Mutasi dan Promosi di Birokrasi Ende
Oleh Frans Anggal
Sebulan setelah dilantik menjadi bupati dan wabup Ende, Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar mulai merombak birokrasi. Perombakan ditandai mutasi, promosi, dan pelantikan pejabat eselon II dan III, Jumat 22 Mei 2009. Ada 5 pejabat selon II dijadikan staf ahli, 3 berstatus non-job, 3 lainnya turun eselon. Sekda pun diberhentikan, diganti plt sekda yang juga asisten III.
Dalam sambutannya, Bupati Don Wangge menegaskan mutasi dan promosi ini bagian dari reformasi birokrasi, yang akan segera disusul dengan perampingan birokrasi dan penyesuaian jabatan.
Wangge-Mochdar mulai penuhi janjinya, yang dilontarkan saat dilantik 7 April 2009. Menurut keduanya, masalah pokok Ende adalah kemiskinan yang meningkat, mutu pendidikan yang jeblok, dan derajat kesehatan masyarakat yang rendah. Penyebab utamanya, salah urus birokrasi. Maka, pembenahan dimulai dari birokrasi. Mutasi dan promosi salah satu langkahnya.
Seperti apa birokrasi Ende selama ini, Bupati Don memberikan gambaran. “Mutasi kali ini disesuaikan dengan DUK, daftar urutan kepangkatan, bukan daftar urutan keluarga atau daftar urutan kedekatan. Jadi, kepala jangan taruh di kaki, dan kaki taruh di kepala. Soal jabatan, tak ada tempat basah dan tempat kering. Basah kecuali disirami atau dikencingi sendiri.” Kita menangkapnya: birokrasi Ende kental korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Publik tahu itu. “Kalau mau belajar korupsi, datanglah ke Ende.” Begitu SMS seorang warga usai membaca “Bentara” Sabtu 18 April 2009 berjudul “Ende dan Pesta Makan”. Terlalu banyak yang dimakan dan begitu banyak yang ikut makan, jadinya seperti pesta makan saja, bukan korupsi. Kalau korupsi, mana koruptornya? Tidak ada.
Pesta makan ini turut disuburkan oleh kinerja kejaksaan. Mana ada kasus dugaan korupsi yang sampai ke persidangan? Tidak ada. Kasus-kasus itu malah berultah di kejaksaan. Di bawah kajari baru Marihot Silalahi, boleh jadi ultah itu masih akan berlangsung. Sudah ada presedennya.
Pada Senin 28 Juli 2008, Marihot Silalahi menyatakan kepada pers, ia tidak mau mengusut kasus korupsi lama karena sedang dalam suasana pilkada. Takutnya, kasus-kasus itu menjadi alat politik pihak tertentu. Gawat. Penegakan hukum dipolitikkan. Ini menyalahi prinsip paling hakiki dunia hukum. Fiat justitia ruat caelum. Hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Kalimat ini diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
Pilkada sudah selesai. Nakhoda sudah berganti. Birokrasi sudah dirombak. Wangge-Mochdar sudah berjanji dan bertekad membersihkan birokrasinya dari segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jadi, iklimnya sudah sangat kondusif. Nah, apanya lagi, Pak Kajari? Kapan kasus-kasus dugaan korupsi dibawa ke persidangan?
“Bentara” FLORES POS, Senin 25 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar