Larang PNS dan Keluarga ke Belanja di Pasar Dadakan
Oleh Frans Anggal
Pemkab Lembata bikin kejutan lewat surat 27 Februari 2009 yang ditandatangani Wabup Andreas Nula Liliweri. Isinya: melarang PNS, pegawai kontrak, dan keluarganya membeli barang di pasar dadakan. Yang melanggar akan ditindak.
Surat ini lahir dari kenyataan lapangan. Meski berkali-kali diimbau bahkan diusir, para pedagang ikan dan sayur tetap berjualan di lokasi bekas Pasar Inpres Lewoleba dan bahu jalan ibu kota. Mereka enggan ke Pasar Inpres Pada di barat kota yang jauh dari pusat keramaian, apalagi ke Pasar Inpres Lamahora di timur.
Sikap para pembeli setali tiga wang. Praktis dan pragmatis, serta memenuhi prinsip dasar pelayanan publik. Mau yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah. Di hadapan sikap seperti ini, pemkab kewalahan. Muncullah akal. Pemkab tidak hanya menertibkan penjual, tapi juga pembeli. Pegawai pemkab dan keluarganya dijadikan target terdekat. Pengandaiannya, dengan bekurangnya pembeli maka para penjual akan kapok sendiri dan akhirnya mau berpindah ke Pada atau Lamahora.
Pengandaian itu masuk akal. Sayang, surat wabup Lembata berlebihan. Pemkab bersibuk diri sampai ke urusan dapur rumah tangga PNS. Sibuk yang tidak perlu. Sibuk yang hanya mencitrakan kekuasaan hegemonik yang sembarang masuk ke ruang privat warga. Sebenarnya tidak perlu sejauh itu kalau pemkab mampu menertibkan penjual. Tidak perlu sejauh itu pula kalau penjual taat pada pemerintah. Di sinilah masalahnya. Dan masalah itu patut dirunut ke belakang.
Dulu, ada pasar tradisional, pasar tua, di tengah kota. Itulah Pasar Inpres Lewoleba. Nama “inpres” ditempelkan kemudian, jauh setelah pasar itu menjadi sentra penggerak kehidupan masyarakat yang mayoritasnya mengandalkan usaha kecil-menengah. Masih dalam fungsinya yang kuat itu, pasar ini mau dipindahkan ke Pada dan Lamahora yang saat itu sudah siap. Lokasi lama mau dijadikan lokasi ruko. Masyarakat menolak. Pasar pun dilalap api. Terbakar atau dibakar, entahlah. Di atas lokasi inilah para penjual tetap menjajakan dagangannya. Lokasi ini dicap pemkab sebagai pasar dadakan.
Kalau mau jujur, yang dadakan bukan pasarnya, tapi kebijakan pemkabnya. Pindahkan pasar tanpa konsultasi publik. Gusur lokasi pasar tradisional demi bangun ruko. Kejar PAD pakai regulasi yang tidak melindungi orang kecil.
Di negara kampiun kapitalisme dan pro-pasar bebas seperti AS saja, tak ada kebijakan sekeji ini. Hampir semua negara bagian memperhatikan pasar tradisional. Renovasi pasar saja, masyarakat, terutama pelaku UKM, dilibatkan dalam musyawarah. AS memang punya UU Small Act yang menjamin dan melindungi usaha rakyat.
Di Indonesia? Semuanya penuh konflik karena kental kolusi dan padat kepentingan kelompok tertentu. Merekalah yang diuntungkan oleh tender proyek dan pembebasan tanah. Maka, bakar pasar pun bukan cerita baru.
“Bentara” FLORES POS, Senin 11 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar