Persoaaln Batas Ngada dan Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Ketegangan di Rio Minsi, wilayah perbatasan Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur, belum reda. Terutama di tiga titik. Bakit, Paan Dalo, dan Marutauk. Warga di perbatasan Maritauk memblokir jalan lintas utara dengan melubanginya selebar dua meter (Flores Pos Kamis 20 Mei 2010).
Dampaknya, transportasi kandas, masyarakat tidak bisa pasarkan hasil. ”Ekonomi warga lumpuh total,” kata Jemain Utsman, anggota DPRD Manggarai Timur, yang baru kembali meninjau. Jangankan kendaraan, pejalan kaki pun dilarang melintas oleh warga. ”Kami terpaksa lewat jalan tikus saja ke Bajawa (ibu kota Ngada),” kata Ferdi Danse, aktivis LSM.
Ketegangan sudah satu bulan. Dimulai akhir April saat warga Rio Minsi lakukan pemblokiran. Aksi mereka dipicu tindakan seorang kontraktor asal Manggarai Timur yang turunkan material di jembatan Ngangas. Menurut warga, wilayah itu termasuk yang di-status quo-kan Gubernur NTT. Artinya, tak boleh ada kegiatan pembangunan apa pun di sana sebelum persoalan titik batas diselesaikan pemprov (Flores Pos Kamis 29 April 2010).
Pen-status quo-an tertuang dalam surat gubernur NTT 30 Juli 2007. Di dalamnya termaktub’janji’, penyelesaian rampung paling lambat dalam tiga tahun. Kenyataannya, tiga tahun mau habis, janji tinggal janji, persoalan tetap persoalan. Yang tanggung akibat? Bukan si pemberi janji. Tapi, masyarakat di wilayah perbatasan.
Oleh pen-status quo-an itu, semua kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan dihentikan. Artinya, terhenti pula pemenuhan hak warga negara. Pada batas tertentu, ini bisa diterima. Pen-status quo-an sekadar pengondisian sementara guna mempermudah dan memperlancar penyelesaian masalah. Itu berarti, penyelesaian harus sesegera mungkin.
Yang terjadi, sebaliknya. Penyelesaian lamban dan tidak jelas. Tiga tahun tanpa hasil, selain berlarutnya derita masyarakat akibat kehilangan hak atas pembangunan. Ketika ketegangan kembali terjadi, kita berharap gubernur segera bertindak. Eh, tidak juga. Ia hanya mendaur ulang janji yang belum terpenuhi itu.
Dia bilang, wilayah perbatasan itu tetap sebagai wilayah status quo. Itu disampaikannya saat bupati dari kedua kabupaten presentasikan materi soal perbatasan (Flores Pos Selasa 18 Mei 2010). Tetap sebagai wilayah status quo, artinya apa? Kegiatan pembangunan tetap tidak ada. Hak warga negara atas pembangunan tetap diabaikan. Derita masyarakat di wilayah perbatasan tetap diperpanjang. Diperpanjang oleh gubernur!
Kalau cuma men-status quo-an kembali wilayah perbatasan untuk lagi-lagi tidak melakukan apa-apa, celaka besar. Ini menyuburkan anarki di wilayah perbatasan. Akibat langsungnya tidak menimpa sang gubernur yang nun jauh di Kupang sana. Tetap saja warga perbatasan itu sendiri yang menanggungnya. Warga Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur. Warga dari dua bupati.
Maka, kedua bupati jangan tunggu gubernur. Lakukan apa yang bisa dilakukan dalam batas kewenangan yang dimiliki. Penyelesaian tapal batas, itu urusan gubernur. Sedangkan soal kamtibmas, masa tunggu gubernur. Bongkar pemblokiran jalan, masa tunggu gubernur. Tertibkan warga yang melarang warga lain melintas di perbatasan, masa tunggu gubernur. Kalau semuanya tunggu gubernur, sekalian saja tidak usah jadi bupati.
Cukup gubernur yang lamban. Bupati kedua kabupaten, jangan. Segera tertibkan anarki di perbatasan. Jangan jadikan rakyat tameng dan tumbal politik.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 21 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar