Irasionalitas Korupsi
Oleh Frans Anggal
Bendahara Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Setda Nagekeo, Yohanes Wilhelmus Deminggo, diancam hukuman penjara 20 tahun dalam kasus dugaan korupsi dana Rp440 juta. Ia ditetapkan jadi tersangka sejak menyerahkan diri ke Kejari Bajawa, 30 Maret 2010 (Flores Pos Jumat 14 Mei 2010).
Dana yang diduga dikorupsi adalah dana di Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Setda Nagekeo tahun 2008. Totalnya Rp1 miliar lebih. Disimpan di bank. Sebagiannya sudah digunakan untuk kepentingan kedinasan. Sisanya di bank Rp440 juta. Dana ’sisa’ ini kemudian ditarik oleh yang bersangkutan. Ia simpan di rumah. Dan, habis!
Apakah ia gunakan semua uang itu? Gunakan semua, tidak. Gunakan sebagian kecil, ya. Dalam penuturannya, ia hanya pakai Rp30 juta. Itu berarti, masih tersisa Rp410 juta. Apakah yang tersisa ini ia pinjamkan kepada pihak lain? Tidak, katanya. Lalu, kenapa habis? ”Saya sendiri tidak tahu siapa yang mengambilnya. Namun, dugaan saya, uang itu diambil oleh tuyul.”
Diambil oleh tuyul! Ini betul-betul kejutan. Si tuyul dari Nagekeo. Dari kabupatennya Bupati Nani Aoh dan Wabup Paulus Kadju. Betapa tidak, sejauh yang kita tahu selama ini, ’tudingan’ terhadap tuyul hanya sebatas sebagai gaya bahasa untuk mengkritik pemberantasan korupsi yang tidak becus di NTT.
Kata orang, NTT itu ’hebat’. Juara miskin, tapi juga juara korupsi. Lebih ’hebat’ lagi, korupsinya banyak dan besar tapi tak ada koruptornya. Sebab, tak ada yang masuk penjara. Kalau tak ada koruptor, lalu siapa yang mencuri uang-uang itu? Siapa lagi kalau bukan tuyul. Sebab, tuyul tidak bisa diproses hukum.
Itu cuma gaya bahasa! Yang terjadi di Nagekeo? Bukan sekadar gaya bahasa, tapi keterangan resmi si tersangka di hadapan penyidik. Keterangan itu ia ulangi ketika ia dimintai konfirmasi oleh wartawan. ”Saya sendiri tidak tahu siapa yang mengambilnya. Namun, dugaan saya, uang itu diambil oleh tuyul.”
Mari berandai-andai sejenak. Kalau benar tuyul yang ambil uang itu, betapa beratnya tugas Kejari Bajawa. Harus minta kesaksian dari tuyul. Kalau sulit, terpaksa membayar jasa paranormal. Tugas kejari akan semakin berat kalau si tuyul bilang ia mengambil uang itu bersama suanggi, kuntil anak, dll. Apa jadinya? Semua roh halus di Nagekeo harus dimintai keterangan. Pusing!
Sayangnya, hukum positif mana pun di dunia ini tidak mengenal roh halus. Begitu pula hukum positif dalam wilayah yurisdiksi Kejari Bajawa. Karena itulah, seperti di tempat lain di seluruh dunia, di Ngada dan Nagekeo pun tidak ada akta kelahiran, akta perkawinan, dan akta kematian bagi tuyul. Tidak ada KTP bagi tuyul. Tidak ada peradilan bagi tuyul. Tidak ada penjara bagi tuyul.
Di mata hukum positif: malaikat, arwah, tuyul, kuntil anak, polo wera, poti wolo, bukanlah subjek hukum. Sebab, semua itu tidak empirik. Di sisi lain, ada yang empirik--binatang misalnya--namun tidak dijadikan subjek hukum juga. Sebab, subjek hukum mengandaikan pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban mengandaikan akal budi dan kehendak bebas. Ini tidak ada pada binatang. Karena itulah, anjing yang menggigit mati manusia tidak diproses hukum. Dijadikan barang bukti, ya, tapi bukan saksi. Dibunuh, ya, tapi bukan dihukum.
Kembali ke kasus Nagekeo. Tuyul dituding sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Selain merasa lucu, kita patut bertanya-tanya. Apakah si tersangka sedang berbohong? Kalau ya, kita mengerti. Ia mau cari selamat, meski tetap kiamat. Yang jadi soal, bagaimana kalau ia jujur dengan keyakinannya? Bahwa tuyullah yang mengambil uang itu? Kita tidak mengerti lagi. Mungkin ini gejala baru. Irasionalitas korupsi. Klenik korupsi. Atau apalah namanya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 15 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar