TNK dalam Poling The Seven Wonders Foundation
Oleh Frans Anggal
Taman Nasional Komodo (TNK) di Mabar kini di urutan ke-8 Keajaiban Dunia untuk kategori Grup E yang meliputi hutan dan taman nasional. Begitu hasil poling The Seven Wonders Foundation di Swiss. Poling dimulai 2008. Seleksinya bertahap. Desember 2009, seleksi terakhir menentukan yang terajaib dari setiap grup, seluruhnya tujuh grup, untuk kemudian ditetapkan sebagai Tujuh Keajaiban Dunia. Pengumumannya pada 2010.
Awalnya, dari Indonesai ada tiga: Gunung Krakatau, Danau Toba, dan TNK. Dalam perjalanan, tinggal TNK. TNK bersaing dengan 60 keajaiban dunia dari 6 benua. Semula ia di urutan 14, lalu naik ke urutan 10, dan sekarang di urutan 8.
Naiknya posisi bergantung dari banyaknya dukungan. Karena itu, Mabar mulai bergerak. Bupati Fidelis Pranda ajak masyarakat kirim dukungan via internet dan telepon ke Swiss. Wabup Agus Dula imbau pemilik warnet turunkan tarif internet. Wakil Ketua DPRD Ambros Djanggat desak pemkab siapkan internet gratis.
Secara ilmiah, poling seperti ini tidak valid dan dapat menyesatkan. Cacat metodologisnya: responden tidak ditentukan oleh penyelenggara, tapi oleh responden sendiri. Bahayanya: masyarakat akan mudah menganggap hasil poling sebagai kenyataan objektif. Kendati demikian, ada manfaatnya. Efek promosinya besar. Ini yang menguntungkan.
“Kalau TNK masuk tujuh besar maka masyarakat Mabar, Flores, NTT, dan Indonesia bangga. Kunjungan turis bakal meningkat. Dampaknya akan meningkatkan ekonomi masyarakat dan PAD Mabar.” Begitu kata Ambros Djanggat. Benar. Yang jadi pertanyaan: seberapa besar peningkatan itu?
Kita bisa pastikan, dampak ekonomis bagi masyarakat dan PAD tidak akan sebanding dengan ketenaran TNK, kalau pariwisata Mabar masih seperti sekarang. Pariwisatanya belum menjadi leading sector yang menggerakkan sektor-sektor lain. Lihat saja. Mabar boleh punya TNK, Bali yang raup untung. Kapal turis datang dari Bali langsung ke TNK, lalu balik lagi ke Bali. Mabarnya tidak dilirik. Bali makan duitnya, Mabar makan bangganya.
Kalau masih seperti itu, gerakan Mabar mengantar TNK masuk Tujuh Keajaiban Dunia tak lebih daripada ‘fenomena permen karet’ (bubble gum phenomenon). Menggelembung besar, isinya hampa. Tak ada pula yang bisa diangkatnya kecuali dirinya sendiri. Sebab, ia cuma permen karet, bukan balon udara.
Dalam dunia psikologi, ‘fenomena permen karet’ menggejalakan kelainan jiwa. Megalomania. Kelainan jiwa yang ditandai khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran diri. Ekspresinya: ucapan dan tindakan. Gila yang besar-besar meski merusak. Tambang emas, gedung megah, mobil mewah, pesta meriah. Di tengah kemiskinan rakyat, bukankah ini termasuk “keajaiban dunia” juga?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 1 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar