26 Mei 2010

Ende Kota Sampah?

Ketika Petugas Kebersihan Mogok

Oleh Frans Anggal

Sejumlah ruas jalan di kota Ende penuh sampah. Karung sampah rumah tangga menumpuk di pinggir jalan. Sampah di bak-bak penampungan meluber hingga ke bibir jalan. Lalat berseliweran. Bau busuk menyengat. Dua minggu terakhir, Ende seperti kota sampah saja.

”Ini sampah sudah satu minggu lebih belum diangkut. Sebelum-sebelumnya lancar. Petugas datang angkut. Biasanya seminggu sekali. Tapi kali ini sudah terlambat. Alasan apa, kita tidak tahu. Mungkin otonya macet,” kata seorang warga (Flores Pos Selasa 18 Mei 2010).

Mobil pengakut sampah macet, benar. Diakui Kakan Pertamanan dan Kebersihan, Ari MS Ambuwaru. Mobil ada delapan. Tiga rusak parah. Satu sedang diperbaiki. Yang baik tinggal empat. Itu baru mobil. Belum bahan bakar. Belum honor petugas. Belum dibayar, petugas mogok. Sampah menumpuk.

Akumulasi dari semua itulah Ende jadi seperti kota sampah. Tampak, masalahnya, duit. Tak ada duit, mobil rusak tak diperbaiki. Bahan bakar mobil tak dibeli. Honor petugas tak dibayar. Koq bisa ya, sebuah kantor pemerintahan tak punya duit. Ada apa?

Si kepala kantor punya cerita. ”Sejak Januari, dimutasinya bendahara pengeluaran kami ke Kecamatan Lio Timur, kami mengalami kevakuman bendahara. Beberapa minggu ini, bendahara yang baru sudah ada, maka kami baru memulai mangajukan SPM (surat pengajuan membayar) ke PPKAD untuk dua persoalan ini: BBM dan honor petugas.”

Kalau begitu, masalahnya bukan duit, tapi mutasi. Model mutasi macam apa sampai bendahara di sebuah kantor bisa lowong berbulan-bulan? Selama bendahara lowong, duit ikut ’lowong’. Bagaimana bisa beli bahan bakar dan bayar honor petugas? Kepala kantor punya kiat. Ia bersama staf berpatungan kumpul duit. Tapi, mau kuat sampai di mana?

Akhirnya, ia angkat tangan. ”Sekarang ini saya sudah kewalahan. Mau pakai cara apa lagi. Saya berharap PPKAD bisa memahami hal ini dan segera merealisasikan honor petugas.”

Apa yang tidak beres di sini? Pengaturan mutasi! Dari dampaknya bagi kantor tersebut (duit), yang ujung-ujungnya menimpa kepentingan umum (sampah), mutasi itu kurang memperhitungkan salah satu ’gaya kognitif kesadaran birokratis’. Yakni, ’sifat-dapat-diramalkan’. Padahal, ini sudah jadi asumsi umum. Orang menganggap, birokrasi selalu berjalan dengan tata langkah tetap tertentu. Tata langkah itu diketahui publik, dan karena itu selalu dapat diramalkan.

Konkretnya. Kalau ada kantor pertamanan dan kebersihan, maka—sudah dapat diramalkan—tentu ada kepala yang memimpin, bendahara yang urus duit, petugas yang angkut sampah, mobil, dll. Kalau bendahara dimutasi, maka—sudah dapat diramalkan—tentu segera ada penggati. Sebab, kalau tidak, tak ada yang membayar honor petugas, bahan bakar, dll.

Pada kasus di atas, ’sifat-dapat-diramalkan’ itu justru tidak muncul. Lima bulan bendahara vakum. Ujung-ujungnya, sampah menumpuk. Masyarakat terheran-heran. Kenapa? Karena, sesuatu yang sebelumnya selalu dapat mereka ramalkan, kini tidak terjadi lagi. Biasanya, petugas datang angkut sampah seminggu sekali. ”Tapi kali ini sudah terlambat. Alasan apa, kita tidak tahu.”

Saran kita. Pertama, menyangkut sampah. PPKAD segera penuhi permohonan kantor pertamanan dan kebersihan. Kedua, menyangkut mutasi. Jangan isi sini, kosong sana. Tutup sana, lubang sini. Perlu matang dan cermat. Perhitungkan juga salah satu gaya kognitif kesadaran birokratis: sifat-dapat-diramalkan.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 19 Mei 2010

Tidak ada komentar: