Eksplorasi Tambang Emas di Batu Gosok
Oleh Frans Anggal
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Masyarakat Mabar boleh protes, Bupati Fidelis Pranda jalan terus. Investor Cina sudah masuk ke lokasi tambang emas di Batu Gosok, Kelurahan Labuan Bajo. Lengkap dengan peralatan berat. Sudah mulai eksplorasi pula, menggusur, dan seterusnya.
Batu Gosok di bibir Laut Sawu, tak jauh dari Labuan Bajo. Kawasan ini masuk jalur hijau. Kawasan yang diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata. Sudah ditetapkan dalam Perda Nomor 30 Tahun 2005. Karena peruntukannya jelas dan tegas, pengembangannya sudah tampak. Sudah ada hotel di sana.
Atas dasar apa dan seizin siapa investor tambang masuk? Atas dasar apa dan seizin siapa ia menyerobot jalur hijau, merusak tata ruang, dan mengangkangi perda? Patut dapat diduga, atas dasar kesepakatan dengan bupati dan atas izin sang bupati. Kapan, di mana, dan bagaimananya, itu yang tidak jelas. DPRD juga tidak tahu. Baru tahu dan terkejut-kejut ketika Batu Gosok mulai digusur.
Masyarakat resah. Gereja prihatin. Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr mengirim SMS. “Saya dan para imam Keuskupan Ruteng sedih dan menyatakan turut berduka atas gejala kematian pariwisata Mabar, akibat kerusakan lingkungan hidup di Batu Gosok karena sudah mulai digusur alat-alat berat dari Cina untuk pertambangan emas. Pariwisata Mabar hancur oleh kerakusan pemda. Betapa surammya dunia pariwisata kita ke depan. Padahal, pariwisata itu emas yang tidak akan pernah habis.”
SMS dari Rm Edy Manori Pr menohok langsung Bupati Pranda. “Sebagai pemimpin Mabar, Bapak katanya punya kehendak baik untuk sejahterakan rakyat. Bapak menegaskan pariwisata merupakan aset Mabar. Semua setuju. Akhir-akhir ini sepertinya Bapak berubah konsep alias tidak konsisten. Tiba-tiba tambang jadi primadona, padahal risikonya untuk merusak lingkungan dan pariwisata sangat besar. Apalagi lokasi tambang tepat di daerah pariwisata seperti Batu Gosok. Prosedur hadirnya juga bermasalah, tidak transparan .... Kebijakan sepihak tanpa melibatkan rakyat bahkan merampas hak milik rakyat menggambarkan kepemimpinan yang tidak demokratis, melainkan diktator ....”
Di tengah keresahan ini, anehnya, DPRD Mabar duduk manis. Wakil Ketua Ambros Djanggat beralasan, “DPRD belum bisa mengambil sikap karena masih menunggu pengaduan masyarakat.” Wuih, macam polisi saja dalam delik aduan murni. DPRD itu wakil rakyat. Mata, telinga, hati, dan mulutnya rakyat. Seharusnya peka, menyerap, membahasakan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat, termasuk yang tidak dapat dan tidak berani diungkapkan rakyat.
Tambang Batu Gosok itu di depan hidung. Eksplorasinya jelas-jelas mengancam lingkungan hidup dan pariwisata, menyerobot jalur hijau, merusak tata ruang, dan mengangkangi perda. Koq DPRD tunggu pengaduan dulu baru bertindak? Di mana perannya sebagai mata, telinga, hati, dan mulut rakyat? Kalau cuma tunggu, sekalian saja ganti nama: Dewan Penunggu Rakyat Daerah Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar