presentasikan dokumen dll.
Itu di tingkat atas. Di tingkat bawah? Sementara para elite tadi sibuk pergi dan pulang, dengan menggunakan uang negara tentunya, masyarakat di daerah perbatasan hidup dalam kondisi semakin memburuk. Konfliknya sudah mencuat, terbuka, dan meningkat. Diperlukan hanya satu percikan api, pertumpahan darah pasti terjadi.
Yang mencengangkan, potensi ke arah ekplosi itu sepertinya dimasabodohkan. Apa tindakan aparatur negara terhadap warga yang memblokir jalan raya? Apa tindakan aparatur negara terhadap mereka yang menguasai dan merusak fasilitas publik sebagai cara untuk menekan gubenur agar turun ke lokasi?
Kita akui, gubernur tidak tepat janji. Kita paham, warga kecewa karenanya. Kita maklum, sebagai warga negara mereka berhak menuntut apa yang menurut mereka merupakan klaimnya. Tapi, cara menyatakan kekecewaan dan menuntut hak tidak boleh seenak perut.
Yang dilakukan warga di perbatasan itu jelas-jelas sudah melawan hukum. Apa tindakan pemprov dan pemkab? Biarkan? Sungguh, kita sedang menyaksikan NTT yang semrawut. Ada pemerintahan. Tapi, pemerintahannya tidak memerintah, hanya berkuasa. Padahal, memerintah itu menegakkan tata tertib. Ini yang tidak kita lihat.
“Bentara” FLORES POS, Senin 17 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar