Kontroversi Autopsi Jenazah Andri Heryanto
Oleh Frans Anggal
Mabes Polri heran dan meragukan mekanisme autopsi jenazah Andri Heryanto
yang dilakukan tim forensik yang didatangkan Polres Sikka. Mengapa hanya sampel otak dan hati yang diambil untuk diuji di laboratoriun forensik (labfor)? Hanya dengan dua sampel itu, penyebab kematian sulit diketahui. Mengapa hasil uji labfor juga tidak tranparan? Mengapa pula tidak disampaikan kepada keluarga Andri? Kini Mabes Polri sedang mencari waktu yang tepat untuk datang ke Maumere, mengevaluasi mekanisme autopsi yang sudah dilakukan itu. Tidak tertutup kemungkinan, mabes akan melakukan autopsi ulang.
Tanggapan Kapolres Agus Suryatno? Mekanisme autopsi sudah profesional. Autopsi dilakukan tim forensik independen. Anggota Komnas HAM hadir memantau dan mengawas. Soal mengapa hanya sampel hati dan otak yang diambil, itu kewenangan tim forensik, ”Jangan tanya saya. Yang pasti, autopsi sudah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”
Jawabannya mudah ditebak. Selalu begitu. Sebab, sikap dasarnya tetap yang itu-itu juga: menolak autopsi ulang karena polisi dan tim forensik sudah bekerja profesional. Malah ia pernah menilai autopsi ulang itu tidak etis karena melanggar kode etik kedokteran. “Bentara” edisi Sabtu 21 Maret 2009 menggolongkannya sebagai sesat pikir kapolres Sikka. Polisi yang punya kode etik sendiri koq mendasarkan sikap pada kode etik orang lain. Profesinya polisi, kode etiknya kedokteran. Polisi berlagak dokter.
Yang menarik, kapolres berbalik 180 derajat ketika Mabes Polri meragukan mekanisme autopsi yang hanya mengambil sampel otak dan hati. Itu kewenangan dokter forensik, katanya, ”Jangan tanya saya.” Kita bisa mengatakan, lho, Anda kan telah bersikap seolah-olah sebagai dokter ketika menolak autopsi ulang, mengapa sekarang tiba-tiba kembali menjadi polisi? Anda ini sebenarnya siapa? Kapolres Sikka ataukah Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia?
Dari sikap kukuh kapolres Sikka menolak autopsi ulang dan argumentasinya yang oleng-kemoleng, kita patut dapat menduga, ada yang disembunyikan secara sistematis oleh Polres Sikka dalam kematian Andri. Dugaan ini semakin kuat kalau dikaitkan dengan kasus dua hari sebelum Andri ditemukan mati tergantung di kosnya. Korban dianiaya seorang oknum Polres Sikka. Penganiayan ini sendiri tidak jelas lagi penanganannya. Saat ditemukan dan dimandikan keluarga, jenazah Andri tidak mencirikan kematian karena gantung diri. Lidahnya tidak menjulur, matanya tidak membelalak. Sebaliknya, pada sekujur tubuh ditemukan luka lebam. Satu giginya patah. Saat mengautopsi, tim forensik yang katanya independen itu hanya mengambil sampel otak dan hati. Hasilnya: murni mati gantung diri. Polres pun menyatakan menutup kasus ini.
Kalau kapolres tikam kepala menolak autopsi ulang dengan argumentasi oleng-kemoleng, itu bisa dimengerti dalam konteks ini. Mungkin ia sedang kelabakan. Itulah risikonya. Sendiri suka, sendiri rasa.
“Bentara” FLORES POS, Senin 4 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar